Share

Melihatnya

Riuh suara tepuk tangan terdengar memenuhi halaman ini, mengakhiri sebuah penampilan dari beberapa santri yang baru saja turun dari panggung. 

Hari ke-enam di masa ta'aruf bagi santri baru. Kami mengadakan sebuah pentas seni. Dimana beberapa santri baru dan santri lama akan tampil di atas panggung, menunjukkan bakat dan kreatifitas yang dimiliki dan menjadi perwakilan dari setiap asrama. 

Acara pentas seni kali ini, kami menggabungkan antara santri putra dan santri putri. Oleh karena itu, hanya santri putra saja yang di izinkan untuk menampilkan kreatifitasnya di atas panggung. Sementara untuk santri putri, kami akan menjadi penonton setia di bawah panggung. Tak apalah, kami tak keberatan. Lagian, nanti kalau disuruh tampil juga paling malu. 

Acara ini kami adakan agar santri lama dan santri baru semakin akrab, khususnya untuk santri baru, agar mereka semakin betah berada di pondok. 

Ternyata di pondok seru juga. Biarlah mereka berfikir seperti itu. 

Aku mengambil tempat duduk di kursi paling belakang bersama Aini dan ke-lima teman dekatku. Di sana aku mengamati setiap santri baru yang naik ke atas panggung. Siapa tahu, aku melihat orang itu lagi. 

Sejak kejadian di bawah munggur, aku tak pernah bertemu atau melihatnya walau hanya sekilas. Entahlah, dia siapa. Dan mengapa aku ingin tahu sekali? 

Plakkk

Sebuah tangan meluncur menepuk pundak ku,

 "Aini? Ngapain ih? " Tanyaku saat melihatnya tertawa terbahak-bahak di sampingku. 

"Eh maaf ya Put gak sengaja." Ucap Aini yang masih tertawa " Tapi lihat deh, itu asli lucu banget! " Sambungnya. 

Aku menoleh ke arah panggung. Aku hanya melihat beberapa teman sekelas ku yang berada di atas panggung, seseorang mengenakan jubah putih ala ustadz di Arab, sebagian menggunakan baju bak preman. "Apanya yang lucu?" Gumamku dalam hati seraya menoleh heran ke arah Aini. 

Aku kembali menoleh ke arah panggung saat tepuk tangan kembali terdengar bersahutan. Beberapa temanku mulai turun, digantikan oleh MC yang berjalan menaiki panggung, mereka memberitahukan bahwa akan ada penampilan dari perwakilan asrama Ibrahim. 

"Uy! " Ujar seseorang sambil memegang pundak ku. Membuatku menoleh ke belakang, melihat siapa yang mengagetkanku. 

"Ida, ngapain weh? " Tanyaku pada Ida yang berdiri di belakangku.

"Ngapain lagi? Nyari kamu lah! " 

"Iya ada apa? " 

"Suruh survei tempat outbond sama kamu. Ayo?! " Jawabnya.

"Sekarang?! Padahal lagi pensi nih. " Ucapku memelas, aku bahkan belum melihat orang itu. Padahal ini salah satu kesempatan untuk menemukan seseorang dengan mudah. Ya karena semua berkumpul menjadi satu disini. Sayangnya, saat aku mengamati kursi duduk putra. Ia bahkan tak terlihat di sana, mungkin saja ia akan tampil di atas panggung, lalu bersiap diri di belakang sana. 

"Iya, ntar sore soalnya udah pemasangan alat outbond nya. Dan kalau siang kita mau survei, apa ya gak capek. Jalan kaki ke Hikmah Resto sana. " Jelas Ida. 

Benar juga, kalau nanti siang akan terasa lebih lelah, padahal nanti sore alat outbond akan di sebar dan di pasang. 

Aku masih melihat muka Ida yang berdiri di belakangku. Tiba-tiba, ada yang membuatku terfokus pada tulisan asrama yang berada tak jauh di belakang kami. Aku membacanya "Asrama Ibrahim" Aku bergumam dalam hati. Bukankan itu asrama milik santri baru? 

Benar saja. Saat aku menoleh ke arah panggung. Aku melihatnya! Kali ini aku benar-benar melihatnya! Sungguh! Entah mengapa ia terlihat begitu MasyaAllah bagiku. Ia duduk di atas kursi yang ada di atas panggung sambil memegang mikrofon. Ia menggunakan baju koko berwarna biru muda, celana hitam dan peci yang sama seperti waktu kami bertemu saat itu. 

"Siapa namanya? " Tanyaku dalam hati. 

"Ayo Put! Malah melongo. " Ujar Ida sambil menepuk pundak ku lagi. 

Seketika aku ingat, aku harus pergi sekarang. Sedikit sedih tak tahu apa yang ia tampilkan di atas sana. Tapi tak apa lah. Lain kali mungkin bisa melihatnya lagi. 

"Yuk! " Ajakku pada Ida sambil menarik tangannya. 

Ia hanya menurut saat aku memegang tangannya. Hingga bertemu anak tangga yang menjadi jalan menuju depan masjid Putra. Aku melepas tanganku. Meninggalkan acara yang masih berjalan di atas sana. Sesekali aku mendengar suara tawa dari para santri. Membuatku ingin sekali menengok, untuk melihatnya. Apa yang ia tampilkan? 

***

Seseorang yang duduk di atas panggung menoleh ke arah dua santriwati yang berjalan menuruni anak tangga. Ia merasa, bahwa satu di antara mereka menarik perhatiannya. Ia masih melihatnya, dari saat mereka menuruni tangga pertama hingga terakhir. Ia lupa, bahwa ia sedang menampilkan sebuah stand up komedi bersama temannya. Hingga saat itu, temannya memanggil dan membuyarkan lamunannya. Ia menengok. Tidak fokus. 

"Kupikir orang itu adalah ustadzah. " Gumamnya dalam hati. 

Kini ia telah turun dari tangga panggung. Duduk di belakangnya. 

***

Aku membuka buku catatan ku. Kulihat daftar lomba dan tempatnya. Satu persatu telah kami lihat. Ini tempat yang terakhir untuk kami survei. 

"Bukannya survei tugas kakak kelas ya? " Tanyaku seraya menoleh pada Ida yang berjalan di sampingku. 

"Sebenernya sih gitu Put, tapi kamu lihat kan? Tadi mereka sibuk mengkoordinir acara pentas seni. " Sahut Fatimah untuk menjawab. 

Ida yang mendengar ucapan Fatimah langsung menyahut, "Iya. Gapapa, aku malah seneng suruh jalan-jalan gini. Daripada di sana duduk lihat doang. Capek mataku. " Ia tertawa sambil melihatku. 

Aku hanya ikut tertawa padanya. 

"Tadi aku dititipin Pengurus putra, buat mengambil flashdisk yang tertinggal di rumah budaya. Kebetulan deket, ntar temenin ya? " Ucap Fatimah. 

"Iya kita temenin, tapi ntar yang ngasih ke putra Kamu sama Putri ya! " Balas Ida sambil tersenyum pada Fatimah. 

"Kamu gak ikut Da? " Tanyaku pada Ida. 

"Enggak, nanti sore aku ada jadwal masak. "

Aku hanya membulatkan mulutku membentuk huruf O seraya mengangguk sebagai balasannya. 

***

Ba'da Ashar

"Iidaa! " Panggil ku saat melihat Ida berjalan keluar asrama. 

"Yaa? " Ia berhenti dan menoleh ke arahku. 

"Masak yang enak yaah! " Balasku dengan Fatimah bersamaan. 

Ida hanya menganggukkan kepala, seraya mengangkat tangan menunjukkan jari jempolnya. Ditambah dengan ekspresi muka yang datar. 

Kami hanya tertawa melihatnya. 

"Mau keluar Put? " Wida bertanya saat aku mengambil kaos kaki di almari. 

"Iya. Mau nitip kah? " Tanyaku kembali. 

"Engga sih. Hehe, semangat ya! " Jawab Wida yang menunjukkan kepalan tangannya. Lalu, ia lanjut membaca novelnya. 

"Hehe makasih. " Balasku seraya tersenyum padanya. 

***

"Fatimaahhh! " Teriak seseorang dari arah dapur. 

Membuat kami berhenti dan sontak menengok ke sumber suara. 

Sudah kuduga, pasti Ida yang memanggil. 

"Tolong dong. " Ia berjalan mendekati kami yang berdiri di jalan.

Aku masih berdiri. Tak menjawab. 

"Jadi kalian kan mau keluar, sekalian ya. Nanti balik minta tolong mintain tempat sayur putra. Hehehe, kalian baik deh! " Sambungnya seraya tersenyum, lalu ia berbalik arah menuju dapur lagi. 

"Eh! " Ia berbalik ke arah kami lagi. "Fatimah! Pokoknya Putri yang harus bilang sama putra ya. Jangan kamu! " Lanjutnya. 

"Eh kalau itu aku setuju. Oke! " Jawab Fatimah seraya tersenyum padaku. 

"Ih kok aku sih. " 

Ida tetap berjalan menjauh meninggalkan kami, ia tak menghiraukan ucapanku barusan. 

"Ih dasar deh. " Gumamku dalam hati. 

Kami akhirnya berjalan kembali. Menemui pengurus dan aku harus mengambil tempat sayur putra. 

Sampai di depan masjid putra. Kami hanya berdiri di depan kantor MA sebagai batasannya. Kami mencoba mencari santri putra yang lewat untuk meminta tolong. 

Tak lama... 

Seseorang tiba-tiba keluar dari pintu masjid. Menggunakan Jubah putih, lalu terdapat sajadah yang tergantung rapi di pundaknya. "Astaga orang itu! " Aku bergumam dalam hati. 

Bersambung... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status