Dalam perjalanan menuju firma hukum berikutnya, aku hanya mengandalkan bantuan dari supir taxi untuk menemukan lokasinya. Sebab aku tak tahu seluruh jalanan di Kota B ini.
Untungnya Bu Mei tahu posisiku saat ini sedang terdesak. Ia berbaik hati memanggilkan supir taxi andalannya. Tidak perlu waktu lama untukku menunggu beliau. Saat mobil berhenti tepat di depan kantor Bu Mei, aku langsung melanjutkan perjalanan.
Sesampainya aku di sana, aku meminta Pak Dongdong, supir taxi yang mengaku usianya sudah 56 tahun itu, untuk menungguku sejenak dan aku tak lupa membayar perjalanan dari kantornya Ibu Mei, pengacara sebelumnya ke kantor lainnya ini.
“Siap, Nona! Saya akan menunggu Anda walaupun badai hujan menerjang sekalipun,” ungkapnya sembari hormat padaku. Aku memberinya tip yang berlebih agar ia memenuhi permintaanku. Sikapnya langsung berlipat-lipat penuh dengan pengabdian.
Ketika aku masuk ke kantor firma hukum kedua ini, resepsionisnya seakan sudah menduga kedatanganku. Aku yakin sekali itu bantuan dari Ibu Mei. Aku langsung diarahkan ke Pengacara Senior di tempat ini. Kali ini aku berjumpa dengan Bapak Li Myurong yang usianya seperti Pak Supir yang menungguku di luar kantor ini. Setelah satu jam ia menjamuku, dan mendengar keluh kesahku. Ia meminta beberapa data dan bukti pengirimian dana ke rekening digitalku.
“Nama Nona yang Samara Gwenn ini memang nama legal asli Inggris Anda atau bukan?” Tanya Pak Li.
“Maksudnya bagaimana ya, Pak?” Tanyaku balik.
“Apakah ini nama legal yang dipakai untuk mengurus berkas-berkas dokumen legal secara kenegaraan?” Tanyanya lagi.
“Ah, nama asli saya Ding Shu. Samara Gwenn itu nama pena saya. Namun saya juga menggunakannya untuk beberapa akun rekening uang digital,” jawabku.
“Jadi ini nama buatan saja ya. Baik, mungkin, bisa dibantu kirimkan soft files tekait akte lahir dan beberapa buku rekening Nona Ding untuk kami pelajari lagi kasus ini. Walaupun Anda bukan terlapor, namun saya takut Anda akan dijadikan kambing hitam atas kasus ini,” jelas Pak Li.
“Saya bawa dokumen-dokumen penting lainnya kok Pak. Apa perlu ijazah juga?” Ucapku sembari membongkar totebag hitam yang aku bawa ini. Staf di ruangan Pak Li dengan sigap mengambil berkas yang aku sodorkan padanya. Kemudian staf tersebut berdiskudi dengan Pak Li tentang hal yang tak terlalu aku pahami. Mereka memintaku untuk mengecek kondisi kesehatan juga. Hal ini katanya dapat membantu untuk melawan opini publik yang sudah tersebar secara negatif.
“Pak Li. Saya ingin tanya, apakah ini artinya Bapak menerima kasus saya?” Tanyaku.
“Nona Ding, kami akan mempelajari kasus ini terlebih dahulu. Jun menyebutkan ini kasus ringan terkait mengubah opini publik. Namun aku tak menyangka ini kasus yang lebih rumit lagi,” jelas Pak Li. Aku terdiam untuk beberapa saat hanya memikirkan siapa Jun yang dimaksud, rupanya itu Ibu Mei Junqien. Sepertinya duo pengacara ini sudah saling mengenal sejak lama. Entah kenapa, dari penuturan Pak Li, kasus ini akan ditolak lagi. “Nona?” Tanyanya lagi menyadarkan aku dari lamunanku.
“Pak Li biasanya menangani kasus apa?” Tanyaku.
“Selama ini kami sering menyelesaikan kasus terkait pencurian atau tuduhan palsu. Namun skalanya tidak sebesar ini,” Jawab Pak Li jujur.
“Jadi ada kemungkinan kasus saya ditolak ya? Pak jujur saja tak apa kok,” ucapku.
Wajah Pak Li memerah merasa malu. Ia duduk menghadapku dengan bahu yang sedikit direndahkan. “Terus terang saja Nak. Saya takut yang akan kau hadapi dalam kasus ini adalah mafia-mafia yang bahkan polisi atau presiden sekalipun tak berani melawannya. Sejujurnya, saya pun takut menerima kasus ini. Walaupun bayaran yang Nak Ding Shu tawarkan besar. Saya…” belum sempat Pak Li melanjutkannya.
“Baik. Saya mengerti, Pak Li. Jangan sedih atau segan untuk menolak saya. Ini kasus yang berat, dan saya menyadarinya. Apalagi keanehan terkait beberapa akun rekening yang terus mengirimkan saya sejumlah uang dengan nominal puluhan juta. Saya akan melanjutkan perjalanan saya menuju Firma Hukum Dantons saja,” jawabku.
Pak Li berulang kali meminta maaf dan aku memakluminya. Beliau yang merasa tak enak hati denganku mengantarkan diriku ke parkiran. Bahkan ia menyapa Pak Supir yang setia menunggu di sana. Mereka mengobrol sekilas, aku juga menimpali dengan tenang seakan perasaanku baik-baik saja. Kemudian aku berpamitan untuk menuju kantor Firma Hukum terbesar seantero Republik Cina ini.
Sebelum aku sampai ke tujuan berikutnya, aku meminta Pak Dongdong untuk mampir sejenak ke salah satu restoran yang cukup terkenal mahalnya. Aku mentraktirnya makan siang di sana. Sebab aku sudah terbiasa mengunjungi restoran tersebut setiap berkunjung ke pusat kota. Namun sedikit sulit untuk mengajak Pak Dongdong untuk masuk ke dalam sana. Ia mengeluarkan berbagai macam alasan seperti pakaiannya bau, atau ia tak pantas ke sana.
Tapi aku meyakinkannya bahwa aku memiliki ruangan tertutup khusus atas namaku. Jadi tak perlu malu untuk tatapan orang asing. Sebab aku pun merasa demikian. Tak menyukai berada di publik dengan orang-orang yang banyak. Saat mendengarku mengatakan hal tersebut. Penolakan Pak Dongdong semakin kuat. Ia semakin segan untuk masuk dan makan satu meja bersamaku. “Saya akan membelikan untuk keluarga Anda juga. Cepatlah, ayo, saya lapar,” ucapku pasrah sembari menghembuskan nafas panjang.
“Ba-baiklah Nona Muda,” jawabnya.
Aku mengabaikan sebutan Nona Muda yang keluar dari mulutnya itu. Saat kami berdua masuk ke dalam restoran tersebut, resepsionis di depan menghalang kami untuk langsung masuk. “Mohon maaf. Apakah Nona sudah memiliki reservasi tempat? Jika belum mohon tunggu daftar antrinya,” ucapnya dengan sopan.
“Terima kasih. Saya Ding Shu, memiliki ruang pribadi di lantai tiga,” jawabku pun dengan sopan. Bagaimanapun ia juga menegurku dengan baik, dan itu sudah merupakan kewajiban pekerjaannya. Wajahnya memucat saat mendengar perkataanku. Padahal gak masalah loh. Sepertinya ia takut dicap sebagai pelayan yang tidak sopan dan akan kehilangan pekerjaannya. Sikapnya berubah dengan cepat dan meminta maaf berulang kali.
Seorang pelayan senior yang melihat keributan tersebut langsung menghampiri kami. Aku mengenalnya, dia adalah Yueren. Begitupun dengan pelayan itu yang langsung menyapa namaku dengan benar. “Nona Ding, maafkan atas ketidaksopanan junior saya. Saya akan menegurnya,” tegas Yueren.
“Tak perlu. Dia bekerja dengan baik. Saya ingin makanan seperti biasa untuk porsi dua orang. Bawakan juga menunya ke ruangan, ada hidangan yang mau saya bawa pulang,” jawabku. Kemudian melenggang pergi ke arah lift khusus. Aku tak nyaman dalam pandangan orang-orang yang berada di lantai satu ini. Perutku merasa mual. Untungnya mereka tidak mengetahui bagaimana rupa wajah Samara Gwenn yang kini dianggap sebagai salah satu kriminal yang berkomplotan dengan mafia judi online.
Pak Dongdong juga menatapku dengan mata berbinar-binar, sembari mengucapkan beribu pujian yang berlebihan. Aku mengabaikannya. Untungnya tak perlu waktu lama hingga akhirnya pintu lift terbuka. Sepertinya ia juga membawa orang ke lantai tiga.
Saat aku masuk ke dalam sana. Pak Dongdong juga ikut masuk dengan cepat. Sesampainya kami pada lantai tujuan, aku langsung berjalan ke arah ruangan pribadiku. Ruangan di seberangku sedang ada pertemuan sepertinya. Sebab suasananya cukup ribut. Saat aku berada di sana, sudah tersedia teh hangat dan buku menunya. Juga ada sup tahu di atas kompor kecil di tengah meja itu.
“Nona Muda. Apakah ini makanan yang Anda pesan untuk dua porsi? Maaf, saya hanya bertanya,” ucap Pak Dongdong dengan sangat hati-hati sekali.
“Hahaha, tidak. Mereka memang menyediakan itu di sana untuk menunggu makanannya datang. Bisa Bapak makan dulu,” jawabku. Sontak Pak Dongdong menghembuskan nafas lega. Sepertinya ia juga kelaparan dan belum makan siang. Aku bisa menebak isi kepalanya yang mengira kami berdua harus berbagi sup tahu di sana. “Pilihlah beberapa menu yang akan dibawa pulang untuk keluarga Bapak,” sambungku setelah duduk di salah satu kursi, sembari tanganku menyodokan buku menu ke arah Pak Dongdong.
“Kenapa ini tidak ada harganya?” Tanyanya.
“Pilih saja, Pak, tak masalah,” timpalku sembari tersenyum. Sikap Pak Dongdong yang polos ini sedikit menenangkan pikiranku yang kacau. Kini sudah jam 14.30 atau 2.30 pm, aku tak tahu Firma Hukum Dantons masih buka atau tidak. Aku sudah tak mengecek ponselku lagi dan berpikir untuk membeli ponsel baru dan nomor baru, tentunya, untuk menenangkan jiwa dan pikiranku. Aku belum siap diserbu berbagai notifikasi seperti tadi.
Setelah pemeriksaan singkat, Shushu menyadarinya dirinya mengalami gejala anemia dan tekanan darah rendah. Dokter meminta ners yang mendampinginya untuk memasukan Shushu sebagai daftar pasien agar bisa diberi beberapa obat untuk dikonsumsi.Pada akhirnya, ada dua pasien di dalam satu bangsal ini. Satu yang terlihat seperti akan mati kapan saja. Satu lagi yang berusaha meyakinkan semua orang dirinya tak sakit.Sebenarnya Shushu melakukan itu sebab dirinya takut disuntik dan diinfus. Dia terlihat ingin pergi dari tempat itu kapan saja. Namun Juanxi mengenggam erat pergelangan tangannya.Para perawat telah memasukan satu ranjang lagi ke ruangan rawat inap itu. Posisinya bersampingan dengan ranjang milik Juanxi.“Tidurlah dengan benar,” tegas Juanxi yang sudah mulai berbicara lancar.“Sa-sa-saya tak sakit kok,” jawab Shushu dengan formal dan tergagap. Dia terl
Tempat yang paling tak disukai Shushu terpaksa harus ia tempati selama empat hari lamanya. Sebab, kondisi suaminya yang baru ia nikahi belum seminggu itu terlihat sangat mengkhawatirkan. Suhu demamnya mencapai 40 derajat celcius.Selama dirinya di rumah sakit, bohong, jika Shushu juga tidak merasa sakit. Wajahnya pucat, makannya pun tidak karuan.Siapapun yang mengunjungi mengira Shushu sangat khawatir dengan suaminya yang terbaring tak sadarkan diri. Bahkan makan pun harus dipenuhi dengan cairan nutrisi melalui selang infus.Ada kalanya setiap Juanxi sadarkan diri untuk beberapa menit, Shushu akan membantu menyuapi air hangat atau sup hangat perlahan dengan sendok kecil. Sebab pria itu sendiri tak memiliki tenaga untuk mengangkat kepalanya.“Nak, kamu pulang saja dulu, tidak apa-apa,” tutur Sun Lili yang datang pagi sekali untuk membantu Shushu. Juanxi masih tak sadarkan diri. Namun suhu
“Kenapa kau tak cerita soal kebakaran itu padaku? Bukankah kita teman?” tanya Quo Xin. Dia benar-benar tidak tahu soal itu.Sejujurnya Quo Xin bisa menyelesaikan permasalahan dokumen yang rusak itu secepat mungkin. Hanya saja keadaannya dengan mantan mertua serta putrinya kala itu cukup rumit. Dia jarang punya waktu leluasa membuka laptopnya.Semua menjadi mudah ketika ia sudah memindahkan data putrinya di Kota B ini. Namun ini semua hanya alasan. Quo Xin merasa bersalah atas waktu yang terbuang secara cuma-cuma. Dia tak mengira masalah keterlibatan Shushu dengan situs judi online ini begitu berat. Bahkan pihak di sana berani mengancam dengan cara murahan seperti itu.“Walaupun begitu kau setuju begitu cepat untuk menikah,” ungkap Quo Xin. Kemudian ia meraih tangan Shushu dan menggenggamnya erat. “Batalkan saja kontraknya!”“Tidak bisa, kita sudah menikah. Lagipula keadaanya tidak sesimpel ini, Zhou.co itu mungkin saja tidak terlibat dengan judi online saja,” ucap Shushu. Dia menginga
Pukul enam pagi, seorang wanita paruh baya berjalan cepat menelusuri lorong rumah sakit yang panjang. Dia hanya menggunakan sandal, dan jaket untuk menutupi pakaian tidurnya. Bahkan helm pun masih bertengger setia di kepalanya.Ruang 278, tanpa ragu-ragu, dia langsung membukanya. Di dalam sana ada seorang wanita muda berdiri menganggukan kepala berulang kali atas penjelasan dokter yang bertugas.“Bagaimana?” tanya Quo Xin.“Baru saja dipindahkan dari UGD, dia demam sushu 40 derajat, sepertinya kelelahan bekerja,” tutur Shushu dengan wajah yang lelah.“Ibu juga harus istirahat yang baik untuk menjaga suami Anda. Wajah Ibu kurang baik,” ucap dokter pria itu lagi. Shushu hanya menganggukan kepalanya berulang kaliFokus Quo Xin bukan lagi cerita dibalik kenapa ia membutuhkan ambulans di pagi buta lagi. Namun, bagaimana bisa ia mendapatkan suami dalam waktu yang begitu cepat setelah ia tinggal beberapa bulan di kota lain?Setelah kepergian dokter dan perawat tersebut. Quo Xin hanya diam sa
Juanxi terus mengalami mimpi yang panjang, dan semua kejadian itu membuatnya merasa tak nyaman. Kepalanya terasa berat dan panas menerima semua informasi itu. Fakta bahwa kematian Shushu itu begitu menyedihkan membuatnya sangat terpukul.Tidak seharusnya Shushu mengalami itu semua. Dia bukan seperti apa yang digambarkan semua artikel tersebut. Wanita nakal, pemakai narkoba, penipu, dan lainnya.Hal yang membuatnya lebih terpukul ialah adegan dimana Paman Zinbei dan Ibu Yanyan datang ke kantornya untuk meminta tolong mencari kebenaran kematian Shushu.Kini Juanxi paham kenapa Shushu tadi menangis begitu lelah ketika ia tahu bahwa namanya bisa dibersihkan tidak terlibat situs judi online itu. Semua usaha Shushu menyelidiki kasusnya sendiri selama ini, agar tidak membuat dua orang tua itu sedih dan terpukul.Dalam kehidupan pertama itu, ia melihat wajah Paman Zinbei, dan Ibu Yanyan, lima kali lipat terlihat lebih tua dibandingkan kehidupannya sekarang. Mereka telah mendatangi berbagai ka
Juanxi menjadi kesal melihat ponsel milik Shushu yang terus berdering sedari tadi. Dia langsung mematikannya secara total. Lalu membawa tubuh Shushu yang tertidur karena lelah menangis ke kamarnya. Juanxi melihat keseluruhan interior ruangan yang sederhana, namun memiliki tiga pintu ruangan lainnya lagi. Dia penasaran untuk apa saja tiga ruangan di dalam kamarnya ini. Juanxi menerka salah satunya pasti toilet, dan ruang pakaian. Adapun sisanya ia tak begitu yakin. Juanxi menyadari beberapa hal dari mengenal Shushu dalam waktu yang sangat singkat ini. Dia terlalu mudah untuk percaya, namun tak ingin menaruh rasa percaya begitu dalam. Kontradiksi sekali bukan? Dua kata yang bisa dijelaskan ialah polos kebangetan. Kendati dikatakan polos, dia tahu dunia lebih baik. Apalagi soal pekerjaannya dan mengatur finansialnya. Hanya saja melihat ia menangis begitu lepas karena namanya bisa dibersihkan dari tuduhan sindikat judi online itu. Juanxi melihat sosok Shushu menjadi lebih kompleks lagi