Share

Chapter 9

Semalaman ini aku terus mencoba menghubungi email perwakilan Zhou.co itu. Namun tidak ada jawaban sama sekali. Aku mencoba berpikir positif mungkin karena ini tengah malam, dan mereka telah tidur. Jadi mereka tak bisa membalas pesanku segera.

Ini membuatku panik, sebab ada sebuah cuitan dari Ourchat bahwa ada yang menduga pihak kepolian akan menangkap semua yang berada di balik layar pembuatan situs judi online ini. Aku yang membaca komentar itupun dibuat panik dan panas-dingin.

Selain menghubungi pihak perusahaan, aku mencari-cari firma hukum terpercaya yang bisa aku hubungi. Namun segala pesan yang aku kirimkan ke nomor mereka hanya membuahkan centang satu. Ini membuat perutku semakin mual. Pasalnya aku tahu betul besok, hari Sabtu, beberapa tempat tidak memiliki jadwal kerja. Masa iya sih, aku harus menunggu sampai hari Senin dulu?

Tepat pukul jam 8 pagi, aku mendapatkan balasan dari email perwakilan Zhou.co. Tidak. Lebih tepatnya pemberitahuan dari email, bahwa akun tersebut telah dihapus secara permanen sehingga tidak bisa mengirmkan pesan-pesanku sebelumnya. Bagaimana bisa?

Jika memang dihapus seharusnya pesan yang kukirmkan jam 1 malam itu sudah ditolak dan aku mendapatkan email pemberitahuan ini. Tapi aku baru mendapatkannya sekarang. Apakah itu artinya mereka telah membaca pesanku? Lalu, memutuskan untuk mengakhiri hubungan secara sepihak?

Aku merasa sakit hati seperti diputusin pacar yang sudah menjalin hubungan lima tahun. Walaupun aku sendiri belum pernah berada dalam hubungan dengan lawan jenis. Tapi tetap saja ini membuatku merasa terhubung dengan mereka yang patah hati.

Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara dering dari ponselku. Beberapa firma hukum yang aku hubungi ada yang menjawab pesanku, mereka dapat ditemui hari ini jam 10 pagi di kantor mereka. Aku dengan cepat berlari ke kamar mandi dan bersiap-siap. Butuh waktu 45 menit aku mempersiapkan diri dengan pakaian yang formal-casual. 

Aku mengenakan kemeja tanpa lengan berwarna merah muda dengan jas berwarna hitam. Kemudian aku padukan dengan celana hitam berbahan kain jatuh. Rambutku tak banyak ditata, hanya diikat tinggi ke belakang saja.

Aku memastikan untuk mengenakan lipstik agar tidak terlalu pucat. Walaupun begitu masih saja terlihat pucat. Sebab kebanyakan warna yang aku miliki warna natural. “Aku terlihat seperti orang sakit,” gumamku. Namun tak peduli tentang hal ini terlalu banyak.

Aku lebih mementingkan berkas-berkas yang kusiapkan dengan terburu-buru di dalam tas tentengku ini lengkap.

Aku segera keluar dari rumah sewa ini setelah memastikan taxi online yang aku pesan telah sampai di depan.

“Shuhu, mau kemana?” tanya Tante Meidong. Ia berjalan dengan membawa kantong plastik berisi sayuran dan buah-buahan. Aku tebak ia baru saja dari kios yang ada di belakang. Di sana ada yang memiliki perkebunan sayur dan buah-buahan. Ia menjual langsung hasil panennya, dan beberapa mereka kirimkan ke kota.

Rumah tetangga jauhku ini berada lima blok di depan. Tak jarang orang-orang sepertinya memilih untuk mebeli sayur atau buah di kios belakang.

Sebagai orang yang tinggal di pinggiran kota seperti ini, biasanya tetangga sekitar saling mengenali satu sama lain. Sebab kami sering bertegur sapa. Walaupun begitu memang biasanya orang-orang yang mencolok lebih cepat diingat dan dikenali. Tante Meidong yang terkenal suka bergosip ini adalah sosok yang tak bisa diabaikan atau dilupakan. Semua orang mengenalnya. Begitupun aku yang biasanya menetap di dalam rumah dan jarang sekali keluar.

Tentu saja, aku yang jarang keluar rumah juga dikenal dibenak semua tetangga sekitar.

“Ada yang perlu aku urus di kota,” jawabku singkat. Aku mengunci pintu dan memastikan semuanya aman. Barulah aku menghampiri mobil di depan rumah ini. “Saya pamit dulu, Tante Meidong,” sapaku langsung masuk ke kursi belakang.

Mungkin karena sikapku yang terburu-buru, Tante Meidong tak terlalu menghiraukanku dan tak banyak bertanya. Aku bersyukur atas hal tersebut. Kendati demikian ia tetap berdiam diri mematung melihat mobil ini pergi menjauh sampai tak terlihat. Setidaknya itu yang aku lihat dari kaca mobil yang tergantung di depan pengemudi.

Mataku yang berkantung ini hanya aku tutupi dengan pelembab saja. Bayangan wajah yang terlihat samar dari layar ponselku membuatku menghebuskan nafas panjang. Semalaman aku tak ada istirahat dan terus memantau perkembangan topin yang sedang tren ini. Batinku menjerit dan menangis, namun wajahku masih datar. Sopir yang merupakan pria muda di depan ini mengajakku berbicara, namun aku mengabaikannya sebab terlalu fokus dengan berita terbaru yang muncul.

Samara Gwenn bekerja untuk situs judi online.

Aku nyaris pingsan saat menyadari bahwa nama penaku menjadi topik pembicaraan terhangat. “Aaaa, gimana ini,” lirihku ingin menangis. Rupanya banyak yang menyadari bahwa ciri khas gambarku ada pada karakter-karakter di situs tersebut. Ponselku terus berdering dengan ribuan, puluhan ribu, dan terus meningkat pesan masuk yang membanjiri akun media sosialku.

Selama perjalanan yang memakan waktu 48 menit itu, jantungku benar-benar berhenti berdetak ketika aku mendapatkan notifikasi uang masuk dari rekening bank digital orang tak dikenal dengan jumlah 30 juta RMB. “Apa-apaan ini,” gumamku dengan sangat lelah.

Banyaknya notif yang terus muncul di bagian atas layar tanpa henti sudah tidak membuatku panik. Kini aku menatap notifikasi dengan ciri khas kotak kecil yang terus muncul itu dengan tenang. Beberapa rekan kerjaku sebelumnya yang berasal dari perusahan-perusahan lain juga ada yang menhubungi nomor pribadiku.

Aku tak berniat mengangkap panggilan telpon itu sebab aku sudah membaca sekilas dari pesan masuk mereka yang ingin memutus kontrak kerja sebelumnya. Beberapa menarik karyaku dari produknya dan mengehentikan pembagian royalti bersama. Namun aku tak bisa memperdulikan itu semua. Aku benar-benar merasa mati rasa dengan segala  notifikasi yang muncul dengan cepat itu. Mataku tak bisa beralih dari ponselku dan membaca berbagai macam pesan yang muncul secara sekilas. Tanpa berani menekan layarku.

Aku sampai di Firma Hukum Swasta yang terkenal dengan tingkat kesuksesan menang sidang 80 persen.  Kalau aku tak diberitahu sudah sampai oleh supir, pasti aku masih melamun menatap ponselku yang terus menyala sepanjang perjalanan.

Aku dengan lelah memasuki kantor mereka yang tidak terlalu besar, juga tak kecil. Aku disambut dengan resepsionis dan mengatakan telah membuat janji dengan Pengacara bernama Ibu Mei Junqien. Aku langsung diarahkan ke ruangan beliau oleh resepsionis tersebut.

“Selamat datang, Nona Ding Shu. Salam kenal saya konsultan Anda hari ini,” sapanya.

Aku langsung mengenggam tangan wanita paruh baya itu dan menangis. “Ibu, bantu saya,” rengekku sembari menangis. Perasaan yang kutahan selama perjalanan panjang ini akhirnya pecah jua.

Resepsionis wanita itu juga terkejut dengan responku. Keduanya langsung memanduku duduk di sofa, dan staf yang ada di ruangan itu dengan cepat mengambilkan air hangat untuk diriku. Aku masih menangis sesegukan, dan Ibu Mei ini memeluk dengan hangat.

Ketika aku mulai sedikit tenang akibat tekanan mental sejak semalam suntuk hingga perjalanan panjang ini. Aku menceritakan semua masalah sejak tujuh bulan yang lalu aku dihubungi pihak dari Zhou.co.  Mereka juga tak menyangka orang yang mengunjungi kantor mereka adalah orang yang menjadi topik pembicaraan hangat seantero Republik Cina ini.

Setelah setengah jam mereka mendengarkanku menjelaskan rentetan kejadian dari awal hingga akhir. Sebenarnya itu memakan waktu yang lama sebab aku masih menangis sesegukan karena rasa takut yang tak terbendung.

Ibu Mei akhirnya membuka suara, “Sayangku. Ini pertama kalinya kami mendengar kasus yang cukup unik. Mohon sekali jangan salah paham, firma hukum kami lebih sering menangani kasus perceraian. Kami spesialis di area tersebut. Maaf sekali sayang, sepertinya kami tak bisa mendampingi Nona dalam kasus ini. Tapi tenang dulu, saya ada beberapa rekomendasi firma lainnya yang mungkin akan menerima kasus Anda. Yuowei, tolong ambilkan buku catatanku dan pena juga,” ucap Ibu Mei.

Aku merasa tenang dengan jawaban yang lemah lembut itu walaupun penyampaian yang dilontarkan adalah hal negatif. Padahal aku suka dengan sikap Ibu Mei yang lemah lembut dan tegas ini. Sayang sekali ia tak bisa membantuku. Aku tak terlalu paham tentang hukum. Jadi aku baru mengetahui tentang hal ini. Aku pikir semua pengacara akan mendampingi berbagai macam kasus. Ternyata mereka punya keahlian masing-masing.

“Tidak masalah, Ibu Mei. Aku merasa lebih lega menjelaskan ketakutanku ini,” jelasku dengan sesegukan.

“Nona Ding Shu, maaf banget saya tak sopan dan saya tahu betul ini bukan waktu yang tepat. Saya hanya takut kehilangan momen ini. Tapi saya fans Anda, apakah boleh saya minta tandatangan Anda di buku sketsa saya?” Tanya staf bernama Youwei itu setelah panjang lebar berbasa-basi.

Ia seorang wanita muda yang mungkin berada di usia 20an dengan rambut bob pendek dan kacamata bulat. Ia mengenakan rok pendek berwarna pink fushia yang mencolok dengan atasan berwarna hijau gelap. Lucu sekali. Dia terlihat menggemaskan dan membawa nuansa ceria nan positif yang begitu besar. Aku menganggukan kepala hanya dengan melihatnya.

“Youwei suka menggambar juga,” timpal Ibu Mei yang masih menulis di buku catatannya. “Maaf sekali ya Nona Ding Shu. Aku tahu dari ceritamu bahwa kau mungkin akan terbebani bila membuka HP dengan notif yang mengerikan itu. Jadi aku hanya bisa menuliskan alamat mereka secara manual. Jadi mohon tunggu sebentar,” sambungnya.

“Tak masalah Ibu Mei. Saya terima kasih sekali sudah dijamu dengan hangat seperti ini,” jawabku sembari mengambil buku sketsa milik Youwei  dan bertanda tangan di lembar kosong di sana. Tak lupa aku menggambar sketsa kasar singkat sosok pemilik bukunya.

Butuh waktu tiga menit untuk membuat sketsa kasar itu. Youwei yang melihatnya melompat kegirangan. Saat aku memberikan buku kepada pemiliknya, ia berkata dengan sangat tegas dan penuh tekad, “Saya percaya Nona Ding Shu adalah orang yang baik. Saya akan membuat fans yang menyalahkan Anda di internet menyesal.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status