Rosita Johannes dan Ivory Johannes. Itulah nama kedua anak perempuan yang saat ini menebar pesonanya, demi memikat hati Carlos.
Nampak mereka saling bersaing mengerahkan seluruh kecantikannya. Harap-harap, Carlos dengan segera menentukan. Namun, malang. Bukannya Carlos terpikat, justru ia enggan menatap mereka.
Hal itu menimbulkan raut kekecewaan di wajah kedua perempuan itu, disusul tatapan resah dari sang tuan rumah.
"Nak Carlos, di depanmu pemandangan indah disajikan. Lantas, mengapa, kau berpaling?"
Carlos mau tak mau menoleh. Terlihat wajahnya yang masam. Lalu, dengan perasaan seadanya, ia berucap, "Maaf, Paman. Kedua anak perempuanmu tidak membuatku terpikat."
Seketika semua orang membuka matanya lebar-lebar.
"Carlos!" tegur Yolanda disertai mata melotot.
Carlos terkesan tidak peduli. Pria itu malahan menatap lekat sebuah lukisan padang rumput yang di atasnya, sekelompok sapi tengah mencari makan.
Senyum Carlos mengembang. Yang terjadi membuat semua wajah keheranan.
Lantas, Carlos berdiri. Ditunjuknya lukisan tersebut. Otomatis semua mata mengikuti arah tatapan Carlos.
"Di tempat itulah. Di tempat itulah, cintaku yang suci bermekaran," ucap Carlos seraya mengulum senyum.
Yolanda dan Tom yang tau maksud kalimatnya, pun saling lirik satu sama lain. Sedangkan, keluarga Johannes yang tidak tahu, hanya bisa menunjukkan raut bingung.
"Di tempat itulah, kekasihku selalu menanti," lanjut Carlos. Kemudian berbalik, dan berlari kencang.
"Carlos!!" Pekik Yolanda.
Tanpa disuruh, Tom Lousi pun mengejar Carlos.
Langkah Carlos lebar. Dalam sekejap, sosoknya lenyap tanpa siluet.
***
Carlos berhasil memasuki wilayah pasar yang padat penjual dan pembeli yang berasal dari segala penjuru.
Ia sadar, Tom Lousi tengah mengikuti dirinya. Pria itu tersenyum smirk.
Berkat keahliannya, menyalip satu persatu pengunjung pasar. Tom pun kehilangan jejak Carlos.
Saat menyadari hal itu, Tom berhenti. Pandangannya mengedar. Dari ratusan orang, tidak satupun ia kenal.
Tangan Tom mengepal. Rahangnya mengeras seiring dengan emosi yang meletup-letup.
Entah jalan mana saja yang Carlos pilih secara random. Intinya, detik ini, ia sampai di sebuah tempat perdagangan kuda.
Carlos terpikat pada kuda paling ujung. Warnanya putih bersih, serta bulu di bagian kepalanya lebih lebat daripada yang lain.
Pemilik kuda menyambut kedatangan Carlos. "Selamat datang, tuanku."
Carlos manggut-manggut, mengusap punggung kuda yang ia taksir.
"Itu baru datang kemarin, Tuan. Seseorang menjualnya, karena terbelit hutang," jelas si pemilik.
Carlos mengangguk. Kemudian pria itu merogoh saku jas Bangsawannya.
"Aku membeli kuda ini," kata Carlos seraya menyerahkan sekantong koin emas.
Si pemilik cepat-cepat menerima, dan mengintip isinya. Betapa berkilaunya mata pemilik kuda tersebut.
Tanpa berpaling dari koin-koin emas itu, ia berseru, "Dam!!! Siapkan kuda ini! Tuanku sudah membayarnya!"
***
Hiaaa
Hiaaa
Carlos menerobos kerumunan pasar. Serempak, mereka menepi, memberikan jalan dengan tatapan kagum sekaligus kesal.
"Tuan muda!!!"
Dari belakang, Tom berteriak memanggil. Carlos yang mendengarnya tersenyum lebar.
"Maafkan aku, Paman."
Hiaa
Hiaa
Hiaa
Kuda putih itu kian jauh membawa Carlos pergi. Meninggalkan tanah pusat kota yang selalu ramai dan penuh keceriaan.
Arah jalannya jelas menuju tempat tinggal tercinta. Terutama pada padang rumput, yang menjadi saksi bisu kisah cinta manis antara ia dan Elinoure.
Di waktu yang sama.
Elinoure mengerahkan domba-domba milik Bibinya kembali ke kandang. Setelah semuanya masuk, wanita itu lekas menutup pintu.
Ia berbalik, terkejut. "Ya Dewi!!!"
Seseorang yang mengejutkannya tersenyum mengerikan. Elinoure sampai berpegang kuat pada kenop kandang dombanya.
Seketika wajah Elinoure berubah pucat pasi. Ia susah payah menelan ludah.
"Tuan!" Disaat menegangkan itu, Bibinya Elinoure memanggil. "Tuan, kau disana?"
Seseorang yang dipanggil Tuan, lantas memutar arah. Sesaat, Elinoure bisa bernafas.
"Tuan, marilah masuk. Tidak baik, menjelang petang anda disini," bujuk wanita itu.
"Tolong gegas siapkan dia!" Pinta pria asing tersebut.
Larissa membungkuk patuh. Kemudian tamunya meninggalkan tempat.
Setelah memastikan tamunya tidak ada di sekitar mereka, Larissa langsung menarik lengan Elinoure.
"Bersihkan dirimu, orang tadi akan menjadikanmu istri!"
Elinoure terbelalak. Tanpa sempat membantah, perempuan itu gegas didorong masuk ke kamar mandi.
***
Bermodalkan gaun putih berbahan dasar kain kasar, Elinoure berdiri mematung diselimuti perasaan tak enak.
Larissa tersenyum, mengusap rambut wanita itu. Lantas, ia berkata, "Tuanku, inilah gadis yang dimaksud orang-orang."
Tamu asing tadi memandangi Elinoure dari ujung ke ujung seraya mengelus-elus dagunya dengan ibu jari.
Kedua matanya tampak nakal. Elinoure dibuat bergidik ngeri.
"Bu." Wanita itu menggeleng, menandakan ketidakbersediaan dirinya.
Larissa melotot. "Jangan bodoh!"
"Anakmu ini cantik luar biasa selayaknya wanita bangsawan. Layak sekali jika ia duduk bersanding denganku," lontar si tamu asing.
Baru mendengar kalimatnya saja, bulu kuduk Elinoure seketika berdiri.
Demi Dewi yang selalu ia sebut dalam doanya, sungguh ia tidak mau jika seumur hidup menghabiskan waktu bersama orang yang sama sekali tak ia kehendaki.
***
Hiii
Carlos sampai di lokasi. Mega-mega hitam sempurna menyelimuti langit. Bulan berpendar terang benderang. Di atas rumput hijau nan lapang, ia merasakan hawa kehidupannya kembali.
Kemudian ia tersenyum penuh kebahagiaan. Berharap, esok nanti, kekasihnya akan sudi memulai kembali kisah cinta manis mereka.
Carlos memutuskan tidur di menara. Menikmati waktu demi waktu tenang hingga kantuk bersinggah.
Tatkala sinar jingga membias masuk, mimpi panjangnya seketika berakhir.
Pria itu mengerjapkan matanya secara bertahap. Mengumpulkan nyawa yang berpencar. Sampai ia mendengar kambing mengembik, memancing seluruh semangatnya yang sempat pupus.
Bergegas ia bangkit meski seluruh tubuhnya terasa letih. Berdiri ia menatap hamparan hijau di bawah menara.
Senyumnya mengembang, mendapati sekelompok domba yang berlarian kesana-kemari juga ada pula yang menikmati rumput.
Penglihatan Carlos memindai. Mencari satu-satunya orang yang ia anggap sumber energi.
"Elinoure!"
Seorang wanita tengah duduk di bawah pohon. Kakinya lurus ke depan dan saling tindih satu sama lain.
Punggung wanita itu bersandar pada pohon. Kedua tangannya melipat di atas perut.
"Dalam keadaan tertidur pun, ia sangat cantik," puji Carlos secara tulus.
Tak mau terlalu lama menunggu. Ia pun secepatnya menuruni menara.
"Elinoure!!!"
Di tengah menikmati angin sepoi-sepoi, serta merta Elinoure terbelalak. Tak disadari, wanita itu langsung berdiri.
Senyumnya tertahan. Jantungnya berdebar-debar. Kakinya terasa memerintah.
"Hampiri! Hampiri!" Begitulah kata hatinya. Namun, sebuah fakta membelenggu raga wanita itu. Hingga ia pun tak mampu bergerak meski saat ini Carlos tengah berlari ke arahnya.
Bughhh
"Elinoure."
Carlos menghambur ke tubuh Elinoure. Didekapnya tubuh wanita itu erat-erat sampai kehangatan miliknya bagai menyetrum Elinoure.
"Elinoure." Suara Carlos membisik tepat di telinga Elinoure. "Aku sangat merindukanmu. Sangat!!!"
Elinoure tersenyum kecil. Tapi senyum itu seketika memudar begitu ia mendapati Larissa berdiri dengan wajah garang tidak jauh di belakang Carlos.
"Hentikan ini! tekan Elinoure.
Carlos tidak mengerti. Pria itu terlampau senang. Ia malahan menepikan gaun Elinoure di bagian lehernya. Lantas, ia mainkan lidah dan bibirnya disana.
Kereta berhenti dengan sentakan kasar. Tubuh Elinoure ikut terhempas ke depan, bahunya membentur sisi bangku kayu yang dingin. Ia mengerjap, menahan nyeri. Pria tua itu—si pembeli menjijikkan—berdiri sambil merapikan kerah bajunya dan menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari dekil. “Jangan ke mana-mana, ya,” katanya, menyeringai, sebelum turun dari kereta. Langkahnya menjauh, suara derit sepatu botnya menghilang dalam hembusan angin padang. Elinoure memutar kepala, mendengarkan. Tak ada suara lain. Hanya sepi. Sunyi yang menusuk telinga. Kesempatan. Dengan nafas terengah, ia menarik-narik pergelangan tangannya yang masih diikat tali kasar ke sisi bangku. Tali itu keras dan kuat, mungkin terbuat dari serat goni tua. Ujungnya merobek kulitnya sedikit demi sedikit. Darah mulai mengalir. Tapi Elinoure menggertakkan gigi dan terus mencoba. Tarik. Putar. Dorong. Luka semakin menganga. Tapi ia tidak peduli. Setiap tetes sakit adalah bukti bahwa ia masih hidup—bahwa ia belum menyera
Elinoure membuka matanya perlahan, seolah kelopak matanya terbuat dari timah berat. Cahaya remang menelusup dari sela jendela kecil di samping, mengguncang kepalanya yang masih berdenyut hebat. Pandangannya berkunang-kunang, dan detik demi detik kesadarannya mulai kembali. Ia berada di dalam kereta. Tapi… bukan kereta yang tadi. Interiornya berbeda. Lebih pengap, lebih sempit, dan bau keringat bercampur parfum murahan memenuhi udara. Langit-langit kayunya kasar, ada bercak noda tua di sudutnya. Derap roda di atas tanah berbatu terasa lebih kasar, seperti kereta itu melaju di jalanan pedalaman. Ia mencoba mengangkat tangan—tapi tak bisa. Pergelangan tangannya diikat ke sisi bangku dengan tali kasar. Napasnya tercekat. “Apa ini,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Suara tawa rendah dan pelan menjawab dari samping. "Ah, kau akhirnya bangun juga." Elinoure menoleh cepat, dan saat itulah jantungnya nyaris berhenti. Di sebelahnya duduk seorang pria. Usianya sekitar 50 tahunan, be
Carlos mengatup rahangnya kuat-kuat. Dadanya bergemuruh, bukan hanya karena amarah—tapi juga karena kecewa. Emma… gadis itu ternyata sedang dijadikan alat tukar demi menyelamatkan keluarganya. Dan semua ini terjadi di balik punggungnya, saat dia sibuk menghindari pernikahan yang dijodohkan kakeknya. Tangannya mengepal, namun pikirannya tetap jernih. “Aku harus melaporkan ini pada Kakek. Pria tua itu tidak akan mau rugi besar!" *** Kediaman keluarga Carlos, malam hari. Lampu-lampu di aula utama masih menyala ketika Carlos kembali dari perjalanan diam-diamnya. Meski tubuhnya lelah dan bajunya tertempias debu perjalanan, sorot matanya tetap menyala penuh tekad. Langkahnya mantap menyusuri lorong, hingga sampai di ruang kerja sang kakek—ruang yang biasanya tertutup rapat di malam hari. Tok. Tok. "Masuk," suara berat sang kakek terdengar dari dalam. Carlos mendorong daun pintu kayu itu perlahan. Pria tua di belakang meja tampak memindahkan pandangannya dari berkas-berkas tua ke
Memikirkan rencana Kakeknya, Carlos tidak bisa tertidur. Pria itu berjalan mondar-mandir mencari cara supaya pernikahan tersebut tidak terjadi, karena jika Kakeknya sudah berencana maka semuanya akan berjalan cepat.Tok! Tok! Tok!Pintu kamar pria itu tiba-tiba diketuk.Carlos spontan mengarahkan matanya ke jam dinding, dan keningnya seketika berkerut. "Siapa yang tengah malam masih terjaga?"Tok! Tok! Tok! Ketukan berlangsung lagi.Karena penasaran, Carlos membuka perlahan pintunya dengan kepala tertunduk lalu terangkat dan …"Bibi Anne!" Rupanya asisten rumah tangga pria itu yang datang semalam ini.Sambil memastikan tidak ada orang melihat, Anne bertanya pelan. "Apa saya diperbolehkan masuk, Tuan muda?"Carlos membuka pintunya lebih lebar. "Silahkan."Anne segera masuk kemudian Carlos menutup pintunya sesegera mungkin."Ada yang harus saya sampaikan, Tuan muda," ungkap Anne serius."Katakan," suruh Carlos pun tak kalah serius. Anne mendekatkan kepalanya pada telinga Carlos untuk
Begitu sampai rumah, Carlos mendapati kuda hitam legam gagah milik Krunoslav Marion; sang Kakek, tengah asyik memakan jerami.Perasaan Carlos tak enak. Pria itu berinisiatif tidak langsung memasuki rumah, melainkan berjalan mengendap-endap dari pintu belakang menuju tembok perbatasan ruang tamu dengan ruang belakang."Tu—" Melihat Carlos, Anne selaku Pelayan bagian dapur nyaris bersuara. Bagus wanita itu sadar Carlos sedang menghindari sesuatu, jadi mulutnya lekas dibekap rapat-rapat.Melalui tembok pembatas, Carlos mengintip apa yang sekarang Kakek dan Ibunya lakukan.Meski mereka terlihat duduk normal seperti biasanya, tetapi wajah mereka terlihat serius apalagi saat Tom ikut andil.Sayangnya, suara mereka tidak berhasil sampai ke telinga Carlos. Pria itu balik badan menghela nafas menyayangkan."Apa Tuan muda ingin aku menghampiri mereka?" tawar Anne.Kelopak mata Carlos membuka lebar bersemangat. "Ya! Kalau bisa."Anne menunjuk baki berisi satu set teko keramik putih. Berdasarkan
Sampai di rumah, Larissa sudah berdiri di depan pintu masuk seperti penjaga. Berhubung Carlos ada di antara mereka, Larissa langsung berkacak pinggang siap memarahi."Apa-apaan ini, Andrew! Kalian …" Larissa berpikir bahwa Andrew sengaja mendekati Elinoure supaya Carlos lebih gampang menjumpai gadis tersebut.Andrew segera menjelaskan, "Tidak seperti yang Bibi Larissa duga."Larissa mengernyitkan kening dengan kepala sedikit miring.Andrew melanjutkan, "Carlos menyusul kami ke danau."Karena fakta, Carlos tak mengelak. Dia bahkan membenarkan ucapan Andrew. "Benar, aku yang menyusul mereka. Bukan Elinoure yang mendatangiku atau kami yang sengaja ketemuan."Di antara dua pria itu, Elinoure tak beraksi; menundukan kepala.Kemudian Larissa menarik tangan Elinoure, serta memposisikan gadis itu di belakangnya. "Terima kasih telah menjaga Elinoure, Andrew. Sekarang silahkan bawa Tuan muda bangsawan ini pergi dari hadapanku!"Dari nada bicara Larissa, jelas sekali tidak ada kebaikan sedikitpu