Share

Pergilah

Author: Zhang A Yu
last update Last Updated: 2021-11-08 10:54:44

Elinoure terhenyak hebat. Reflek, ia menjauhkan kepala Carlos dari lehernya. Namun, sulit bagi Elinoure melakukan itu.

Pagutan bibir Carlos terasa kuat. Hampir-hampir seperti hisapan vampir yang gila darah.

"Berhenti, Carlos! Berhenti!" Minta Elinoure dengan wajah merah menahan birahi sekaligus panik.

Tatapan Larissa kian tajam. Baru Elinoure sadari, sang bibi ternyata membawa kayu rotan yang biasa dipakai untuk membersihkan kasur.

Sekarang kayu rotan itu diayun-ayunkan. Tampaknya siap mendarati tubuh Carlos. Dan sebelum hal itu terjadi, Elinoure lantas berteriak.

"Jangan, Bu!!!"

Spontan Carlos menjauhkan kepalanya. Lalu, Elinoure mendorong pria itu ke samping.

"Akhhh!"

Pukulan rotan Larissa mengenai lengan Elinoure. Bekas merah tercetak di kulitnya yang putih.

"Elinoure!!" Carlos menjerit panik. Begitu pula dengan Larissa yang langsung membuang kayu rotan itu disertai rasa bersalah.

Elinoure mengusap bekas pukulannya itu seraya meringis kesakitan.

"Nak, ibu tidak bermaksud …" Larissa tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Sungguh, ia menyesal telah melukai Elinoure.

"Maafkan, ibu." Akhirnya hanya kalimat itu yang melanjutkan.

Elinoure menggeleng. "Tidak. Ibu tidak salah. Maafkan aku, Bu."

Pandangan Larissa beralih ke sosok Carlos.

Meskipun Carlos belum mandi. Tapi baginya, pria itu nampak gagah dan sangat menunjukkan kalau ia sungguh berasal dari keluarga terpandang.

Sebelumnya, Larissa tidak pernah melihat Carlos secara langsung. Wanita itu hanya seringkali mendengar nama dan sedikit kepribadiannya. Termasuk, ia yang suka berkuda di padang rumput ini.

"Jadi ini yang kau sebut mencintaimu?" Tanya Larissa. Lebih tepatnya meminta penjelasan.

Seolah diperintah, tiba-tiba Carlos meraih tangan Elinoure. Digenggamnya erat seakan menjawab pertanyaan Larissa barusan.

"Ya, aku sangat mencintai putrimu," ucap Carlos sembari memandang lekat wajah Elinoure, pun dibalas pandangan serupa olehnya.

Mereka pikir, Larissa akan luluh. Sayangnya tidak. Justru kemarahan Larissa yang sempat padam, kembali berkobar.

"Lepaskan putriku!!!" Secara kasar, Larissa menarik lengan Elinoure.

Otomatis, pegangan tangan Carlos terlepas. Terlihat raut kehilangan dari rupanya yang gagah.

"Ayo pulang!" Ajak Larissa.

Elinoure tidak langsung mengikuti. Wanita itu menatap Carlos dengan tatapan sayu.

"Ayo!!" Paksa Larissa.

"Bu, aku …" Elinoure baru akan mengungkapkan keinginannya, tetapi Larissa lebih dulu menolak, tanpa mau mendengar.

"Tidak! Kau harus pulang! Biar domba-domba itu menikmati makanannya, dan aku sendiri yang akan membimbing mereka pulang. Tepatnya, setelah membawamu pergi dari pria terhormat ini!" Tegas Larissa.

Elinoure kecewa. Ia masih ingin disini. Ia juga masih ingin menikmati waktunya bersama Carlos.

Apalah daya. Pegangan Larissa terlalu kuat. Elinoure hanya mampu mengikuti walau dengan langkah terpaksa.

Sesekali wanita itu menoleh. Dan ia mendapati wajah Carlos yang bersedih, menatap kepergiannya.

Sesampainya di rumah.

Elinoure dibawa ke dapur. Wanita itu didorong duduk. Kemudian, Larissa mengambil bawang putih. Ia potong menjadi dua bagian.

"Bu, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Elinoure kala Larissa menarik pundak Elinoure. Lalu, menepikan kain penghalang lehernya.

"Bekas ini harus dihilangkan!" geram Larissa sambil menggosok-gosok potongan bawang putih itu ke kissmark di leher Elinoure.

Elinoure memejamkan mata, malu. Sumpah, ia tak menyangka, pemandangan seperti tadi akan disaksikan sang bibi.

"Katakan padaku! Apa kau sering melakukan hal ini, hah??"

Pertanyaan itu sukses membuat Elinoure sakit perut. Harus menjawab apa dirinya. Masa iya menjelaskan kegiatan panas yang kerap kali ia lakukan bersama Carlos.

"Jawab!!" Perintah Larissa dibarengi tatapan menyidang.

Elinoure susah payah menelan ludah. Terpaksa, wanita itu berbohong. "Terhitung dua kali dengan hari ini."

Larissa menyipitkan mata. Kesannya, ia tidak langsung percaya akan jawaban Elinoure.

"Sungguh, Bu," tukas Elinoure, meyakinkan.

"Jangan ulangi lagi! Akan dikata apa, kalau sampai orang lain melihat. Mengerti??"

Elinoure angguk-angguk. Sedetik kemudian, Larissa menghentikan menggosoknya. Wanita itu meletakkan bawang putihnya begitu saja. Ia melenggang pergi, tanpa sepatah katapun.

Hihhh

Elinoure membuang nafas panjang. Ia juga ikut bangkit. Ia pergi ke kamar. Disana ada cermin kecil, yang dibeli beberapa tahun lalu saat ia bepergian ke pusat kota.

Dari pantulan cermin itulah, Elinoure dapat memastikan, warna merah di lehernya tidak segarang biasanya. Padahal, jika Carlos memberinya kissmark, maka warnanya akan sangat gelap. Maklum, ia bukan hanya memainkan lidah. Tapi juga menghisap sambil sesekali digigit.

"Aku baru tahu bawang putih bisa memudarkan bekas seperti ini," gumam Elinoure.

***

Domba mengembik. Satu demi satu meninggalkan padang rumput. Perut mereka sedikit lebih besar. Cukup sudah waktu makannya. Sekarang mereka harus balik ke kandang, dan melewati tahap pembersihan bulu.

"Ayo, ayo, sumber koinku!"

Larissa bersemangat mengerahkan mereka balik ke kandang.

Dari tempat semula, Carlos memperhatikan wanita itu. Dan Larissa pun menyadari, tetapi ia sama sekali tak menganggap.

Hingga akhirnya, Carlos memberanikan diri mengikuti Larissa. Larissa yang tidak terima, lantas berbalik, berkacak pinggang.

"Mau apa kau!"

Carlos setengah mendongak. Jauh di depan sana, tampak pemukiman penduduk yang tidak terlalu padat. Jarak rumah kayu satu ke rumah berikutnya sekitar 50 meter.

"Ah, kau pasti kaget bukan, karena rumah kami begitu buruk jika dibandingkan dengan rumahmu!" tuduh Larissa.

Carlos seketika menggeleng. Ia tidak punya pemikiran seperti itu. Malahan, matanya dibuat nyaman kala memandang pemukiman itu.

Demi Tuhan, ia ingin mampir di sana. Menikmati udara sejuk, serta pemandangan hijau di setiap sisi rumah.

"Pergilah, tuan muda. Jangan kau dekat-dekat dengan penduduk seperti kami. Sungguh, jika itu terjadi, kau sama saja menarik kami ke jurang pembatas si miskin dan si kaya," ujar Larissa.

Mendengar hal itu, perasaan Carlos terluka. Selama ini, ia tidak begitu peduli akan kelas kasta itu.

Menurutnya, asal masih berpijak di atas bumi dan di bawah langit yang sama. Lantas, mengapa harus ada batas? Namun, tidak bisa dipungkiri. Hal seperti itu benar adanya. Ia pun tak mengelak.

"Pergilah," tambah Larissa seraya mengibaskan tangan. Lalu, wanita itu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Tanpa mereka sadari. Tom berdiri memperhatikan keduanya sedari tadi. Tom merasa kesal sekaligus prihatin.

Dalam hati, Tom berucap, "Tuan muda, anda terlalu baik karena memberi hati pada mereka. Sedang mereka hanya bisa membalas anda dengan kebencian."

Alih-alih tidak ingin ketahuan. Sialnya, kuda yang ditumpangi Tom malah meringkik. Sontak, Carlos berbalik.

Kedua alis Carlos terangkat. Matanya membulat. Tapi tidak. Ia tidak akan kabur seperti kemarin.

"Pulanglah, tuan muda!!" seru Tom Lousi.

Carlos tidak menjawab. Pria itu berjalan ke arah menara. Kuda putih yang kemarin ia beli masih setia menunggu. Ia menaiki punggung kuda tersebut. Lalu, menarik tali pengekang, dan pergi lebih dulu daripada Tom.

Begitu tiba di kediaman Yolanda.

Tom langsung disidang oleh seluruh keluarga. Termasuk kakek dan neneknya yang tinggal lebih jauh dari kediaman.

"Apa begini caramu membalas kebaikan kami semua, Smith Carlos?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Si Bangsawan dan Gadis Desa   Berhasil Melarikan Diri.

    Kereta berhenti dengan sentakan kasar. Tubuh Elinoure ikut terhempas ke depan, bahunya membentur sisi bangku kayu yang dingin. Ia mengerjap, menahan nyeri. Pria tua itu—si pembeli menjijikkan—berdiri sambil merapikan kerah bajunya dan menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari dekil. “Jangan ke mana-mana, ya,” katanya, menyeringai, sebelum turun dari kereta. Langkahnya menjauh, suara derit sepatu botnya menghilang dalam hembusan angin padang. Elinoure memutar kepala, mendengarkan. Tak ada suara lain. Hanya sepi. Sunyi yang menusuk telinga. Kesempatan. Dengan nafas terengah, ia menarik-narik pergelangan tangannya yang masih diikat tali kasar ke sisi bangku. Tali itu keras dan kuat, mungkin terbuat dari serat goni tua. Ujungnya merobek kulitnya sedikit demi sedikit. Darah mulai mengalir. Tapi Elinoure menggertakkan gigi dan terus mencoba. Tarik. Putar. Dorong. Luka semakin menganga. Tapi ia tidak peduli. Setiap tetes sakit adalah bukti bahwa ia masih hidup—bahwa ia belum menyera

  • Si Bangsawan dan Gadis Desa   Akhirnya Dibatalkan.

    Elinoure membuka matanya perlahan, seolah kelopak matanya terbuat dari timah berat. Cahaya remang menelusup dari sela jendela kecil di samping, mengguncang kepalanya yang masih berdenyut hebat. Pandangannya berkunang-kunang, dan detik demi detik kesadarannya mulai kembali. Ia berada di dalam kereta. Tapi… bukan kereta yang tadi. Interiornya berbeda. Lebih pengap, lebih sempit, dan bau keringat bercampur parfum murahan memenuhi udara. Langit-langit kayunya kasar, ada bercak noda tua di sudutnya. Derap roda di atas tanah berbatu terasa lebih kasar, seperti kereta itu melaju di jalanan pedalaman. Ia mencoba mengangkat tangan—tapi tak bisa. Pergelangan tangannya diikat ke sisi bangku dengan tali kasar. Napasnya tercekat. “Apa ini,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Suara tawa rendah dan pelan menjawab dari samping. "Ah, kau akhirnya bangun juga." Elinoure menoleh cepat, dan saat itulah jantungnya nyaris berhenti. Di sebelahnya duduk seorang pria. Usianya sekitar 50 tahunan, be

  • Si Bangsawan dan Gadis Desa   Menjebak.

    Carlos mengatup rahangnya kuat-kuat. Dadanya bergemuruh, bukan hanya karena amarah—tapi juga karena kecewa. Emma… gadis itu ternyata sedang dijadikan alat tukar demi menyelamatkan keluarganya. Dan semua ini terjadi di balik punggungnya, saat dia sibuk menghindari pernikahan yang dijodohkan kakeknya. Tangannya mengepal, namun pikirannya tetap jernih. “Aku harus melaporkan ini pada Kakek. Pria tua itu tidak akan mau rugi besar!" *** Kediaman keluarga Carlos, malam hari. Lampu-lampu di aula utama masih menyala ketika Carlos kembali dari perjalanan diam-diamnya. Meski tubuhnya lelah dan bajunya tertempias debu perjalanan, sorot matanya tetap menyala penuh tekad. Langkahnya mantap menyusuri lorong, hingga sampai di ruang kerja sang kakek—ruang yang biasanya tertutup rapat di malam hari. Tok. Tok. "Masuk," suara berat sang kakek terdengar dari dalam. Carlos mendorong daun pintu kayu itu perlahan. Pria tua di belakang meja tampak memindahkan pandangannya dari berkas-berkas tua ke

  • Si Bangsawan dan Gadis Desa   Faktanya!

    Memikirkan rencana Kakeknya, Carlos tidak bisa tertidur. Pria itu berjalan mondar-mandir mencari cara supaya pernikahan tersebut tidak terjadi, karena jika Kakeknya sudah berencana maka semuanya akan berjalan cepat.Tok! Tok! Tok!Pintu kamar pria itu tiba-tiba diketuk.Carlos spontan mengarahkan matanya ke jam dinding, dan keningnya seketika berkerut. "Siapa yang tengah malam masih terjaga?"Tok! Tok! Tok! Ketukan berlangsung lagi.Karena penasaran, Carlos membuka perlahan pintunya dengan kepala tertunduk lalu terangkat dan …"Bibi Anne!" Rupanya asisten rumah tangga pria itu yang datang semalam ini.Sambil memastikan tidak ada orang melihat, Anne bertanya pelan. "Apa saya diperbolehkan masuk, Tuan muda?"Carlos membuka pintunya lebih lebar. "Silahkan."Anne segera masuk kemudian Carlos menutup pintunya sesegera mungkin."Ada yang harus saya sampaikan, Tuan muda," ungkap Anne serius."Katakan," suruh Carlos pun tak kalah serius. Anne mendekatkan kepalanya pada telinga Carlos untuk

  • Si Bangsawan dan Gadis Desa   Dua Anak Pembangkang.

    Begitu sampai rumah, Carlos mendapati kuda hitam legam gagah milik Krunoslav Marion; sang Kakek, tengah asyik memakan jerami.Perasaan Carlos tak enak. Pria itu berinisiatif tidak langsung memasuki rumah, melainkan berjalan mengendap-endap dari pintu belakang menuju tembok perbatasan ruang tamu dengan ruang belakang."Tu—" Melihat Carlos, Anne selaku Pelayan bagian dapur nyaris bersuara. Bagus wanita itu sadar Carlos sedang menghindari sesuatu, jadi mulutnya lekas dibekap rapat-rapat.Melalui tembok pembatas, Carlos mengintip apa yang sekarang Kakek dan Ibunya lakukan.Meski mereka terlihat duduk normal seperti biasanya, tetapi wajah mereka terlihat serius apalagi saat Tom ikut andil.Sayangnya, suara mereka tidak berhasil sampai ke telinga Carlos. Pria itu balik badan menghela nafas menyayangkan."Apa Tuan muda ingin aku menghampiri mereka?" tawar Anne.Kelopak mata Carlos membuka lebar bersemangat. "Ya! Kalau bisa."Anne menunjuk baki berisi satu set teko keramik putih. Berdasarkan

  • Si Bangsawan dan Gadis Desa   Gadis Tidak Tahu Diri???

    Sampai di rumah, Larissa sudah berdiri di depan pintu masuk seperti penjaga. Berhubung Carlos ada di antara mereka, Larissa langsung berkacak pinggang siap memarahi."Apa-apaan ini, Andrew! Kalian …" Larissa berpikir bahwa Andrew sengaja mendekati Elinoure supaya Carlos lebih gampang menjumpai gadis tersebut.Andrew segera menjelaskan, "Tidak seperti yang Bibi Larissa duga."Larissa mengernyitkan kening dengan kepala sedikit miring.Andrew melanjutkan, "Carlos menyusul kami ke danau."Karena fakta, Carlos tak mengelak. Dia bahkan membenarkan ucapan Andrew. "Benar, aku yang menyusul mereka. Bukan Elinoure yang mendatangiku atau kami yang sengaja ketemuan."Di antara dua pria itu, Elinoure tak beraksi; menundukan kepala.Kemudian Larissa menarik tangan Elinoure, serta memposisikan gadis itu di belakangnya. "Terima kasih telah menjaga Elinoure, Andrew. Sekarang silahkan bawa Tuan muda bangsawan ini pergi dari hadapanku!"Dari nada bicara Larissa, jelas sekali tidak ada kebaikan sedikitpu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status