Elinoure terhenyak hebat. Reflek, ia menjauhkan kepala Carlos dari lehernya. Namun, sulit bagi Elinoure melakukan itu.
Pagutan bibir Carlos terasa kuat. Hampir-hampir seperti hisapan vampir yang gila darah.
"Berhenti, Carlos! Berhenti!" Minta Elinoure dengan wajah merah menahan birahi sekaligus panik.
Tatapan Larissa kian tajam. Baru Elinoure sadari, sang bibi ternyata membawa kayu rotan yang biasa dipakai untuk membersihkan kasur.
Sekarang kayu rotan itu diayun-ayunkan. Tampaknya siap mendarati tubuh Carlos. Dan sebelum hal itu terjadi, Elinoure lantas berteriak.
"Jangan, Bu!!!"
Spontan Carlos menjauhkan kepalanya. Lalu, Elinoure mendorong pria itu ke samping.
"Akhhh!"
Pukulan rotan Larissa mengenai lengan Elinoure. Bekas merah tercetak di kulitnya yang putih.
"Elinoure!!" Carlos menjerit panik. Begitu pula dengan Larissa yang langsung membuang kayu rotan itu disertai rasa bersalah.
Elinoure mengusap bekas pukulannya itu seraya meringis kesakitan.
"Nak, ibu tidak bermaksud …" Larissa tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Sungguh, ia menyesal telah melukai Elinoure.
"Maafkan, ibu." Akhirnya hanya kalimat itu yang melanjutkan.
Elinoure menggeleng. "Tidak. Ibu tidak salah. Maafkan aku, Bu."
Pandangan Larissa beralih ke sosok Carlos.
Meskipun Carlos belum mandi. Tapi baginya, pria itu nampak gagah dan sangat menunjukkan kalau ia sungguh berasal dari keluarga terpandang.
Sebelumnya, Larissa tidak pernah melihat Carlos secara langsung. Wanita itu hanya seringkali mendengar nama dan sedikit kepribadiannya. Termasuk, ia yang suka berkuda di padang rumput ini.
"Jadi ini yang kau sebut mencintaimu?" Tanya Larissa. Lebih tepatnya meminta penjelasan.
Seolah diperintah, tiba-tiba Carlos meraih tangan Elinoure. Digenggamnya erat seakan menjawab pertanyaan Larissa barusan.
"Ya, aku sangat mencintai putrimu," ucap Carlos sembari memandang lekat wajah Elinoure, pun dibalas pandangan serupa olehnya.
Mereka pikir, Larissa akan luluh. Sayangnya tidak. Justru kemarahan Larissa yang sempat padam, kembali berkobar.
"Lepaskan putriku!!!" Secara kasar, Larissa menarik lengan Elinoure.
Otomatis, pegangan tangan Carlos terlepas. Terlihat raut kehilangan dari rupanya yang gagah.
"Ayo pulang!" Ajak Larissa.
Elinoure tidak langsung mengikuti. Wanita itu menatap Carlos dengan tatapan sayu.
"Ayo!!" Paksa Larissa.
"Bu, aku …" Elinoure baru akan mengungkapkan keinginannya, tetapi Larissa lebih dulu menolak, tanpa mau mendengar.
"Tidak! Kau harus pulang! Biar domba-domba itu menikmati makanannya, dan aku sendiri yang akan membimbing mereka pulang. Tepatnya, setelah membawamu pergi dari pria terhormat ini!" Tegas Larissa.
Elinoure kecewa. Ia masih ingin disini. Ia juga masih ingin menikmati waktunya bersama Carlos.
Apalah daya. Pegangan Larissa terlalu kuat. Elinoure hanya mampu mengikuti walau dengan langkah terpaksa.
Sesekali wanita itu menoleh. Dan ia mendapati wajah Carlos yang bersedih, menatap kepergiannya.
Sesampainya di rumah.
Elinoure dibawa ke dapur. Wanita itu didorong duduk. Kemudian, Larissa mengambil bawang putih. Ia potong menjadi dua bagian.
"Bu, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Elinoure kala Larissa menarik pundak Elinoure. Lalu, menepikan kain penghalang lehernya.
"Bekas ini harus dihilangkan!" geram Larissa sambil menggosok-gosok potongan bawang putih itu ke kissmark di leher Elinoure.
Elinoure memejamkan mata, malu. Sumpah, ia tak menyangka, pemandangan seperti tadi akan disaksikan sang bibi.
"Katakan padaku! Apa kau sering melakukan hal ini, hah??"
Pertanyaan itu sukses membuat Elinoure sakit perut. Harus menjawab apa dirinya. Masa iya menjelaskan kegiatan panas yang kerap kali ia lakukan bersama Carlos.
"Jawab!!" Perintah Larissa dibarengi tatapan menyidang.
Elinoure susah payah menelan ludah. Terpaksa, wanita itu berbohong. "Terhitung dua kali dengan hari ini."
Larissa menyipitkan mata. Kesannya, ia tidak langsung percaya akan jawaban Elinoure.
"Sungguh, Bu," tukas Elinoure, meyakinkan.
"Jangan ulangi lagi! Akan dikata apa, kalau sampai orang lain melihat. Mengerti??"
Elinoure angguk-angguk. Sedetik kemudian, Larissa menghentikan menggosoknya. Wanita itu meletakkan bawang putihnya begitu saja. Ia melenggang pergi, tanpa sepatah katapun.
Hihhh
Elinoure membuang nafas panjang. Ia juga ikut bangkit. Ia pergi ke kamar. Disana ada cermin kecil, yang dibeli beberapa tahun lalu saat ia bepergian ke pusat kota.
Dari pantulan cermin itulah, Elinoure dapat memastikan, warna merah di lehernya tidak segarang biasanya. Padahal, jika Carlos memberinya kissmark, maka warnanya akan sangat gelap. Maklum, ia bukan hanya memainkan lidah. Tapi juga menghisap sambil sesekali digigit.
"Aku baru tahu bawang putih bisa memudarkan bekas seperti ini," gumam Elinoure.
***
Domba mengembik. Satu demi satu meninggalkan padang rumput. Perut mereka sedikit lebih besar. Cukup sudah waktu makannya. Sekarang mereka harus balik ke kandang, dan melewati tahap pembersihan bulu.
"Ayo, ayo, sumber koinku!"
Larissa bersemangat mengerahkan mereka balik ke kandang.
Dari tempat semula, Carlos memperhatikan wanita itu. Dan Larissa pun menyadari, tetapi ia sama sekali tak menganggap.
Hingga akhirnya, Carlos memberanikan diri mengikuti Larissa. Larissa yang tidak terima, lantas berbalik, berkacak pinggang.
"Mau apa kau!"
Carlos setengah mendongak. Jauh di depan sana, tampak pemukiman penduduk yang tidak terlalu padat. Jarak rumah kayu satu ke rumah berikutnya sekitar 50 meter.
"Ah, kau pasti kaget bukan, karena rumah kami begitu buruk jika dibandingkan dengan rumahmu!" tuduh Larissa.
Carlos seketika menggeleng. Ia tidak punya pemikiran seperti itu. Malahan, matanya dibuat nyaman kala memandang pemukiman itu.
Demi Tuhan, ia ingin mampir di sana. Menikmati udara sejuk, serta pemandangan hijau di setiap sisi rumah.
"Pergilah, tuan muda. Jangan kau dekat-dekat dengan penduduk seperti kami. Sungguh, jika itu terjadi, kau sama saja menarik kami ke jurang pembatas si miskin dan si kaya," ujar Larissa.
Mendengar hal itu, perasaan Carlos terluka. Selama ini, ia tidak begitu peduli akan kelas kasta itu.
Menurutnya, asal masih berpijak di atas bumi dan di bawah langit yang sama. Lantas, mengapa harus ada batas? Namun, tidak bisa dipungkiri. Hal seperti itu benar adanya. Ia pun tak mengelak.
"Pergilah," tambah Larissa seraya mengibaskan tangan. Lalu, wanita itu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.
Tanpa mereka sadari. Tom berdiri memperhatikan keduanya sedari tadi. Tom merasa kesal sekaligus prihatin.
Dalam hati, Tom berucap, "Tuan muda, anda terlalu baik karena memberi hati pada mereka. Sedang mereka hanya bisa membalas anda dengan kebencian."
Alih-alih tidak ingin ketahuan. Sialnya, kuda yang ditumpangi Tom malah meringkik. Sontak, Carlos berbalik.
Kedua alis Carlos terangkat. Matanya membulat. Tapi tidak. Ia tidak akan kabur seperti kemarin.
"Pulanglah, tuan muda!!" seru Tom Lousi.
Carlos tidak menjawab. Pria itu berjalan ke arah menara. Kuda putih yang kemarin ia beli masih setia menunggu. Ia menaiki punggung kuda tersebut. Lalu, menarik tali pengekang, dan pergi lebih dulu daripada Tom.
Begitu tiba di kediaman Yolanda.
Tom langsung disidang oleh seluruh keluarga. Termasuk kakek dan neneknya yang tinggal lebih jauh dari kediaman.
"Apa begini caramu membalas kebaikan kami semua, Smith Carlos?"
"Apa begini caramu membalas kebaikan kami semua, Smith Carlos?" Lontar sang kakek, mengawali persidangan panas.Carlos terdiam. Ia mematung, memandangi satu persatu wajah anggota keluarganya.Lengkap. Semua anggota keluarga hadir. Terkecuali para keponakan, termasuk Diego Marvel.Lalu, pandangan Carlos berhenti pada sang ibu. Wanita bergaun putih tulang yang dihiasi brokat itu seolah sedang sesak nafas. Wajahnya merah, matanya nyaris keluar. Dan semenjak Carlos datang, ia terus mengipasi wajahnya dengan kipas mewah keluaran desainer terkenal asal Amerika.Carlos merasa bersalah telah membuatnya malu, kemarin. Ia pun tidak berani memandang mereka lagi. Ia tertunduk menahan segala perasaan dalam dadanya.
"Jadi, Elinoure sayang. Anggap itu adalah bentuk lamaran ku untuk mu. Dan bulan depan, kita bisa melangsungkan pernikahan."Kalimat itu sukses membuat Elinoure terbelalak. Spontan ia menarik kalung yang baru saja dikenakannya secara paksa."Akhh."Wanita itu memekik kesakitan. Kulit di lehernya sedikit tergores."Elinoure! Apa yang kau lakukan?" bentak Larissa. Sementara pria pemberi kalung itu sudah melotot tajam, siap memuntahkan amarah.Elinoure tidak berpikir panjang. Kalung batu Ruby itu ia lemparkan begitu saja di wajah pria pemberinya."Aku tidak sudi menikah denganmu!" Tolaknya mentah-menta
"Elinoure! Bangun!"Seruan ibunya tak digubris. Ia mengeluarkan surat itu, ia membukanya sambil berjalan menuju jendela.[Pejamkan matamu]Dua kata itu diikuti Elinoure. Ia memejamkan matanya selama beberapa detik."Carlos," sebutnya lirih.Dengan wajah tenang dan senyum tipis mengukir, Elinoure kembali membuka matanya. Ia lanjut membaca surat itu.[Gelap, bukan? Begitulah aku saat ini]Elinoure menghela nafas. Dulu, ia dan Carlos juga pernah melakukan hal serupa. Disetiap Carlos membuka mata, maka ia akan berkata, "Hidupku gelap tanpamu."
Siang berganti malam.Carlos berdiri di tengah hamparan rumput. Tempat ia menemukan sosok Elinoure yang sangat ia cintai itu, menjadi sepi seperti pemakaman tapi disana tidak ada batu nisan tertancap.Carlos mengedarkan pandangan. Entah kenapa, ia merasa pohon-pohon di sekeliling hamparan rumput menjadi buram, dan hampir semuanya seolah tertutup kabut.Carlos mengecek kedua matanya agar penglihatan jelasnya kembali, tetapi tidak. Apa yang ia lihat masih buram kecuali hamparan rumput yang ia pijakki.Diantara keheningan itu, suara wanita tiba-tiba muncul. "Carlos, tolong!"Carlos otomatis balik badan mencari sumber suara. Namun, selain pandangan buram, ia tidak menemukan apapun! Apapun!"Carlos!!!" Suara wanita itu semakin jelas. Carlos kini dapat mengenal siapa pemilik suara itu."Elinoure!" Carlos balik berseru. "Elinoure!" Sekaligus berputar mengedarkan pandangan tanpa melewati satu jengkal pun."Carlos!!!" Suara Elinoure terdengar lagi, tetapi anehnya Carlos tidak menemukan wujud w
Bulan masih bertahta. Dingin seolah enggan pergi. Sepasang kekasih yang lama tak berjumpa itu masih sibuk dengan kegiatan menghangatkan tubuh masing-masing.Desahan demi desahan memenuhi ruang utama dan satu-satunya ruangan di menara itu. Desahan di tengah kabut dingin sungguh indah di telinga Carlos. Itu membuatnya kian bersemangat, lebih bersemangat hingga akhirnya sesuatu yang sangat ingin dia keluarkan tumpah ruah di atas perut Elinoure."Aku mencintaimu," bisik Carlos menyusul.Elinoure tersenyum di sela nafasnya yang tersengal-sengal.Kemudian Carlos jatuh ke pelukan Elinoure. Lalu gadis itu merangkul serta menyelimuti sebagian tubuhnya menggunakan gaun yang dia tanggalkan sejak satu jam lalu.Selang beberapa saat, Carlos beranjak bangun. Dan Elinoure ikut beranjak duduk.Carlos menggunakan pakaiannya satu persatu, sekaligus membantu Elinoure menggunakan gaunnya yang agak lembab karena keringat percintaan mereka.Setelah semua pakaian kembali melekat, Carlos merangkul Elinoure d
Selang beberapa detik setelah Andrew memacu kencang kuda hitam milik Ayahnya ke arah padang rumput, Carlos menyusul menggunakan kuda putih kesayangannya.Bola mata Tom membesar. Dengan helaan nafas kasar, dia mengguyar rambutnya ke belakang.Hia! Hia! Hia!Berdasarkan keahlian berkuda Carlos, pria itu dapat menyusul Andrew. Akan tetapi, Andrew yang menyadari Carlos tengah mengejarnya pun sengaja menambah kecepatan kuda hingga dari kejauhan mereka akan tampak seperti pekuda saling mendahului.Di tengah kecepatan tinggi itu, kuda Carlos mendadak meringkik seraya mengangkat kedua kakinya ke depan.Carlos nyaris jatuh!Andrew menoleh dan tersenyum lebar penuh kemenangan. Sementara Carlos tidak bisa lanjut mengejar lantaran kudanya kehilangan kendali."Tenang, kawan! Tenang!" seru Carlos pada telinga kuda.Bukannya patuh, si kuda kian menjadi sampai Carlos pun berhasil terlempar; terguling-guling dari dataran yang lumayan tinggi lalu berhenti karena tubuhnya terhalang batu."Ah! Sialan!" p
Plak!!! Tamparan keras seketika mendarati pipi kanan Andrew, sekaligus membuatnya terbelalak lebar."Ayah! Kamu menamparku!"Tampak sesal di wajah Tom. Akan tetapi, dengan cepat dia tersenyum hambar. "Aku sangat membenci gadis itu, dan kamu malah menginginkannya.""Dia cantik! Apa aku salah suka padanya?" Kesal Andrew. "Lagi pula, dia dan Tuan muda tidak mungkin bisa bersatu.""Mereka tidak mungkin bisa bersatu, tetapi mereka telah mencuri start!" geram Tom.Andrew mengerutkan alis tak mengerti. "Apa yang Ayah maksud?""Pulanglah! Jangan buat kekacauan disini!" Usir Tom.Andrew bukan anak kecil yang mudah diatur lagi. Dia melompat turun dari punggung kudanya lantas memasuki gerbang kediaman seolah-olah itu rumahnya sendiri."Andrew!" teriak Tom, tak dihiraukan.Tom bimbang antara menyusul Andrew atau lanjut mencari Carlos. Namun, berhubung dia terikat pekerjaan dengan Yolanda, maka dia terpaksa melanjutkan pacuan kudanya menuju padang rumput.Di lain sisi, Andrew telah memasuki kedia
Tom pada akhirnya tidak bisa berbuat apapun. Pria itu lekas menaiki punggung kuda hitamnya kemudian berbalik pergi.Setelah kepergian Tom, barulah Andrew balik badan menghampiri Elinoure kembali.Dengan tatapan tulus berpadu kekaguman, Andrew menyentuh pipi Elinoure tapi segera gadis itu tepis.Wajah Elinoure dipalingkan, sembari mengingat perkataan Carlos untuk jauh-jauh dari Andrew, dia berucap, "Terima kasih sudah menolongku."Merasa Elinoure dua kali lebih cantik, Andrew tersenyum bertambah kagum.Mbek! Domba mengembik. Elinoure tersadar dan bergegas mengisyaratkan domba-dombanya berkumpul sebelum digiring kembali ke rumah.Dalam menggiring domba kembali, sesekali dia melirik pelan. Meski tidak melihat secara langsung tapi dia tahu Andrew masih di tempat, pun memusatkan perhatian padanya.Langkah Elinoure dipercepat, domba-dombanya pun digiring agar ikut bersicepat. Dan pada saat yang sama, Larissa muncul di tepi desa seraya melambaikan tangan."Kenapa lama sekali!" seru Larissa.