“GUYS, KALIAN SEMUA HARUS LIHAT INI!” teriak seorang mahasiswi berambut blonde hair dengan bola mata berwarna abu-abu terang miliknya.
Setelah mendengar teriakan dari salah satu anggota FBG. FBG adalah sebutan geng untuk empat mahasiswi tercantik dan berpengaruh di kampus ini. Geng ini terdiri dari Michalina, sebagai ketua geng, Sara, Tania, dan Tanisa.
Spontan saja seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang berada di ruang makan kampus menatap Sara dengan tatapan yang berbeda-beda.
“Ada apa Sara?” tanya seorang mahasiswa yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam dengan datar.
Dia sudah tahu kalau Sara dan geng-nya akan menjelek-jelekkan mahasiswi yang tidak mereka sukai. Hal itu tidak hanya terjadi sekali saja. Di musim dingin tahun lalu, Sara dan geng-nya sudah membuat seorang mahasiswi yang mereka benci, pindah kampus ke Berlin. Dan kemungkinan besar, hal itu akan terulang untuk saat ini.
Tidak akan ada yang berani menegur geng FBG. Tidak akan!. Mana ada yang berani menegur mereka. Karena investor terbesar di kampus ini adalah ayah dari ketua geng FBG.
“Coba kalian lihat dia. Apakah dia pantas berkuliah di kampus elit ini?” tanya Tania yang berada di sebelah Sara, sambil menatap remeh pada mahasiswi berpenampilan cupu yang ada di depan geng-nya.
Setelah Tania berucap sesperti itu, seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruang makan kampus hanya terdiam. Hingga akhirnya, tawa menggelegar dari sang ketua geng, Michalina.
Michalina meredakan tawanya dan mulai mengeluarkan suaranya. “Dia akan membayar darimana, hah? Tidak mungkin kalau orangtuanya setara dengan orang tua kita. Kalau setara, tidak mungkin dia berpenampilan seperti ini. Tidak modis! Cupu!” maki Michalina habis-habisan pada mahasiswi yang kini berada disampingnya.
“Ucapan Michalina logis kan?” tanya Tanisa dengan maksud agar ruang makan kampus ini tidak sunyi.
“Sangat logis!” sahut mahasiswi yang baru saja datang di ruang makan kampus.
“Atau mungkin saja, dia adalah anak mafia yang sedang menyamar?” celetuk mahasiswi lainnya.
Michalina tertawa dengan kerasnya. “Tidak mungkin dia anak mafia. Kalaupun dia anak mafia, seharusnya ada data tentangnya yang menjelaskan kalau dia merupakan anak dari orang yang berpengaruh di benua ini.”
“Semua tidak perlu bukti Michalina. Bisa saja dia ditugaskan oleh ayahnya untuk melakukan suatu hal di kampus kita,” ujar mahasiswa sambil meminum jus jeruknya.
“DIAM KAU CALLUM!” bentak Michalina dengan penuh amarah.
“Jika kalian semua tidak setuju dengan yang kukatakan, aku akan melaporkan semua ini pada ayahku dan ayahku akan menghentikan investasinya di kampus ini. Setelah itu, dia akan menjelek-jelekan nama kampus ini dan dalam hitungan detik, kampus ini akan lenyap!” ucap Michalina dengan penuh ancaman.
Dengan spontan seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruang makan ini menutup mulut mereka rapat-rapat. Jika Michalina sudah seperti ini, tidak akan ada lagi yang membantah ucapan Michalina. Apa yang diucapkan oleh Michalina bukan hanya sekedar ucapan diiringi ancaman belaka. Michalina tidak akan bermain-main dengan ucapannnya.
Tidak ada yang berani membantah Michalina. Bahkan pemilik dan ketua kampus ini tidak berani melakukan hal itu. Jika mereka sampai berani nembantah, maka kampus ini akan kehilangan reputasi sebagai sekolah elit terbaik di benua Amerika. Tidak hanya itu saja, bangunan megah yang sudah direnovasi puluhan kali pun akan rata dengan tanah.
Mahasiwi yang menjadi objek bullying dari geng FBG hanya bisa diam tak berkutik. Dia tidak merasa sedih, marah, atau takut. Dia merasa biasa saja. Karena inilah jalan yang harus dia lewati untuk mencapai dua impian yang sudah dia nantikan sejak lulus sekolah menengah atas.
Mahasiswi yang menjadi objek bullying bernama Shelley Valiere. Mahasiswi yang baru saja masuk ke kampus elit ini beberapa menit lalu, langsung mendapat bullying dari geng FBG. Shelley hanya bisa melihat sepatunya yang lusuh yang berada di atas lantai marmer yang memiliki harga fantastis. Sepatu ini sangat tidak layak untuk menginjak lantai marmer ini. Tetapi, itulah fungsi dari lantai. Yaitu diinjak dan memberikan kenyamanan beserta keindahan.
“Astaga Michalina. Padahal mahasiswi itu adalah mahasiswi baru di kampus ini. Apakah Michalina tidak memiliki attitude yang baik?” bisik Alana pada sahabatnya.
“Apa kau adalah mahasiswi baru di kampus ini, hah? Kau terlihat seperti mahasiswi polos yang tidak mengenal bagaimana busuknya Michalina. Percuma saja kalau dia memiliki harta berlimpah dan kecantikan, tapi tidak memiliki attitude,” balas Lizzie.
“Aku merasa ada yang berbeda dari mahasiswi itu,” ujar Alana dengan sangat pelan.
Lizzie hanya mengangguk karena dia pun memiliki pendapat yang sama seperti sahabatnya, Alana.
“Coba kalian bayangkan, darimana dia bisa membayar uang bulanan kampus ini? Apakah dia akan mencuri atau berhutang pada bank?” tanya Sara dengan maksud menghidupkan suasana agar semua orang yang ada di ruang makan kampus ini kembali mem-bully mahasiswi cupu yang ada di depannya.
Dan ternyata benar saja. Suasana untuk mem-bully mahasiswi baru kembali hidup. Para mahasiswi dan mahasiswa tertawa karena ucapannya barusan. Bahkan tidak jarang juga, ada yang menimpali dengan kalimat merendahkan pada mahasiswi baru.
Michalina tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya seluruh orang yang ada di ruang makan kampus ini mendukungnya untuk memberi kalimat merendahkan pada mahasiswi yang dia ketahui bernama Shelley.
“Bagus, dengan begini, aku bisa semakin menjatuhkan Shelley dihadapan para orang di kampus ini. dan yang terpenting, hubunganku dengan my love Edbert tidak akan terancam,” batin Michalina dibalik senyum kemenangannya.
Itulah alasan Michalina selalu membully mahasiswi baru yang dia anggap sebagai ancaman untuk hubungan asmaranya dengan pria yang sangat dia cintai, Edbert Bravey. Sudah 6 tahun dia mencintai Edbert, tetapi Edbert selalu menganggapnya tidak ada. Sejak usia 16 tahun, dia dan Edbert dipertemukan di satu sekolah menengah atas. Dan mulai saat itu, dia mulai mencintai Edbert.
Tanpa Michalina sadari, dari gerombolan para mahasiswa, ada seorang pria yang sedang menatapnya dengan datar sambil berdesekap dada.
“Edbert, kenapa kau bisa dicintai oleh wanita licik sepertinya?” tanya Brandon pada Edbert yang sedang memberikan tatapan tanpa ekspresi pada Michalina.
“Entahlah, apa aku yang terlalu banyak dosa atau memang sudah takdirku,” jawab Edbert dengan malas.
Sorot manik berwarna cokelat terang milik Edbert beralih pada mahasiswi berpenampilan cupu dan mengenakan kacamata yang menjadi obejk bullying dari Michalina dan geng-nya. Dia merasa ada yang menarik dari mahasiswi baru itu. Padahal kalau dilihat-lihat, mahasisiwi itu terlihat sangat sederhana. Dia yakin kalau mahasisiwi itu adalah anak dari kalangan atas. Kalau dilihat dari kulit mahasiswi itu, terlihat sangat jelas kalau kulit itu selalu dirawat. Kulit berwarna putih bersih itu, terlihat pas dengan rambut hitam kecokelatan yang diikat kuda olehnya.
“Dia lebih menarik daripada Michalina,” batin Edbert memuji mahasiswi yang sedang dibully habis-habisan oleh Michalina dan geng-nya.
“Edbert.” “Edbert.” “Edbert.” “Edbert!” pekik Brandon dengan pelan, tepat di telinga kanan Edbert. Edbert sedikit terlonjak kaget karena pekikan Brandon di telinganya. “Fuck Brandon!” maki Edbert dengan kesal. “Apa yang sedang kau lihat, hah? Mahasiswi itu?” tebak Brandon dengan sangat penasaran. Edbert hanya bisa diam dan menutup mulutnya rapat-rapat. Brandon tersenyum dengan sangat tipis. Dia tahu apa arti dari diamnya seorang Edbert Bravey. Brandon mengalihkan pandangannya pada mahasiswi cupu yang sedag di-bully oleh Michalina dan geng-nya. Ada perasaan kasihan pada mahasiswi cupu itu. Padahal, ini adalah hari pertama bagi mahasiswi itu untuk menuntut ilmu di kampus bisnis ini. Brandon menyentuh airpods yang terpasang ditelinganya. Dengan perasaan malu dan kesal, Brandon berucap pada orang diseberang sana. “Sara, cepatlah pergi ke rooftop. Aku tunggu di sana,” ujar Brandon pada Sara melalui airpods.
Shelley sedikit kaget karena tawaran yang diberiakan oleh Alana dan Lizzie. Dia tidak menyangka mereka akan dengan mudah menerimanya sebagai teman. Dan yang membuatnya lebih kaget lagi adalah saat Lizzie dan Alana menawarkannya untuk menjadi sahabat mereka.Shelley masih menimang-nimang ajakan kedua mahasiswi cantik yang ada di hadapan mereka. Tawaran yang mereka berikan sngatlah tulus. Dia bisa melihat ketulusan dari manik berwarna cokelat gelap milik Lizzie dan manik berwarna cokelat terang milik Alana.“Astaga, aku tidak menyangka mereka akan menawarkan hal ini padaku. Apa sebaiknya aku terima saja tawaran mereka? Tapi, apakah mungkin mereka serius menawarkan hal ini padaku,” batin Shelley dengan sangat bimbang.“Bagaimana Shelley?” tanya Lizzie dengan tatapan penuh harapan agar Shelley mau menerima ajakannya.“Terima lah Shelley. Kami memang tulus ingin berteman denganmu ... atau lebih baik lagi, kita bersahabat,” t
Lizzie yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam dan mengikuti segala yang dilakukan oleh pria tampan dihadapannya.“Alana dan ... Shelley, aku akan pergi bersama Lizzie. Kalian jaga diri baik-baik,” pesan pria itu sebelum pergi bersama Lizzie.“Dia kakak kembaranku,” ujar Alana setelah meneguk soda dingin miliknya.Shelley mengangguk kecil.Sambil membenarkan kacamata baca miliknya, Shelley mengucapkan pendapatnya tentang kembaran Alana. “Pantas saja dia menjadi idola kampus ketiga. Seharusnya kau bangga dengan kembaranmu, Alana,” pendapat Shelley.Alana memutar bola matanya malas. “Kuharap kau tidak keturalan virus dari Lizzie, Shelley. Huh, entah kenapa aku merasa tidak beruntung ketika mendapatkan kembaran seperti Adward.” Kesal Alana.“Tapi kenapa?”Jujur saja Shelley tidak paham dengan maksud Alana. Seharusnya Alana bangga dengan kakak kembarannya. Tetapi, kenapa in
Alana menatap pada dua cangkir coklat panas yang dia buat beberapa menit lalu. Alana mengambil satu cangkir berwarna kuning gelap yang ada di atas nampan kesayangannya. Dia memberikan cangkir itu pada Shelley dengan tersenyum.“Shelley, minumlah coklat panasmu,” ucap Alana.Shelley menerima cangkir itu dengan tersenyum, membalas senyuman Alana. “Terima kasih Alana.” Alana mengangguk.Setelah Shelley mengucapkan ucapan terima kasih padanya, Alana langsung mengambil satu cangkir yang tersisa dengan warna yang sama.“Hah, aku jadi teringat dengan Lizzie. Kira-kira, apa yang sdang dilakukan oleh Lizzie dan Adward, ya?” batin Alana bertanya-tanya.Coklat panas yang telah dibuatkan oleh Alana, mengaliri tenggorokan Shelley yang kering. Panas dari suhu coklat itu mulai menghangati tubuh Shelley yang sedikit kedinginan karena pakaian lengan pendek yang dia gunakan.Alana menaruh cangkir yang sudah tersisa
“Apa benar kau akan pindah ke negara lain?” tanya Shelley setelah Alana mengganti saluran TV. Alana menatap Shelley dan mengangguk. “Mungkin salah satu negara yang ada di benua Eropa,” ujar Alana dengan yakin. “Negara?” Alana menggeleng. “Entahlah, aku belum memikirkan negaranya.” “Sekarnag waktunya kau menceritakan tentang masalah hidupmu, Shelley,” pinta Alana. Shelley tersenyum tipis. “Aku tidak memiliki masalah apapun Alana. Kalaupun ada, sudah pasti aku akan berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.” Alana memayunkan bibirnya. “Kau harus berbagi masalah pribadimu denganku dan Lizzie. Kami pasti akan membantumu keluar dari masalah itu,” ucap Alana panjang lebar. “Terima kasih Alana, tapi tidak semua hal bisa diberitahukan pada orang lain. Benar kan?” Alana mengangguk. “Benar, tidak semua masalah bisa diberitahukan pada orang lain.” “Shelley, jangan bilang kalau kau dibully oleh gengnya Michalina itu bukanlah
Saat ini, Shelley sedang berada di trotoar depan gedung apartemen Alana. Pandangannya terus tertuju pada jalan raya yang sangat sepi karena cuaca yang lumayan dingin dan habis hujan. Shelley berniat untuk memesan taksi online, tetapi dia harus menghilangkan niatnya untuk memesan taksi online karena ponselnya yang tidak bisa digunakan untuk memesan taksi online.“Sabar Shee, kau tidak boleh mengeluh. Ini jalan satu-satunya agar impianmu terwujud,” batin Shelley sambil menyemangati dirinya sendiri.Shelley memutar sedikit tubuhnya dan melihat sebuah halte pemberhentian bus yang ada dibelakang tubuhnya. Dia melangkahkan kakinya dengan perlahan. Shelley menyadari kalau kedua kakinya sudah menggigil karena cuaca yang lumayan dingin. Kalau saja dia memakai celana yang tadi terkena kuah kari dan saus, mungkin kakinya tidak akan semenggigil ini.Shelley mendudukan tubuhnya dengan perlahan. Tidak lupa dia merapatkan kedua kakinya. Shelley berharap, dengan beg
“Kau ...”“APA YANG KAU LAKUKAN EDBERT?!” teriak wanita itu dengan mata melotot.Edbert melerai pelukan hangatnya dengan Shelley. Edbert menangkup kedua pipi Shelley dengan kedua telapak tangannya yang hangat. Edbert pun tak lupa memberikan senyum menenangkannya pada Shelley.Tentu saja hal itu membuat jantung Shelley berdegup kencang. Shelley mulai merasa ada kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya."Tuhan, kenapa aku merasakan hal ini?" batin Shelley.Ibu jari Edbert mengusap jejak air mata yang masih basah di salah satu pipi Shelley."Kau tetap di mobil saja. Biar aku menangani wanita gila itu," ucap Edbert dengan senyum yang tak luntur.Shelley yang gugup, hanya sanggup mengangguk kaku. Shelley merasa, suaranya tersekat di tenggorokannya. Oleh karena itu, Shelley hanya bisa mengangguk, meskipun mengangguk kaku.Edbert menjauhkan kedua telapak tangannya dari Shelley. Edbert me
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s