Share

Si Gendut Penakluk Bos
Si Gendut Penakluk Bos
Penulis: XianLie

Fakta Menyakitkan

"Loh, Mas Bram sudah pulang? Tumben … jam segini?"

Falisha bermonolog sendiri sambil memerhatikan mobil putih yang terparkir manis di tepi tembok, di samping pagar rumahnya.

Wanita bernama lengkap Falisha Tahira Tirta itu terang saja bertanya-tanya. Hari ini masih terhitung hari kerja sang Suami, tetapi tak biasanya pria itu pulang sebelum lewat petang. Pagar besi yang tidak tertutup juga turut membuat wanita bertubuh tambun itu langsung mengerutkan keningnya.

Falisha yakin sekali jika gerbang itu dalam keadaan tertutup sebelum ia tinggalkan untuk menjemput putrinya dari sekolah.

“Tadi perasaan sudah kututup kok!”

Tanpa mematikan mesin motor, netra kecokelatan wanita itu sudah lebih dulu beredar mencari tahu. Falisha tentu tidak akan salah mengenali, sebab nomor kendaraan mobil yang merupakan tanggal kelahiran putri mereka tertera nyata di sana.

Di belakang Falisha, ada seorang gadis kecil berpotongan rambut bob. Sang bocah ikut memanjangkan lehernya mencari tahu dalam diam dan keheranan … mengapa perjalanan mereka terhenti?

Falisha berusaha mengabaikan keanehan yang menggelayuti hatinya, dan memutuskan untuk meneruskan laju kendaraan hingga motornya berhasil terparkir di bagian halaman rumah.

Samar, telinga Falisha menangkap suara asing yang berpadu dengan suara suaminya yang berasal dari dalam rumah. Kecurigaan dengan opini-opini negatif serta merta merebak di pikiran Falisha. Dengan hati-hati, wanita gemuk ini menurunkan anaknya lebih dulu dari motor, sebelum menyelidiki sendiri dari mana sumber suara meresahkan itu.

“Ameera … masuk kamar … bersih-bersih … istirahat … nanti Mama panggil buat makan siang …,” ucap Falisha dengan lambat dan pelan, disertai pula dengan tangan yang bergerak-gerak menjabarkan bahasa isyarat yang sudah dihafalkan olehnya.

Ameera, bocah penyandang tuna rungu itu pun langsung menganggukkan kepala sebagai responnya.

Falisha tersenyum kecil untuk Ameera. Dia lantas membuka pintu yang ternyata sudah dalam kondisi tak terkunci. Jantung Falisha mencelos. Debarannya pun semakin kencang saat pintu itu terbuka lebar.

‘Astaga! Suara itu ….’

Suara desahan seorang wanita yang begitu intim semakin jelas terdengar, membuatnya bergidik dan malu sendiri. Namun, Falisha tidak menghilangkan senyum di wajahnya sampai Ameera sudah aman berada di kamarnya. Setelahnya, dia melangkah menuju sumber suara.

Bukan Falisha ingin mensyukuri dengan kondisi Ameera yang tidak mampu mendengar ini, tapi untuk sekarang, ia menghaturkan banyak terima kasih atas keistimewaan yang diberikan Tuhan pada putrinya.

***

Di dalam kamar yang sekarang telah menjadi tujuan langkah Falisha, tengah bergumul dengan panasnya dua orang anak manusia tanpa peduli keadaan sekitar.

"Arg … Lebih cepat lagi, Mas!" pinta seorang wanita dengan manja dan napas yang kian memburu. Tak pelak, perintah kecil berbalut hasrat tebal itu membuat pria yang tengah mengukungnya langsung menurut.

"Kamu suka ini … hmm?" tanya pria itu seraya bergerak semakin intens. Anggukan kepala diberikan oleh si wanita dengan disertai desahan yang begitu sensualnya.

Bramantyo Satya, pria yang tengah asik menggali kenikmatan itu sama sekali lupa diri. Lupa statusnya sebagai seorang suami, juga statusnya sebagai seorang ayah karena hasrat yang sedang membara.

“Hera …!" erang Bramantyo. Pergerakan pria itu begitu konstan, ia tak membiarkan wanitanya beristirahat barang sejenak.

Namun, tampaknya semesta tidak terlalu bersahabat. Saat gairahnya sedang di puncak, telinga pria itu sudah lebih dulu menangkap suara-suara lain yang menyusup di sela-sela desahan yang sedang dinikmatinya.

"Sial!" maki Bramantyo spontan.

Seketika dirinya dilema … apakah akan menyudahi pergulatan ini ataukah meneruskan hingga hasratnya benar-benar tuntas.

Namun, wanita yang disebut dengan nama Hera itu justru mengartikan makian Bramantyo dengan makna yang berbeda. Bukannya berhenti, Hera malah semakin bergerak liar sehingga mampu mengalihkan kembali perhatian Bramantyo kepadanya lagi sepenuhnya.

Falisha sudah berdiri tepat di depan sebuah kamar, dekat dengan ruang tamu di rumah berdesain minimalis itu. Wanita ini tidak langsung masuk, meski sudah menyadari ruangan itulah yang menjadi sumber suara desahan memalukan itu.

Tangan Falisha gemetar, jantungnya berdebar cepat, keringat sebiji jagung sudah mengucur dari pori-porinya. Setelah menarik napas dalam-dalam, detik berikutnya, Falisha memutar handle pintu yang ternyata tidak terkunci itu dengan kasar.

“Bangs*t!!” pekik Falisha dengan suara keras, bergemuruh hatinya karena pemandangan di depan mata, “Sedang apa kalian!!” sambungnya lantang penuh dengan amarah yang menguasai.

Bramantyo sendiri tidak banyak bereaksi layaknya orang normal yang kepergok melakukan kesalahan. Bukannya gelagapan karena perbuatan tidak senonoh yang baru ia lakukan, Bramantyo justru memilih mengabaikan Falisha yang masih bergeming di ambang pintu. Pria itu bahkan menyempatkan diri memberikan kecupan terlebih dahulu pada Hera yang masih berada di bawahnya, sebelum kemudian memutar kepala menghadap sang istri sekilas.

Tidak cukup sampai di sana, Bramantyo seolah ingin menunjukkan keberpihakannya dengan tetap berada di dekat Hera. Dipeluknya tubuh polos berpeluh itu terang-terangan. Begitu pula dengan pasangan selingkuhnya selama lebih setahun ini yang tidak memperlihatkan rasa malu sedikitpun. Wanita itu malah lebih merapat guna membalas pelukan prianya.

Falisha ingin sekali mengamuk. Pakaian berserakkan di lantai, suami dan selingkuhannya masih tenang di singgasana peraduan, tapi anehnya … tubuhnya tidak bisa digerakkan. Sumpah serapah yang semula ingin ia lontarkan menggantung di ujung lidah, saat Bramantyo mengangkat sebelah tangan mengkode istrinya itu agar membiarkannya untuk lebih dulu bicara.

“Ini Hera … kamu pasti tahu dia, ‘kan?”

Kecupan kembali dilabuhkan Bramantyo untuk Hera di hadapan Falisha dengan santai. Tangan Falisha yang masih berada di pegangan pintu tanpa sadar mencengkram benda itu dengan sangat kuat. Tentu saja ia mengenal wanita bernama lengkap Hera Iswari ini. Pertanyaan yang dilontarkan Bramantyo menurut Falisha terkesan sangat bodoh.

Hera, yang baru berumur dua puluh tahun itu tidak lain dan tidak bukan adalah sepupu jauh dari Falisha. Setahun belakangan, wanita itu magang sebagai asisten Bramantyo di kantor.

“Apa maksud kalian?” tanya Falisha usai lepas dari rasa keterkejutannya,

Sumpah demi apapun, Falisha tidak pernah menyangka pria yang berprofesi sebagai manager operasional sebuah perusahaan itu akan tega melakukan semua ini. Padahal selama ini, pernikahan mereka lancar-lancar saja tanpa ada masalah yang berarti. Saat orang lain meributkan soal anak, mereka bahkan sudah dikaruniai seorang putri cantik. Namun kini, kenyataan menampar Falisha dengan begitu kerasnya.

Tanpa merasa berdosa, tanpa merasa bersalah telah mengkhianati istrinya selama ini, Bramantyo pun melanjutkan bicara.

“Kamu pilih … mau dipoligami atau kita cerai?”

Falisha termangu, ia menatap lekat Bramantyo usai pria itu mengucapkan kalimat sakral.

Cerai, kata itu tidak pernah sekalipun terlontarkan selama hampir delapan tahun pernikahan mereka. Tak ada raut kesediha, yang ada justru Bramantyo tersenyum tipis seakan tidak melakukan kesalahan apapun pada Falisha.

Wajah Falisha yang tadinya tegang berselimut amarah, dalam hitungan detik berubah jadi datar. Tatapannya tetap tertuju pada pasangan selingkuh di depan sana. Topeng berwajah datar itu terus ia pertahankan, meski cengkeramannya di handle pintu mengatakan yang sebaliknya.

“Kamu … kenapa tega melakukan semua ini, Mas?”

####

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Illa Darrel
sepupu apaan tuh yg nikam sodara dr blkng . .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status