"Loh, Mas Bram sudah pulang? Tumben … jam segini?"
Falisha bermonolog sendiri sambil memerhatikan mobil putih yang terparkir manis di tepi tembok, di samping pagar rumahnya.
Wanita bernama lengkap Falisha Tahira Tirta itu terang saja bertanya-tanya. Hari ini masih terhitung hari kerja sang Suami, tetapi tak biasanya pria itu pulang sebelum lewat petang. Pagar besi yang tidak tertutup juga turut membuat wanita bertubuh tambun itu langsung mengerutkan keningnya.Falisha yakin sekali jika gerbang itu dalam keadaan tertutup sebelum ia tinggalkan untuk menjemput putrinya dari sekolah.“Tadi perasaan sudah kututup kok!”
Tanpa mematikan mesin motor, netra kecokelatan wanita itu sudah lebih dulu beredar mencari tahu. Falisha tentu tidak akan salah mengenali, sebab nomor kendaraan mobil yang merupakan tanggal kelahiran putri mereka tertera nyata di sana.
Di belakang Falisha, ada seorang gadis kecil berpotongan rambut bob. Sang bocah ikut memanjangkan lehernya mencari tahu dalam diam dan keheranan … mengapa perjalanan mereka terhenti?Falisha berusaha mengabaikan keanehan yang menggelayuti hatinya, dan memutuskan untuk meneruskan laju kendaraan hingga motornya berhasil terparkir di bagian halaman rumah.
Samar, telinga Falisha menangkap suara asing yang berpadu dengan suara suaminya yang berasal dari dalam rumah. Kecurigaan dengan opini-opini negatif serta merta merebak di pikiran Falisha. Dengan hati-hati, wanita gemuk ini menurunkan anaknya lebih dulu dari motor, sebelum menyelidiki sendiri dari mana sumber suara meresahkan itu.“Ameera … masuk kamar … bersih-bersih … istirahat … nanti Mama panggil buat makan siang …,” ucap Falisha dengan lambat dan pelan, disertai pula dengan tangan yang bergerak-gerak menjabarkan bahasa isyarat yang sudah dihafalkan olehnya.Ameera, bocah penyandang tuna rungu itu pun langsung menganggukkan kepala sebagai responnya.
Falisha tersenyum kecil untuk Ameera. Dia lantas membuka pintu yang ternyata sudah dalam kondisi tak terkunci. Jantung Falisha mencelos. Debarannya pun semakin kencang saat pintu itu terbuka lebar.
‘Astaga! Suara itu ….’
Suara desahan seorang wanita yang begitu intim semakin jelas terdengar, membuatnya bergidik dan malu sendiri. Namun, Falisha tidak menghilangkan senyum di wajahnya sampai Ameera sudah aman berada di kamarnya. Setelahnya, dia melangkah menuju sumber suara.
Bukan Falisha ingin mensyukuri dengan kondisi Ameera yang tidak mampu mendengar ini, tapi untuk sekarang, ia menghaturkan banyak terima kasih atas keistimewaan yang diberikan Tuhan pada putrinya.
***
Di dalam kamar yang sekarang telah menjadi tujuan langkah Falisha, tengah bergumul dengan panasnya dua orang anak manusia tanpa peduli keadaan sekitar.
"Arg … Lebih cepat lagi, Mas!" pinta seorang wanita dengan manja dan napas yang kian memburu. Tak pelak, perintah kecil berbalut hasrat tebal itu membuat pria yang tengah mengukungnya langsung menurut."Kamu suka ini … hmm?" tanya pria itu seraya bergerak semakin intens. Anggukan kepala diberikan oleh si wanita dengan disertai desahan yang begitu sensualnya.Bramantyo Satya, pria yang tengah asik menggali kenikmatan itu sama sekali lupa diri. Lupa statusnya sebagai seorang suami, juga statusnya sebagai seorang ayah karena hasrat yang sedang membara.
“Hera …!" erang Bramantyo. Pergerakan pria itu begitu konstan, ia tak membiarkan wanitanya beristirahat barang sejenak.
Namun, tampaknya semesta tidak terlalu bersahabat. Saat gairahnya sedang di puncak, telinga pria itu sudah lebih dulu menangkap suara-suara lain yang menyusup di sela-sela desahan yang sedang dinikmatinya.
"Sial!" maki Bramantyo spontan.Seketika dirinya dilema … apakah akan menyudahi pergulatan ini ataukah meneruskan hingga hasratnya benar-benar tuntas.
Namun, wanita yang disebut dengan nama Hera itu justru mengartikan makian Bramantyo dengan makna yang berbeda. Bukannya berhenti, Hera malah semakin bergerak liar sehingga mampu mengalihkan kembali perhatian Bramantyo kepadanya lagi sepenuhnya.
Falisha sudah berdiri tepat di depan sebuah kamar, dekat dengan ruang tamu di rumah berdesain minimalis itu. Wanita ini tidak langsung masuk, meski sudah menyadari ruangan itulah yang menjadi sumber suara desahan memalukan itu.Tangan Falisha gemetar, jantungnya berdebar cepat, keringat sebiji jagung sudah mengucur dari pori-porinya. Setelah menarik napas dalam-dalam, detik berikutnya, Falisha memutar handle pintu yang ternyata tidak terkunci itu dengan kasar.
“Bangs*t!!” pekik Falisha dengan suara keras, bergemuruh hatinya karena pemandangan di depan mata, “Sedang apa kalian!!” sambungnya lantang penuh dengan amarah yang menguasai.
Bramantyo sendiri tidak banyak bereaksi layaknya orang normal yang kepergok melakukan kesalahan. Bukannya gelagapan karena perbuatan tidak senonoh yang baru ia lakukan, Bramantyo justru memilih mengabaikan Falisha yang masih bergeming di ambang pintu. Pria itu bahkan menyempatkan diri memberikan kecupan terlebih dahulu pada Hera yang masih berada di bawahnya, sebelum kemudian memutar kepala menghadap sang istri sekilas.Tidak cukup sampai di sana, Bramantyo seolah ingin menunjukkan keberpihakannya dengan tetap berada di dekat Hera. Dipeluknya tubuh polos berpeluh itu terang-terangan. Begitu pula dengan pasangan selingkuhnya selama lebih setahun ini yang tidak memperlihatkan rasa malu sedikitpun. Wanita itu malah lebih merapat guna membalas pelukan prianya.Falisha ingin sekali mengamuk. Pakaian berserakkan di lantai, suami dan selingkuhannya masih tenang di singgasana peraduan, tapi anehnya … tubuhnya tidak bisa digerakkan. Sumpah serapah yang semula ingin ia lontarkan menggantung di ujung lidah, saat Bramantyo mengangkat sebelah tangan mengkode istrinya itu agar membiarkannya untuk lebih dulu bicara.“Ini Hera … kamu pasti tahu dia, ‘kan?”Kecupan kembali dilabuhkan Bramantyo untuk Hera di hadapan Falisha dengan santai. Tangan Falisha yang masih berada di pegangan pintu tanpa sadar mencengkram benda itu dengan sangat kuat. Tentu saja ia mengenal wanita bernama lengkap Hera Iswari ini. Pertanyaan yang dilontarkan Bramantyo menurut Falisha terkesan sangat bodoh.
Hera, yang baru berumur dua puluh tahun itu tidak lain dan tidak bukan adalah sepupu jauh dari Falisha. Setahun belakangan, wanita itu magang sebagai asisten Bramantyo di kantor.“Apa maksud kalian?” tanya Falisha usai lepas dari rasa keterkejutannya,
Sumpah demi apapun, Falisha tidak pernah menyangka pria yang berprofesi sebagai manager operasional sebuah perusahaan itu akan tega melakukan semua ini. Padahal selama ini, pernikahan mereka lancar-lancar saja tanpa ada masalah yang berarti. Saat orang lain meributkan soal anak, mereka bahkan sudah dikaruniai seorang putri cantik. Namun kini, kenyataan menampar Falisha dengan begitu kerasnya.Tanpa merasa berdosa, tanpa merasa bersalah telah mengkhianati istrinya selama ini, Bramantyo pun melanjutkan bicara.“Kamu pilih … mau dipoligami atau kita cerai?”Falisha termangu, ia menatap lekat Bramantyo usai pria itu mengucapkan kalimat sakral.
Cerai, kata itu tidak pernah sekalipun terlontarkan selama hampir delapan tahun pernikahan mereka. Tak ada raut kesediha, yang ada justru Bramantyo tersenyum tipis seakan tidak melakukan kesalahan apapun pada Falisha.
Wajah Falisha yang tadinya tegang berselimut amarah, dalam hitungan detik berubah jadi datar. Tatapannya tetap tertuju pada pasangan selingkuh di depan sana. Topeng berwajah datar itu terus ia pertahankan, meski cengkeramannya di handle pintu mengatakan yang sebaliknya.
“Kamu … kenapa tega melakukan semua ini, Mas?”
####
"Kamu ... kenapa tega melakukan semua ini, Mas?"Pertanyaan ini memang pertanyaan bodoh, tapi Falisha tetap mengutarakannya demi mendapatkan kepastian langsung dari pria yang telah menikahinya bertahun-tahun ini. Bukti pengkhianatan pria ini, aksi yang tidak diliputi oleh perasaan bersalah sedikitpun. Wanita itu baru menyadari, semua yang terjadi hari ini adalah pertanda bahwa sejatinya, bahteranya bersama Bramantyo sudah kandas … bahkan jauh sebelum hari ini.Hera yang masih berada di dalam dekapan berpeluh Bramantyo jelas satu frekuensi dengan pria itu. Ia tidak menutupi tawa geli yang meluncur bebas dari bibirnya karena baru saja mendengar lelucon bodoh dari Falisha.“Kamu serius nanya begitu, Lisha?” Bramantyo berujar dengan nada mencela, “Kamu nggak ngaca lihat dirimu sendiri seperti apa?”Pandangan mata jijik Bramantyo terang-terangan ia tujukan sepenuhnya untuk Falisha, “Gemuknya kebangetan, kucel, kusam, bau juga!” sambungnya melemparkan hinaan pada Falisha.“Sudah kayak babi
"Apa maksudmu, Mas?!"Mendengus Bramantyo mendengar pertanyaan itu, “Mobil, tanah, termasuk rumah ini … semua atas namaku!” sanggah Bramantyo. “Kamu atau anak tulimu itu tidak berhak sepeser pun atas hasil kerja kerasku!” sambungnya ketus tanpa menurunkan tangannya yang masih berada di pinggang.Membesar mata Falisha akan apa yang baru saja dilontarkan oleh Bramantyo.'Segala sesuatunya pasti telah disusun oleh pria itu matang-matang,' pikir Falisha. Falisha menggelengkan kepalanya, ia tak habis pikir.“Tega kamu, Mas, mengambil hak anakmu sendiri?” sindir Falisha dengan wajah pias dan basahnya.Sayang, pria yang masih menghadapnya dengan arogan itu tak peduli. Atas hasutan Hera, dengan dalih peduli padanya, Bramantyo mulai berlaku menyimpang dari segala kesepakatan pra nikah yang pernah ia sepakati bersama Falisha, termasuk dalam urusan harta.“Kamu boleh tidak menafkahiku setelah ini, Mas! Aku tidak akan mempermasalahkannya!”“Tentu tidak! Untuk apa Aku melakukannya!” sela Bramantyo
“Argh!”Falisha mengerang perlahan, ketika merasakan kepalanya berdenyut nyeri saat ia membuka matanya.“Kamu sudah sadar?”Pertanyaan dasar ini meluncur dari bibir pria yang pertama dilihat Falisha dan ia yakin pria itu bukanlah dokter ditilik dari jas hitam tidak terkancing yang membalut tubuhnya.Falisha tidak menjawab, pening yang mendera kian kuat membuatnya spontan mengangkat tangan untuk memijat pangkal matanya.“Falisha? Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit atau gimana?” tanya pria itu lagi dengan langkah kaki yang kontan dipercepat karena reaksi yang ditunjukkan Falisha, “Rio panggil dokter!” titahnya kemudian sambil menekan tombol yang berada di samping brankar.Pijatan sederhana dengan jemari gempal Falisha sebenarnya tidak terlalu banyak membantu tapi pening itu sudah tidak lagi ia pedulikan sebab pria yang kini beridir tepat di samping brangkar telah mengalihkan perhatian sepenuhnya.Falisha menurunkan tangannya, detik itu juga ia mendapati ada sepasang netra biru yang men
Matteo tidak sempat menjawab atau tidak ingin menjawab, Falisha sendiri tidak jelas sebab ketika pria itu akan buka mulut pintu kamar rawat inap ini membuka setelah sebelumnya terdengar ketukan ringan.Baik Falisha ataupun juga Matteo, perhatian keduanya sama-sama teralihkan bersamaan akan kedatangan seorang pria berjas putih.Pria bertubuh kurus yang di awal sempat Falisha lihat mengikuti Matteo kini mengekor di belakang dokter itu. Falisha yakin dia tidak salah lihat meski hanya sesaat tadi.“Halo, Ibu!” sapa sang Dokter dengan ramah tanpa menjeda langkahnya, “Saya Randy, dokter visit Ibu hari ini. Ada keluhan yang dirasa mengganggu, Bu?” tanyanya ketika sudah berada di samping brankar Falisha, netranya tanpa sungkan berkeliaran memerhatikan kondisi fisik wanita itu.Senyum kecil diulas Falisha atas perhatian yang diberikan oleh dokter jaga itu, “Saya merasa baik-baik saja, Dok … masih sedikit pusing, juga rasanya sakit di sana sini, tapi masih bisa Saya tahan,” sahut Falisha jujur,
Termangu Falisha dengan mulut membisu saat ini, dia duduk di kursi besi dengan mata yang menatap kosong pintu ganda berwarna putih di hadapannya.Kepala disandarkan Falisha pada tembok tanpa peduli akan penampilannya, pusat perhatian wanita ini hanya pada anaknya yang tengah menjalani operasi.Tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir Falisha sejak kedatangannya yang ditemani Matteo kemari, ia seolah bisu karena dirundung perasaan bersalah.Ya, jelas Falisha menyalahkan dirinya sendiri dalam hal ini. Falisha merasa sumber permasalahan yang sebenarnya adalah berasal dari dirinya.Dalam keterdiamannya, Falisha memutar ulang untuk kesekian kali di kepalanya apa yang Bramantyo lakukan juga ucapkan kepadanya. Pengulangan yang bukan disengaja itu kini seolah berputar dan menjadi pembenaran semu.“Sha …,” tegur Matteo pelan, dia tidak tahan lagi dengan keterdiaman Falisha yang seperti orang kehilangan jiwanya itu.Memang, di dalam peristiwa kecelakaan ini Matteo juga memiliki kesal
"Lisha!!"Merasa dipanggil namanya membuat Falisha menoleh ke arah sumber suara, demikian pula dengan Matteo yang penasaran juga ikut memalingkan wajah dan mengabaikan dering ponselnya sebentar untuk memenuhi keingintahuan.Adalah seorang wanita muda berambut diikat kuncir kuda dan sedang berlari kecil menghampiri posisi Falisha.Falisha mengembuskan napas panjang tapi tetap mengulas senyum di wajahnya untuk wanita itu dan tentu saja ia mengenalinya sebab yang datang ini merupakan salah satu dari seorang sahabat dekatnya, Lina Fayyola Wijaya.Wanita yang bersahabat dengan Falisha sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas itu terlihat sekali penuh dengan urgensi, ia bahkan melewati Matteo begitu saja tanpa meliriknya sedikitpun.Belum sempat ada sepatah kat
“Siapa kerabat pasien?”Tidak perlu ditanya dua kali dan tanpa mengindahkan rasa sakit yang mencuat di sekujur tubuhnya Falisha langsung beranjak dari posisinya detik itu juga.Apa yang dilakukan oleh Falisha kontan ditiru oleh Lina dan juga Matteo, keduanya tanpa kata bergerak mendekat mengikuti wanita bertubuh tambun itu dari belakang.“Bagaimana keadaan anak Saya, Dok?” tanya Falisha to the points pada seorang pria paruh baya bersneli putih, kecemasan tampak nyata karena tidak lagi mampu tertutupi.Sang Dokter menerbitkan senyum tipis untuk Falisha, “Operasinya berjalan dengan baik dan lancar, tidak ada masalah lagi pada patahan tulang anak Ibu,” ucapnya penuh keyakinan, “anak Ibu sekarang masih belum sadar karena pengaruh biu
“Lisha!”Panggilan ini membuat Falisha menoleh untuk kesekian kalinya dan kontan tersenyum karena sosok wanita yang merupakan sahabat dekatnya.“Ririn!” ucap Falisha sumringah, senang dengan kehadiran wanita yang bernama lengkap Riana Cantika Guzalim, yang biasa ia panggil dengan nama Ririn.Riana melebarkan langkah, dia menyongsong Falisha dengan kedua tangannya yang merentang lalu memeluk hangat sang Sahabat.“Sorry, Aku telat. Si Kulkas itu baru ngebolehin Aku pergi keluar setelah kerjaan selesai semua, makanya nggak bisa datang cepet begitu terima kabar dari Lina,” kata Riana dengan rasa bersalahnya yang cukup besar, “gimana Ameera, Sha?” tanyanya kemudian saat pelukan mereka terurai.Falisha menerbitkan senyum untuk dua orang wanita terdekatnya itu, dia merasa senang karena di saat seperti ini kawan-kawannya selalu ada menemani.“Patah tulang … operasinya berhasil kok. Ini masih dalam pengaruh bius, Meera akan sadar dalam beberapa jam lagi,” balas Falisha sendu, bening berkumpul