Share

Kekecewaan Falisha

"Kamu ... kenapa tega melakukan semua ini, Mas?"

Pertanyaan ini memang pertanyaan bodoh, tapi Falisha tetap mengutarakannya demi mendapatkan kepastian langsung dari pria yang telah menikahinya bertahun-tahun ini. Bukti pengkhianatan pria ini, aksi yang tidak diliputi oleh perasaan bersalah sedikitpun. Wanita itu baru menyadari,  semua yang terjadi hari ini adalah pertanda bahwa sejatinya, bahteranya bersama Bramantyo sudah kandas … bahkan jauh sebelum hari ini.

Hera yang masih berada di dalam dekapan berpeluh Bramantyo jelas satu frekuensi dengan pria itu. Ia tidak menutupi tawa geli yang meluncur bebas dari bibirnya karena baru saja mendengar lelucon bodoh dari Falisha.

“Kamu serius nanya begitu, Lisha?” Bramantyo berujar dengan nada mencela, “Kamu nggak ngaca lihat dirimu sendiri seperti apa?”

Pandangan mata jijik Bramantyo terang-terangan ia tujukan sepenuhnya untuk Falisha, “Gemuknya kebangetan, kucel, kusam, bau juga!” sambungnya melemparkan hinaan pada Falisha.

“Sudah kayak babi dipakein baju!” ucap Hera menambahkan, diikuti dengan kekehan ringan dan sorot mata mengejek.

Parahnya, seorang Bramantyo Satya sama sekali tidak tersinggung dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Hera. Padahal, sangat jelas sekali hinaan dengan perumpamaan binatang Hera berikan untuk wanita yang masih menyandang status sebagai istri sahnya. Pria itu justru mengangguk setuju.

Kadung kepergok, membuat Bramantyo merasa tidak lagi perlu repot-repot menyembunyikan isi hati yang sesungguhnya sekarang. Dia merasa sudah lebih dari cukup berkorban perasaan dan materi kepada Falisha.

Bramantyo menegakkan diri tanpa melepas tubuh polos Hera yang masih bergelayut manja, “Kamu menjijikkan dengan tubuh besar begitu! Lemak di mana-mana, nggak bisa ngurus diri!” katanya sungguh-sungguh.

Seolah belum puas, pria yang masih menyandang status suami dari Falisha itu kembali melanjutkan, “Tahunya minta uang terus buat ini … itu. Belum lagi anakmu yang tuli itu! Nyusahin! Ibu sama anak, sama aja! Dua-duanya bikin jijik!” 

Falisha semakin bergeming tidak mampu bicara karena kata-kata yang diucapkan dengan gamblangnya oleh Bramantyo. Rasanya begitu menyakitkan hingga membuat hati Falisha tidak hanya patah tapi hancur berkeping-keping saat pria itu menghina putri kandungnya sendiri.

“Mas!” banyak kata yang ingin dikeluarkan Falisha tapi hanya panggilan itu yang terlontar sebagai bentuk protesnya.

Siapapun boleh menghinanya. Namun, tidak dengan penghinaan yang diarahkan untuk putri semata wayangnya. Jika orang lain yang melakukan, Falisha mungkin bisa memaklumi, tapi tidak dengan kalimat kasar Bramantyo yang notaben ayah dari anaknya sendiri.

Bramantyo tak mengindahkan protes yang dilakukan sang istri.

“Lihat dong, Hera! Cantik, tinggi, langsing! Bukan raksasa gemuk kayak Kamu!” ujar Bramantyo membandingkan Hera denga Falisha. Wanita yang ada di sisinya itu sontak tersenyum jumawa, merasa menang karena terus dibela. “Aku juga yakin Hera bisa memberikanku keturunan yang lebih baik daripada kamu. Anakku dan Hera nggak akan tuli kayak Ameera!”

“Cukup, Mas!”

Penghinaan demi penghinaan yang diterima olehnya dan Ameera dari orang terdekat mereka sukses membuat pertahanan diri Falisha runtuh. Kekecewaan dan amarah berkumpul di dadanya, lantas bermanifes menjadi tetesan bening yang tumpah bahkan sebelum Falisha sempat mengedipkan mata.

Falisha benar-benar tidak menyangka jika suaminya ini akan berpikiran seperti itu terhadap putri mereka. Padahal pria itu tahu dengan sangat jelas apa yang sebenarnya terjadi pada Ameera. Untuk itu, Falisha tidak lagi mampu membendung air matanya.

“Untuk apa menangis! Kamu mau menyalahkanku?” sergah Bramantyo dengan nada meninggi, tidak senang dia melihat air mata itu, yang ia nilai menyudutkannya, “Salahkan dirimu sendiri! Kamulah sumber penyebab semua ini!” sambungnya dengan tangan terangkat. Jemarinya menuding langsung dan dia bertameng dalam kalimat mengkambinghitamkan Falisha.

“Pasangan hina!” Bergetar Falisha dengan segala rasa yang bercampur aduk atas apa yang dituduhkan padanya.

“Pergi! Pergi kalian berdua dari rumah anakku!” ucap Falisha serak sambil menghapus jejak basah di wajahnya asal-asalan. Setengah mati ia memaksa dirinya untuk menggerakkan kaki agar tidak lagi melihat wajah-wajah yang telah menyakiti hatinya. Falisha berlalu, kekecewaannya kelewat besar dibanding amarah karena penghianatan di depan mata, juga tuduhan tidak berdasar Bramantyo.

Sedetik penuh Bramantyo bungkam atas kalimat pengusiran yang baru digaungkan, tapi detik berikutnya, wajahnya memerah menahan gejolak amarah akibat sikap lancang Falisha.

“Berani kamu, Falisha!!”

Gelegar suara Bramantyo sontak langsung memenuhi ruangan. Bramantyo mengurai dekapannya dengan Hera cepat-cepat, tanpa malu tubuh polosnya terekspos, ia langsung menyambar celana dan menyusul Falisha yang telah berlalu.

Hera sendiri tampak santai dengan apa yang tengah berlangsung karena ia tahu jika Bramantyo akan membelanya. Untuk itu, dengan gontainya ia melangkah ke arah kamar mandi yang berada di sudut ruangan guna membersihkan tubuhnya.

“FALISHA!! BERHENTI!” teriak Bramantyo dengan suara besar begitu keluar dari kamar. Tidak sulit baginya untuk menemukan sosok tambun Falisha yang kini sedang menangis tergugu di ruang tamu rumah mereka.

“BERANI KAMU YA!!” Bukannya iba, bukannya malu atas perbuatannya, Bramantyo justru semakin menjadi-jadi.

“Tidak usah memilih lagi!” sambung pria berkumis tipis itu tegas, “Mulai hari ini, aku ceraikan kamu, dan kamu yang harus pergi dari rumah ini!!”

Tidak hanya sekali tapi total telah tiga kali Bramantyo mengucapkan kata cerai dalam beberapa menit terakhir ini. Kalimat itu berhasil mencabik-cabik rumah tangga yang telah dibina sekian lama dengan begitu mudahnya.

Tanpa repot menyeka jejak basah di wajahnya, Falisha melayangkan pandangan mata tidak percaya pada Bramantyo yang hanya berbalut celana pendek dan sambil berkacak pinggang itu.

“Apa, Mas?”

Seakan tidak puas, Bramantyo langsung buka suara begitu tatapannya bersirobok dengan Falisha.

“Kamu aku ceraikan, Falisha Tahira Tirta. Pergi kamu, dan bawa anak tulimu itu untuk angkat kaki dari rumah ini!” lantang ia mengulang kalimat sakral dari mulutnya.

Kata perkata diucapkan Bramantyo lambat-lambat dan penuh penegasan. Pria tidak peduli pada wanita bertubuh tambun yang tengah bersimbah air mata itu. Selama beberapa detik penuh, dengan bibir yang terkunci rapat, Falisha tidak memutuskan kontak matanya dengan Bramantyo hingga tercipta keheningan yang terasa berat dan mencekam.

Dalam diam, Falisha mencari setitik saja penyesalan juga dusta yang mungkin ada pada Bramantyo. Di sudut hatinya dia masih menaruh harapan tapi harapan nyatanya sia-sia dan semu belaka.

Sudah sampai sejauh itu bahtera rumah tangganya rusak, perceraian telah menjadi hasil akhirnya. Kepalang basah, dengan semua yang telah porak-poranda juga karam, semakin bulat tekad Falisha untuk mempertahankan hak-hak Ameera termasuk diantaranya materi yang berupa hunian ini. 

“Kamu yang seharusnya pergi, Mas! Rumah ini atas nama Ameera, dan kamu tidak berhak atas rumah ini!” tandas Falisha dengan suara seraknya. Ia tidak lagi gentar dan selalu patuh pada Bramantyo seperti yang selama ini selalu dilakoninya.

Bramantyo terang-terangan mendengus dingin atas apa yang baru saja Falisha katakan. “Sudah tidak lagi! Rumah ini sudah atas namaku!” jawab Bramantyo arogan, membongkar satu fakta yang tidak diketahui Falisha.

“Apa maksudmu, Mas?!”

####

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Illa Darrel
nyesek bener ya ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status