Hap!
Sayangnya sepatu itu berhasil di tangkap oleh Tedy. Tapi, itu memang yang diharapkan oleh Tukijo. Dia mengikatkan tali sepatunya di tangan Tedy, lalu berjalan ke belakang pria gendut itu sambil menarik tali sepatu yang telah diikatkan ke tangan kanannya.
"Sial! Apa yang kau lakukan di sana?" Tedy berusaha meraih Tukijo di belakangnya dengan tangan kiri.
Tukijo telah memperhitungkan rencananya. Kemudian anak itu meraih tangan kiri Tedy dan menumpuknya dengan tangan kanan lalu mengikat keduanya dengan tali sepatu.
Setelah itu, Tukijo menutup kepala Tedy dengan baju seragamnya.
"Woy! Sialan lo! Lepasin gue!" teriak Tedy.
Tukijo mengambil sebuah kayu dengan ketebalan 3 cm lalu memukul Tedy dengan kayu tersebut sekuat-kuatnya sampai dia jatuh berdarah-darah.
"Aaaaaaaaargh! Hentikan!" rintihnya.
"Apa? Hentikan?" Tukijo terus memukuli Tedy tanpa henti. "Dulu, ketika kau memukulku, apa kau berhenti saat aku bilang be
___________"Mar, tolong belikan telur sama gula ya ... kita kehabisan stok," pinta Hartono menyuruh Markonah pergi ke toko langganannya."Ke toko biasa?" tanya Markonah."Iya," jawab Hartono."Oiya Yah, toko itu deket PMC kan. Aku sekalian mau jenguk teman boleh? Dia sudah dua hari nggak masuk sekolah, katanya dia dirawat di sana," papar Markonah."Boleh, tapi jangan kelamaan ya ... nanti Ayah kesorean bikin adonannya." Hartono memberikan uang sejumlah seratus ribu rupiah.Kemudian Markonah pergi dengan motor butut ayahnya. Setelah dia membeli telur dan gula, dia memarkirkan motornya di depan Pricilia Medical Center. Gadis itu berjalan menuju pintu masuk lalu menemui resepsionis."Saya ingin mengunjungi pasien yang bernama Tukijo. Di mana letak kamarnya?" tanya Markonah."Tunggu sebentar ya Mba, saya cek dulu," jawab seorang wanita yang berada di depan Markonah. Dia membolak balikkan buku di hadapannya berkali-kali."Pa
"Mbah ...! Mbah ...!" teriak Tukijo dan Ningsih mencari-cari keberadaan Muhiroh. Mereka memutari sekita Rumah Sakit Pricilia Medical Center selamat satu jam. Namun belum berhasil menemukannya. Tukijo melihat banyak orang berkerumun di dekat tanggul irigasi. Tiba-tiba muncul firasat buruk di hatinya. "Ada apa orang kumpul-kumpul di sana?" ujar Tukijo. "Di mana Jo?" tanya Ningsih. "Itu Kak, dekat irigasi." Tukijo mengacungkan jari telunjuknya. "Aku ada firasat nggak enak, Kak." "Ayo Jo! Kita coba lihat dulu, ada kejadian apa di sana," ajak Ningsih. Kemudian mereka mendekati tempat kerumunan tersebut. Alangkah terkejutnya Tukijo dan Ningsih, ketika mereka mendapati seorang nenek tua yang kulitnya sudah keriput dan rambutnya sudah memutih tergeletak di jalan dalam keadaan tubuhnya basah kuyup. Wajah nenek itu pucat, dan tidak ada tanda-tanda hembusan nafas di tubuhnya. "MBAAAH!" teriak Tukijo sembari memeluk erat jasad itu. Dia terisak, bibirnya bergetar, air matanya berlinang hingg
Tukijo terbangun dengan membelalakkan mata. Dia masih dalam posisi duduk dengan meletakan kepalanya di meja. Kemudian dia berdiri dan menoleh ke jendela. Di sana dia menjumpai seseorang berbicara dengan Tiyem, tiba-tiba Cecep datang. Plak! Cecep mengayunkan tangannya dan menghantam anak itu. "Diem BEGO!" teriaknya. Tukijo menatap tajam anak itu. "Dia kan ... anak IPS 1," gumamnya. Markonah yang baru saja kembali ke kelas setelah membeli buku LKS di koperasi, dia melihat Tukijo memasang wajah serius melihat luar dari jendela kaca. Padahal, sejak pagi anak itu terus berwajah murung tanpa senyum sedikitpun. Gadis itu ingin sekali menanyakan apa yang terjadi padanya. "Jo!" ucapnya, dia berbisik mendekat ke telinga Tukijo. Tukijo merasa, ada angin masuk ke telinganya. Dia menoleh dan mendapati Markonah berada di sampingnya. "Kamu memanggilku Mar?" tanya Tukijo. "Enggak, aku lagi panggil lalat," ketusnya. "Eh ...." Tu
"Dia adalah Kang Slamet, salah satu anggota Geng Bentor yang masyhur tidak kenal ampun dalam memalak siapapun," jelas Sugeng. "Ah andai saja kemaren aku merekam kejadian itu. Aku nggak kepikiran kalau dia bakal mengkambing hitamkan Si Cecep." "Walaupun Cecep orangnya kasar dan suka malak, tapi dia itu pemilih. Anak itu nggak pernah malak orang tua apalagi nenek-nenek," celetuk Tiyem. "Cih! Kamu bilang kayak gitu di depan Tukijo, sedangkan dia tiap hari jadiin Tukijo babu. Apa kamu nggak mikirin perasaannya?" sanggah Markonah. "Semoga aja setelah kejadian ini dia mendapat banyak pelajaran." "Apa rencanamu buat buktiin kalo Kang Slamet yang membunuh mbahku?" tanya Tukijo kepada Sugeng. "Tiyem yang akan menyusup ke markas Geng Bentor untuk menggali informasi dan merekam setiap perkataan mereka," timpalnya. "Apa? Kenapa harus aku?" elak Tiyem. "Karena Kang Bahar tertarik padamu. Kamu tau Kang Bahar kan?" ujar Sugeng. "Kamu me
"Eh, anu ..." Sutrisno terdiam. "Aduh, gimana nih." Dia merasa takut, jika salah berbicara bisa-bisa wanita di hadapannya ini akan membuatnya menjadi rempeyek. "Nona, semua sudah beres," ujar Marno melapor bahwa para sampah anggota Geng Bentor telah dibersihkan. Cecep sebagai praduga tidak bersalah sudah dibebaskan. "Baiklah, ayo pergi! Urusan kita sudah selesai," pinta Ningsih. Kemudian mereka pergi tanpa sepatah kata pun. "Huuuh." Sutrisno mengelus dada bernapas lega. "Tukijo! Bajumu?" seru Tiyem membuat ketiga orang itu berhenti melangkah. Tukijo menoleh. "Buat kamu aja, aku punya beberapa," jawab Tukijo. Keringat yang bercucuran keningnya menjadikan ekspresi dingin anak itu, terlihat keren membuat Tiyem terpana. "Astagaaaa ... sadar Tiyem, dia itu Tukijo," gumam Tiyem mengalihkan pandangan. Sejak saat itu, Sugeng, Trisno, Tiyem dan semua anggota Geng Becak memandang Tukijo sebagai sosok yang harus disegani karena memiliki hubungan dengan wanita misterius itu. Setelah kembal
"Kenapa Jo?" tanya Tiyem. "Oh, nggak papa Yem. Cuma, nanti aku ada ide bagus buat kesejahteraan geng kalian," tutur Tukijo. Akhirnya dia tetap mengambil mendoan yang berada di hadapannya. "Sebelum Cecep membayar, aku harus mendahuluinya," batin Tukijo. "Kesejahteraan geng? Ide apa?" tanya Tiyem memiringkan kepalanya. "Ada deh, nanti aku kasih tau," jawab Tukijo. Saat Tukijo sedang melihat-lihat karidor kelas XII, tanpa sengaja ia menjumpai dua bersaudara Jono dan Joni mengikuti Markonah di belakangnya. Tukijo bangkit menghampiri Bu Badrun. "Bu, total semua bayar berapa?" tanya Tukijo berbisik. "Tiga ratus tiga puluh tiga ribu, Mas ...," jawab Bu Badrun. Tukijo mengeluarkan uang sejumlah tiga ratus lima puluh ribu dan memberikannya kepada Bu Badrun. "Ini Bu, ambil saja kembaliannya." "Terima kasih banyak, Mas," ucap Bu Badrun tersenyum. "Sama-sama Bu," balas Tukijo. Kemudian anak itu beranjak pergi meninggalkan kantin. "Cep, aku ke kelas duluan ya ...." Tukijo menepuk punggung
"Tentu saja aku serius," ujar Tukijo melipat tangan. "Kalian cukup bilang setuju atau tidak.""Aku setuju!" seru Sutrisno."Aku juga setuju!""Setuju."Akhirnya semua anggota Geng Becak menyatakan setuju dengan tawaran Tukijo."Oke! Kalau gitu, aku akan buat surat perjanjiannya," ucap Tukijo. "Ini Cep, aku ada uang sisa bayar makan-makan tadi." Dia memberikan sekepal uang sejumlah delapan ratus ribu rupiah ke tangan Cecep."Ini ... buat apa Jo?" tanya Cecep."Itu sebagai uang muka buat buktiin bahwa aku nggak main-main," jawabnya. "Kamu bagi rata ke semua anggotamu."Sebenarnya Tukijo hanya ingin menguji Cecep, apakah dia memang pantas mendapat kepercayaan sebagai pemimpin. Jika dia bukan seorang yang adil, tentu saja anak itu akan meraup keuntungan yang banyak untuk dirinya sendiri.Namun, Tukijo benar-benar melihat Cecep membagikan uang itu tanpa ragu. Masing-masing anak mendapat lima puluh ribu rupiah. Dahulu, T
"Oh, Tuan ..." "Ssst." Tukijo memotong perkataan Marno dan mengisyaratkan bahwa di belakangnya ada seseorang. Marno mengangguk. "Apa yang terjadi dengan Restoran Mas Agus, Bang?" tanya Tukijo. "Tadi, tiba-tiba beberapa orang datang. Mereka merusuh saat restoran sedang rame. Alhasil, karena ulah mereka, pengunjung ketakutan," terangnya. "Terus, di mana Mas Agus?" tanya Tukijo. "Mas Agus menduga, ini ulah rivalnya yaitu Joko si penjual bakso yang berada di depan Gedung KUD. Dia mendatangi orang itu dan memintanya agar bersaing dengan sehat," jelas Marno. "Sendirian?" ucap Tukijo dengan nada sedikit tinggi. "Ah, iya ... astagaaa. Aku nggak kepikiran bisa saja terjadi sesuatu dengannya." Marno meletakan sapu yang dipegannya dan bergegas pergi bersama Tukijo untuk menyusul Agus. "Jo, aku ikut ya ...," pinta Markonah. "Jangan Mar," sahut Tukijo. Markonah cemberut karena merasa dianggap lemah. "Eh, ya u