แชร์

15 — Hati yang Mulai Bicara Pelan

ผู้เขียน: Syuhda
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-12-04 14:25:25

Aurel langsung buang pandang.

Karena kalau dia lihat lebih lama, dia takut kelewat ngerti apa maksud Raksa sebenarnya.

Raksa kemudian ngelangkah lagi, tapi lebih pelan, kayak nunggu Aurel otomatis jalan di sampingnya.

Dan Aurel beneran ikut.

Tanpa mikir.

Kayak kaki mereka udah nyari satu sama lain.

Beberapa langkah kemudian—

tanpa sengaja—

jari mereka bersentuhan lagi.

Tipis.

Cepat.

Tapi kali ini…

Raksa nggak langsung narik tangannya.

Aurel juga nggak.

Mereka sama-sama ngebiarin momen itu lewat, tapi diamnya ngomong lebih banyak dari seluruh percakapan hari ini.

Aurel ngerasa aneh.

Aneh yang hangat.

Aneh yang… bikin hati deg-degan.

Raksa ngerasa cemas kecil, tapi bukan cemas yang bikin mundur.

Cemas yang bikin dia sadar kalau dia udah mulai kehilangan kendali.

Dan semua itu—

sentuhan kecil, langkah yang pelan, tatapan yang keburu ngaku sebelum kata-kata—

adalah awal dari sesuatu yang mereka sendiri belum siap buat akui.

Tapi udah terjadi.

Mereka cuma belum bila
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   16 — Pertemuan yang Membelah Sunyi

    Pilihan yang, cepat atau lambat, bakal nyeret mereka ke perasaan yang udah dari awal mereka coba sembunyiin. Mulai dari situ… hubungan Aurel dan Raksa mulai keliatan jelas—setidaknya buat orang-orang yang cukup peka ngeliatin keduanya dari jauh. Termasuk beberapa orang yang lagi ada di halaman kampus sore itu. Angin sore lewat pelan, nyeret daun-daun kering yang belum sempat disapu petugas kampus. Aurel lagi jalan pelan menuju gedung kelas, masih keinget omongan Raksa tadi malam. Besok bareng. Kata sederhana, tapi di kepala Aurel rasanya kayak suara yang terus ngegema. Sampai-sampai dia nggak sadar ada suara yang nyapa dari belakang. “Aurel?” Aurel noleh cepat. Shafira. Dengan totebag penuh sticky notes warna-warni dan wajah ceria seperti biasa. “Eh… Fira,” jawab Aurel, sedikit kaku karena kepalanya masih penuh Raksa. Shafira senyum, tapi tatapannya ngamatin. Peka, seperti biasa. “Lo kayak habis mikirin sesuatu.” Aurel buru-buru geleng. “Nggak.” “Yaudah,” Shafira anggu

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   15 — Hati yang Mulai Bicara Pelan

    Aurel langsung buang pandang. Karena kalau dia lihat lebih lama, dia takut kelewat ngerti apa maksud Raksa sebenarnya. Raksa kemudian ngelangkah lagi, tapi lebih pelan, kayak nunggu Aurel otomatis jalan di sampingnya. Dan Aurel beneran ikut. Tanpa mikir. Kayak kaki mereka udah nyari satu sama lain. Beberapa langkah kemudian— tanpa sengaja— jari mereka bersentuhan lagi. Tipis. Cepat. Tapi kali ini… Raksa nggak langsung narik tangannya. Aurel juga nggak. Mereka sama-sama ngebiarin momen itu lewat, tapi diamnya ngomong lebih banyak dari seluruh percakapan hari ini. Aurel ngerasa aneh. Aneh yang hangat. Aneh yang… bikin hati deg-degan. Raksa ngerasa cemas kecil, tapi bukan cemas yang bikin mundur. Cemas yang bikin dia sadar kalau dia udah mulai kehilangan kendali. Dan semua itu— sentuhan kecil, langkah yang pelan, tatapan yang keburu ngaku sebelum kata-kata— adalah awal dari sesuatu yang mereka sendiri belum siap buat akui. Tapi udah terjadi. Mereka cuma belum bila

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   14 — Jarak yang Mulai Menyempit

    Mulai dari situ — pelan, nyaris nggak kerasa — sesuatu di antara mereka berubah. Tetap sunyi. Tetap kecil. Tapi hadir. Raksa jalan duluan, tapi bukan kayak biasa yang langkahnya mantap dan cuek. Kali ini dia kayak… nahan diri. Biar Aurel nggak keteteran, biar ritme mereka tetap sama. Aurel nggak komentar. Tapi detik itu juga, dia tahu: ada hal yang nggak bisa dia pura-purain nggak kerasa. Mereka melewati koridor kampus yang adem, lampu-lampu kuning lembut, dan suara langkah yang echo pelan. Dan entah kenapa, suasana itu malah bikin semuanya terasa lebih dekat. Lebih pribadi. Sampai akhirnya, dari arah yang berlawanan… seseorang muncul. Seseorang yang bikin langkah Raksa ngehentiin sepersekian detik. Dan bikin Aurel merasakan udara di sekitarnya berubah. Alden. Cowok yang terkenal supel, pinter ngomong, dan… suka ngasih perhatian ke Aurel sejak semester kemarin. Alden senyum duluan. “Eh, Aurel.” Nadanya ramah — yang kayak biasanya aja — tapi entah kenapa terdengar t

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   13 — Detak yang Makin Nyata

    Awal mulai dari situ.Aurel sadar itu waktu mereka akhirnya masuk ke kantin yang mulai rame. Suara sendok, suara anak-anak yang ketawa, bau ayam kecap yang entah kenapa langsung nusuk hidung.Tapi semua itu kayak blur.Karena pikiran Aurel masih nyangkut di bangku taman tadi.Dan di kalimat Raksa."Aku nggak kemana-mana."Aurel narik napas pelan. “Kok kayak nggak nyata, ya…” gumamnya tanpa sadar.Raksa melirik. “Apa?”“Enggak.” Aurel buru-buru ngibasin tangan. “Nggak jadi.”Raksa ngangguk pelan, tapi sudut bibirnya naik dikit, kayak dia tau Aurel lagi mikir yang aneh-aneh.Mereka muter cari tempat duduk kosong.Di pojok, Aurel liat Adi lagi makan mi ayam sambil main HP. Bentar kemudian, Adi ngeliat mereka datang — dan senyumnya langsung berubah jadi senyum jahat penuh gosip.“WOI,” serunya. “Dari mana? Kok bareng?”Aurel langsung salah tingkah. “E-eh... dari belakang gedung.”Raksa cuma duduk santai di depannya. “Ada urusan.”“Urusan?” Adi nyorot matanya ke Aurel, lalu ke Raksa, lalu

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   12 — Setelah Kata Itu Keluar

    Dan itu cukup buat bikin dunia Aurel terasa sedikit lebih aman. Tapi aman bukan berarti sederhana. Nggak hari itu. Nggak setelah kalimat “Aku suka kamu” masih bergema kayak bisikan yang nggak mau pergi. Aurel duduk di bangku taman kampus, tempat yang agak tersembunyi di belakang gedung FISIP. Daun-daun bergerak pelan, gesekan kecilnya kayak background music yang entah kenapa malah bikin hati tambah deg-degan. Raksa duduk di sebelahnya—nggak terlalu deket, tapi nggak jauh juga. Jarak “nyaman tapi tetep bikin jantung kerja lembur”. Aurel narik napas pelan. Sementara Raksa cuma duduk, satu tangan masuk ke kantong hoodie, satunya lagi megang minuman yang tadi dikasih Adi. Suasana di antara mereka mungkin sunyi. Tapi bukan sepi. Kayak dua orang yang sama-sama mikirin hal yang nggak berani mereka ucapin duluan. Aurel akhirnya buka suara duluan. Pelan. “Nggak nyangka kamu ngomong hari ini.” Raksa noleh sedikit, tapi nggak langsung balas. “Kenapa?” “Ya…” Aurel nunduk, ngeremas

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   11 — Janji yang Nggak Bisa Dianggap Enteng

    Aurel masih ngerasain sisa deg-degan waktu Raksa bilang “Aku janji.” Kalimat itu muter kayak lagu yang nggak mau berhenti. Tapi suara langkah kaki itu akhirnya muncul juga. “Raksaaa!” Dan kali ini orangnya beneran nongol—Adi. Adi muncul dengan napas sedikit ngos-ngosan kayak habis lari dari ujung kampus. Mukanya cerah, nggak sadar sama aura nyaris penting yang barusan kejadian antara Aurel dan Raksa. “Bro! Dari tadi gue manggil,” katanya sambil nyodorin plastik minuman. “Ini menitip tadi. Lo lupa.” Raksa cuma ngangguk kecil. “Hmm.” Jawabannya pendek, tapi Adi kayak nggak nyadar ada yang janggal. Aurel coba senyum sopan. “Hi, Di.” “Oh, Aurel! Hai!” Adi balas dengan ramah. “Eh, kalian… lagi ngobrol ya? Sorry ganggu.” Aurel buru-buru geleng. “Enggak kok! Nggak apa-apa.” Raksa cuma melirik sebentar, terus ngambil minuman dari tangan Adi. “Tadi gue lagi—” Aurel nahan napas. Dia pikir Raksa bakal lanjutin. Tapi cowok itu malah nutup kalimatnya. “…ngambil udara.” Aurel n

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status