Share

Dua

Hari weekend seharusnya menjadi surga bagi para pekerja, karena pada hari itu para pekerja dapat libur dan beristirahat. Tapi tidak untuk Oliv dan Rahayu yang tetap bekerja di hari sabtu dan minggu.

Si bos dinginnya tak memberikan libur untuk mereka, minimal satu hari saja di hari minggu pun tidak. Benar-benar pelit!

"Bete gue!" keluh Rahayu.

"Kurang piknik," cibir Oliv meledek.

"Dih, kayak situ gak aja."

Dan Oliv pun meringis, "plus kurang belaian juga."

"Ishh! Jijik gue dengernya, frontal amat neng."

"Hahaha," Oliv tergelak mendengarnya.

Sejenak suasana kembali hening, Rahayu yang lebih memilih sibuk dengan ponsel androidnya sementara Oliv yang sibuk memperhatikan jari jemari tangannya.

Tatapan Oliv lekat memperhatikan kutil-kutil yang tumbuh merambat banyak di jari jemari lentiknya. Menghela nafas kasar Oliv kembali sedih kala memikirkan nasib jari jemarinya. Entah kapanlah kutil-kutil ini pergi menghilang.

"Eh, ya ampun! Jari-jari tangan lo kenapa Liv?!" pekik Rahayu yang ternyata tengah memperhatikan tangan temannya.

Tersenyum malu karena diperhatikan, Oliv pun menyembunyikan tangan kanannya. Karena tangan yang kanan lebih banyak kutilnya ketimbang tangan yang sebelah kiri.

"Enggak apa-apa kok," jawab Oliv berusaha bersikap santai.

"Itu tadi kutil ya?"

Oliv melotot mendengarnya, astaga. Jangan bilang jika temannya melihat kutil-kutil sialan itu.

"Kutil apaan?"

"Itu jari-jari tangan lo, coba sini gue lihat." Oliv menggeleng.

"Ih, siniin tangan kamu aku mau lihat Oliv!"

"Aku gak mau, apaan sih lo kok maksa gini."

Rahayu diam, tak lagi memaksa Oliv untuk menunjukkan kedua tangannya. Matanya menatap sendu Oliv, kenapa ia baru tau tentang keberadaan kutil-kutil itu di tangan temannya ini?

Benar-benar kawan yang sangat baik dan perhatian kamu Rahayu! dengus batin Rahayu mengejek dirinya sendiri.

"Sudah berapa lama?" bisik Rahayu pelan sembari menghitung harga beberapa buku yang di beli oleh salah satu pelanggan disini."

Beberapa kali menyikut lengan Oliv yang tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Total semuanya lima ratus ribu ya, Mas."

"Apa? Lima ratus ribu?!"

Rahayu berjengit kaget saat mendengar nada tinggi dalam suara pelanggan itu.

"Iya, Mas," bersikap sabar dan sopan Rahayu pun lantas menjawab seraya menganggukkan kepalanya.

"Kok bisa sih? Cuma harga tiga buku gini doang masa sampai lima ratus ribu?"

"Loh, kan memang udah patokan harganya segitu Mas." sahut Rahayu berdecak kesal. Lalu ia menoleh pada Oliv yang justru hanya diam saja sedari tadi.

"Liv, bantuin ngomong dong." rengek Rahayu. Karena ia tak akan menjamin jika dirinya akan tetap sabar menghadapi pelanggan satu ini sendirian.

Oliv mengangguk, "Mas, ini buku novel keluaran baru."

"Ya terus, karena buku novel keluaran baru makanya jadi mahal?"

Oliv dan Rahayu saling melemparkan pandangan, merasa bingung harus menjawab apa. Karena sepertinya pelanggan yang satu ini tak ingin mengalah, tentunya tak akan selesai jika mereka saling berdebat terus.

"Oh, atau karena penulisnya yang cukup terkenal makanya mahal?"

"Cukup terkenal?" pekik Rahayu merasa tak suka dengan kata yang pelanggan itu pilih. "Eh, Mas. Please banget ya, ini tuh karya-karyanya Ade Tiwi tau gak?"

"Tau, si penulis yang menulis cerita gak bagus kan? Mana alur ceritanya pada gak nyambung, genrenya juga gak jelas apa. Pokoknya benar-benar gaje deh, berantakan habis. Kek gitu pun jadi penulis."

Rahayu dan Oliv menganga tak percaya mendengarnya, pria di depan mereka ini sungguh sangat kurang ajar sekali mulutnya mengejek dan menghina salah satu penulis favorit mereka. Ck!

Menghela nafas sabar, Oliv mencoba untuk menyelesaikan semua perdebatan ini. "Sebenarnya Mas kesini mau beli buku atau hanya mau mengkritik karya-karya penulis sih?"

"Menurutmu?" sahut pria itu sewot. Kemudian ia berdecak, "aku kadang bingung. Apa yang membuat orang-orang memburu buku-buku novel karya si penulis ini, bahkan sampai menjadi yang terlaris nomor satu lagi."

Rahayu mengangguk, "karya beliau banyak yang bestseller loh!"

"Apa bagusnya coba?" dan dalam sekejap senyum Oliv dan Rahayu luntur.

Pria ini benar-benar sudah kelewatan. Dan mereka tidak akan tinggal diam, ini termasuk salah satu penghinaan terberat. Bagaimanapun mereka berdua sangat menyukai dan menikmati karya-karya penulis ini.

"Cukup ya, Mas! Kalau Mas gak mau beli buku-buku novel ini, ya sudah. Mas tinggal balikin lagi ke tempatnya dan silakan pergi." kata Oliv dengan suara lantang.

Persetan!

Oliv sudah tak peduli lagi pada kesopanan ataupun keramahan untuk pelanggan. Bagi dirinya dan Rahayu, pria ini tidak pantas mendapatkan sikap sopan santun dari mereka.

Kesabaran mereka sangat berharga bila di beri untuk pria menyebalkan ini. Sok mengkritik karya-karya bagus penulis favorit mereka. Dasar!

"Apa kalian pikir aku tidak punya uang? Sehingga kalian mengusirku seperti ini."

"Yaudah sih, Mas tinggal bayar doang udah deh selesai." sahut Rahayu sewot. Oliv mengangguk setuju.

Menatap sengit dan kesal pada Oliv dan Rahayu lantas pria itu pun mengeluarkan dompetnya. Membukanya dan mengeluarkan beberapa lembar uang merah.

"Nih, hitung." titahnya. Rahayu pun dengan sigap langsung menghitungnya.

"Oke, pas." kata Rahayu tersenyum senang.

"Terima kasih, Mas." ucap Oliv dan Rahayu setelah selesai memasukkan buku-buku novel yang dibeli pria itu ke dalam paper bag.

"Sialan!" umpat Rahayu setelah pria itu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Bahkan pria itu tidak membalas ucapan terima kasih mereka.

Oliv tepuk jidat saat teringat sesuatu. "Kenapa lo?" tanya Rahayu terlihat heran.

"Gue lupa jelasin tadi sama Mas-nya, kalau tebal halaman buku novel—"

"Halah, gak usah repot-repot jelasin. Tuh orang bisanya cuma menghina karya orang lain. Sebel ih!"

Apa yang diucapkan Rahayu ada benarnya juga. Pria itu memang sukanya mengejek dan menghina. Hal seperti ini bukanlah satu atau dua kali buat mereka, tapi hari ini adalah yang terparahnya. Malang sekali nasib si penulis yang dihina habis-habisan oleh pria itu.

***

Sedari tadi pria itu tak berhenti tersenyum geli, membuat seorang wanita cantik yang duduk di sampingnya kini menatap heran ke arahnya.

"Kamu kenapa?"

Lantas pria itu menoleh sekilas sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Entah kenapa aku suka sekali membuat keributan dengan mereka."

"Siapa?" tanya wanita itu dengan sebelah alis terangkat.

"Kedua wanita yang berkerja di toko buku."

"Kamu membuat ulah lagi?" Pria itu mengangguk bangga.

"Kali ini apalagi?" wanita itu berdecak kesal.

"Ya ... seperti biasa. Dan, oh ya, aku menemukan suatu fakta."

"Apa?"

"Mereka tidak menyukai karyamu."

Sepasang mata cokelat itu mengerjap sekali sebelum pada akhirnya melotot horor. "Kau serius?"

"Iya, aku mendengarnya dengan kedua telingaku langsung."

"Memang apa yang mereka katakan?"

"Mereka bilang ceritamu gak bagus. Alurnya gak nyambungnya lah, genrenya juga gak jelas lah. Pokoknya gaje deh, berantakan banget. Dan mereka juga bilang kalau kamu gak pantes jadi penulis seharusnya."

"Oh ya?"

"Iya, Ade Tiwi yang cantik."

"Hafal banget kamu ya sama kata-kata mereka beberapa saat yang lalu." cibir si wanita yang di panggil Ade Tiwi tersebut.

Pria itu nyengir lalu tertawa terbahak-bahak. "Sorry—awwh!" Dekan meringis di akhir kalimatnya.

"Kok lo pukul kepala gue?"

"Biar sadar."

Bukannya marah, Dekan justru tertawa kembali. Merasa puas karena sudah membuat kesal dan marah tiga orang wanita hari ini.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status