LOGINRuang kerja William seketika terasa dingin, jauh lebih dingin dari marmer yang baru saja dipecahkan Rosalyn di ruang tamu. Kata-kata Rosalyn yang meminta cerai seolah masih menggantung di udara, mengukir keheningan yang mematikan.
"Apa kau bilang?" tanya William, suaranya tercekat. Ia mengira telinganya salah dengar, matanya terbelalak tak percaya, berusaha mencari jejak kekonyolan di wajah wanita itu. Bahkan Irene yang tadinya begitu senang karena lagi-lagi Rosalyn memergoki dirinya tengah bersama William, seketika hanya melongo. Tapi Rosalyn hanya berdiri tegak, wajahnya yang dulu selalu dihiasi dengan senyum lemah seolah menghilang bersama dengan kepatuhan yang biasa ia tunjukkan. Wajahnya yang cantik kini dihiasi ketenangan yang mengerikan. "Aku ingin cerai, William. Aku akan mengirimkan berkasnya besok." Tekannya lagi dengan tegas. "Rosalyn!" Bentak William akhirnya mulai marah saat kembali mendengar kata "cerai" dari mulut Rosalyn. "Apa yang terjadi padamu? Apa kau sudah gila? Hanya karena kau melihat-" "Hanya? Aku sudah melihatnya selama bertahun-tahun, William," potong Rosalyn dengan suaranya yang begitu tenang, namun penuh ketajaman. "Aku melihatmu selingkuh setiap hari, tapi aku berpura-pura buta, berpura-pura tuli, dan berpura-pura bodoh. Tapi sekarang, aku sudah cukup." "Aku muak, William." Mendengar jawaban berani Rosalyn, keterkejutan William segera berganti menjadi penuh amarah. "Kau tidak bisa melakukan ini! Kau istriku! Kau pikir kau siapa, berani meminta cerai seperti ini?" Ucapnya marah sambil mencoba meraih tangan Rosalyn, namun wanita itu lagi-lagi melangkah mundur, menghindarinya seolah dirinya adalah kuman. "Aku Rosalyn Anderson," Jawab Rosalyn jelas. "Rosalyn Collin sudah mati terkubur bersama ibuku." Tambahnya lagi sambil tersenyum sinis kearah Irene yang kini tampak begitu syok dibelakang William. Mendengar keberanian Rosalyn, William merasa mendidih, amarah menguasai dadanya sampai rasanya ingin meleleh. Ia tidak menyangka wanita yang selalu lemah lembut, pendiam, dan menurut kepadanya itu, kini tiba-tiba menunjukkan pembangkangan yang luar biasa. Baginya, Rosalyn seperti hanyalah sebuah boneka yang akan menerima apapun yang ia lakukan, tapi sekarang? Melihat William yang hanya diam, tanpa membuang waktu, Rosalyn berbalik pergi dan berjalan menuju kamarnya. William mencoba mengejarnya, tapi langkah Rosalyn tak berhenti sama sekali, seolah teriakan William yang selalu ia patuhi dulu tak lagi terdengar. "Rosalyn, jangan konyol! Kembali ke sini! Kita tidak akan bercerai!" "Rosalyn!" "Semua ini pasti karena ibumu! Pemakaman itu sudah membuatmu sinting!" Di belakang mereka, Hanna, yang sejak tadi berusaha memulangkan tamu-tamu sosialitanya dengan perasaan malu luar biasa karena ulah Rosalyn di ruang tamu, mulai ikut campur. Ia melihat adegan kejar-kejaran itu, dan wajahnya langsung memerah padam. "Berhenti!" teriak Hanna saat mereka sampai di tangga. Ia berdiri di bawah tangga, menunjuk Rosalyn dengan telunjuknya yang dihiasi berlian. "Rosalyn, kau tidak tahu diri! Kau merusak pestaku, dan sekarang kau membuat keributan ini? Apa yang terjadi padamu?! Kau pikir kau bisa membangkang William hanya karena ibumu mati?!" Teriaknya dengan penuh amarah. Langkah Rosalyn terhenti. Ia berdiri di tengah tangga, melihat ke bawah. Tatapan matanya kini beralih dari William ke Hanna. Untuk pertama kalinya, kemarahan yang ia tahan selama bertahun-tahun meluap. "Justru ini yang membuat saya sadar, Nyonya Hanna," balas Rosalyn, suaranya lantang dan bergetar, namun bukan karena ketakutan, melainkan karena amarah yang tertahan. "Ibu saya mati, dan bahkan suami saya tidak sudi datang. Anak Anda sibuk bercumbu dengan kekasihnya di ruang kerja, sementara saya mengantar Ibu saya ke peristirahatan terakhirnya." Hanna terhenyak, tidak menyangka Rosalyn akan berani membalas. Padahal ia biasanya hanya diam dan menunduk. "Jaga bicaramu! Kau tidak berhak menyalahkan anakku! William sibuk mengurus perusahaan!" "Mengurus perusahaan? Apa bergulung-gulung bersama pelacur itu termasuk mengurus perusahaan?" Tanya Rosalyn tajam sambil melirik Irene yang berdiri di belakang William dengan baju acak-acakan. "Lagi pula perusahaan yang 80% sahamnya disokong oleh koneksi keluarga saya?" Rosalyn mendengus, tawa sinisnya terdengar tajam. "Atau Anda lupa, Nyonya? Siapa yang dulu merangkak memohon agar keluarga saya mau menanamkan modal di perusahaan putra Anda yang hampir bangkrut itu?" Wajah Hanna memucat. Ia hanya diam saat fakta yang berusaha ia lupakan itu malah diungkit-ungkit oleh Rosalyn. Clara, yang baru saja datang, ikut maju sambil menunjuk Rosalyn dengan marah. "Kau gila, Rosalyn! Kau tahu apa yang kau katakan?! Kau sudah tidak waras karena ibumu mati!" "Lagipula jelas dong kakak lebih milih Kak Irene ketimbang wanita mandul yang tidak bisa memberikan anak seperti kamu!" Ejek Clara sambil menatap menghina ke arah Rosalyn. Rosalyn hanya tersenyum sinis; dengan santai ia menjawab. "Kalau begitu nikahkan saja kakakmu itu dengan Irene sekarang. "Rosalyn, kau! Berhenti bicara omong kosong!" teriak William semakin marah karena Rosalyn yang semakin berani. "Omong kosong? Baiklah kalau begitu," jawab Rosalyn tersenyum pahit; kini matanya benar-benar dingin. "Saya sudah selesai, William. Saya sudah selesai dengan permainan sandiwara ini. Nikmati hidup Anda dengan wanita simpanan Anda, dan nikmati sisa-sisa kehancuran yang akan segera menimpa Anda." Ucap Rosalyn dingin kemudian meneruskan langkah menuju kamarnya. Mengabaikan teriakan William yang marah dan tatapan syok Hanna dan Clara. Ia hanya mengambil sebuah koper kecil yang sudah ia siapkan, berisi beberapa pakaian penting dan dokumen rahasia. Meninggalkan perhiasan-perhiasan mewah yang tergeletak tak berguna di meja. Melangkah mantap sambil menggeret kopernya, Rosalyn mengabaikan teriakan William yang memintanya kembali, sedangkan Hanna dan Clara hanya berdiri diam seolah patung dengan ekspresi terkejut yang belum juga hilang. "Rosalyn berhenti!" "Kita tidak bisa bercerai!" "Rosalyn!" "Rosalyn kembali!" Rosalyn hanya tersenyum sinis saat mendengar teriakkan William yang putus asa, tapi pendiriannya sudah teguh. Ia akan tetap bercerai. Dengan perasaan yang baru, ia melangkah keluar melewati mansion Collin dengan ringan, sebelum akhirnya membanting pintu dengan kuat. Pintu yang tertutup rapat seolah mengunci semua kenangan-kenangan menyakitkan didalam mansion itu. Rosalyn hanya melirik sekilas sambil bergumam. "Tunggu saja pembalasanku, William."Hah...hah...hah Deru napas yang menggebu-gebu menyebar cepat melewati angin malam. Suara langkah kaki yang cepat namun lemah terdengar lirih dikala keheningan menyelimuti malam yang dingin. Hanna terus memaksakan kakinya yang renta untuk terus berlari, detak jantungnya menggila, dan ia bernapas dengan kasar seolah kesulitan meraih oksigen di tengah cuaca malam yang begitu dingin itu. Akhirnya... "Hah... aku bebas hah," ucapnya dengan tersengal-sengal. Sesekali ia menoleh ke belakang hanya untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang mengejar dirinya. Tapi meksipun begitu, ia enggan untuk berhenti. Ketakutan akan tertangkap dan diseret paksa kembali ke rumah sakit jiwa memenuhi dadanya; ia sudah susah payah kabur. Tak mungkin ia kembali tertangkap. Selama hampir sebulan ia terkurung di rumah sakit jiwa, dia diam-diam menyusun rencana untuk kabur. Menghafalkan jam ganti perawat, dan waktu istirahat satpam yang cepat, ia akhirnya berhasil berlari dan menyelinap keluar dari pe
"Nona, ini adalah vitamin yang harus Anda minum sekarang."Rosalyn hanya bergumam lirih tanpa menoleh pada Ren yang kini masuk ke dalam kamarnya. Tatapan matanya mengarah pada langit gelap seolah ada sesuatu yang terus menarik di sana."Udara di luar dingin, Nona, apa Anda tidak ingin masuk?" Ucap Ren dengan hati-hati, khawatir melihat majikannya yang masih asik melamun itu.Apa yang terjadi hari ini pastilah mengguncang majikannya itu, apalagi pelarian mendadaknya yang gagal, dan dia malah ditangkap oleh Sean Harris."Sebentar lagi, istirahatlah, Ren." Ucap Rosalyn tanpa menoleh sedikitpun.Ren hanya bisa mengangguk patuh saat mendengar ucapan Rosalyn. Sebelum berbalik, ia menatap Rosalyn. Sedikit lama, kekhawatiran terpancar dengan jelas di wajahnya."Anda juga harus beristirahat, Nona. Selamat malam." Ucapnya sopan, kemudian berbalik pergi.Sepeninggal Ren, kamar itu kembali hening. Hanya suara angin yang bergesekan dengan daun-daun kering yang memenuhi indra pendengarannya sekaran
"Rosalyn,"Langkah kaki Rosalyn sontak terhenti saat mendengar suara tegas kakeknya. Kakinya yang sudah menginjak anak tangga pertama sontak berbalik. Rencana melarikan diri ke kamar dan mengunci pintu sontak sirna.Sepeninggal Sean, suasana mansion Hans yang sebelumnya begitu damai berubah menjadi penuh ketegangan. Rosalyn jelas tahu apa penyebabnya, tapi perjuangan melarikan dirinya sia-sia. Ia menggigit bibirnya resah saat kakinya akhirnya sampai kembali pada ruang tamu.Posisi Hans dan Alexander tak berubah sama sekali, hanya saja tatapan mereka semakin dingin. Suasana yang begitu mencekam itu tak terelakkan. Rosalyn hanya bisa duduk di sofa dengan tidak nyaman, seakan sofa empuk itu mempunyai duri tajam yang kini menusuk tubuhnya dengan kejam."Jelaskan ini semua, Rose," ucap Hans dengan tegas sambil menatap Rosalyn dengan lurus, begitu juga dengan Alexander yang kini menatap adiknya itu penuh dengan rasa kebingungan.Rosalyn sontak menunduk, ia memainkan tangannya dengan ragu ka
Mata Rosalyn membelalak penuh; ia tak pernah menyangka Sean akan mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti itu. "Berhenti main-main, Tuan Harris," bisik Rosalyn sambil melotot tajam, tapi ekspresi Sean tak berubah. "Saya serius." Balas Sean dengan tenang. "Sebentar, menikah? Kenapa? Kau benar-benar hamil anak pria ini, Rosalyn?" Tanya Alexander meragukan pendengarannya sendiri. Dia menatap adiknya itu dengan ekspresi rumit. Roslayn tidak mungkin, kan? "Rose?" Panggil kakeknya membuat Rosalyn dilanda perasaan panik. Kata-kata Sean jelas menarik sesuatu yang besar, hampir seperti bencana. Menikah? Tidak mungkin, omong kosong apa yang sedang dibualkan pria menyebalkan itu. "Maaf kek, aku perlu berbicara dengan Sean." Ucap Rosalyn menahan amarahnya sambil menyeret Sean pergi. Beruntung Sean hanya menurut dan mengikuti langkahnya menuju taman depan mansion kakeknya yang luas. "Apa kau begitu ingin berduaan denganku sampai menarikku ke tempat sepi seperti ini?" Goda Sean
Wajah Sean Harris mengeras, tatapannya membeku, dipenuhi amarah dan ketidakpercayaan setelah mendengar pengakuan Rosalyn. "Ini bukan anakku? Kau tidur dengan pria lain?" Tanyanya tak percaya."Iya kenapa?" Jawab Rosalyn dengan berani. Dia balas menatap tajam Sean, berusaha menyembunyikan jantungnya yang kini berdebar kencang."Hahaha, usaha yang bagus, Rosalyn." Bisik Sean tiba-tiba mendekat dan mencengkram erat lengan Rosalyn."Tapi sayangnya aku tidak percaya kebohonganmu itu." Lanjut Sean sambil tersenyum kejam.Rosalyn menggigit bibirnya kesal."Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku sendiri saja tidak tahu siapa ayahnya; yang pasti itu bukan kamu." Ucap Rosalyn sambil memalingkan wajahnya ke samping, menghindari tatapan mata Sean yang seolah bisa membolongi nya."Benarkah?" Gumam Sean mendengus, senyumnya kini kembali licik, tetapi matanya tetap mengkilat dingin. "Kalau begitu, mari kita buktikan. Kita akan melakukan tes DNA untuk membuktikan siapa ayah anak itu."Rosalyn ter
Sean gila! Pria ini benar-benar gila!Rosalyn hanya bisa meringis malu saat semua orang di bandara melihat ke arah dirinya. Seolah dirinya hanyalah karung besar, Sean dengan mudah berjalan sambil menggendongnya melewati lautan manusia di bandara.Tatapan penuh akan rasa penasaran terus tertuju kepadanya; Rosalyn akhirnya menunduk dan membiarkan rambutnya menutupi wajahnya. Yang bisa ia lihat hanyalah lantai bandara yang terus berganti.Tak lama, ia merasa dilemparkan. Pandangannya yang sebelumnya terbalik sontak normal saat punggungnya menyentuh bantalan empuk sofa mobil.Rosalyn memejamkan matanya saat rasa pusing menyerang dirinya. Seolah aliran darah yang sebelumnya naik di kepala, kini turun drastis, menyebar tak menentu ke keseluruhan tubuhnya.Klik, suara kunci seat belt menyadarkan dirinya. Rosalyn sontak membuka matanya, tapi betapa terkejutnya ia saat melihat mobil sudah melaju dengan cepat keluar dari bandara."Ini adalah penculikan!" Teriak Rosalyn dengan marah sambil menat







