Share

Bab 2

Author: Neby_an
last update Last Updated: 2025-08-11 11:35:51

Ruang kerja William seketika terasa dingin, jauh lebih dingin dari marmer yang baru saja dipecahkan Rosalyn di ruang tamu. Kata-kata Rosalyn yang meminta cerai seolah masih menggantung di udara, mengukir keheningan yang mematikan.

"Apa kau bilang?" tanya William, suaranya tercekat. Ia mengira telinganya salah dengar, matanya terbelalak tak percaya, berusaha mencari jejak kekonyolan di wajah wanita itu.

Bahkan Irene yang tadinya begitu senang karena lagi-lagi Rosalyn memergoki dirinya tengah bersama William, seketika hanya melongo.

Tapi Rosalyn hanya berdiri tegak, wajahnya yang dulu selalu dihiasi dengan senyum lemah seolah menghilang bersama dengan kepatuhan yang biasa ia tunjukkan. Wajahnya yang cantik kini dihiasi ketenangan yang mengerikan.

"Aku ingin cerai, William. Aku akan mengirimkan berkasnya besok." Tekannya lagi dengan tegas.

"Rosalyn!"

Bentak William akhirnya mulai marah saat kembali mendengar kata "cerai" dari mulut Rosalyn.

"Apa yang terjadi padamu? Apa kau sudah gila? Hanya karena kau melihat-"

"Hanya? Aku sudah melihatnya selama bertahun-tahun, William," potong Rosalyn dengan suaranya yang begitu tenang, namun penuh ketajaman.

"Aku melihatmu selingkuh setiap hari, tapi aku berpura-pura buta, berpura-pura tuli, dan berpura-pura bodoh. Tapi sekarang, aku sudah cukup."

"Aku muak, William."

Mendengar jawaban berani Rosalyn, keterkejutan William segera berganti menjadi penuh amarah.

"Kau tidak bisa melakukan ini! Kau istriku! Kau pikir kau siapa, berani meminta cerai seperti ini?" Ucapnya marah sambil mencoba meraih tangan Rosalyn, namun wanita itu lagi-lagi melangkah mundur, menghindarinya seolah dirinya adalah kuman.

"Aku Rosalyn Anderson," Jawab Rosalyn jelas.

"Rosalyn Collin sudah mati terkubur bersama ibuku." Tambahnya lagi sambil tersenyum sinis kearah Irene yang kini tampak begitu syok dibelakang William.

Mendengar keberanian Rosalyn, William merasa mendidih, amarah menguasai dadanya sampai rasanya ingin meleleh. Ia tidak menyangka wanita yang selalu lemah lembut, pendiam, dan menurut kepadanya itu, kini tiba-tiba menunjukkan pembangkangan yang luar biasa.

Baginya, Rosalyn seperti hanyalah sebuah boneka yang akan menerima apapun yang ia lakukan, tapi sekarang?

Melihat William yang hanya diam, tanpa membuang waktu, Rosalyn berbalik pergi dan berjalan menuju kamarnya.

William mencoba mengejarnya, tapi langkah Rosalyn tak berhenti sama sekali, seolah teriakan William yang selalu ia patuhi dulu tak lagi terdengar.

"Rosalyn, jangan konyol! Kembali ke sini! Kita tidak akan bercerai!"

"Rosalyn!"

"Semua ini pasti karena ibumu! Pemakaman itu sudah membuatmu sinting!"

Di belakang mereka, Hanna, yang sejak tadi berusaha memulangkan tamu-tamu sosialitanya dengan perasaan malu luar biasa karena ulah Rosalyn di ruang tamu, mulai ikut campur. Ia melihat adegan kejar-kejaran itu, dan wajahnya langsung memerah padam.

"Berhenti!" teriak Hanna saat mereka sampai di tangga. Ia berdiri di bawah tangga, menunjuk Rosalyn dengan telunjuknya yang dihiasi berlian.

"Rosalyn, kau tidak tahu diri! Kau merusak pestaku, dan sekarang kau membuat keributan ini? Apa yang terjadi padamu?! Kau pikir kau bisa membangkang William hanya karena ibumu mati?!" Teriaknya dengan penuh amarah.

Langkah Rosalyn terhenti. Ia berdiri di tengah tangga, melihat ke bawah. Tatapan matanya kini beralih dari William ke Hanna. Untuk pertama kalinya, kemarahan yang ia tahan selama bertahun-tahun meluap.

"Justru ini yang membuat saya sadar, Nyonya Hanna," balas Rosalyn, suaranya lantang dan bergetar, namun bukan karena ketakutan, melainkan karena amarah yang tertahan.

"Ibu saya mati, dan bahkan suami saya tidak sudi datang. Anak Anda sibuk bercumbu dengan kekasihnya di ruang kerja, sementara saya mengantar Ibu saya ke peristirahatan terakhirnya."

Hanna terhenyak, tidak menyangka Rosalyn akan berani membalas. Padahal ia biasanya hanya diam dan menunduk.

"Jaga bicaramu! Kau tidak berhak menyalahkan anakku! William sibuk mengurus perusahaan!"

"Mengurus perusahaan? Apa bergulung-gulung bersama pelacur itu termasuk mengurus perusahaan?" Tanya Rosalyn tajam sambil melirik Irene yang berdiri di belakang William dengan baju acak-acakan.

"Lagi pula perusahaan yang 80% sahamnya disokong oleh koneksi keluarga saya?" Rosalyn mendengus, tawa sinisnya terdengar tajam.

"Atau Anda lupa, Nyonya? Siapa yang dulu merangkak memohon agar keluarga saya mau menanamkan modal di perusahaan putra Anda yang hampir bangkrut itu?"

Wajah Hanna memucat. Ia hanya diam saat fakta yang berusaha ia lupakan itu malah diungkit-ungkit oleh Rosalyn.

Clara, yang baru saja datang, ikut maju sambil menunjuk Rosalyn dengan marah.

"Kau gila, Rosalyn! Kau tahu apa yang kau katakan?! Kau sudah tidak waras karena ibumu mati!"

"Lagipula jelas dong kakak lebih milih Kak Irene ketimbang wanita mandul yang tidak bisa memberikan anak seperti kamu!" Ejek Clara sambil menatap menghina ke arah Rosalyn.

Rosalyn hanya tersenyum sinis; dengan santai ia menjawab.

"Kalau begitu nikahkan saja kakakmu itu dengan Irene sekarang.

"Rosalyn, kau! Berhenti bicara omong kosong!" teriak William semakin marah karena Rosalyn yang semakin berani.

"Omong kosong? Baiklah kalau begitu," jawab Rosalyn tersenyum pahit; kini matanya benar-benar dingin.

"Saya sudah selesai, William. Saya sudah selesai dengan permainan sandiwara ini. Nikmati hidup Anda dengan wanita simpanan Anda, dan nikmati sisa-sisa kehancuran yang akan segera menimpa Anda." Ucap Rosalyn dingin kemudian meneruskan langkah menuju kamarnya. Mengabaikan teriakan William yang marah dan tatapan syok Hanna dan Clara.

Ia hanya mengambil sebuah koper kecil yang sudah ia siapkan, berisi beberapa pakaian penting dan dokumen rahasia. Meninggalkan perhiasan-perhiasan mewah yang tergeletak tak berguna di meja.

Melangkah mantap sambil menggeret kopernya, Rosalyn mengabaikan teriakan William yang memintanya kembali, sedangkan Hanna dan Clara hanya berdiri diam seolah patung dengan ekspresi terkejut yang belum juga hilang.

"Rosalyn berhenti!"

"Kita tidak bisa bercerai!"

"Rosalyn!"

"Rosalyn kembali!"

Rosalyn hanya tersenyum sinis saat mendengar teriakkan William yang putus asa, tapi pendiriannya sudah teguh. Ia akan tetap bercerai.

Dengan perasaan yang baru, ia melangkah keluar melewati mansion Collin dengan ringan, sebelum akhirnya membanting pintu dengan kuat.

Pintu yang tertutup rapat seolah mengunci semua kenangan-kenangan menyakitkan didalam mansion itu. Rosalyn hanya melirik sekilas sambil bergumam.

"Tunggu saja pembalasanku, William."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 8

    Srakk"Brengsek! Kenapa dokumen-dokumen sialan ini begitu banyak?"William melemparkan beberapa dokumen di mejanya dengan kesal saat pekerjaannya tak kunjung juga selesai dari tadi.Ia melirik kearah jendela yang kini sudah berganti menjadi gelap dan lampu-lampu dari gedung-gedung sekitarnya yang terlihat jelas."Sialan, kapan selesainya ini semua?" Umpat William kesal sambil memijit kepalanya yang terasa ingin pecah.Padahal ia hanya ingin membolos sehari dan menghabiskan hari dengan tidur karena badannya yang terasa remuk, tapi asistennya terus saja menelepon dirinya dan memaksanya untuk pergi ke kantor.Dan sekarang dokumen sialan-sialan ini seakan menahan dirinya untuk pulang!Hah…Helaan nafas kasar lolos begitu saja darinya. William lagi-lagi memijit kepalanya saat membacakan salah satu dokumen laporan keuangan yang terus merosot.Karena isu perceraiannya dengan Rosalyn, saham perusahaannya tiba-tiba anjlok; banyak para pemegang saham yang menarik uang mereka setelah tahu bahwa

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 7

    "Terimakasih atas kunjungan Anda, Nona. Semoga Anda sehat selalu dan hati-hati di jalan." Rosalyn mengangguk singkat saat manajer mal itu menunduk sopan setelah selesai memberikan laporannya. Melanjutkan langkahnya, Rosalyn mengedarkan pandangannya pada seluruh sudut mall yang sangat ramai karena hari weekend. Perkembangan mall ini cukup pesat; banyak toko-toko terkenal, bahkan asing, masuk, membuat mall ini semakin ramai dari minggu ke minggu. Ternyata pengaruh kakeknya sangat kuat, tapi mulai sekarang mal ini adalah tanggung jawabnya. Ia tak mau hanya berdiam diri saja; setidaknya ia bisa membantu bisnis kakeknya dengan ini. "Rosalyn?" Sebuah suara nyaring tiba-tiba memanggilnya dari belakang. Rosalyn tak perduli dan meneruskan langkahnya, tapi suara nyaring itu kembali terdengar, membuatnya akhirnya menoleh ke belakang. Tapi seketika wajahnya menjadi datar saat tahu siapa orang yang memanggilnya itu. Irene Angel sedang berlari ke arahnya. "Wah, kebetulan sekali kita be

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 6

    Keadaan mansion Collin semakin kacau; William, yang kemarin pulang dengan wajah penuh luka, kini malah memilih mengunci diri di kamar. Hanna, yang sejak tadi mendapatkan telepon dari kantor bahwa keadaan kantor juga sedang kacau, kini semakin merasa was-was. Apalagi William yang malah mengunci diri di kamar dibandingkan berangkat bekerja. "Bagaimana ini, Ma?" "Apalagi sih, Clara?" Omel Hanna kesal saat putrinya malah ikut turut merepotkan. "Ini, surat cerai kembali dikirim dari pengadilan." Ucap Clara sambil mengangkat sebuah map dokumen berstempel pengadilan yang terlihat jelas. Melihat itu, Hanna langsung merebut dokumen itu dari tangan putrinya. Dengan tak sabar ia mengeluarkan isi dokumen itu dan membacanya. "Apa?" "Jangan-jangan kakakmu belum juga menandatangani surat cerai ini sampai ini dikirim kembali?" Gumam Hanna dengan geram. "Makanya itu ma, bagaimana kalau kakak bersikeras tidak mau bercerai dengan si mandul itu?" ucap Clara, merasa resah karena kakaknya tak kunju

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 5

    William memanggil Rosalyn dengan suaranya parau dan putus asa. Ia berusaha melangkah maju dengan susah payah, tangannya terentang, seolah ingin meraih satu-satunya tali penyelamatnya. "Rosalyn," "Rosalyn, aku mohon! Dengarkan aku!" "Rosalyn!" Tapi meskipun ia memanggilnya dengan sangat putus asa, Rosalyn tak menoleh sedikitpun; ia bahkan seolah tak melihat keberadaan dirinya yang penuh luka saat ini. Ia sungguh tak percaya, perempuan yang begitu mencintainya kini berubah menjadi dingin seperti itu. Tapi ditengah kalut pikirannya, Rosalyn tiba-tiba berhenti membuat matanya seketika berbinar. Rosalyn berhenti tepat di depan pintu utama Mansion Anderson. Tapi ia hanya melirik sekilas ke arah William. Hanya sekilas. Tatapan matanya begitu dingin, nyaris kosong, tanpa sedikit pun emosi iba atau kasihan. Ia melihat William yang penuh luka, namun seolah melihat sebongkah batu yang tak berarti. Tanpa berkata apa-apa, Rosalyn melanjutkan langkahnya dan menghilang di balik pintu. Mening

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 4

    ​"Berani kau datang ke sini?" ​William langsung tersungkur saat sebuah bogem mentah menghantam wajahnya saat ia baru saja menginjakkan kaki ke dalam mansion Anderson. Ia bahkan belum sempat membuka mulut untuk berbicara atau hanya sekadar menyapa. William yang terkejut merasakan tubuhnya ambruk di lantai marmer yang dingin. Rasa sakit seketika menjalar dari rahangnya ke seluruh kepala. Tapi sepertinya ​Alexander tidak memberinya waktu untuk bangkit. Ia melangkah maju dengan sorot matanya tajam dan dipenuhi kemarahan yang membabi buta. ​"Kau pikir kau siapa?!" teriak Alexander dengan nada yang bergetar penuh luapan emosi. Ia menarik kerah kemeja William dan memaksa pria itu menatapnya, lalu tanpa basa-basi kembali melayangkan tinju kedua ke perut William. BUGH! "Arghhh" ​William mengerang kesakitan, tubuhnya meringkuk. "Alexander... tunggu..." ​"Tunggu?! Kau bilang tunggu?!" Alexander membentaknya, tidak memedulikan permohonan itu. Ia menarik William berdiri, lalu menghajar

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 3

    Sebuah mobil hitam mewah melaju jauh meninggalkan hiruk-pikuk kota, menembus area perbukitan yang diselimuti kabut tipis sore hari. Setelah perjalanan yang terasa membebaskan, mobil itu akhirnya melambat dan berbelok memasuki gerbang besi tempa tinggi yang terkesan kuno. Di ujung jalan, rumah megah bergaya Eropa klasik berdiri tegak, memancarkan aura misterius yang anggun. Ini adalah rumah Kakek Hans, satu-satunya tempat yang terasa seperti tempat "pulang" baginya di tengah badai kehidupan. Rosalyn turun dari mobil sambil menggeret kopernya; langkahnya yang lebar membawanya cepat sampai di depan pintu tinggi dengan banyak ukiran di sana. Ia kemudian mengetuk pintu itu. Tak lama, pintu terbuka, dan sosok Kakek Hans muncul, rambut putihnya disisir rapi, tapi sedetik kemudian matanya yang tajam memancarkan keterkejutan. "Rosalyn? Kenapa kamu di sini?" tanya Kakek Hans bingung, nada suaranya sedikit bergetar. Rosalyn menatap kakeknya; tatapannya datar namun penuh keyakinan. "Aku a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status