Share

Bab 3

Author: Neby_an
last update Last Updated: 2025-08-23 23:58:15

Sebuah mobil hitam mewah melaju jauh meninggalkan hiruk-pikuk kota, menembus area perbukitan yang diselimuti kabut tipis sore hari.

Setelah perjalanan yang terasa membebaskan, mobil itu akhirnya melambat dan berbelok memasuki gerbang besi tempa tinggi yang terkesan kuno.

Di ujung jalan, rumah megah bergaya Eropa klasik berdiri tegak, memancarkan aura misterius yang anggun. Ini adalah rumah Kakek Hans, satu-satunya tempat yang terasa seperti tempat "pulang" baginya di tengah badai kehidupan.

Rosalyn turun dari mobil sambil menggeret kopernya; langkahnya yang lebar membawanya cepat sampai di depan pintu tinggi dengan banyak ukiran di sana. Ia kemudian mengetuk pintu itu.

Tak lama, pintu terbuka, dan sosok Kakek Hans muncul, rambut putihnya disisir rapi, tapi sedetik kemudian matanya yang tajam memancarkan keterkejutan.

"Rosalyn? Kenapa kamu di sini?" tanya Kakek Hans bingung, nada suaranya sedikit bergetar.

Rosalyn menatap kakeknya; tatapannya datar namun penuh keyakinan.

"Aku akan tinggal di sini sekarang, Kek, aku akan bercerai." Jawabnya santai sambil berjalan masuk ke dalam rumah.

Kakek Hans yang begitu terkejut hanya diam sambil mengedipkan matanya pelan, namum setelahnya ia melangkah maju, dan memeluk cucunya itu erat-erat.

"Akhirnya. Itu keputusan yang paling tepat, Rosalyn," bisik Kakek Hans sambil melepaskan pelukannya. Akhirnya ia merasa lega saat cucunya bisa terlepas dari ikatan pernikahan yang jelas merugikan Rosalyn itu.

"Selamat datang kembali, Nak. Rumah ini selalu menjadi milikmu." Ucap Kakek Hans dengan senyum tulusnya.

Rosalyn ikut tersenyum; dia memperhatikan wajah kakeknya yang sudah keriput dengan perasaan lega. Memang kakeknya lah yang paling mengerti dirinya.

"Terimakasih, Kek."

Rosalyn melangkah masuk ke dalam rumah. Langkahnya terasa ringan saat ia menginjakkan kaki lagi di rumah kakeknya. Berjalan menuju lantai dua, Rosalyn tanpa sadar begitu semangat saat menuju kamar yang pernah ia tinggali saat kecil.

Membuka pintu kamar, kamar itu masih sama. Ranjang kayu berukir, lemari antik, dan meja belajar yang penuh goresan pensil.

Ia berjalan ke arah meja di sudut kamar, dan membuka sebuah laci tersembunyi yang hanya ia yang tahu.

Disana tersimpan sebuah kotak kecil dari kayu. Didalamnya terbaring rapi koleksi 'mainannya' saat kecil: beberapa bilah belati kecil, pisau lipat, dan sebuah belati ramping kesayangannya.

Rosalyn meraih belati ramping itu, memutarnya perlahan di jari-jarinya. Rasa dingin logam itu seolah menenangkan jiwanya.

Kakek Hans, yang diam-diam mengikuti Rosalyn hanya berdiri kaku di ambang pintu. Melihat Rosalyn memegang belati kecil itu, ingatannya seketika terlempar ke masa lalu.

Flashback

Sejak umur 4 tahun, Rosalyn ia rawat karena istrinya yang baru saja meninggal. Karena tak mampu melawan rasa kesepian yang mencekik, ia akhirnya meminta Rosalyn agar tinggal bersamanya.

Tapi Rosalyn kecil sering menghilang dari pandangannya. Dan saat cucunya berusia lima tahun, ia menemukan Rosalyn duduk tenang di taman belakang. Seperti tidak ada yang aneh, tapi Rosalyn dikelilingi bangkai serangga dan kupu-kupu yang sudah tak berbentuk. Cucunya tidak menangis atau takut; dia malah tersenyum, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang aneh.

"Kakek, lihat! Mereka berhenti bergerak," kata Rosalyn kecil polos, menunjukkan serangga yang ia remas hancur di tangannya.

Hans masih mencoba bersabar dan menganggap itu hanya kenakalan anak-anak yang belum mengerti konsep kehidupan. Namun, keanehan itu memuncak saat Rosalyn berusia enam tahun.

Kala itu, ia membawanya ke peternakan di desa. Di sana, ada seekor domba yang sakit-sakitan, terpisah dari kawanannya.

Rosalyn kecil mendekati domba itu, mengelus bulunya dengan lembut. Ia berpikir, akhirnya cucunya menunjukkan empati kepada sesama makhluk hidup.

Tapi beberapa jam kemudian Rosalyn hilang, dan ia menemukan Rosalyn ada di gudang. Gadis kecil itu memegang pisau dapur besar, entah milik siapa, yang sudah berlumuran darah. Di kakinya, tergeletak domba yang sakit itu, sudah tak bernyawa.

"Kakek!" Rosalyn kecil riang berseru.

"Domba itu kesakitan. Aku sudah menenangkannya."

Kakek Hans terperangah. Ia tahu, di balik wajah polos itu, ada sesuatu yang berbeda. Rasa kasihan dan cara mengekspresikannya pada Rosalyn tidak seperti anak normal.

Rosalyn bahkan masih bisa tersenyum riang dengan baju dan tubuhnya yang berlumuran darah, tidak terganggu sama sekali dengan bau anyir darah yang memuakkan.

Kabar tentang keanehan Rosalyn itu akhirnya sampai ke telinga Melina, ibu Rosalyn.

Melina yang panik, percaya bahwa putrinya mengidap kelainan mental, segera membawa Rosalyn pindah ke kota. Sejak saat itu, Melina mati-matian mendoktrin Rosalyn agar menjadi wanita lembut, penurut, dan tidak egois—semua hal yang ia yakini akan 'menyembuhkan' putrinya.

Flashback Off

Kakek Hans menghela napas pelan. Melihat Rosalyn yang tampak begitu tenang bermain dengan belati tajam itu mengingatkannya pada saat Rosalyn kecil.

Usaha Melina untuk 'menormalkan' Rosalyn ternyata sia-sia. Doktrin dan penekanan itu hanya menciptakan selubung tipis yang kini terlepas.

"Sia-sia semua yang kau lakukan, Mel," gumam Kakek Hans lirih, seolah bicara pada putrinya yang sudah di alam lain.

Keesokan paginya, kekacauan mulai terjadi di kota.

Bersamaan dengan surat cerai yang datang, berita perceraian William Collin dan Rosalyn Anderson menyebar dengan cepat, membuat perusahaan William seketika gempar.

"Tuan William! Saham kita anjlok 40%! Para investor khawatir dengan isu perceraian Anda!" teriak sekretaris William dengan wajah yang pucat pasi.

William, yang baru tiba di kantor merasakan jantungnya mencelos. Ia bergegas ke ruang kerjanya, dan melihat grafik saham yang terus merosot.

"Sialan!" Maki William tidak bisa menyembunyikan kemarahan sedikitpun.

Ia mengacak-acak rambutnya dengan putus asa. Kepalanya langsung terasa pusing sekarang, bukan hanya karena masalah perusahaan, tapi karena Rosalyn tidak kunjung kembali dan ia tidak bisa menemukan Rosalyn di mana pun.

Nomor Rosalyn tidak aktif. Ia juga sudah mencoba mencari di tempat-tempat biasa Rosalyn berkunjung, namun tak ada jejak sedikitpun.

Hanya sebuah surat cerai yang datang kepadanya.

Ia pikir Rosalyn hanya merajuk biasa dan akan kembali seperti biasanya, tapi ternyata Rosalyn benar-benar serius ingin bercerai dengannya.

"Sialan!"

"Aku tidak bisa terus diam seperti ini; aku harus pergi ke mansion Anderson sekarang."

BUGH!!!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 8

    Srakk"Brengsek! Kenapa dokumen-dokumen sialan ini begitu banyak?"William melemparkan beberapa dokumen di mejanya dengan kesal saat pekerjaannya tak kunjung juga selesai dari tadi.Ia melirik kearah jendela yang kini sudah berganti menjadi gelap dan lampu-lampu dari gedung-gedung sekitarnya yang terlihat jelas."Sialan, kapan selesainya ini semua?" Umpat William kesal sambil memijit kepalanya yang terasa ingin pecah.Padahal ia hanya ingin membolos sehari dan menghabiskan hari dengan tidur karena badannya yang terasa remuk, tapi asistennya terus saja menelepon dirinya dan memaksanya untuk pergi ke kantor.Dan sekarang dokumen sialan-sialan ini seakan menahan dirinya untuk pulang!Hah…Helaan nafas kasar lolos begitu saja darinya. William lagi-lagi memijit kepalanya saat membacakan salah satu dokumen laporan keuangan yang terus merosot.Karena isu perceraiannya dengan Rosalyn, saham perusahaannya tiba-tiba anjlok; banyak para pemegang saham yang menarik uang mereka setelah tahu bahwa

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 7

    "Terimakasih atas kunjungan Anda, Nona. Semoga Anda sehat selalu dan hati-hati di jalan." Rosalyn mengangguk singkat saat manajer mal itu menunduk sopan setelah selesai memberikan laporannya. Melanjutkan langkahnya, Rosalyn mengedarkan pandangannya pada seluruh sudut mall yang sangat ramai karena hari weekend. Perkembangan mall ini cukup pesat; banyak toko-toko terkenal, bahkan asing, masuk, membuat mall ini semakin ramai dari minggu ke minggu. Ternyata pengaruh kakeknya sangat kuat, tapi mulai sekarang mal ini adalah tanggung jawabnya. Ia tak mau hanya berdiam diri saja; setidaknya ia bisa membantu bisnis kakeknya dengan ini. "Rosalyn?" Sebuah suara nyaring tiba-tiba memanggilnya dari belakang. Rosalyn tak perduli dan meneruskan langkahnya, tapi suara nyaring itu kembali terdengar, membuatnya akhirnya menoleh ke belakang. Tapi seketika wajahnya menjadi datar saat tahu siapa orang yang memanggilnya itu. Irene Angel sedang berlari ke arahnya. "Wah, kebetulan sekali kita be

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 6

    Keadaan mansion Collin semakin kacau; William, yang kemarin pulang dengan wajah penuh luka, kini malah memilih mengunci diri di kamar. Hanna, yang sejak tadi mendapatkan telepon dari kantor bahwa keadaan kantor juga sedang kacau, kini semakin merasa was-was. Apalagi William yang malah mengunci diri di kamar dibandingkan berangkat bekerja. "Bagaimana ini, Ma?" "Apalagi sih, Clara?" Omel Hanna kesal saat putrinya malah ikut turut merepotkan. "Ini, surat cerai kembali dikirim dari pengadilan." Ucap Clara sambil mengangkat sebuah map dokumen berstempel pengadilan yang terlihat jelas. Melihat itu, Hanna langsung merebut dokumen itu dari tangan putrinya. Dengan tak sabar ia mengeluarkan isi dokumen itu dan membacanya. "Apa?" "Jangan-jangan kakakmu belum juga menandatangani surat cerai ini sampai ini dikirim kembali?" Gumam Hanna dengan geram. "Makanya itu ma, bagaimana kalau kakak bersikeras tidak mau bercerai dengan si mandul itu?" ucap Clara, merasa resah karena kakaknya tak kunju

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 5

    William memanggil Rosalyn dengan suaranya parau dan putus asa. Ia berusaha melangkah maju dengan susah payah, tangannya terentang, seolah ingin meraih satu-satunya tali penyelamatnya. "Rosalyn," "Rosalyn, aku mohon! Dengarkan aku!" "Rosalyn!" Tapi meskipun ia memanggilnya dengan sangat putus asa, Rosalyn tak menoleh sedikitpun; ia bahkan seolah tak melihat keberadaan dirinya yang penuh luka saat ini. Ia sungguh tak percaya, perempuan yang begitu mencintainya kini berubah menjadi dingin seperti itu. Tapi ditengah kalut pikirannya, Rosalyn tiba-tiba berhenti membuat matanya seketika berbinar. Rosalyn berhenti tepat di depan pintu utama Mansion Anderson. Tapi ia hanya melirik sekilas ke arah William. Hanya sekilas. Tatapan matanya begitu dingin, nyaris kosong, tanpa sedikit pun emosi iba atau kasihan. Ia melihat William yang penuh luka, namun seolah melihat sebongkah batu yang tak berarti. Tanpa berkata apa-apa, Rosalyn melanjutkan langkahnya dan menghilang di balik pintu. Mening

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 4

    ​"Berani kau datang ke sini?" ​William langsung tersungkur saat sebuah bogem mentah menghantam wajahnya saat ia baru saja menginjakkan kaki ke dalam mansion Anderson. Ia bahkan belum sempat membuka mulut untuk berbicara atau hanya sekadar menyapa. William yang terkejut merasakan tubuhnya ambruk di lantai marmer yang dingin. Rasa sakit seketika menjalar dari rahangnya ke seluruh kepala. Tapi sepertinya ​Alexander tidak memberinya waktu untuk bangkit. Ia melangkah maju dengan sorot matanya tajam dan dipenuhi kemarahan yang membabi buta. ​"Kau pikir kau siapa?!" teriak Alexander dengan nada yang bergetar penuh luapan emosi. Ia menarik kerah kemeja William dan memaksa pria itu menatapnya, lalu tanpa basa-basi kembali melayangkan tinju kedua ke perut William. BUGH! "Arghhh" ​William mengerang kesakitan, tubuhnya meringkuk. "Alexander... tunggu..." ​"Tunggu?! Kau bilang tunggu?!" Alexander membentaknya, tidak memedulikan permohonan itu. Ia menarik William berdiri, lalu menghajar

  • Siapa Sang Kekasih   Bab 3

    Sebuah mobil hitam mewah melaju jauh meninggalkan hiruk-pikuk kota, menembus area perbukitan yang diselimuti kabut tipis sore hari. Setelah perjalanan yang terasa membebaskan, mobil itu akhirnya melambat dan berbelok memasuki gerbang besi tempa tinggi yang terkesan kuno. Di ujung jalan, rumah megah bergaya Eropa klasik berdiri tegak, memancarkan aura misterius yang anggun. Ini adalah rumah Kakek Hans, satu-satunya tempat yang terasa seperti tempat "pulang" baginya di tengah badai kehidupan. Rosalyn turun dari mobil sambil menggeret kopernya; langkahnya yang lebar membawanya cepat sampai di depan pintu tinggi dengan banyak ukiran di sana. Ia kemudian mengetuk pintu itu. Tak lama, pintu terbuka, dan sosok Kakek Hans muncul, rambut putihnya disisir rapi, tapi sedetik kemudian matanya yang tajam memancarkan keterkejutan. "Rosalyn? Kenapa kamu di sini?" tanya Kakek Hans bingung, nada suaranya sedikit bergetar. Rosalyn menatap kakeknya; tatapannya datar namun penuh keyakinan. "Aku a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status