William memanggil Rosalyn dengan suaranya parau dan putus asa. Ia berusaha melangkah maju dengan susah payah, tangannya terentang, seolah ingin meraih satu-satunya tali penyelamatnya.
"Rosalyn," "Rosalyn, aku mohon! Dengarkan aku!" "Rosalyn!" Tapi meskipun ia memanggilnya dengan sangat putus asa, Rosalyn tak menoleh sedikitpun; ia bahkan seolah tak melihat keberadaan dirinya yang penuh luka saat ini. Ia sungguh tak percaya, perempuan yang begitu mencintainya kini berubah menjadi dingin seperti itu. Tapi ditengah kalut pikirannya, Rosalyn tiba-tiba berhenti membuat matanya seketika berbinar. Rosalyn berhenti tepat di depan pintu utama Mansion Anderson. Tapi ia hanya melirik sekilas ke arah William. Hanya sekilas. Tatapan matanya begitu dingin, nyaris kosong, tanpa sedikit pun emosi iba atau kasihan. Ia melihat William yang penuh luka, namun seolah melihat sebongkah batu yang tak berarti. Tanpa berkata apa-apa, Rosalyn melanjutkan langkahnya dan menghilang di balik pintu. Meninggalkan William yang hanya bisa melihat kepergian Rosalyn dengan nanar. Harapannya yang sempat melambung tinggi seketika musnah, remuk tak bersisa. Ia ditinggalkan begitu saja. Rasanya sakit di tubuhnya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Wanita yang dulu begitu mencintainya, yang selalu menuruti setiap perkataannya, kini berubah menjadi seseorang yang begitu dingin dan tak peduli. "Rosalyn! ROSALYN!" teriak William, masih berusaha mengejar Rosalyn. Ia berlari terhuyung-huyung, namun rasa sakit di kakinya seolah ingin menghentikannya. Tiba-tiba, dua orang satpam yang menjaga gerbang bergegas mendekatinya. Wajah mereka terlihat jengkel. "Tuan Collin, Anda harus pergi dari sini," ujar salah satu satpam dengan nada tegas, sama sekali tanpa rasa hormat. "Tidak! Aku harus bicara dengan istriku! Dia istriku!" Teriak William meronta. "Status Anda bukan lagi suami Nyonya Muda kami," balas satpam lainnya, lalu tanpa basa-basi mereka mencengkeram lengan William yang babak belur dengan kejam. "Pergi sebelum kami memanggil polisi!" Ancam saat itu dan dengan paksa menyeret William agar pergi, mengabaikan teriakan kesakitan William dan penuh pemberontakan yang tak berarti apa-apa. Sebelum benar-benar dilempar masuk ke dalam mobil, ia menatap pintu mansion Anderson yang tertutup rapat dengan penuh kebencian; rasa gusar dan amarah membakar hatinya. Rosalyn Anderson, kau akan menyesali ini! Sedangkan di sisi lain, Irene Angel berjalan berlenggak-lenggok memasuki mansion mewah Collin dengan percaya diri. Saat menemukan seorang pelayan, dia bertanya dengan nada congkak. "Apa William sudah berangkat ke kantor?" Pelayan yang tiba-tiba mendapatkan pertanyaan itu sontak menunduk sopan saat melihat siapa lawan bicaranya. Irene Angel, artis terpopuler sekaligus selingkuhan tuannya. "Heh! Ditanya tuh jawab!" Bentak Irene kesal saat pelayan itu malah hanya diam. "Mm, maaf, Nona, tuan sudah berangkat dari tadi." Jawab pelayan itu tanpa mengangkat wajahnya. Irene hanya mengangguk sekilas; setelahnya, ia melenggang pergi dengan santai, membuat pelayan yang tadi sedang bertugas sontak mendengus. "Masih selingkuhan aja lagaknya seperti nyonya rumah," gumamnya dengan kesal. Tapi meskipun pelayan itu mendumel, Irene jelas tak mendengar karena dia sudah sampai di ruang tengah. Saat melihat Hanna dan Clara ada di sana, seketika matanya berbinar penuh. "Tante…" Hanna dan Clara sontak saling lirik saat melihat kedatangan Irene. Mereka yang tengah asyik menonton film seketika menghentikan aktivitas mereka. "William sudah berangkat ke kantor," ucap Hanna langsung saat Irene ikut duduk di sofa ruang tengah. "Tidak apa-apa, Tante, Irene kesini untuk bertemu dengan Tante. Ini Irene bawakan kue kesukaan Tante," jawab Irene tersenyum ramah sambil menaruh sebuah kotak kue besar di meja dan mendekatkannya pada Hanna. Melihat apa yang dibawa Irene, sontak Hanna berwajah cerah. Dia dengan segera mengambil kotak itu dan membukanya. Clara yang ada disebelahnya juga sama, ia dengan semangat mengambil kue itu dan memakannya. "Ini enak, Kak Irene," ucap Clara sambil mengunyah kue itu dalam mulutnya. "Terimakasih, Irene, kamu repot-repot segala." Ucap Hanna sambil tersenyum. "Ah, tidak apa-apa, Tante," jawab Irene sambil tersenyum malu. "Oh iya, lalu kenapa kamu kesini, Ren?" "Irene ingin bertanya tentang William, Tante. Akhir-akhir ini William sulit sekali untuk dihubungi, dan dia sedikit berbeda." Jawab Irene dengan nada sedih. Mendengar itu, Clara dan Hanna sontak menaruh kue mereka. Perhatian mereka langsung terfokus kepada Irene, yang kini terlihat begitu sedih. "Bersabarlah, Irene; itu karena William sedang menghadapi perceraiannya sekarang." "Apa benar?" Tanya Irene dengan wajah terkejutnya yang begitu alami. "Iya, Kak Irene, tenang saja, sebentar lagi kakak akan bercerai dengan perempuan mandul itu!" Ucap Clara dengan begitu menggebu-gebu. Hari-hari perasaannya begitu tenang karena tahu kakaknya akan bercerai dengan Rosalyn busuk itu. Dan akhirnya ia akan memiliki kakak ipar yang begitu cantik dan keren seperti Kak Irene! "Ya jadi, biarkan dulu William menyesuaikan keadaannya. Jika keadaan sudah membaik, dia pasti akan kembali seperti biasanya." Ucap Hanna dengan tenang, ia yakin William masih membutuhkan waktu sekarang. "Tapi kalau William bercerai dengan Rosalyn, bagaimana keadaan wanita itu, Tante? Dia kan begitu mencintai William." Ucap Irene dengan sedih. "I-Irene tidak bermaksud membuat mereka bercerai." "Tidak! Ini bukan salah Kak Irene; wanita itu yang memang tidak pantas untuk kakakku!" Jawab Clara dengan cepat. "Benar Irene, mereka bercerai bukan karena mu. Wanita sialan itu yang memutuskan untuk keluar dari rumah ini, jadi jangan merasa bersalah." "Lagipula aku tidak menyukai menantu cacat yang bahkan tidak bisa memberiku cucu," gumam Hanna dengan sinis saat teringat wajah Rosalyn yang begitu ia benci. Mendengar pembelaan itu, Irene berusaha keras untuk menyembunyikan senyum kemenangannya saat ini. Dalam hati ia begitu puas melihat Hanna dan Clara sudah berpihak kepadanya. "Ah, tunggu saja, Rosalyn, setelah kau resmi bercerai, aku yang akan menggantikanmu menjadi nyonya Collin berikutnya, haha," batin Irene penuh kemenangan.Srakk"Brengsek! Kenapa dokumen-dokumen sialan ini begitu banyak?"William melemparkan beberapa dokumen di mejanya dengan kesal saat pekerjaannya tak kunjung juga selesai dari tadi.Ia melirik kearah jendela yang kini sudah berganti menjadi gelap dan lampu-lampu dari gedung-gedung sekitarnya yang terlihat jelas."Sialan, kapan selesainya ini semua?" Umpat William kesal sambil memijit kepalanya yang terasa ingin pecah.Padahal ia hanya ingin membolos sehari dan menghabiskan hari dengan tidur karena badannya yang terasa remuk, tapi asistennya terus saja menelepon dirinya dan memaksanya untuk pergi ke kantor.Dan sekarang dokumen sialan-sialan ini seakan menahan dirinya untuk pulang!Hah…Helaan nafas kasar lolos begitu saja darinya. William lagi-lagi memijit kepalanya saat membacakan salah satu dokumen laporan keuangan yang terus merosot.Karena isu perceraiannya dengan Rosalyn, saham perusahaannya tiba-tiba anjlok; banyak para pemegang saham yang menarik uang mereka setelah tahu bahwa
"Terimakasih atas kunjungan Anda, Nona. Semoga Anda sehat selalu dan hati-hati di jalan." Rosalyn mengangguk singkat saat manajer mal itu menunduk sopan setelah selesai memberikan laporannya. Melanjutkan langkahnya, Rosalyn mengedarkan pandangannya pada seluruh sudut mall yang sangat ramai karena hari weekend. Perkembangan mall ini cukup pesat; banyak toko-toko terkenal, bahkan asing, masuk, membuat mall ini semakin ramai dari minggu ke minggu. Ternyata pengaruh kakeknya sangat kuat, tapi mulai sekarang mal ini adalah tanggung jawabnya. Ia tak mau hanya berdiam diri saja; setidaknya ia bisa membantu bisnis kakeknya dengan ini. "Rosalyn?" Sebuah suara nyaring tiba-tiba memanggilnya dari belakang. Rosalyn tak perduli dan meneruskan langkahnya, tapi suara nyaring itu kembali terdengar, membuatnya akhirnya menoleh ke belakang. Tapi seketika wajahnya menjadi datar saat tahu siapa orang yang memanggilnya itu. Irene Angel sedang berlari ke arahnya. "Wah, kebetulan sekali kita be
Keadaan mansion Collin semakin kacau; William, yang kemarin pulang dengan wajah penuh luka, kini malah memilih mengunci diri di kamar. Hanna, yang sejak tadi mendapatkan telepon dari kantor bahwa keadaan kantor juga sedang kacau, kini semakin merasa was-was. Apalagi William yang malah mengunci diri di kamar dibandingkan berangkat bekerja. "Bagaimana ini, Ma?" "Apalagi sih, Clara?" Omel Hanna kesal saat putrinya malah ikut turut merepotkan. "Ini, surat cerai kembali dikirim dari pengadilan." Ucap Clara sambil mengangkat sebuah map dokumen berstempel pengadilan yang terlihat jelas. Melihat itu, Hanna langsung merebut dokumen itu dari tangan putrinya. Dengan tak sabar ia mengeluarkan isi dokumen itu dan membacanya. "Apa?" "Jangan-jangan kakakmu belum juga menandatangani surat cerai ini sampai ini dikirim kembali?" Gumam Hanna dengan geram. "Makanya itu ma, bagaimana kalau kakak bersikeras tidak mau bercerai dengan si mandul itu?" ucap Clara, merasa resah karena kakaknya tak kunju
William memanggil Rosalyn dengan suaranya parau dan putus asa. Ia berusaha melangkah maju dengan susah payah, tangannya terentang, seolah ingin meraih satu-satunya tali penyelamatnya. "Rosalyn," "Rosalyn, aku mohon! Dengarkan aku!" "Rosalyn!" Tapi meskipun ia memanggilnya dengan sangat putus asa, Rosalyn tak menoleh sedikitpun; ia bahkan seolah tak melihat keberadaan dirinya yang penuh luka saat ini. Ia sungguh tak percaya, perempuan yang begitu mencintainya kini berubah menjadi dingin seperti itu. Tapi ditengah kalut pikirannya, Rosalyn tiba-tiba berhenti membuat matanya seketika berbinar. Rosalyn berhenti tepat di depan pintu utama Mansion Anderson. Tapi ia hanya melirik sekilas ke arah William. Hanya sekilas. Tatapan matanya begitu dingin, nyaris kosong, tanpa sedikit pun emosi iba atau kasihan. Ia melihat William yang penuh luka, namun seolah melihat sebongkah batu yang tak berarti. Tanpa berkata apa-apa, Rosalyn melanjutkan langkahnya dan menghilang di balik pintu. Mening
"Berani kau datang ke sini?" William langsung tersungkur saat sebuah bogem mentah menghantam wajahnya saat ia baru saja menginjakkan kaki ke dalam mansion Anderson. Ia bahkan belum sempat membuka mulut untuk berbicara atau hanya sekadar menyapa. William yang terkejut merasakan tubuhnya ambruk di lantai marmer yang dingin. Rasa sakit seketika menjalar dari rahangnya ke seluruh kepala. Tapi sepertinya Alexander tidak memberinya waktu untuk bangkit. Ia melangkah maju dengan sorot matanya tajam dan dipenuhi kemarahan yang membabi buta. "Kau pikir kau siapa?!" teriak Alexander dengan nada yang bergetar penuh luapan emosi. Ia menarik kerah kemeja William dan memaksa pria itu menatapnya, lalu tanpa basa-basi kembali melayangkan tinju kedua ke perut William. BUGH! "Arghhh" William mengerang kesakitan, tubuhnya meringkuk. "Alexander... tunggu..." "Tunggu?! Kau bilang tunggu?!" Alexander membentaknya, tidak memedulikan permohonan itu. Ia menarik William berdiri, lalu menghajar
Sebuah mobil hitam mewah melaju jauh meninggalkan hiruk-pikuk kota, menembus area perbukitan yang diselimuti kabut tipis sore hari. Setelah perjalanan yang terasa membebaskan, mobil itu akhirnya melambat dan berbelok memasuki gerbang besi tempa tinggi yang terkesan kuno. Di ujung jalan, rumah megah bergaya Eropa klasik berdiri tegak, memancarkan aura misterius yang anggun. Ini adalah rumah Kakek Hans, satu-satunya tempat yang terasa seperti tempat "pulang" baginya di tengah badai kehidupan. Rosalyn turun dari mobil sambil menggeret kopernya; langkahnya yang lebar membawanya cepat sampai di depan pintu tinggi dengan banyak ukiran di sana. Ia kemudian mengetuk pintu itu. Tak lama, pintu terbuka, dan sosok Kakek Hans muncul, rambut putihnya disisir rapi, tapi sedetik kemudian matanya yang tajam memancarkan keterkejutan. "Rosalyn? Kenapa kamu di sini?" tanya Kakek Hans bingung, nada suaranya sedikit bergetar. Rosalyn menatap kakeknya; tatapannya datar namun penuh keyakinan. "Aku a