Share

Di Kantor

Ini di dalam novel.

Ini di dalam novel.

Ini di dalam novel. 

Kalimat itu terus berulang di kepala Diana dan membuatnya pusing. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala Diana seperti bagaimana dia bisa ada disini, kenapa dia yang ada disini, dan caranya dia bisa disini. Seberapa keras pun Diana berusaha mencari jawaban dia tidak menemukannya. 

Gila. Ini gila. Diana membenturkan kepalanya pada kepala jok mobil di depannya membuat supir yang sedang menyetir melirik ke arahnya melalui kaca. Diana tidak memperdulikan itu karena sekarang dia terlalu sibuk untuk memikirkan tentang hidupnya yang begitu konyol. 

Masuk ke dalam novel. Jika sekarang Diana masih duduk di bangku SMA mungkin Diana akan berjingkrak senang tapi umurnya akan menginjak kepala tiga dua tahun lagi. Dia sudah terlalu tua untuk hal seperti ini. 

Jika harus jujur, tidak ada hal yang benar-benar mengikat Diana di dunianya. Karirnya bagus, Diana bangga dengan pekerjaannya tapi hubungan Diana dengan atasannya buruk dan jumlah pekerjaannya banyak. 

Teman-temannya juga sudah mulai berkeluarga dan lebih mementingkan keluarga baru mereka. Untuk bertemu, janjiannya akan sangat sulit. Pada akhirnya Diana akan menghabiskan waktunya dengan membaca atau menonton sendiri di rumah. 

Keluarganya, bukan keluarga yang ideal. Orangtuanya bercerai. Bukan karena adanya orang ketiga tapi mereka menikah muda dan sering bertengkar sampai akhirnya bercerai ketika Diana berumur tiga tahun. 

Ayah dan Ibunya menikah lagi dan memiliki keluarga masing-masing. Yang mengasuh Diana sejak kecil adalah kakek dan neneknya dari kedua pihak orang tuanya tapi mereka sudah meninggal. Diana juga tidak begitu dekat dengan orangtuanya. 

Tapi kedua orangtuanya sering meminta bantuan uang kepada Diana untuk membiayai sekolah adik-adik tiri Diana. Jika Diana membayarkan sekolah salah satu adiknya saja, maka orangtuanya yang lain akan cemburu dan mengatakan kalau Diana pilih kasih. 

Itu sebabnya walau hidup sendiri dan memiliki gaji lumayan, Diana selalu pas-pasan. 

Hidupnya tidak terlalu indah tapi disana banyak orang yang dia kenal dan bisa dia jadikan sandaran. Tetapi kalau disini, Diana bahkan tidak tahu apa keluarganya disini bisa benar-benar disebut keluarga. 

“Nyonya, kita sudah sampai,” ucapan supir itu membuyarkan pikiran Diana. Dia melihat keluar jendela dan menatap pintu masuk pencakar langit di depannya. Seorang petugas parkir membukakan pintu untuk Diana. 

Dia segera keluar dan mengucapkan terima kasih yang cepat yang terdengar seperti racauan tidak jelas. Begitu memasuki lobi Diana bisa merasakan tatapan mata dari karyawan yang melihatnya. 

Jika mengingat bagaimana isi lemari ‘Diana’, reaksi yang diberikan tidak mengherankan. Lagi pula sepertinya tidak ada yang berani menyapa Diana jadi tatapan penasaran dan heran itu bukan masalah untuk Diana. 

“Wah, sepertinya kau mulai tahu apa itu fashion.” Setidaknya itu yang Diana duga walau ternyata salah. Diana memutar badannya dan melihat seorang perempuan yang lebih tua dari Kanya tapi tidak lebih tua dari Diana. 

Perempuan itu memakai rok di atas lutut berwarna putih dengan turtle berwarna hitam yang dibalut dengan jas berwarna putih juga dan sepatu hak tinggi. Gaya dari perempuan ini memang bagus tapi Diana tidak yakin kalau roknya pantas untuk bekerja. 

“Terima kasih…,” Diana melihat kartu pengenal tanda karyawan yang menggantung di leher perempuan itu “Tina. Terima kasih.” 

Perempuan bernama Tina itu mengerutkan dahinya dan menggidik heran. “Kau pasti gila.” ujarnya sambil berlalu melewati Diana dan tidak melupakan untuk menyenggol bahu Diana. 

Kekanakan. Diana memasukan Tina ke dalam list orang yang harus dijauhi tapi mengingat posisi yang terpampang di kartu pengenal Tina sepertinya Diana tidak bisa. Tina adalah wakilnya. 

Mengingat itu, Diana segera mengejar Tina karena dia tidak tahu dimana ruangannya. Untung saja lift masih terbuka dan Diana bisa ikut naik bersama Tina yang jelas tidak suka berada satu lift dengannya. 

Berbeda dengan Kanya yang akan mengeluarkan kata-kata menghina hanya untuk membuat Diana merasa terhina, Tina ternyata hanya diam saja selama mereka di dalam lift. Dan begitu pintu lift terbuka Tina segera menegakkan tubuhnya lalu berjalan keluar lift penuh percaya diri. 

Setiap pegawai melewati Tina mereka tidak akan lupa untuk berhenti dan memberikan sapaan hormat kepadanya. Diana bisa melihat Tina memberikan lirikan dan menyunggingkan senyum kepada Diana. 

Diana mendengus dan melipat kedua tangannya di depan dada sambil berjalan. Tina menunjukan kekuasaannya karena dia tahu tidak akan ada yang menyapa Diana atau memberi hormat kepadanya. 

Cara yang pintar. Setidaknya lebih pintar dari Kanya. Sayang, ini sama sekali tidak berpengaruh kepada Diana. Sejak awal Diana sudah tahu kalau posisinya tidak menguntungkan jadi dia sudah bersiap menerima hal terburuk di kantor. Provokasi seperti itu bukan apa-apa untuk Diana. 

Tak mendapatkan reaksi yang diinginkan, Tina membuang muka. Diana sendiri tak menoleh lagi ke arah Tina dan langsung masuk ke dalam ruangannya. Pintu kayu mahoni itu Diana dorong dan menampilkan ruangan dengan nuansa putih coklat. 

Ruangan kantornya tidak begitu besar tapi ini jelas lebih luas dari pada ruangan kerja tim Diana dulu. Di tengah ruangan ada meja besar berwarna coklat dengan kursi beroda empuk berbahan kulit. Di Sisi kanan ada sofa dengan warna senada lalu di sisi kiri terdapat rak-rak berisikan berkas-berkas. 

Sederhana tapi tetap modis, begitulah kesan ruangan ini bagi Diana. 

Diana mendekati meja lalu menaruh tas di atasnya. Dia berjalan menuju jendela besar tepat di belakang jendela yang menampilkan pemandangan kota. “Pemandangannya tidak buruk.” ujar Diana. 

“Kau santai sekali. Masih bisa menikmati pemandangan bukannya bekerja.” Diana terkejut dan segera berbalik untuk melihat siapa yang masuk tanpa mengetuk pintu. Matanya langsung menyipit tajam melihat Tina yang melenggang ke dalam ruangannya tanpa ada rasa bersalah. 

“Kau tidak mengetuk pintu?” Mendengar perkataan Diana, Tina mendengus lalu mengetuk meja. “Puas?” ujarnya kemudian melempar berkas ke meja. “Periksa. Berkas itu diperlukan untuk siang ini.” 

Diana mengambil berkas itu lalu membukanya. “Untuk siang ini tapi baru diberikan sekarang?” ujarnya sambil mempelajari berkas yang baru saja diberikan. 

“Kau banyak bertanya sekali.” Tina memutar bola matanya malas. 

“Siapa membuat ini?” 

“Dimas.”

“Panggil dia.” kata Diana tenang yang masih mempelajari berkasnya. 

“Periksa saja dan banyak bicara.” Tina berdecak kesal dan melipat kedua tangannya berusaha menunjukan siapa yang lebih berkuasa. 

“Kuulangi lagi panggil Dimas.” 

Tina menggebrak meja dan mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Diana. “Kerjakan apa yang kukatakan dan tidak usah berisik.” Kalimat itu keluar dengan penuh penekanan dan Diana tahu ada ancaman disana. 

Diana menarik satu sudut bibirnya menyunggingkan senyum mencemooh. “Kalau kau tidak mau, akan aku panggil sendiri.” Detik berikutnya Diana sudah berjalan keluar ruangan dengan berkas di tangannya. 

Tina berlari mengejar Diana dengan panik dan segera menarik tangan Diana. Tidak, Diana tidak boleh berinteraksi dengan pegawai manapun. Tina tidak bisa membiarkan itu atau semua usahanya akan hancur!

“Diana! Berhenti! Kau mau kemana?!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status