Ini yang kedua kalinya Natasya masuk ruangan kerja Jayadi. Ruangan yang terasa dingin karena ACnya. Bisa juga karena tingkah lelaki itu yang dingin membekukan. Natasya seperti tak berdaya dan hanya mengikuti saja kata-kata dan permainan Jayadi.
"Jangan pergi dulu. Temani saya." "Ba, baik Pak." Natasya jadi serba salah. Dia khawatir diperlakukan macam-macam oleh si Big Bos. Selain itu Natasya juga khawatir muncul gosip-gosip tentang dirinya dan Jayadi. Apakah lelaki ini sungguh-sungguh merasa kesepian, hingga selalu minta ditemani, pikir Natasya. Sialan, sayakan bukan ibunya yang harus menghibur dan menemani seorang bocah yang kesepian. Lagian, diakan bukan kanak-kanak, seorang lelaki dewasa yang kuat, punya banyak anak buah dan kaya. Natasya terus mengomel dalam hati. Jayadi hanya sibuk dengan handphone usai menyantap mie ayam. Seperti biasa Dina masuk membawakan secangkir kopi. "Kopinya, Pak." "Ya, letakkan di situ." Jayadi menanggapi Dina sambil tetap sibuk memainkan handphonenya. Dengan ragu-ragu Dina keluar dari ruangan, berpikir kalau ada perintah lainnya dari Jayadi. Tapi Jayadi tak melihat sedikitpun pada Dina dan Natasya. Dina pun mulai bertanya-tanya dalam hati. Ada apa Bos Besar berduaan saja dengan Natasya. Sudah dua kali dia mendapatinya. Dalam keraguan, pikiran Dina mulai menduga-duga. Apa Natasya disuruh melayani Jayadi, pikir Dina. Dina yang sudah punya suami, sangat paham lelaki memiliki kebutuhan sex yang tinggi. Tapi kenapa si Bos, melakukannya di kantor ini. Apa tak ada tempat lain dan wanita lainnya. Ah sudah ah, Dina tak mau memulai gosip di kantor ini. Dina yakin, Bu Lena dan Wika yang sering keluar masuk ruangan si Bos, tahu tentang hal ini. "Kamu merasa terpaksa menemani saya?" Pertanyaan Jayadi menyentakan lamunan Natasya. Ia mencoba mengangkat wajah dan melihat sekilas mata Jayadi. "Ti, tidak, Pak." Natasya menjawab dengan perasaan cemas dan wajah tiba-tiba bersemu merah. Natasya sebenarnya menaruh harapan akan janji si Big Bos ini untuk memberinya pekerjaan. Natasya sudah capek jadi pedagang mie ayam. Menerima tawaran dan iming-iming pekerjaan dari seorang pengusaha kaya raya tentu sesuatu yang sangat diharapkannya. "Benar, kamu tak terpaksa?" Intonasi suara Jayadi meninggi. Lelaki itu tiba-tiba menghampiri Natasya yang duduk penuh rasa khawatir. Ia berdiri di sebelah Natasya. Jayadi melihat rambut gadis itu hitam lebat dan tengkuknya yang putih di sela leher kaos oblong yang dipakainya. "Benar, Pak. Saya tidak terpaksa," jawab Natasya gugup. Ia kian gugup saat mendengar nafas Jayadi sangat dekat dengan tengkuknya. Jayadi tidak hanya merasakan getaran rasa kasih sayang saat dekat dengan Natasya, tapi seluruh sarafnya seperti bergetar. Ada sesuatu yang terbangun dari dalam dirinya. Sesuatu yang selama ini terpendam dan tak menemukan saluran. Itulah gairah seksual yang telah lama tak muncul dari dalam tubuhnya. *** Jayadi pernah ditawari dan dihadiahi wanita-wanita penghibur oleh kolega dan anak buahnya, namun tak satupun yang membangkitkan hasrat seksual Jayadi. Bahkan kolega bisnis yang seusia dan kawan-kawannya mengatakan Jayadi memiliki kelainan. Ada yang menyangka Jayadi seorang gay. "Sialan! Aku bukan gay!" Bentak Jayadi pada Albert kawannya yang bekerja sebagai manajer marketing sebuah perusahaan rokok. "Hahaha. Terus apa dong." Albert menertawakan sahabatnya. Itu terjadi beberapa hari yang lalu, ketika Albert memperkenal seorang cewek yang bekerja sebagai SPG. Albert sengaja meninggalkan Siska bersama Jayadi di sebuah tempat hiburan malam, saat mereka melepas penat di malam Minggu. Susah payah Siska merayu Jayadi namun tak berhasil. "Saya menyerah, Bos," kata Siska pada Albert. "Dasar, sialan tuh orang. Benar-benar sudah mati rasa." Albert menggerutu mendengar laporan Siska. Siska yang ditugaskan Albert merayu dan menggoda Jayadi tak juga berhasil. "Memang payah temanmu yang satu ini, Bos." Siska yang sudah terbiasa menggoda dan merayu laki-laki, baru kali ini merasa gagal. Tubuhnya yang seksi dan kecantikannya yang biasa meluluhkan banyak pria, mentok berhadapan dengan Jayadi. Albert berpikir keras dengan cara apa dan perempuan yang bagaimana dia bisa membuat sahabatnya itu jatuh cinta. Kalaupun tak jatuh cinta setidaknya tertarik dan berselera pada seorang cewek. Albert sebenarnya kasihan melihat Jayadi belum punya pasangan. Ia juga sering diminta bantuan oleh ke dua orang tua Jayadi mencarikan jodoh untuk Jayadi. Albert sendiri sudah punya anak satu dan istri yang cantik. Mereka sering berkunjung ke rumah Jayadi karena antara Albert dan Jayadi sudah seperti saudara. Mereka bersahabat sejak SMP. Orang tua Jayadi terkadang menggendong putra Albert yang sudah berumur satu setengah tahun. Albert juga kasihan melihat kedua orang tua Jayadi yang selalu mengatakan sudah pingin punya menantu dan cucu. *** Kini ketika berhadapan dengan Natasya, Jayadi merasakan seluruh saraf dan ototnya bergerak. Ingin rasanya dia merangkul dan memeluk gadis yang duduk membeku di hadapannya dengan sepenuh hati. Ia masih bisa mengendalikan diri untuk berlaku tidak senonoh pada Natasya. Tak tahan Jayadi akhirnya menyentuh bahu Natasya. Membuat bulu kuduk Natasya merinding karena cemas. Walau demikian bau parfum Jayadi yang sangat maskulin tetap saja menggetarkan hasrat dalam diri Natasya. Natasya hanya duduk terpaku. "Pak." Natasya menggerakkan bahunya, seakan ingin menepis pegangan Jayadi. Natasya mulai merasa ada yang ganjil merasuki dirinya dan Jayadi. Bagaimanapun Natasya juga gadis normal yang juga bisa tertarik dan tergoda dengan gairah lelaki tampan dan kaya seperti Jayadi. "Emm, maaf." Jayadi segera menarik ke dua tangannya dari pundak Natasya. Sebenarnya ada perasaan tidak enak di hati Jayadi sesaat setelah kesadarannya utuh. Ia kembali duduk di kursi di hadapan Natasya. "Maaf ya." Jayadi diganggu perasaan bersalah. Ia takut disangka Natasya bermaksud tidak senonoh. "Emm, iya Pak." Natasya sedikit menatap mata dan wajah Jayadi. Tiba-tiba dia merasa kasihan dan sayang dengan lelaki di hadapannya itu. Natasya mulai sadar bahwa Jayadi memang suka padanya. "Saya boleh kembali ke warung, Pak." Natasya ragu-ragu bertanya. "Oo, oke, oke." Jayadi memandang Natasya dengan perasaan bersalah dan khawatir Natasya menceritakan prilaku kurang baik Jayadi pada ibunya. Natasya berdiri dengan ragu-ragu dari kursi. Dalam hati dia merasa iba melihat Jayadi yang belum hilang rasa bersalah. "Saya pamit, Pak." "Emm, Natasya." Jayadi menatap mata Natasya. "Ya, Pak." Tanpa disadari, kini Natasya mulai berani menatap mata Jayadi. "Eem, kamu masih mau ke sini dan menemani saya?" Jayadi menatap mata Natasya seakan minta dikasihani. "Em, mau Pak." Natasya menjawab sambil mengangguk. "Kamu nggak marahkan?" Natasya hanya menjawab dengan menggelengkan kepala. Natasya kemudian melangkah menuju pintu ruangan Jayadi. Jayadi buru-buru berdiri dan melangkah lebih duluan. Ia membukakan pintu untuk Natasya. Saat Jayadi menutup pintu, hati Natasya jadi tak karuan. Ada perasaan berbunga-bunga namun ia tetap saja dibayangi keraguan. Apa benar bos perusahaan Besar ini menyukainya. Saat berselesih jalan dengan beberapa karyawan perusahaan Jayadi, Natasya menyapa mereka dengan sopan. Natasya mulai merasakan sedikit keganjilan sikap karyawan Jayadi. Padahal sebagiannya sering makan mie ayam di tempat Natasya. Sialan, gerutu Natasya. Ia mulai merasa risih dengan mereka. Mereka seperti tersenyum aneh pada Natasya. Natasya buru-buru beranjak dari kantor perusahaan milik Jayadi. Makin banyak bertemu dengan orang-orang di kantor Jayadi ini membuat perasaannya makin tidak enak. *** Di ruangan Jayadi sedang duduk seperti orang yang sedang berpikir. Ia merasa tidak enak karena telah lancang memegang bahu Natasya. Apa mungkin gadis itu jadi takut bertemu dengannya lagi. Jayadi berdiri dan melangkah bolak-balik di sekitar meja kerjanya. Ia kemudian melangkah ke arah jendela dan melihat ke luar. Jayadi menyaksikan kesibukan jalan raya siang itu. Tiba-tiba matanya melihat warung mie ayam Bu Masna. Jayadi baru sadar ternyata dari arah jendela di ruangannya ini bisa kelihatan warung mie ayam Bu Masna. Ia juga melihat Natasya baru sampai di sana. Ia tersenyum melihat gadis itu dari kejauhan. Jayadi tak habis pikir kenapa dia sangat tertarik dengan Natasya. Mengapa seluruh saraf dan hasratnya bergetar bila berada di dekat Natasya. Seakan dia terkena sihir pesona gadis itu. Padahal banyak gadis cantik telah datang padanya. Pintu ruangan Jayadi diketuk. "Ya, masuk!" Jayadi menyuruh Lena masuk setelah dia duduk kembali di kursi eksekutif milikinya. "Siang, Pak. Ini proposalnya sudah diperbaiki sesuai arahan, Bapak" Lena duduk di hadapan Jayadi sambil meletakan map berwarna kuning dengan lembaran proposal di dalamnya. "Sini, saya lihat dulu." Jayadi kemudian membolak-balik lembaran proposal itu. "Oke. cukup." Jayadi menutup map kuning. "Sekarang kamu siapkan bahan presentasi kita untuk besok!" "Baik, Pak. Segera." Lena segera berdiri dan melangkah ke arah pintu. Mereka bertekad memenangkan tender besar ini. "Kalau kita berhasil, mungkin kita akan mengajak beberapa kolega bisnis kita." Lena yang mendengar Jayadi berbicara segera membalikkan badan dan menanggapinya. "Iya, Pak. Mudah-mudahan kita mendapatkan proyek besar ini, Pak. Seandainya dapat, ini proyek kita yang terbesar, Pak." Lena tersenyum pada Jayadi. Jayadi juga membalasnya dengan senyuman sambil melangkah mendahului Lena dan membukakan pintu untuk Lena. Tiba-tiba Lena merasa ada yang aneh dengan tingkah Bos nya itu. Tak biasanya dia membukakan pintu untuk Lena. Lena hanya tersenyum saat Jayadi menutup kembali pintu ruangannya. Lena berpikir, apa kedekatan Jayadi dengan Natasya telah merubah perilaku dan hati Jayadi. Jayadi yang biasa sedikit angkuh dan dingin, kini jadi pria hangat. Lena Hanya senyum, sampai Wika menyapanya. "Kenapa senyum-senyum sendiri, Bu." Sapaan Wika membuat Lena merubah ekspresi wajahnya. "Nggak kok. Tak ada apa-apa." "Seorang staf HRD di kantor Pak Dunan bernama Meli menghubungi Natasya.“Hallo Mbak, bisa datang ke kantor besok?”“Baik, Mbak. Besok pagi saya datang,” jawab Natasya ketika menerima telepon siang itu.***Pukul sepuluh pagi Natasya sudah datang di kantor Pak Dunan. Ia datang sendirian naik motor ojek online.“Pagi Pak,” sapa Natasya pada Sapuro.Sapuro tersenyum pada Natasya. “Pagi, Mbak. Mbak yang datang dua hari yang lalu ya?”“Iya, Pak. Kemaren saya ditelepon sama Mbak Meli dari bagian HRD. Katanya disuruh datang hari ini ke sini, Pak.”“Oh, Iya. Mari langsung ke bagian HRD saja, saya antarkan,” kata Satpam itu sambil melangkah menaiki tangga. Natasya mengikutinya dari belakang.Saat sampai di ruangan HRD di lantai dua, Sapuro mengetuk pintu ruangan itu. Seorang gadis membukakan pintu.“Mbak, Meli, ini orangnya sudah datang.” Selesai mengantar Natasya ke ruangan HRD, Sapuro kembali turun ke lantai satu.“Mbak Natasya ya?” tanya Meli pada Natasya. Dalam hati Meli merasa heran, kok g
Natasya dan Wika sampai di kantor Pak Dunan. Mereka melapor di pos satpam. Satpamnya seorang lelaki bermata agak sipit dengan usia sekitar empat puluhan. Tubuhnya terlihat sedikit kurus namun tulang-tulangnya terlihat kuat dan kokoh. Satpam itu memiliki tinggi lebih dari seratus puluh lima centi meter. Rambutnya lurus dan kelihatannya biasa menggunakan minyak rambut. Di plank nama bajunya tertulis Sapuro.“Pagi, Mbak,” sapa Sapuro para Natasya dan Wika.“Pagi, Pak,” Wika menjawab sapaannya.“Ada keperluan apa, Mbak? Tolong diisi dulu buku tamunya,” lanjut Sapuro dengan tersenyum. Saat senyum terlihat giginya agak jarang-jarang.“Baik, Pak.” Natasya dan Wika mengisi buku tamu kantor itu.“Saya mau mengantarkan lamaran pekerjaan Pak. Untuk jadi cleaning service,” kata Natasya.Sejenak Sapuro terdiam. Dia agak heran, tumben ada seorang gadis cantik melamar jadi cleaning service. Dalam hati Sapuro, gadis ini malah ada wajah blasterannya. Sepertinya salah satu orang tua gadis ini berasal d
Hari Minggu ke dua bulan Juli, Eline sedang duduk minum teh di beranda lantai dua rumahnya. Eline baru pulang dari Amerika tiga hari yang lalu. Tini membawa secangkir teh beraroma melati dan dua potong roti bakar untuk Eline. Handphone Eline yang diletakkannya di atas meja berbunyi. Bu Sudarmaji menelpon Eline."Hallo Tante.""Kamu dimana?" tanya Bu Sudarmaji."Lagi d rumah, Tante." Bu Sudarmaji sudah tahu Eline telah pulang dari Amerika. Evan suami Eline masih di sana menyelesaikan kuliah doktoralnya."Kamu nggak ada rencana ke luar rumah? Pergi jalan-jalan gitu?""Belum ada, Tante.""Oke sekitar dua jam lagi aku ke rumahmu. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke salon atau shoping?""Terserah Tante saja.""Oke, sebentar lagi aku hubungi Sri Astuti dan Lisa, siapa tahu mereka ingin ikut bersama kita.""Oke, Tante."Selesai Bu Sudarmaji menelpon, tiba-tiba terpikir oleh Eline untuk meminta laporan dari Jolien dan Miranda. Ia segera menghubungi ke dua anak buahnya itu."Hallo, kamu dima
Kedua sahabat itu bertemu kembali di kafe tempat mereka biasa nongkrong.“Hai Nona cantik. Terlihat lebih segar sekarang,” kata Wika saat ia melihat Natasya telah ada di kafe itu lebih dulu. Wika duduk di hadapan Natasya dan memperhatikan wajah sahabatnya. Seakan Natasya lepas dari satu beban yang selama ini menghimpitnya.“Ah itu perasaanmu saja Nona. Aku seperti biasa saja kok,” tanggap Natasya sambil tersenyum. “Bagaimana kabarmu beberapa hari ini?” lanjut Natasya.“Eh, kesepian. Aku kehilangan seorang sahabat tempat curhat. Ada saat-saatnya aku ingin mencurahkan kegelisahan hatiku. Beberapa waktu yang lalu, aku punya itu di dekatku.” Wika berbicara panjang disertai helaan nafas dan ekspresi wajah yang sedikit muram.“Ah kan sahabatmu itu selalu siap sedia, walau sekarang dia tak satu kantor lagi denganmu,” kata Natasya sambil tersenyum dan memandang mata Wika. “Eh, sebelum kita lanjut. Kamu mau pesan minum apa? Aku sudah pesan minum tadi duluan, tapi belum diantar juga sih,” lanju
Lena dan Wika sampai di kantor Pak Dunan sudah pukul delapan belas lewat tiga puluh.“Hai, apa kabar Mbak Lena?” sapa Talisa saat melihat kedatangan Lena dan Wika.“Kabar baik, Mbak Talisa gimana kabarnya?”“Baik juga.”Keduanya saling cium pipi kiri dan kanan.“Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba ingin ketemu?” kata Talisa sambil mempersilahkan Bu Lena dan Wika duduk di sofa ruang tamunya. Talisa memiliki ruangan khusus untuk para tamu. Ia merupakan direktur bagian perencanaan dan anggaran di perusahaan Pak Dunan.“Yang jelas kali ini bukan urusan proyek, Mbak,” kata Bu Lena sambil tersenyum.“Sebentar, Mbak Lena mau minum apa? Kopi instan? teh melati atau yang lainnya?” Talisa menawarkan minuman pada Lena dan Wika.“Terserah Mbak Talisa saja deh,” jawab Lena.“Kalau begitu teh saja ya,” kata Mbak Talisa sambil tersenyum. “Mita bikin teh untuk tamu kita!” kata Talisa pada salah seorang staf yang ada di ruangannya.“Baik, Bu,” jawab staf cewek yang bernama Mita. Mita kemudian keluar dari ruan
Bu Lena memarkir mobilnya di restoran yang sudah jadi langganannya. Petugas parkir membantu Bu Lena mencarikan tempat parkir yang masih kosong. Restoran memang tidak terlalu ramai sore itu. Bu Lena dan Wika keluar dari mobil dan melangkah ke arah restoran.“Kita duduk di lesehan yang ada gazebo di belakang itu!” kata Bu Lena pada Natasya. Kebetulan tempat duduk yang selalu jadi favorit Bu Lena itu masih kosong.“Baik, Bu.” Wika melangkah mengikuti Bu Lena. Bu Lena merasa nyaman kalau harus berbicara hal-hal yang bersifat rahasia di restoran ini. Apalagi tempat duduk lesehan yang terdiri dari gazebo-gazebo itu letaknya terpisah-pisah. Jadi kalau berbicara hal yang rahasia atau sensitif tidak akan terdengar pengunjung lain. Suara bising pelayan dan peralatan makan juga tak terlalu berisik seperti di ruangan utama.Sesaat setelah mereka duduk dan mencatat menu yang hendak dipesan, seorang pelayan restoran menghampiri.“Kamu ada tambahan pesanan lainya?” tanya Bu Lena pada Wika.“Emm, say