Natasya hampir sesak nafas. Pelukan Jayadi yang begitu kuat dan tak disangkanya membuat Natasya kebingungan. Jayadi belum melepaskan pelukannya. Natasya coba menggerakkan kedua lengannya untuk sedikit melonggarkan pelukan laki-laki ini.
"Pak, pak." Natasya coba berbicara untuk menyadarkan Jayadi. Jayadi masih saja mendekap gadis itu dan mencium keningnya. Natasya memperkuat dorongan tangannya, agar Jayadi melepaskan pelukan. Tapi laki-laki itu tak bergeming, dia malah mencium ke arah wajah dan hampir menyentuh bibir Natasya. "Pak, maaf Pak." Natasya kembali berusaha menyadarkan Jayadi. Ia khawatir, Jayadi hilang kendali dan bertindak terlalu jauh. Tiba-tiba telapak tangan Natasya menyentuh telinga Jayadi yang membuat Jayadi seperti tersadar. "Emm, maaf, maaf, maafkan saya." Jayadi melepaskan pelukan dan mengambil jarak dari Natasya. Ia menggosok-gosok muka dengan telapak tangannya. Ia menatap Natasya dengan mata berkaca-kaca. Beribu penyesalan menggunung melanda hatinya. Mengapa ia seperti tak mampu mengendalikan dan menguasai dirinya. "Maafkan saya." Jayadi meremas-remas rambut dan memijat kepalanya sendiri. Natasya hanya menatap lelaki itu dengan perasaan iba. Natasya tidak habis pikir kenapa peristiwa barusan terjadi. Ia juga tak berdaya dan tak ingin menyakiti lelaki di hadapannya ini. Apa semua karena Jayadi memang haus belaian dan kasih sayang seorang kekasih. Apa selama ini Jayadi benar-benar tidak pernah menyalurkan hasrat seksualnya pada wanita. "Iya Pak, tak apa-apa." Natasya benar-benar iba melihat Jayadi. Lelaki yang sangat disanjung dan dihormati banyak orang itu tiba-tiba seperti tak berdaya. Kini Jayadi hanya seperti balita yang ingin disusui atau seorang bocah yang memelas ingin dibelikan permen. Di satu sisi, Natasya mengagumi lelaki ini yang terlihat benar-benar masih perjaka tulen. Padahal dia bisa saja membayar atau membujuk perempuan-perempuan cantik dan seksi untuk memenuhi hasrat seksualnya. Jayadi kembali menatap gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Ingin rasanya Natasya membelai rambut laki-laki yang dilanda penyesalan ini. Tapi Natasya takut untuk menyentuhnya. Menghampirinya saja Natasya tak berani saat ini. Sesekali ia coba memandang Jayadi. Setelah itu dia kembali menekurkan kepala. Kedua orang itu sama-sama dilanda perasaan tak menentu. *** Setengah jam yang lalu, Wika seperti biasa menelpon Natasya untuk mengantarkan dua porsi mie ayam. "Dua porsi ya?" Wika menekankan itu pada Natasya. "Tumben, dua porsi." Natasya menanggapi Wika sambil menyiapkan dua porsi mie ayam. Bu Masna sibuk melayani pembeli menjelang siang itu. "Nggak tau tuh. Si Big Bos, lagi lapar kali, haha." Wika biasa bercanda dengan Natasya. Keduanya hampir seumuran. Sejak Wika bekerja empat tahun yang lalu di perusahaan milik Jayadi, ia termasuk paling sering jajan mie ayam Bu Masna. Lama-lama terjalin keakraban dengan keluarga Bu Masna. Terutama dengan Natasya yang sudah seperti kawan akrab Wika. "Iya deh, dibuatkan mie ayam yang enak untuk si Big Bos." Natasya sudah memasukan dua bungkus mie ayam ke dalam kantong kresek bening itu. "Jangan pakai jampi-jampi ya, hahaha." Wika ngakak. "Hus, dasar. Mulut ember!" gerutu Natasya. "Iya, nanti si Big Bos tambah lengket. Hihihi!" Wika kini tertawa cekikikan sebelum menutup telepon. "Huh, sialan lu!" Natasya mengomel membalas candaan Wika. "Udah siap mie ayam untuk Pak Jayadi?" tanya Bu Masna pada putrinya. "Sudah Bu. Aku antarkan ke sana ya." Natasya pergi sambil menenteng plastik berisi dua bungkus mie ayam. Bu Masna menatap putrinya sambil senyum-senyum disertai geleng-geleng kepala. "Ada-ada saja Pak Jayadi, udah beberapa waktu ini sering makan siang pakai mie ayam. Apa nggak lapar tuh perutnya." Bu Masna setengah berbisik pada Nela yang sedang berada di dekatnya. Nela tersenyum mendengar perkataan ibunya. "Nampaknya si Big Bos itu suka sama, kakak Natasya, Bu, hehe." Nela berkata setengah berbisik juga ke telinga Bu Masna. "Hus. Ada-ada saja, jangan ngomong sembarangan. Pak Jayadi itu orang kaya raya." Bu Masna menanggapi Nela. "Kalau suka, atau cinta tak memandang status orang, Bu. Kayak ibu nggak tau saja. Apalagi laki-laki kalau sudah kasmaran dan tergila-gila pada seorang cewek, semua ditabraknya, hehe." Nela senyum memperhatikan wajah ibunya yang dihiasi beberapa butir keringat. "Hus! Jangan bahas yang tidak-tidak. Tuh ada pesanan baru!" Bu Masna menyuruh Nela mengantar semangkuk mie ayam pada seorang pembeli yang baru duduk. *** Natasya tersenyum pada Lena yang berpapasan dengannya dekat pintu ruangan Jayadi. Lena membalas senyuman Natasya. "Jagain bos kami ya." Lena menggoda Natasya. "Ah, ibu." Natasya tersipu malu. Saat mereka berbicara, Wika dan Dina menghampiri. Dina telah membawakan Jayadi secangkir kopi hitam seperti biasanya. Wika tersenyum menggoda pada Natasya. "Cie cie, asisten pribadi baru Si Big Bos." "Hus! Awas ya!" Natasya sedikit membalas Wika dengan nada seolah mengancam. Lena, Wika dan Dina sama-sama tersenyum pada Natasya. Wika membukakan pintu ruangan Jayadi setelah mengetuk terlebih dahulu. "Masuk!" Terdengar suara Jayadi dari dalam. Dina, Wika dan Natasya sama-sama masuk. Jayadi tak melihat sedikitpun pada ketiganya. Seakan dia tidak peduli. Dina meletakkan secangkir kopi di pinggir meja makan di dekat kursi yang biasa diduduki bos muda perusahaan itu. Wika meletakkan dua buah mangkok yang dibawanya dari pantri. "Ada lagi yang diperlukan, Pak?" tanya Wika ragu-ragu. "Sudah, cukup." Jayadi sibuk dengan handphone di tangannya. Ia masih duduk di kursi eksekutifnya dengan sangat berwibawa dan dingin. Layaknya seorang bos besar yang telah mencapai puncak kesuksesannya. "Baik, Pak." Wika dan Dina melangkah ke dekat pintu. Natasya yang dengan perasaan bingung dan ragu-ragu mengikuti langkah Wika dan Dina. Ia telah meletakkan bungkusan mie ayam yang dibawanya. "Natasya! Sebentar!" Seru Jayadi yang membuat jantung Natasya hampir copot. Suara Jayadi itu juga sempat menghentikan langkah Wika dan Dina. Wika dan Dina sudah paham dan segera keluar ruangan. Sesudah menutup pintu keduanya saling senyum dan tertawa cekikikan. Lena melihat tingkah ke dua anak buahnya itu dari balik kaca. "Ssttt!" Tegur Lena dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. "Hihihi." Wika dan Dina tak dapat menahan tawa geli mereka. Lena memelototi keduanya. Lalu Dina buru-buru kembali ke pantri. Wika dipanggil Lena untuk melakukan beberapa pekerjaan. "Kamu panggil, Bayu!" "Baik, Bu." Wika bergegas pergi ke ruangan Bayu. Tak lama, Wika kembali' ke ruangan Lena bersama Bayu. "Bayu kamu kerjakan ini ya! Wika kamu selesaikan kerjaan tadi!" "Baik, Bu." Kedua staf itu menjawab bersamaan. Hampir semua staf dan karyawan sudah sangat memahami cara kerja pimpinan mereka. Jayadi, Lena dan beberapa direktur yang memimpin bagian telah berhasil membangun budaya kerja yang baik di perusahaan mereka. *** Natasya masih terpaku berdiri di dekat meja makan di ruangan Jayadi. Ia menekurkan kepala. "Sini! Dekat ke sini!" Jayadi memanggil Natasya untuk mendekat ke arahnya. Ia masih duduk di kursi kerja. "I, ii, iya Pak." Natasya mendekat perlahan. Penuh keraguan dia berdiri dekat pinggir meja di hadapan Jayadi. Ia masih tak berani memandang mata Jayadi. "Kamu jadi ingin bekerja dengan Saya?" Suara Jayadi agak meninggi. Ia berdiri dan melangkah ke dekat Natasya. Jayadi lalu duduk di pinggir meja kerjanya, persis di hadapan gadis itu. Natasya merasa risih dan gugup karena wajah Jayadi sangat dekat dengan wajahnya. Bau parfum Jayadi kembali merasuk dan menimbulkan pengaruh tersendiri di saraf Natasya. "Ii, ii, iya Pak. Saya mau bekerja Pak." Tiba-tiba mata Natasya berkaca-kaca. Ia teringat nasib kedua orang tuanya yang kini makin bertambah tua. Apalagi bapaknya sudah mulai sakit-sakitan. Natasya ingin hidup yang lebih baik. Ia ingin bekerja kantoran seperti orang-orang di kantor ini. Atau seperti pegawai negeri yang berpakaian dinas. Natasya merasa kasihan dengan ibunya yang tiap hari kecapekan memasak dan berjualan di warung kaki lima pinggir jalan. Saat pikiran Natasya melayang-layang itulah kejadian yang tak disangkanya terjadi. Tiba-tiba dia sudah berada di pelukan Jayadi yang mendekapnya dengan kuat. Peristiwa yang ganjil itu sejenak menyentakan Natasya dari perasaan sedihnya. Secepat itu pula perasaan Natasya berubah jadi kebingungan. Apa yang terjadi dengan laki-laki yang tadi sangat berwibawa ini. Jayadi yang kembali pada kesadarannya mulai sedikit tenang. Kembali dia menatap Natasya dengan penuh penyesalan. "Maafkan saya." Jayadi seakan memelas pada gadis lugu di hadapannya. "Ii, ii Iya Pak." Hati Natasya benar-benar iba melihat Jayadi. Tapi dia hanya terpaku di tempatnya berdiri sejak tadi. Jayadi yang mulai tenang, berpikir kenapa dia tadi seperti dirasuki sesuatu. Seperti orang lupa diri, dia tiba-tiba memeluk Natasya. Jayadi mulai menyadari, ia melakukan itu secara spontan karena perasaan sayangnya yang menggebu. Tadi dia melihat mata Natasya menangis. Tiba-tiba dia merasa iba dan ingin memberikan rasa tenang pada gadis yang telah menyihir perasaannya. "Kamu boleh pergi." Jayadi kembali berkata dengan dingin. Emosinya mulai terkendali dan dia sudah terlihat berwibawa kembali. "Ba, baik, Pak." Natasya menjawab ragu-ragu. Ia mulai melangkah ke arah pintu. Ada perasaan cemas dan takut di hatinya, kalau-kalau Jayadi marah dan tak ingin lagi berjumpa dengannya. Biasanya Jayadi meminta Natasya memindahkan mie ayam itu ke mangkok, sekarang tak ada permintaan itu terucap dari mulut Jayadi. Natasya ke luar dari ruangan Jayadi dan dengan perasaan gelisah bercampur sedih. Lena melihat wajah gadis itu yang tidak seperti biasanya. Lena sudah dapat menduga ada satu peristiwa yang tak mengenakan terjadi barusan dalam ruangan Jayadi. Bahkan Wika yang berpapasan dengannya, tak disapa oleh Natasya. Wika melihat mata Natasya sedikit berkaca-kaca. Saat Wika masuk ruangan Lena, Lena menggerakkan jarinya ke bibir, mengingatkan Wika untuk tidak berkomentar soal Natasya. Natasya melangkah lebih cepat dari biasanya. Ia meninggalkan gedung kantor perusahaan Jayadi dengan perasaan sedih dan sedikit marah. Ia marah pada dirinya dan menyesal kenapa mau saja diperlakukan Jayadi seperti itu. Saat sampai di warung, Bu Masna segera menangkap raut wajah sedih putrinya. Bu Masna hanya diam dan tak ingin membahas tentang hal apa yang terjadi pada Natasya. Ia khawatir, putrinya itu menangis di tengah kesibukan mereka melayani pembeli. Apalagi kesedihan Natasya ada hubungannya dengan Jayadi. Beberapa karyawan perusahaan Jayadi juga tengah belanja mie ayam Bu Masna. Nela juga melihat sepintas pada wajah Natasya yang murung. Tak biasanya sekembali dari tempat si Big Bos Natasya berwajah murung.Jayadi bukannya tambah takut, malah tambah antusias ingin membeli fila ini. Ada sesuatu yang terus mendorong Jayadi untuk benar-benar membelinya. Secara letak memang bagus. Letaknya agak tinggi dan agak dekat ke pantai. Pemandangan lepas ke arah pantai, membuat fila ini makin menarik minat Jayadi."Saya sendiri belum pernah sih lihat yang begituan di fila ini, Mas. Tapi kalau di Bandung pernah saya alami peristiwa kayak gitu. Ih serem pokoknya, Mas.""Hehe.""Eh, si Mas malah tertawa." "Saya juga merasa serem kalau ada cerita gituan, Pak." Jayadi tersenyum. Hari sudah mulai senja. Matahari sudah tenggelam di laut. Angin meniup daun-daun yang ada di atap fila."Terus, gimana ya, cara saya bisa membeli fila ini? Saya suka lokasinya Pak.""Mas, masih tertarik?" Pak Asep merasa heran dengan Jayadi yang masih saja berminat membeli fila itu."Ya, saya berminat kok, Pak. Soal cerita itu nanti kita pikirkan." Sebagai seorang kontraktor dan bisnisman hal begitu bukan lagi halangan bagi Jayadi
Jayadi sangat tertarik dengan bentuk fila kosong itu. Saat Lisa dan Meri istirahat sore hari setelah wawancara dengan beberapa warga, Jayadi tak tahan ingin melihat fila itu bersama Pak Asep."Pak Asep, temani saya melihat fila yang tadi, yuk.""Baik, Mas." "Mbak Lisa dan Mbak Meri nggak kita ajak?""Nggak usah, biar saja mereka istirahat.”"Baik, Mas." Pak Asep menghidupkan mesin mobil. Jayadi mengetuk pintu kamar Lisa dan Meri. Lisa membuka pintu. Rambutnya awut-awutan tapi tetap cantik. Ya, Lisa memang cantik. Selalu terlihat cantik. Jayadi pun heran entah mengapa dia tidak tertarik secara total pada Lisa. Iya lebih merasakan Lisa seperti adik perempuan yang disayanginya."Kalian, tak tinggal dulu ya, istirahat saja. Aku mau keliling sama Pak Asep lihat-lihat sekitar desa wisata ini. Siapa tahu ada peluang bisnis yang bisa dikembangkan di sini.""Oke, pangeran ganteng, hati-hati." Lisa tersenyum manis. Terkadang Jayadi sudah serasa suaminya saja. Setiap memandang wajah tampan itu
Jayadi ngobrol sampai hampir pukul dua belas malam dengan Pak Asep. Kebetulan cuaca cukup cerah. Langit berbintang menyinari permukaan laut. Angin bertiup menyejukkan. "Untung Mas ke sini saat cuaca cukup bagus. Terkadang di sini bisa saja ada badai loh Mas." "Oh, gitu ya. Tapi sekarang cuaca sangat bagus." Jayadi menghisap rokok dan mengepulkan asapnya. Jayadi sedikit batuk-batuk karena dia hanya sesekali merokok. "Iya Mas. Namanya juga desa tepi pantai. Kalau penduduk di sini sudah terbiasa, hehe." "Kelihatannya desa yang satu lagi agak ramai ya didatangi wisatawan?" "Benar Mas, kalau di sana memang pantainya dijadikan tempat libur akhir pekan wisatawan lokal. Apalagi ini libur panjang." "Iya ya. Kalau di sini agak sepi ya?" "Iya Mas, kalau di sini karena agak dekat bukit kecil jadi lebih banyak orang membangun fila dan cotegge. Di sini pemandangannya yang lebih indah. Eksotis kata bule dan orang-orang kaya yang buat filla di sini." "Iya, ya." Jayadi manggut-manggut. Ia mu
Jayadi hanya mendengar pembicaraan Lisa, Meri, Kepala Desa dan Pak Asep. Ia malah teringat Natasya. Jayadi sedang melamun saat bersama dengan Natasya di sebuah kamar hotel. Hampir saja waktu itu dia dan Natasya kehilangan kendali. Gairah Jayadi betul-betul hampir tak tertahankan. Untung saja Natasya punya benteng pertahanan yang kuat. Ya, hampir kebobolan, itulah situasinya. Natasya dengan lembut menenangkan gejolak seksual Jayadi. Dia mengelus-elus rambut Jayadi seperti anak kecil. Natasya mengajak Jayadi pergi jalan-jalan. Akhirnya Jayadi tidak jadi ikut menginap di hotel itu. Bayangkan kalau kebobolan dan Natasya hamil. Bisa heboh Mamanya dan keluarga besar Sudarmaji. Sejagat raya pun bisa heboh. "Hai, bengong saja, kita pergi ke cottage dan istirahat." Lisa menyadarkan Jayadi dari lamunannya. Lisa memegang tangan Jayadi seakan membimbing anaknya kembali ke mobil."Iya deh, Pak. Sampai jumpa besok pagi." Meri mengakhiri pertemuan awal mereka dengan kepala desa jelang senja itu. I
"Nah kita sudah hampir sampai, Mbak. Paling sekitar beberapa menit lagi sampai" Pak Asep menunjuk arah desa yang akan mereka tuju. Sebuah desa di pinggir pantai. Mereka telah melewati beberapa desa nelayan dan kini mereka lebih banyak melihat pemandangan berupa pohon kelapa, semak belukar dan pohon-pohon bakau di pinggir pantai. Nampaknya desa yang mereka tuju agak terisolir letaknya. Lisa samar-samar mendengar suara Pak Asep karena mulai terbangun dari tidurnya. "Oh iya ya?" Lisa menanggapi Pak Asep. Meri dan Lisa memandangi pemandangan pantai yang masih banyak ditumbuhi pohon kelapa. "Kamu belum pernah ke seni Mer?" "Belum," jawab Meri sambil celingak-celinguk memperhatikan pemandangan sepanjang jalan."Ah, percuma saja kamu kuliah di Bandung. Anak pencinta alam lagi," kata Lisa dengan nada mengejek."Anak Mapala lebih banyak ke gunung tau!" Meri membalas ejekan Lisa dengan nada singit."Sekitar tiga kilo lagi kita sampai di desa itu," terang Pak Asep pada Lisa dan Meri."Pangeranm
Jayadi merasa dijebak oleh mamanya sendiri. Ia harus menemani Lisa mencari data untuk penelitiannya di desa di daerah Jawa Barat. Masih terngiang di pikiran Jayadi, kemaren mamanya ngotot memaksa Jayadi yang menemani Lisa cari data untuk penelitian tugas akhirnya. Lisa sudah tahu tempat yang akan dikunjunginya, sebuah desa wisata pinggir pantai. Ia ingin mencari data tentang kehidupan sosial masyarakat di sana. "Mulai besok kan libur panjang tu. Hari Senin dan Selasa tanggal merah. Kamu temani Lisa cari data penelitiannya ke desa." "Tapi Ma, ada hal yang harus saya kerjakan walaupun tanggal merah." "Udah, hari Selasa malam kan udah sampai lagi di sini. Rabu saja dikerjakan." Dengan perasaan gondok, Jayadi terpaksa melaksanakan perintah Bu Sudarmaji. *** Lisa memandang Jayadi dengan senyum manis dalam kereta menuju Bandung. "Kenapa kita harus naik kereta sih? Kenapa nggak bawa mobil sendiri saja? Kitakan bisa bawa Pak Mardi atau Pak Kosim nyetir mobil. Atau aku bisa aj
"Hari ini, Lisa mau datang ke rumah, Pa." Bu Sudarmaji mengatakan itu pada Pak Sudarmaji yang sedang tiduran di kasur. Pak Sudarmaji membaca berita-berita di layar handphonennya. "Oh, iya Ma. Bagus deh. Dia belum balik ke Amerika?" "Belum, lagian dia akan lebih banyak di Indonesia. Dia kan lagi sedang penelitian untuk tugas akhir kuliahnya." Bu Sudarmaji memakai kosmetik di depan cermin besar di kamarnya. "Oo, gitu toh." "Iya, Pa. Nanti siang dia mau nemenin Mama ke tempat Mbak Aliya. Aku sama Lisa mau lihat cucu Mbak Aliya yang baru lahir kemarin. Itu tu Pa, anaknya Zaky putranya Mbak Aliya. Papa kan tahu Zaky kan?" "Tahu dong, kan udah sering ketemu. Oh, udah melahirkan istrinya Zaky ya." "Udah, Pa. Kemaren pagi melahirkannya kata Mbak Aliya. Saya dan Lisa di supermarket dulu beli kado." "Ya titip salam buat Mbak Aliya dan Mas Sartono." "Ya, nanti kusampaikan." Suara Lisa sudah terdengar masuk ke dalam rumah. "Bu, Non Lisanya sudah datang." Terdengar suara Bik S
Pagi-pagi Natasya sudah datang ke kantor. Ia telah berpakaian warna abu-abu seragam cleaning service di perusahaan milik Jayadi. Ia mulai menyapu dan mengepel di area lantai dua dan tiga gedung itu. Lena telah berpesan pada Bu Niar koordinator cleaning service agar menempatkan Natasya di lantai dua dan tiga. Lena dan Wika telah mengkaji itu, agar Natasya jarang bertemu dengan Jayadi. Biasanya Jayadi dari lobi langsung naik lift ke lantai sepuluh tempat ruangan kerjanya berada. "Hai!" Wika menyapa Natasya saat dia mau masuk ruangan kerjanya. Ruangan Wika bersama beberapa staf lainnya berada di lantai tiga. "Hai juga!" Natasya tersenyum pada Wika. "Terimakasih atas bantuannya." "Sama-sama," jawab Wika sambil tersenyum. Wika merasa lega telah membantu meringankan beban Natasya. Terlihat Natasya cukup pandai menempatkan diri. Dia lebih suka banyak bekerja dan menghindari ngobrol dengan orang-orang. Wika memang diperintahkan Bu Lena untuk mengawasi dan menjaga Natasya. "Ingat tak
Wika memutuskan bicara dengan Lena setelah bertemu Natasya. Ia minta bertemu Lena malam hari di sebuah kafe. Keduanya langsung berangkat dari kantor. Kebetulan tadi mereka juga lagi banyak kerjaan, jadi pulangnya sudah hampir magrib. Sebagian karyawan ada yang juga harus lembur untuk penyelesaian laporan sebuah proyek di daerah Kalimantan. "Kamu minum, apa?" "Saya minuman yang ini Bu." Wika menunjuk daftar menu yang ada. "Aku minum ini saja deh. Makanannya? Kalau aku, kwetiau, terus ini. Dan juga ini." Lena menulis beberapa daftar makanan di kertas pemesan. "Saya ini saja, dan ini, Bu." Giliran Wika mencatat pesanan makanan untuknya. Wika memberikan kertas daftar pesanan makanan mereka pada pelayanan restoran yang berdiri menunggu. "Apa yang ingin kamu sampaikan? " "Soal Natasya, Bu. Kemaren saya bertemu dengannya." "Ya, ada apa dengan dia?" "Saya kasihan melihatnya, Bu. Ia minta bantuan saya untuk carikan pekerjaan." "Terus gimana?" "Ya saya kan bingung Bu. Saya