Semua orang berkumpul di kamar Erhan. Semuanya tampak tertunduk. Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan Erhan berita yang membuatnya puas. Si pemberi bunga itu jelas tidak ditemukan. Dalam rekaman CCTV pun tidak ada yang mencurigakan. Hal ini semakin membuat Erhan cemas.
Pada akhirnya dia mengusir semua orang dan kembali ke kamar dimana Nadira terlelap puas setelah mendapatkan obat penenang dari dokter yang sengaja Erhan panggil.
"Siapa yang dengan sengaja melakukan hal ini?" tanya Erhan pada dirinya sendiri. ia mengusap kepala Nadira dengan lembut, mengecupnya sebelum turut membaringkan tubuhnya di sisi gadis itu. ia meletakkan lengannya di bawah kepala Nadira dan kemudian semakin medekat kearah tubuh wanitanya dan memeluknya.
Dalam ketidaksadarannya, Nadira balas memeluknya. 'Aku akan menemukannya. Siapapun dia.' Sumpahnya dalam hati.
Erhan terbangun karena seseorang menggoyang tubuhnya tanpa henti. "Erhan, bangun. Sholat!" perintah itu memb
Bahagia? Itukah yang Nadira rasakan? Ya, dia bahagia. Bahkan sangat.Karena siapa?Siapa lagi kalau bukan karena Erhan.Setelah Gisna sadar dari komanya setelah kasus penusukan itu. Nadira akhirnya memikirkan kembali permintaan Erhan untuk mempercepat proses pernikahan mereka. Terlebih ia mendapatkan dorongan dari orang-orang di sekitarnya. Siapa lagi kalau bukan ibu dan adiknya, Gisna dan juga Meta sahabatnya. Orang-orang itu meyakinkan Nadira bahwa pernikahan adalah pilihan terbaik. Dan meskipun Erhan tak pernah mendesaknya lagi, ekspresi pria itu jelas tampak sangat girang saat Nadira mengatakan bahwa dia berubah pikiran dan mengatakan bahwa dia akan menikah dengan pria itu secepat mungkin.Saking tergesanya, pria itu bahkan dengan segera memesankan tiket pesawat untuk kedua orangtuanya dan juga satu-satunya kakak perempuan yang dimilikinya. Kontrak Nadira dijadikannya alasan untuk tidak pergi sendiri ke Turki dan meminta restu langsung disana. Padahal
Erhan terduduk dengan mata menerawang jauh. Entah kenapa, menjelang hari pernikahannya ia merasa ada yang salah dengan perasaannya. Semacam ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Dan ia tidak bisa mengartikan kenapa.Ia merasa bahagia, itu tentu. Antusias, itu pasti. Tapi ada perasaan lain saat ini yang mengganjal di hatinya, seolah ia merasa ada sesuatu yang hilang. Mencelos kosong. Tapi apa itu?“Apa kau merasa takut karena sebentar lagi statusmu tidak lagi lajang?” Erhan melirik Ganjar yang memandang ke arahnya dengan tatapan mengejek.“Kenapa aku harus merasa seperti itu?” Erhan balik bertanya.Ganjar mengedikkan bahu. “Mungkin karena setelah menikah dengan Nadira kau tidak bisa lagi tebar pesona pada wanita lajang lainnya? Atau mungkin kau takut menjadi s
Erhan memandang berkeliling aula hotel dimana pernikahannya dan Nadira akan berlangsung esok pagi. Aula yang tadinya kosong itu kini sudah delapan puluh persennya terisi dengan berbagai macam hiasan. Panggung yang ada di bagian terdepan aula sudah dihias dengan bunga-bunga hidup yang segar dan indah. Kursi kebesaran yang akan mereka duduki pun sudah berdiri kokoh di sana. Di bagian bawah panggung, sudah tersedia meja dan kursi untuk akad nikah mereka besok.Di bagian sisi kiri dan kanan aula sudah terpasang kain yang didominasi warna keemasan dan putih. Pilar-pilar yang menjadi pagar telah dibungkus rapi dengan kain dan diselimuti bunga-bunga yang indah. Seluruh kursi untuk tamu dan keluarga pun tak kalah dibuat indah. Semuanya sangat menawan di mata Erhan. Nadira jelas telah mempersiapkan semuanya dengan sangat matang. Pernikahan mereka, akan terlihat seperti pernikahan putra dan putri raja nantinya. Ya, ini akan menjadi momen pernik
Nadira membuka matanya dengan susah payah setelah mendapat guncangan hebat. Entah kenapa, tubuhnya terasa begitu lelah. “Loe itu tidur apa ngebangke sih?” tanya Meta dengan kesal dan tanpa henti menggoyangkan tubuh Nadira yang baru setengahnya terbangun. “Gue tahu kalo loe itu pelor. Tapi apa emang mesti se bangke ini?” Gerutu sahabatnya itu seraya menarik kedua tangan Nadira supaya gadis itu bangkit dari tempat tidurnya. “Nyokap loe panik, pikirnya loe pura-pura mati karena gak mau jadi ngawinin Sir Erhan. Kalo emang tahu gitu, kenapa gak loe kasih laki loe sama gue aja?” cerocos Meta tanpa henti.“Trus loe mau ngasih Ganjar sama siapa? Sama si Winny anak pemasaran?” ledek Nadira dengan kuapan lebarnya. Ia menggeliat dalam duduknya dan mengerang dengan keras sebelum kemudian bangkit dan turun dari tempat tidurnya, berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
Debar jantung Erhan kini sudah tak bisa ia kendalikan lagi. Bahkan mencoba menenangkannya dengan mengatur irama napasnya pun tampak tak berguna.Sejak keberangkatannya ke gedung pernikahan, dadanya memang sudah berdebar cepat dengan antusias. Dan selama prosesi yang dilakukan secara adat Sunda oleh lengser dan para penarinya, pikiran Erhan sudah melanglang buana kemana-mana.Ya, ia tidak bisa fokus pada susunan acara saat itu. Entahlah, pikirannya begitu campur aduk. Yang ada di kepalanya saat ini adalah, bisakah ia melafalkan ijab kabul dalam satu tarikan napas tanpa kesalahan apapun? Para sepupunya mengatakan kalau tiga kali ia melakukan kesalahan, maka pernikahan harus dibatalkan. Ia tidak mau itu terjadi.Jadi sepanjang acara itu berlangsung, yang ada di kepalanya adalah kalimat ijab kabul yang nantinya harus ia ucapkan di hadapan cal
“Dia membawaku.” Ucapan Alden seketika membuat tubuh Erhan menegang.Terdengar suara kesiapan kaget sebagai sambutan lainnya. Ibu Nadira memandang Alden dengan mata terbelalak ngeri sebelum akhirnya terkulai lemas tak sadarkan diri. Kedua MUA yang sejak tadi membisu di ruangan itu mencoba untuk menahan tubuhnya supaya tidak jatuh ke lantai. Sementara Erhan yang sejak tadi sudah dalam posisi menegang, kini menarik kertas yang ada di tangan Alden dengan kasar. Ia menatap tulisan yang tidak dimengertinya dan memandang Alden dengan tatapan tajam. “Katakan sekali lagi!” perintahnya dengan berupa geraman.“Ini bukan tanda tangan, Erhan. Tapi tulisan Tagalog.” Ucapnya menjelaskan. “Disana tertulis kalau ‘Dia membawaku’.” Lanjutnya. “Gisna, siapa yang membawa Nadira?” tanyanya ingin tahu. “Apa sepupuku ada dalam bahay
“Jadi, selama ini dia menipu kita? Dia itu J.D?” tanya Erhan tak percaya. Ia memandang kedua sepupunya dengan tatapan tak percaya.Mendengar pertanyaan Erhan, kedua sepupunya itu terdiam. Adskhan kembali melihat layar persegi di hadapannya. Kenapa? Mungkinkah benar kalau J.D yang selama ini ditakutkan oleh Nadira, si pengirim bunga dengan pesan itu adalah Fera bin Feri? Kalau memang benar, pria setengah matang itu benar-benar hebat hingga membuat mereka terkecoh sampai sedemikian rupa.Tapi bagi Adskhan, tetap ada sesuatu yang mengganjal disini. Namun dia bingung, apa itu.“Sebaiknya kita laporkan hal ini ke polisi.” Ucap Lucas kemudian.Adskhan seketika menggelengkan kepala. “Tidak, polisi tidak akan membantu.” Tolaknya. “Sekalipun kita melaporkan
Erhan sudah kehilangan akal. Kehilangan Nadira dan rasa takutnya membuatnya ingin memukuli semua orang yang ada di hadapannya. Kenapa Adskhan tidak menginterogasi mereka dengan cara yang halus seperti itu? kenapa dia tidak memukuli mereka semua. Peduli setan jika dua diantara mereka itu perempuan. Mereka jelas turut andil dalam hilangnya Nadira.Dimana Nadira sekarang? Kekasihnya itu pasti merasa tengah ketakutan sekarang. Sialan! Bagaimana bisa dia begitu saja percaya pada makhluk setengah matang itu? seharusnya sejak awal dia menjauhkan Nadira dari pria yang bahkan tidak menerimakan identitas aslinya itu.Erhan kembali menatap keempat orang itu. Dan tatapannya berakhir pada Meta. Gadis yang merupakan sahabat kekasihnya itu tampak terdiam dengan wajah pucat. Tangannya sesekali mengusap wajahnya yang menitikkan airmata. Ternyata, bukan hanya Erhan yang ketakutan disini. Ada Meta, dan te