“Ng. Mungkin Arum telpon karena tidak bisa menghubungi orang tuanya Bu.” Jawab Mas Ragil lalu berjalan ke ruang tengah dengan membawa hpnya. “Dasar pembohong. Aku ikutin dia dulu.” Satrio juga bangkit lalu berjalan keluar dari dapur. Aku tidak tahu apa yang terjadi karena beberapa menit kemudian terdengar perdebatan di antara Mas Ragil dan Satrio. Ibu segera mengambil alih Mawar dariku agar aku bisa menyusul mereka berdua. Di ruang tengah rupanya Mas Ragil berusaha menyembunyikan hpnya dari Satrio. Adik laki-lakiku itu secara terang-terangan menuduh Mas Ragil sudah selingkuh dengan Arum. “Apa kamu sudah gila Yo? Nggak mungkin aku selingkuh dengan keponakanku sendiri. Bahkan sebelum menikah dengan Bunga aku sudah pernah pacaran dengan beberapa perempuan lain.” “Lalu, kenapa kamu memanggil Arum dengan sebutan sayang? Kamu juga bilang mau pergi ke pernikahan adik sepupumu dengan Arum?” “Pernikahan adik sepupu?” Tanyaku dengan kening berkerut bingung. Pasalnya sama sekali tidak ada b
“Kami cuma bertengkar saja Bulek. Aku tidak berniat menampar Bunga.” Tangan Mas Ragil lalu merangkul bahuku yang masih memangku Mawar. “Iya kan sayang?” Mulut Mas Ragil memang tersenyum, tapi matanya menatap penuh ancaman. Dengan wajah yang memelas ketakutan aku menganggkukan kepala pada Bu Lurah. Tangannya sudah terlepas dari bahuku. “Iya Bu Lurah. Kami hanya bertengkar saja. Silahkah duduk. Maaf jika tidak bisa menawari sarapan yang layak.” Bu Lurah dan Rina lalu duduk di hadapan kami. Wajah Bu Lurah masih menatap tidak percaya. Sementara Rina menatap Mas Ragil dengan pandangan benci. Entah apa sebabnya. Sejak aku menikah dengan Mas Ragil, Rina memang tidak suka pada suamiku. Bahkan dia juga sempat benci padaku karena statusku sebagai istri Mas Ragil. Walaupun kini hubungan kami sudah membaik. Saat pandangan Rina beralih padaku, ia sudah tersenyum. “Nggak masalah mbak. Alhamdulillah sekarang Mbak Bunga dan Mawar bisa makan enak. Pasti Mas Satrio yang bawain lagi ya?” Aku hanya me
Mbak Tina sudah menjerit dengan air mata yang meleleh di pipinya. Bu Lurah segera menarik Mbak Tina ke kamar mandi untuk menyiram tangannya yang melepuh dengan air. Entah kenapa hatiku merasa tidak enak melihat tumpahan minyak di sampingku. Jika Mbak Tina tidak berada disana mungkin seluruh tubuhku yang sudah terkena tumpahan minyak itu. Suasana sempat kacau saat Mas Budi sudah datang ke rumah Bu Lurah untuk menjemput istrinya. Mas Budi dan Ibu mertua lalu membawa Mbak Tina ke puskesmas agar cepat mendapat penanganan. Sedangkan Mbak Sindy dan Mbak Yuni masih berada di rumah ini. Wajah kedua kakak iparku itu terlihat sangat syok. Mereka menatapku dan tumpahan minyak itu secara bergantian. “Maaf semuanya. Mari kita lanjutkan lagi.” Ucap Bu Lurah yang sudah kembali ke dapur. Acara rewang hari itu kembali berjalan dengan lancar. Aku memberi tahu Bu Lurah jika Ibuku tidak bisa rewang maupun membuat pesanan lontong pecel karena sudah banyak tetangga yang memesan untuk keperluan lain pada
“Satrio.” Kedua mata Mas Ragil membulat saat melihat siapa yang sudah meninjunya. Sejak siang tadi Satrio memang memutuskan untuk tetap berada di rumah ini karena khawatir jika keluarga Mas Ragil akan melakukan sesuatu karena musibah yang menimpa Mbak Tina. Hingga malam hari, tidak ada keluarga Mas Ragil yang datang ke rumah ini. Ternyata bukan Ibu mertua, Mas Budi atau keluarganya yang lain yang membuat masalah. Tapi, justru suamiku sendiri. Untung saja Satrio masih ada di rumah ini. “Mbak Bunga tidak melakukan apapun pada Mbak Tina. Kami punya bukti rekamannya.” Seru Satrio yang hendak memukul Mas Ragil lagi. Namun, aku berhasil mencegahnya dengan menarik tangan adik laki-lakiku itu. “Sudah Yo. Kamu jangan balas memukul Mas Ragil.” Aku mengusap bahu Satrio agar dia tenang. Sementara itu, Mas Ragil sudah bangkit berdiri dengan tangan yang menyeka sudut bibirnya yang berdarah. “Kamu membela Bunga karena dia kakakmu. Aku yakin jika Bunga yang berbohong. Bukan Ibuku. Karena Ibuku ad
Mas Ragil sudah berada di dapur sebelum aku menjawabnya. Terlihat sekali wajah Mas Ragil yang sangat kelelahan. Mungkin dia baru saja bertengkar dengan Ibu mertua dan ketiga kakaknya. Entahlah aku tidak peduli. Satu hal yang aku takuti adalah jika Mas Ragil mendengar percakapanku dengan Satrio sejak tadi. “Ada yang mau aku bicarakan.” Kata Mas Ragil sambil menundukan kepala. Sudah terlalu sering di sakiti membuat aku tidak tahu jika suamiku itu benar-benar menyesal atau tidak. Apakah dia berbuat hingga sejauh ini karena ada Satrio yang sedang bersamaku? Atau rasa penyesalan Mas Ragil memang datang dari lubuk hatinya yang paling dalam? Mas Ragil lalu duduk di sampingku. Tangannya sudah menggenggam tangan kananku dengan erat. Seolah memohon pengampunan atas ancamanku kemarin. “Aku belum bisa membujuk Ibu, Mbak Tina dan Mbak Yuni untuk minta maaf padamu setelah acara pernikahan Rina. Tidak bisakah kau memaafkan mereka Nga. Ibuku kan Ibumu juga. Begitu juga dengan ketiga kakakku juga s
Pandanganku segera beralih pada putriku. Benar kata Ibu. Kaki Mawar memang sudah berdarah. Tidak hanya itu bagian kaki dan tangannya yang lain sudah lebam bekas cubitan. Aku menatap nyalang ke arah Arum. Hendak menyerangnya lagi karena sudah berani melukai putriku. Sebelum aku berhasil mencapai Arum yang kini sudah di lindungi oleh Mas Ragil, Satrio sudah menahan tanganku lebih dulu. Tubuhku memberontak ingin di lepaskan. Akan ku cakar wajah Arum untuk membalas perbuatannya pada anakku. “Jangan mbak. Lebih baik sekarang kita ke rumah sakit untuk mengobati sekaligus melakukan visum pada Mawar. Setelah itu kita laporkan kejahatan mereka semua ke polisi.” Mendengar penjelasan dari adik laki-lakiku itu, hati mulai merasa tenang. “Benar apa yang di katakan adik kamu nduk. Yang penting Mawar di obati dulu. Kasihan sejak tadi nangis terus. Pasti sakit banget sampai beradarah begini.” Aku menganggukan kepala lalu hendak berbalik untuk mengikuti Satrio dan Ibuku. Mas Ragil yang mendengar se
Setelah pertemuan keluarga selesai, Pak Lurah dan Bu Lurah ijin kembali pulang ke rumah. Meninggalkaku dan Satrio di rumah itu bersama dengan keluarga Mas Ragil. Wajah permusuhan langsung di tunjukkan oleh Mas Budi, Mbak Tina dan Arum padaku. “Puas kamu mempermalukan keluarga di depan umum Nga?” Hardik Mas Budi padaku. Membuat tubuhku terlonjak kaget sejenak. Tapi, aku sama sekali tidak takut lagi pada kakak ipar pertamaku itu. Sifatnya sebelas dua belas dengan Mas Ragil. Hanya saja Mbak Tina yang berasal dari keluarga kaya dengan bodohnya bisa cinta mati pada Mas Budi yang lebih mementingkan Ibu mertua dan ketiga adik iparnya daripada Mbak Tina sendiri. “Nggak. Aku belum puas. Kalau tadi bukan di acara pernikahan Rina, sudah aku jambak rambut Arum. Mencubit sekujur tubuhnya hingga berdarah. Seperti yang Arum lakukan pada putriku. Apapun akan aku lakukan hingga membuatnya babak belur.” Mbak Tina sudah berdiri mendengar perkataanku. Matanya nyalang menatap ke arahku dengan penuh amar
Tok.. tok.. tok… Ketukan di pintu membua tubuhku terlonjak kaget. Aku membawa Mawar dalam gendongan lalu membuka pintu. Tampak Bude Yani yang memakai baju gamis berdiri di ambang pintu. “Ternyata kamu malah di kamar nduk. Ayo makan dulu. Bude bawa dua bungkus snack dari acara yasinan tadi.” Aku menganggukan kepala sambil tersenyum. “Iya. Terima kasih Bude.” Setelah itu kami makan malam bertiga. Sama seperti Ibu, suami Bude Yani sudah meninggal sejak sepuluh tahun lalu. Lalu, enam tahun kemudian giliran Bapak yang meninggal. Membuat Ibu dan Bude Yani menjadi janda dan harus pontang-panting menafkahi anak-anaknya. Aku menceritakan semua kejadian hari ini termasuk pesan terakhir yang di kirim oleh Satrio. Asih merutuk saat membaca isi pesan Mas Ragil di hpku. Perasaan takut itu membuatku terus melihat Mawar yang sedang di pangku Bude Yani. “Kamu tenang saja nduk. Kita ini hidup di desa. Kalau Ragil sampai berani membawa Mawar sudah pasti tetangga kita yang akan maju. Dia bisa babak