"Aku kok malas banget ya, Mas. Apalagi jika mengingat semua perbuatannya, ujarku."Mas paham, Mila, tapi kamu juga jangan seperti itu. Kita harus tetap berbuat baik kepada siapa pun, walaupun orang tersebut telah menyakiti kita," tegur Mas Reynaldi.Perkataannya itu membuat aku malu, padahal yang seharusnya julid itu dia. Karena Mas Reno merupakan mantan suamiku, sedangkan dia merupakan calon suamiku. Tapi kini malah dia yang mengingatkan aku, supaya aku mau menengok mantanku tersebut."Iya, Mas, kamu benar. Ternyata aku telah salah telah berpikir seperti itu," ucapku."Itu manusiawi kok, Mila. Karena yang namanya manusia pasti mempunyai salah dan khilaf. Makanya sekarang Mas ngingetin kamu, barangkali kamu sedang khilaf kan," sahut Mas Reynaldi."Bener, Mas, terima kasih ya kamu telah mengingatkan aku. Ya sudah kalau begitu, ayo kita ke rumah sakit! Kita ajak Mama sama Papa ya, barangkali saja mereka juga mau menengok, biar sekalian kita berangkat bareng," kataku.Aku pun kemudian s
"Maaf, semuanya, kami sebagai pihak rumah sakit sudah semaksimal mungkin memberikan yang terbaik untuk pasien. Namun sayang, pasien tidak bisa bertahan dan ia meninggal dunia," terang Dokter."Innalillahi wainnailaihi roji'un," ucap kami serempakHatiku terhenyak saat mendengar kabar duka yang diucapkan oleh sang dokter yang telah menangani Mas Reno selama ini. Mbak Wina pun menangis, ia memelukku erat. Aku pun tidak kuasa menahan haru dan akhirnya ikut menangis. Aku merasa ikut sedih karena Mas Reno meninggal, sebab ia tidak kuat menahan peluru yang bersarang di pinggangnya. Karena kata dokter, peluru tersebut sampai mengenai ginjalnya. Mengerikan memang, tapi inilah jalan hidup yang harus dijalaninya. "Sudahlah, Mbak, kamu yang sabar ya. Mungkin ini memang jalan Mas Reno untuk kembali kepada pemilikNya. Kita doakan saja, semoga Mas Reno bisa diterima amal ibadahnya, serta meninggal dalam keadaan husnul khotimah." Aku berusaha membujuk Mbak Wina, supaya ia tidak berlarut dalam kes
"Oh, ada Maya ya, Bi. Ya sudah, Bi, bilang sama Maya tunggu sebentar ya," pintaku."Iya, Non," sahut Bi Ratih.Aku pun segera merapikan pakaian, serta memakai kerudung, lalu setelah selesai baru aku menemui Maya beserta keluarganya. "Mila, maaf aku menganggu," ucap Maya dengan lembut.Maya tidak seperti biasanya yang selalu bersikap arogan. Ia bertanya saat aku baru saja masuk ke ruang tamu. Padahal tadinya aku berniat mau menyapa mereka duluan, tapi ternyata malah didahului oleh Maya."Lho ... kenapa kamu meminta maaf, Maya? Memangnya kamu punya salah apa sama aku," tanyaku berpura-pura tidak mengerti."Mila, kamu jangan melaporkan aku ke Polisi ya! Aku mohon, Mila," pinta Maya memelas.Memangnya kamu salah apa, hingga aku harus melaporkan kamu ke Polisi?" Aku masih tetap berpura-pura tidak tahu, tentang apa yang telah dilakukannya. Maya pun kemudian menjelaskan semuanya, tentang perbuatannya yang menyewa orang untuk mencelakaiku tempo hari.Dia terus memohon kepadaku, jika dia ti
"Aku lebih memilih memaafkannya, Mas. Karena sepertinya dia bersungguh-sungguh meminta maaf kepadaku. Akupun tidak mau menyimpan dendam, apalagi orang tersebut sudah mengatakan maaf," terangku.Mas Reynaldi pun manggut-manggut, saat mendengar penuturanku tentang keputusan apa yang aku ambil."Baguslah kalau memang begitu, kamu memang orang baik, Mila. Kamu tidak mempunyai rasa dendam, walaupun orang tersebut telah menyakiti kamu," puji Mas Reynaldi."Ya memang harus seperti itu, Kan mas? Lagian untuk apa juga aku memperpanjang masalah, toh dia juga sudah berjanji tidak akan mengulanginya lagi dan dia juga telah mengucapkan kata maaf. Itulah yang penting buatku,"Setelah itu kami membahas tentang persoalan lain, yaitu membicarakan masalah pertunangan kami, yang akan dilaksanakan besok malam. Kami akan melaksanakan pertunangan tersebut di sebuah gedung, yang telah kami persiapkan jauh-jauh hari. Lumayan banyak juga orang yang akan kami undang, yaitu keluarga dekat kami, seluruh karyaw
"Mila, mana sarapannya, kok belum ada apa-apa sih? Apa kamu tidak masak ya? Kenapa, aku kan laper?" tanya Mbak Wina.Ia bertanya, saat aku sedang mencuci piring di wastafel. Mbak Wina merupakan Kakak ipar suamiku, yang semenjak suaminya meninggal karena serangan jantung, ia meminta untuk tinggal bersamaku. Sebenarnya tidak apa-apa dia tinggal dirumahku, jika saja dia sadar diri, kalau dia itu sedang numpang di rumah ini. Tapi ini apa? Dia malah menganggap aku seperti pembantunya. Mbak Wina selalu minta ini minta itu dan itu, serta aku harus mau meladeninya. Mas Reno juga tidak pernah peka padaku. Setiap kali aku curhat kepadanya, tentang kekakuan Kakak iparnya ini, ia malah menceramahiku ini dan itu, hingga membuat aku muak mendengarnya."Maaf ya, Mbak. Aku ini bukan pembantu kamu, jadi kalau kamu mau sarapan atau apapun silakan masak dan buat sendiri.""Lho, kok kamu begitu sih? Aku ini tamu lho di rumah ini, masa iya sih aku harus apa-apa sendiri? Kamu sebagai pemilik rumah ngapain
"Bagus, Reno, kamu memang harus tegas, sama istri yang suka membangkang seperti si Mila ini. Ibu juga nggak suka mempunyai menantu, yang nggak nurut seperti dia. Hanya bisa membuat emosi saja," cicit Bu Risma."Oh ... jadi maksudnya, kalian berdua itu tidak suka sama aku, dan lebih suka dengan Mbak Wina? Begitu bukan?" tanyaku.Aku bertanya dengan tegas, kepada Bu Risma dan juga Mas Reno. Aku ingin tahu maksud mereka berkata seperti itu kepadaku. Apakah hanya untuk menggertaku, atau mereka memang benar-benar tidak mengharapkan aku ada di dalam kehidupan mereka lagi."Kalau memang iya, terus kamu mau apa, Mila? Aku lebih memilih Wina, yang menjadi menantuku, daripada kamu," terang Bu Risma, perkataannya itu begitu menusuk hatiku."Bu ... Ibu jangan bicara seperti itu, Bu. Bagaimana mungkin, Ibu lebih memilih aku dan melepaskan Mila? Dia itu suaminya masih ada, serta masih berstatus menantu Ibu? Aku memang selayaknya pergi dari sini, Bu, sesuai dengan kemauannya Mila. Karena aku juga t
"Heh, Mila. Kamu itu kurang ajar sekali ya, kamu telah berani mengusir anakku! Mila, kamu itu harus ingat, walaupun kamu yang selalu membayar cicilan rumah ini, tetapi kamu masih terikat pernikahan dengan Reno. Jadi jika kamu mau mengusir Reno, bagikan dulu harta gono gininya," pinta Bu Risma."Apa yang dikatakan Ibu benar, Mila? Kalau kamu mau mengusir Reno dari rumah ini, kamu harus membagi dua harta bendamu. Kamu jangan serakah jadi perempuan, sebab semua yang kamu miloki juga karena ada andil Reno," timpal Mbak Wina.Mereka berdua meminta aku, supaya aku mau membagi dua hartaku. Mereka tidak ingin pergi dengan tangan hampa, sebab menurut mereka Mas Reno berhak mendapat harta gono gini, dari pernikahannya bersamaku."Oh, jadi maksud kalian, aku harus membagi hartaku dengan Mas Reno?" tanyaku lagi, sambil menatap kedua wajah perempuan itu dengan bergiliran"Memangnya kamu benar-benar mau berpisah denganku, Mira?" tanya balik Mas Reno.Ia meminta jawabanku, tentang apa yang akan aku
"Reno, kamu jangan dengarkan apa kata Mila. Kamu harus memikirkan nasib Wina, jika dia sampai diusir dari rumah ini. Biar bagaimana pun, Wina ini adalah istri almarhum kakakmu. Dia menantu kesayangannya Ibu," pinta Bu Risma."Bu, kalau memang Ibu sayang sama menantu Ibu ini. Lebih baik dia ini bawa pulang saja ke rumah Ibu, biarkan dia tinggal di rumah Ibu, supaya dia bisa menemani Ibu dan Reni di sana. Karena di sini, Mbak Wina hanya bisa membuat aku selalu emosi. Bahkan bisa saja, dia membuat rumah tangga anak Ibu berantakan," saranku.Aku memberi saran kepada mertuaku, supaya mau menampung Mbak Wina di rumahnya.Karena dia bilang sayang kepada menantunya ini, serta menurutnya Mbak Wina merupakan menantu terbaik."Iya, Bu. Saran Mila ada benarnya dan itu lebih baik," timpal Mas Reno."Tapi Reno, aku sudah betah tinggal di sini. Masa iya sih kami tega mengusir aku dari sini. Aku masih boleh ya tinggal di sini, aku akan merubah sikapku kok," tawar Mbak Wina.Ia berkata dengan suara ya