Alarm di ponsel terus saja menjerit-jerit. Buru-buru menyambar gawai, menatap layarnya dan ternyata sudah pukul enam pagi.Menyibak selimut yang menutupi tubuh, aku segera melangkahkan kaki menuju toilet lalu membersihkan diri. Pasti Mas Hakam sudah menunggu di luar dan bingung kenapa aku malah menyuruhnya mengecat rumah, bukan mengajaknya senang-senang.Lagian, jaman sekarang masih percaya sama hal-hal seperti itu. Pakai mau melet aku segala pula. Aneh.Memutar anak kunci, membuka pintu perlahan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Kosong. Tapi sepertinya Mas Hakam telah menyelesaikan tugasnya, sebab rumah terlihat lebih terang dari sebelumnya.Sambil mengikat rambut yang tergerai aku keluar dari kamar, mencari keberadaan Mas Hakam dan ternyata dia sedang terlelap di sofa ruang tengah. Sebenarnya kasihan melihat dia kelelahan seperti itu. Tapi siapa suruh selingkuh. Kalau saja dia setia, aku tidak pernah berpaling dari
"Ri--Rini? Ibu cuma mau beresin kamar kamu," gagapnya sembari memunguti perhiasan yang berantakan. Aku mengangkat satu ujung bibir ketika ekor mataku tanpa sengaja menangkap adegan kriminal yang sedang Ibu lakukan. Wanita berpenampilan heboh itu memasukkan salah satu perhiasan milikku ke dalam saku celana, mungkin karena dia pikir itu perhiasan berharga.Itu palsu, Ibu. Sebab aku tahu parasit-parasit seperti kalian akan kembali berulah. Aku tidak mau kecolongan lagi seperti dulu. Sudah terlalu banyak uang serta perhiasan milikku yang kalian kuntit, bahkan Mas Hakam menikah lagi dengan gundiknya menggunakan uangku."Siapa yang mengizinkan Ibu masuk? Bukankah kemarin aku bilang kalau Mas Hakam boleh tinggal di sini tapi tidak dengan Ibu?" Menatap tajam netra hitam milik suami, lalu berpindah memindai Ibu yang sedang memasukkan baju-bajuku yang tercecer ke dalam lemari."Naruhnya yang rapi dong, Bu. Tadi isi lemari aku itu tidak berantakan seperti i
#HakamAku memijat pelipis seraya menatap kertas bertuliskan daftar hutang serta surat gugatan cerai yang diberikan oleh Andarini. Sia-sia keluar uang satu juta, ternyata pelet yang Mbah Roso berikan tidak mempan terhadap istri. Dia tetap menggugat cerai diriku dan menagih hutang yang jumlahnya mencapai tujuh ratus juta rupiah."Bagaimana ini, Bu?" tanyaku seraya menatap wajah Ibu yang sedang asyik menikmati teh beroma melati yang baru saja dia buat."Ya kamu pikir sendiri jalan keluarnya. Ibu tinggal menikmati hasilnya nanti, Hakam. memangnya nggak kasihan kamu sama Ibu. Sudah tua, masih disuruh mikir yang berat-berat. Diajak hidup susah pula!" Dia menjawab dengan ketus.Aku menyentak napas kasar. Semua juga salahnya dia. Coba kemarin tidak menjebakku dengan Ratih, apalagi sampai menikahkanku dengannya. Pasti semua tidak akan berakhir seperti ini.Ah, bicara soal Ratih, kenapa aku jadi kepikiran tentang tes kesuburan yang aku dan Andarini lakukan beberapa tahun yang lalu? Apa iya aku
Suara alarm di gawaiku terus saja menjerit-jerit tanpa jeda. Aku mengintip layar ponsel dan ternyata sudah pukul enam pagi. Entah mengapa malam cepat sekali menjelma menjadi pagi, padahal baru beberapa menit aku merasakan tidur nyenyak serta mimpi indah. Huft!!Dengan malas beranjak dari atas kasur, mengayunkan langkah menuju kamar mandi sambil menyambar handuk yang tergantung di paku. Aku harus kembali ke kantor setelah sehari kemarin bolos karena aku pikir Andarini akan mengajakku kembali tinggal bersama."Kam, mana uang yang dikasih Rini semalam. Ibu mau pakai untuk membeli sarapan sama beli keperluan lainnya!" baru saja keluar dari kamar mandi, Ibu sudah menodongkan tangan meminta uang yang Andarini berikan semalam kepadaku.Dengan berat hati kuserahkan dua lembar uang pecahan ratusan ribuan tersebut, dan menyisakan selembar untuk membeli bahan bakar."Duh, duit segini cuma dapet apa, Kam? Jadi anak berguna sedikit ngapa! N
Sambil mengatur napas yang sudah tidak beraturan kuhampiri perempuan mur*han itu, menyeret kasar lengannya membawa dia menjauh dari si lelaki."Apa-apaan sih, Mas?!" dia menepis kasar tanganku yang sedang mencengkram erat pergelangan tangannya."Kamu yang apa-apaan. Kamu tahu 'kan, status kita itu masih suami istri. Kenapa kamu malah asik jalan berdua sama laki-laki lain, Ratih?!" sentakku meninggikan nada bicara."Memangnya kenapa? Ada larangan?""Ya jelas ada larangan dong. Kamu itu istri aku.""Itu kemarin, waktu kamu kaya. Sekarang kamu udah kere. Ogah banget aku jadi istri kamu. Buang-buang waktu dan tenaga. Lebih baik cari laki-laki lain yang bisa nyenengin hati aku dan membiayai hidup aku, daripada hidup sama pria yang mengaku kaya ternyata tidak punya apa-apa. Hidup kok cuma modal isi kolor doang. Mana kecil dan mudah loyo lagi!" Aku mengangkat tangan hendak mendaratkannya di pipi Ratih, namun urung kulakukan karena bany
Aku mengusap wajah kasar lalu segera pulang ingin mengabari Ibu serta Mbak Asma. Mereka harus tahu melakukan perempuan yang selalu dibanggakan serta disanjung itu."Kamu nggak usah ngarang, Hakam. Seila tidak mungkin seperti itu? Heran Ibu sama kamu, masa menjelekkan adik sendiri, menyebar fitnah keji seperti itu?!" Sungut Ibu ketika aku mengabari keadaan Seila.Segera kutunjukkan foto yang dikirim oleh teman kuliahnya, dan wajah Ibu terlihat begitu syok."Ayo kita segera ke Jogja, Kam. Kita naik pesawat saja biar cepet!""Naik pesawat itu ongkosnya mahal, Bu. Aku tidak ada uang untuk membeli tiketnya. Kita naik mobil saja. Biar aku dan Mas Erwin gantian nyetir nanti." Usulku keberatan. Sebab jika menuruti kata Ibu menggunakan pesawat, sudah dipastikan kalau Mbak Asma dan suaminya juga akan minta dibayarkan pula. Dari mana uang sebanyak itu untuk membeli tiket. Uang pesangon yang aku dapat juga pasti sebentar lagi ludes untuk membiayai rumah sakit
Ya Allah. Malang nian nasib keluargaku setelah berpisah dengan Andarini. Cobaan terus saja datang bertubi-tubi tanpa henti, membuat diri ini menyadari bahwa apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.Kurang apa Andarini kepada keluargaku. Uang, tempat tinggal, semuanya dia fasilitaskan. Tapi, Ibu malah tidak pernah menganggap dia ada, bahkan menyuruhku untuk mengkhianati pernikahan yang sudah kami bangun sejak lama. Memang kuakui, semuanya terjadi gara-gara kesalahanku juga. Andai saja sejak dulu aku jujur dan tidak mengaku-ngaku sukses juga kaya karena uang hasil keringatku, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Jika saja dulu tidak meminta Andarini bersandiwara bahwa dia berasal dari keluarga kurang mampu serta jujur kalau harta kekayaan yang ada itu milik Andarini, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini.Hidupku masih bahagia bersama wanita yang mau menerimaku apa adanya.Tapi, semuanya sudah terlambat. Nasi sudah menjadi b
"Kemana uang yang selama ini Mbak Rini kasih ke kamu, Seila? Sebab teman kamu bilang, katanya sudah enam bulan kamu nggak kuliah?" aku terus saja membombardir Seila dengan pertanyaan ketika kami sudah berada di dalam mobil.Lagi, Seila hanya diam membisu. Bibirnya terkatup dan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya."Jawab, Seila!!"Semua orang yang ada di dalam mobil terkesiap, tidak terkecuali Ibu yang sejak tadi terus saja memeluk tubuh anak kesayangannya."U--uangnya aku kasih ke Irwan, Mas. Buat ngirimin istrinya, soalnya Irwan belum mendapatkan pekerjaan. Aku kasihan melihat dia kebingungan saat istrinya minta dikirimi uang, jadi uang yang Mas transfer tiap bulan aku kasih ke dia." Astaga!Entah apa yang merasuki pikiran adikku sehingga bisa berbuat sebodoh itu. Dia rela memberikan segalanya kepada laki-laki bren*sek itu, bahkan sampai menghancurkan masa depannya."Di mana rumah laki-laki itu. Dia ha