Suara alarm di gawaiku terus saja menjerit-jerit tanpa jeda. Aku mengintip layar ponsel dan ternyata sudah pukul enam pagi. Entah mengapa malam cepat sekali menjelma menjadi pagi, padahal baru beberapa menit aku merasakan tidur nyenyak serta mimpi indah. Huft!!Dengan malas beranjak dari atas kasur, mengayunkan langkah menuju kamar mandi sambil menyambar handuk yang tergantung di paku. Aku harus kembali ke kantor setelah sehari kemarin bolos karena aku pikir Andarini akan mengajakku kembali tinggal bersama."Kam, mana uang yang dikasih Rini semalam. Ibu mau pakai untuk membeli sarapan sama beli keperluan lainnya!" baru saja keluar dari kamar mandi, Ibu sudah menodongkan tangan meminta uang yang Andarini berikan semalam kepadaku.Dengan berat hati kuserahkan dua lembar uang pecahan ratusan ribuan tersebut, dan menyisakan selembar untuk membeli bahan bakar."Duh, duit segini cuma dapet apa, Kam? Jadi anak berguna sedikit ngapa! N
Sambil mengatur napas yang sudah tidak beraturan kuhampiri perempuan mur*han itu, menyeret kasar lengannya membawa dia menjauh dari si lelaki."Apa-apaan sih, Mas?!" dia menepis kasar tanganku yang sedang mencengkram erat pergelangan tangannya."Kamu yang apa-apaan. Kamu tahu 'kan, status kita itu masih suami istri. Kenapa kamu malah asik jalan berdua sama laki-laki lain, Ratih?!" sentakku meninggikan nada bicara."Memangnya kenapa? Ada larangan?""Ya jelas ada larangan dong. Kamu itu istri aku.""Itu kemarin, waktu kamu kaya. Sekarang kamu udah kere. Ogah banget aku jadi istri kamu. Buang-buang waktu dan tenaga. Lebih baik cari laki-laki lain yang bisa nyenengin hati aku dan membiayai hidup aku, daripada hidup sama pria yang mengaku kaya ternyata tidak punya apa-apa. Hidup kok cuma modal isi kolor doang. Mana kecil dan mudah loyo lagi!" Aku mengangkat tangan hendak mendaratkannya di pipi Ratih, namun urung kulakukan karena bany
Aku mengusap wajah kasar lalu segera pulang ingin mengabari Ibu serta Mbak Asma. Mereka harus tahu melakukan perempuan yang selalu dibanggakan serta disanjung itu."Kamu nggak usah ngarang, Hakam. Seila tidak mungkin seperti itu? Heran Ibu sama kamu, masa menjelekkan adik sendiri, menyebar fitnah keji seperti itu?!" Sungut Ibu ketika aku mengabari keadaan Seila.Segera kutunjukkan foto yang dikirim oleh teman kuliahnya, dan wajah Ibu terlihat begitu syok."Ayo kita segera ke Jogja, Kam. Kita naik pesawat saja biar cepet!""Naik pesawat itu ongkosnya mahal, Bu. Aku tidak ada uang untuk membeli tiketnya. Kita naik mobil saja. Biar aku dan Mas Erwin gantian nyetir nanti." Usulku keberatan. Sebab jika menuruti kata Ibu menggunakan pesawat, sudah dipastikan kalau Mbak Asma dan suaminya juga akan minta dibayarkan pula. Dari mana uang sebanyak itu untuk membeli tiket. Uang pesangon yang aku dapat juga pasti sebentar lagi ludes untuk membiayai rumah sakit
Ya Allah. Malang nian nasib keluargaku setelah berpisah dengan Andarini. Cobaan terus saja datang bertubi-tubi tanpa henti, membuat diri ini menyadari bahwa apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai.Kurang apa Andarini kepada keluargaku. Uang, tempat tinggal, semuanya dia fasilitaskan. Tapi, Ibu malah tidak pernah menganggap dia ada, bahkan menyuruhku untuk mengkhianati pernikahan yang sudah kami bangun sejak lama. Memang kuakui, semuanya terjadi gara-gara kesalahanku juga. Andai saja sejak dulu aku jujur dan tidak mengaku-ngaku sukses juga kaya karena uang hasil keringatku, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Jika saja dulu tidak meminta Andarini bersandiwara bahwa dia berasal dari keluarga kurang mampu serta jujur kalau harta kekayaan yang ada itu milik Andarini, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini.Hidupku masih bahagia bersama wanita yang mau menerimaku apa adanya.Tapi, semuanya sudah terlambat. Nasi sudah menjadi b
"Kemana uang yang selama ini Mbak Rini kasih ke kamu, Seila? Sebab teman kamu bilang, katanya sudah enam bulan kamu nggak kuliah?" aku terus saja membombardir Seila dengan pertanyaan ketika kami sudah berada di dalam mobil.Lagi, Seila hanya diam membisu. Bibirnya terkatup dan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya."Jawab, Seila!!"Semua orang yang ada di dalam mobil terkesiap, tidak terkecuali Ibu yang sejak tadi terus saja memeluk tubuh anak kesayangannya."U--uangnya aku kasih ke Irwan, Mas. Buat ngirimin istrinya, soalnya Irwan belum mendapatkan pekerjaan. Aku kasihan melihat dia kebingungan saat istrinya minta dikirimi uang, jadi uang yang Mas transfer tiap bulan aku kasih ke dia." Astaga!Entah apa yang merasuki pikiran adikku sehingga bisa berbuat sebodoh itu. Dia rela memberikan segalanya kepada laki-laki bren*sek itu, bahkan sampai menghancurkan masa depannya."Di mana rumah laki-laki itu. Dia ha
Aku terkesiap ketika tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dan menggebrak-gebrak kaca mobil ketika aku mulai mengungkung tubuh Andarini. Tanpa dikomando dia langsung memecahkan kaca, menarik tuas kemudian menarikku secara paksa serta bringas ketika pintu telah terbuka."Apa yang sedang anda lakukan di dalam, hah?!" tanya si laki-laki asing sambil menatap sinis wajahku."Apa pun yang sedang saya lakukan, terserah saya dong. Dia itu istri saya. Anda tidak berhak mencampuri urusan saya!" bentakku.Buk!Buk!Dua kali tinju mendarat di rahang kanan serta kiri. Aku meringis kesakitan, berusaha untuk membalas namun,Buk!!Sekali lagi dia mendaratkan bogem mentah di hidung, hingga terasa berdenyut nyeri serta mengeluarkan cairan merah."Tidak mungkin seorang suami membawa istrinya ke kebun kosong seperti ini dan berbuat tidak senonoh. Kamu pasti laki-laki me*um yang ingin melecehkan perempuan itu!!" teriaknya lagi. Rahang pria berkaos hitam itu terlihat mengeras dengan tangan terkepal siap
"Iya, terima kasih nasihatnya." Padahal dalam hati, jujur aku kesal sekali mendapat kritikan pedas seperti itu. Kalau aku tidak berhutang budi, sudah kutarik rambut panjangnya dan kupangkas sampai botak."Jangan menatap saya seperti itu. Bukan mahram. Jangan zina mata!" Ya Tuhan. Ternyata begitu menyebalkan si Arjuna ini. Nama dan perangainya tidak sesuai.Ih, amit-amit. Kasihan sekali yang menjadi istrinya nanti jika punya suami kaya batu semacam dia."Sudah, kita makan malam dulu. Ibu sudah lapar. Omongan Juna jangan dimasukkan ke hati ya, Nak Rini." Timpal Tante Dewi.Sepertinya bertolak belakang sekali Dia dengan ibunya. "Iya, Tante."Mengambil secentong nasi juga sepotong ikan serta sayur bening bayam yang terlihat begitu menggoda.Masakan ibunya Arjuna memang luar biasa. Begitu enak serta nikmat walaupun hanya hidangan sederhana saja.Setelah selesai makan aku membantu mencuci piring,
Sampai pergi pun dia tidak membunyikan klakson sebagai tanda pamit, atau sekedar basa-basi. Aku mendengkus kesal karena pagi-pagi seperti ini harus berhadapan dengan manusia dari planet Merkurius seperti dia.Merogoh dalam-dalam kantong tas, mengambil kunci garasi lalu membuka dan menggesernya. Mbak Neti yang sedang menyapu halaman mengernyitkan dahi melihat aku masuk dengan dandanan tidak seperti biasanya."Mbak Andar dari mana? Maa syaa Allah, cantik sekali, Mbak?" puji asisten rumah tanggaku seraya menelisik tampilanku dari ujung kaki sampai ujung kepala.Aku tersenyum mendengar pujiannya kemudian segera masuk ke dalam rumah.Memantas diri di depan cermin, memutar-mutar badan dan memidai wajahku sendiri yang terbalut hijab milik Saquina. Ada desiran aneh di dalam dada ketika melihat pantulan wajah yang terlihat bersinar serta memesona. Ada perasaan nyaman juga tenteram di dalam sanubari.Tuhan, apakah ini