Share

Part 5

Aвтор: Ida Saidah
last update Последнее обновление: 2023-02-26 03:32:47

#Hakam

“Mas, aku hamil!” ucap Ratih seraya menunjukkan test pack bergaris dua dan bergelayut manja di pundak.

Aku terkesiap dengan bola mata membulat sempurna mendengar kabar tersebut. Antara bahagia sekaligus takut. Bahagia karena aku memang benar-benar ingin memiliki keturunan, tetapi takut jika sampai Andarini istriku tahu kalau aku diam-diam pernah melakukan hubungan terlarang dengan Ratih.

“Kok kamu diem aja, Mas? Nggak seneng ya, denger kabar kehamilan aku?” Ratih memonyongkan bibir manja.

“Se-seneng kok, Ra. Hanya saja...” Menggantung kalimat, bingung harus berkata apa.

“Hanya saja apa?” Dia semakin mempererat pelukannya.

Ratih memang begitu agresif. Pertama kenal saja sudah berani peluk-peluk, apalagi setelah kejadian malam itu. Dia semakin berani kepadaku, bahkan sering mengajakku ngamar, namun aku menolak karena cukup sekali saja aku melakukan kesalahan fatal yang melanggar norma agama.

Aku juga tidak tahu kenapa setelah makan masakan Ibu malam itu, tiba-tiba badanku terasa panas dan hasrat ingin melakukan itu menggebu-gebu tanpa bisa aku tahan. Hingga akhirnya ketika pagi menyapa, aku bangun dalam keadaan tanpa sehelai benang pun, juga berdua di dalam kamar bersama Ratih yang notabene bukan pasangan halalku.

“Kok malah melamun?” Aku terperanjat kaget ketika wanita yang mengaku sedang mengandung anakku itu mengguncang kasar bahu ini.

“Enggak, kok. Sekarang aku harus bagaimana, Ra? Kamu hamil anakku, sementara aku masih punya istri dan dia tidak mungkin mau berbagi suami dengan kamu!” Mengelus punggung tangan Ratih, merasa kasihan jika dia sampai hamil tanpa seorang suami.

Lagian, anak dalam kandungannya itu juga ‘kan darah dagingku.

Ah, ternyata benar dugaanku selama ini, kalau Andarinilah yang mandul, bukan aku. Hanya saja karena dia kaya raya dan memiliki segalanya, aku tidak akan melepas dia begitu saja. Aku masih sangat mencintai istriku itu, karena biar bagaimanapun, dia satu-satunya perempuan yang mau menerima diri ini apa adanya, tanpa memandang status bahkan tidak pernah menuntut apa-apa dariku. ‘Kan seneng punya istri cantik, kaya, nggak neko-neko, baik pula.

Ya, meskipun dia mandul.

“Kamu lihat, Hakam. Ratih sekarang sedang mengandung anak kamu. Segera nikahi dia dan ceraikan Rini!” perintah Ibu seraya mengenyakkan bokong perlahan di sofa mahal yang aku beli menggunakan uang istri.

Bagaimana bisa aku menceraikan Rini? Siapa yang akan memberi kita makan dan kekayaan jika dia aku talak. Tidak. Aku harus main cantik. Aku ingin memiliki Rini juga Ratih sekaligus.

“Aku tidak mungkin menceraikan Rini, Bu!” Menyandarkan punggung di penopang kursi yang terbuat dari kayu jati.

“Untuk apa dipertahankan wanita parasit seperti dia. Ibu nggak sudi kekayaan kamu dikuasai sama perempuan mandul itu!”

Andai saja Ibu tahu bahwa yang kaya adalah menantunya, pasti Ibu tidak akan bisa berkata seperti ini.

Sayang. Aku sudah terlanjur mengaku kalau semua kekayaan Rini adalah milikku. Bisa turun pamor kalau mereka sampai tahu ternyata Hakam Zulfikar yang selalu dibanggakan sebenarnya hanya lelaki kere yang menopang hidup kepada istrinya.

“Kamu itu kalau diajak membahas masalah Rini pasti diem. Memangnya apa sih, yang kamu banggakan dari perempuan seperti dia? Dipelet pake ilmu apa sampai kamu begitu bertekuk lutut kepadanya?!”

‘Harta Rini yang membuat aku bertahan, Ibu.’ Aku menjawab dalam hati.

“Pokoknya Mas harus segera menikahi aku, kalau tidak, aku tidak akan segan-segan menggugurkan bayi ini!” ancam Ratih sambil menangis.

“Oke, Mas akan menikahi kamu secara siri tanpa sepengetahuan Rini. Tapi tidak ada pesta ya, Ra. Mas nggak mau Rini sampai tahu dan ngamuk!”

“Aku mau menikah siri tapi harus mengadakan pesta yang mewah. Apa kata orang-orang kalau aku menikah tapi tidak diadakan pesta?”

Astaga! Berbanding terbalik sekali sifat Ratih dengan Andarini. Rini yang notabene dari keluarga berada, tidak pernah neko-neko apalagi banyak gaya. Berbeda sekali dengan Ratih yang selalu ingin tampil seperti orang kaya padahal dia dari kalangan bawah. Kalau bukan karena anak yang tidak bisa aku dapat dari Rini, ogah banget nikah dan hidup bersama dia.

“Tapi, Ra. Mas ....”

“Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya aku mau pesta yang mewah di gedung. Ini permintaan calon anak kamu, lho!” potongnya merajuk sambil mengelus-elus perut.

“Bener tuh, Kam. Kalau permintaan orang sedang hamil itu tidak bisa ditolak. Nanti anak kamu ngileran. Lagian paling habis berapa sih, Kam. Sudahlah, turuti saja. Jangan sampai ditolak. Jangan pelit sama calon istri dan calon anak. Ratih itu lagi hamil, jadi harus kamu manjain!” bela Ibu membuatku mati kutu.

Aku mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Bingung sebab saat ini sedang tidak memiliki uang sama sekali. Jangankan ratusan juta untuk sewa gedung juga membayar lain-lainnya, buat makan saja kalau tidak disokong oleh istri aku tidak punya. Rasanya malu sekali jika meminta uang kepada Rini untuk modal nikah.

Ah, Ratih, bikin kepala aku pusing saja!

Pukul sembilan malam aku pulang ke rumah karena biasanya Andarini sudah pulang di jam-jam seperti ini. Tidak mau dia sampai curiga apalagi sampai menyusul ke rumah Ibu. Bisa ada perang besar jika dia sampai tahu aku telah mengkhianati cintanya, berbagi raga dengan perempuan lain hingga wanita itu mengandung benihku.

Setelah beberapa menit menembus kemacetan kota, gegas menepikan mobil di depan rumah dan ternyata Andarini sudah pulang.

Wanita berambut panjang itu segera menyambut dengan senyum hangat kedatanganku, menyalami tangan ini lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat. Rasanya tidak tega jika sampai menduakan cinta perempuan sebaik dia.

Tapi, aku juga tidak bisa meninggalkan Ratih. Dia sedang mengandung anakku, benih cinta yang tidak bisa Rini berikan kepada diriku.

“Kamu kenapa, Mas? Lagi ada masalah?” tanya Rini seraya menatap dalam-dalam manik hitamku.

Aku bingung harus menjawab apa. Haruskah berbohong dan meminta sejumlah uang untuk modal menikah dengan Ratih?

Sepertinya memang tidak ada jalan lain. Terpaksa harus membohongi dia supaya bisa menikahi wanita yang telah aku hamili.

“Sayang. Mas boleh nggak pinjam uang lima ratus juta untuk modal usaha?” Dengan susah payah mengeluarkan kata-kata tersebut.

Rini terlihat menghela napas berat. Dia lalu menoleh ke arahku, mengusap lembut pipi ini sambil tersenyum manja.

“Uang aku baru dipake buat buka cabang baru, Mas. Tapi aku punya perhiasan yang jika dijual harganya melebihi uang yang kamu butuhkan. Memangnya kamu mau buka usaha apa?”

Uhuk!

Tersedak ludah sendiri mendengar pertanyaan dari istri.

“Em ... anu, teman ngajakin join bisnis. Mas bosen jadi karyawan. Pengen punya usaha sendiri supaya bisa membahagiakan hidup kamu, tidak terus menerus merepotkan kamu jika Mas memiliki penghasilan yang besar. Tidak kere seperti sekarang. Mas malu sama kamu, Rin!”

“Ya Allah, Mas. Aku itu nggak masalah walaupun kamu berpenghasilan minim, yang penting kamu sayang sama aku.”

Aku menatap lamat-lamat wajah cantiknya. Rasa bersalah tiba-tiba menelusup di dalam sanubari, karena telah berani mengkhianati cinta Rini yang begitu tulus. Padahal jika dipikir-pikir perbedaan antara Ratih dan Rini itu bagaikan langit dan bumi. Rini begitu cantik memesona dengan kulit putih bersih serta mata bulat indah, sedangkan Ratih, ah, pokoknya jauh sekali perbedaannya.

Tapi mau bagaimana lagi. Dia cantik tapi mandul. Sedangkan Ratih biasa-biasa saja tapi bisa memberikan aku keturunan. Nanti setelah nikah aku bisa kembali meminta sejumlah uang untuk mempermak wajah istri baruku itu.

Lagian enak juga punya istri dua. Bisa menggilir cinta jika salah satu dari mereka sedang halangan serta tidak bisa melayani.

Uh, senangnya membayangkan diapit oleh dua orang wanita yang sama-sama bisa melengkapi hidupku. Nggak sia-sia mempunyai wajah tampan walaupun kantong pas-pasan.

Setelah menjual perhiasan yang diberikan oleh Rini aku segera mempersiapkan pernikahanku dengan Ratih. Menuruti segala permintaannya, takut anakku ngileran jika tidak dikabulkan.

Namun, diacara pernikahan yang dihelat begitu besar tiba-tiba Rini datang melabrak, menghancurkan acaraku dan bahkan saat ini dia memilih berpisah denganku.

Sial! Bisa kelaparan dan tidak bisa menyenangkan hati keluarga jika sampai berpisah dengan dia. Aku akan berusaha mempertahankan Rini, demi uang yang selalu dia berikan, juga anak yang ada di dalam kandungan Ratih. Aku tidak mau kehilangan semuanya.

Tanpa terasa sepekan sudah aku tidak bertemu dengan istri. Dia selalu menghindari diriku, padahal aku begitu membutuhkan uang untuk membayar angsuran mobil. Sebab seluruh gajiku sudah diberikan kepada Ibu serta Ratih, dan sekarang aku hanya memegang uang sebesar lima puluh ribu saja. Bagaimana caranya bisa membayar cicilan mobil kalau tidak meminta kepada Andarini.

[Rin, transfer duit sepuluh juta sekarang.] Kukirim pesan kepada Rini walaupun tidak pernah dibalas. Padahal di pojokan layar aku lihat kalau saat ini dia sedang online.

Dasar istri durhaka. Suami butuh uang bukannya segera dibaca pesannya malah diabaikan. Sudah mulai sombong rupanya dia!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Комментарии (4)
goodnovel comment avatar
Tempe
sedar diri ke tak jantan ni. kalau dah mandul, anak nak mai dr celah mana
goodnovel comment avatar
Siti Hasanah
pengen tak tonjok mulut laki tak tau diuntung,dasar mokondo,uh gemes aku bacanya mbak
goodnovel comment avatar
Nur
jantan keparat... jalang miskin lagi..
ПРОСМОТР ВСЕХ КОММЕНТАРИЕВ

Latest chapter

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 69

    "Rini kenapa, Juna?" tanya Ibu terlihat panik saat melihatku sudah basah. "Buruan, ambilkan dia baju yang baru. Kamu istrinya basah begini bukannya diganti bajunya malah didiemin!""Tapi Juna panik, Bu. Makanya langsung panggil Ibu tanpa mikir ganti bajunya Rini dulu." Arjuna menjawab sambil mengayunkan kaki menuju lemari, mengambilkan daster yang baru dan membantuku menukar pakaian.Aku menggigit bibir ketika tiba-tiba rasa nyeri kembali menyerang. Rasanya luar biasa sekali sakitnya, lebih terasa dari yang aku rasakan tadi."Ayo kita ke klinik bersalin, Jun. Sepertinya istri kamu mau melahirkan!" ajak Ibu sambil membuka lemari pakaian bayi, memasukkan barang-barang yang dibutuhkan di klinik nanti ke dalam tas."Sakit, Mas!" pekikku sambil memeluk pinggang suami yang sedang berdiri tepat di depanku duduk.Wajah Arjuna terlihat sekali menegang. Dia terus saja membelai rambutku yang terikat rapi, menautkan kepala ini di perut roti sobeknya

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 68

    ***"Gendut, sudah makan belum?" Aku mengerucutkan bibir manja saat mendengar suami memanggilku gendut. Kayaknya dia seneng banget bikin istrinya ngambek. Dulu pengen liat aku gendut tapi, giliran perut ini sudah membukit, malah dia seneng banget memanggil gendut."Jangan cemberut, dong. Kamu itu gendut tapi menggemaskan. Bikin Babang Arjuna bertambah cinta. Kamu tau, setiap lagi kerja aku itu selalu inget sama kamu. Kangen banget rasanya kalo berjauh-jauhan!" Dia memelukku dari belakang dan menautkan dagunya di pundak."Habis Mas panggil aku gendut terus!""Itu panggilan sayang, Cantik.""Kamu jangan bikin mood istri kamu ancur terus kenapa sih, Juna. Istri kamu itu lagi hamil. Harus dibahagiakan. Orang seneng banget ledekin istrinya!" sungut Ibu membela seperti biasa."Iya, Deh. Yang udah punya mantu dan mau punya cucu. Sekarang aku dilupakan dan tersisih!" protes suami."Dasar baperan!" Ibu mencubit hidung A

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 67

    "Kamu mau ngapain bumil?" tegur Ibu ketika melihat aku sedang menyapu halaman."Nyapu, Bu. Bantuin Ibu," jawabku seraya melengkungkan bibir."Nggak boleh. Mulai sekarang kamu nggak boleh ngapa-ngapain. Semua pekerjaan biar Ibu yang pegang. Ibu nggak mau terjadi sesuatu sama calon cucu Ibu kalo kamu sampe kelelahan.""Ya enggak dong, Bu. Kan Rini cuma nyapu. Masa iya Rini suruh diem aja liat Ibu sibuk. Kayaknya nggak enak banget gitu Bu diliatinnya.""Pokoke nurut sama Ibu!"Aku menghela napas berat. Selalu saja begitu. Semenjak aku positif hamil, gerakkanku jadi di batasi. Nggak boleh ini, nggak boleh itu, semuanya dilarang oleh Ibu dan suami."Jangan melamun. Masih pagi. Mendingan jalan-jalan pagi saja sama aku yuk!" ajak suami seraya merentangkan tangan dan segera kusambut tangannya itu. "Bu, Juna ajak Rini jalan-jalan sebentar. Mau cari udara pagi!""Jangan jauh-jauh. Awas istri kamu kecapean!" "Siap, Komand

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 66

    ***Pagi-pagi sekali membantu Ibu menyapu halaman lalu mencuci piring. Semenjak menikah aku memang sering belajar melakukan pekerjaan rumah tangga, karena tidak mungkin mengandalkan ibu mertua terus. Apalagi Ibu itu termasuk orang yang tidak mau diam. Ada saja yang dikerjakan, dan dia selalu menolak jika kutawari jasa asisten rumah tangga. Dia hanya membayar buruh cuci dan setrika saja, sedangkan seperti beberes rumah dan memasak akan dia kerjakan sendiri."Capek, Cantik?" tanya suami seraya menyodorkan segelas teh hangat."Mayan. Tapi aku seneng bisa bantu Ibu." Menyeka keringat dengan lengan dan meneguk air beraroma melati yang disuguhkan suami."Kamu memang wanita luar biasa. Nggak salah aku memilih kamu jadi pendamping hidup. Insya Allah aku akan selalu menyayangi dan mencintai kamu sampai raga tidak lagi dikandung badan."Aku menerbitkan senyuman."Ternyata kamu bisa manis juga, Mas. Aku pikir setelah menikah bakalan tetep k

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 65

    "Mas, kamu mau makan dulu apa mau bagaimana? Aku sama Ibu tadi masak sayur asem sama bikin sambel pete. Enak deh!" ucapku mencoba menghilangkan rasa grogi yang bertengger dalam hati."Aku nggak lapar, Cantik. Aku maunya makan kamu!" Tangan kekar suami terulur mengusap lembut pipi ini, membuat aliran darahku melaju semakin kencang juga memanas seketika. "Aku mencintai kamu, Cantik," bisiknya lagi sambil menarik tubuhku dalam pelukannya."Kunci pintu dulu, Mas. Soalnya biasanya Ibu suka masuk ke dalam kamar kalau aku lagi sendirian. Ibu nggak tau 'kan kalau kamu sudah pulang?""Oke, Cantik." Dia beranjak dari duduknya lalu mengunci pintu dan kembali mendekat ke arahku.Aku mencoba bersikap biasa saja menghadapi perlakuan dari suami. Meski ini bukan yang pertama kali buatku, tetapi rasanya tidak kalah deg-degannya seperti saat baru menikah dengan Mas Hakam dulu."Apa aku boleh memiliki kamu seutuhnya, Andarini?" Suara Arjuna terdengar semaki

  • Silakan Ambil Suamiku    Part 64

    Mematikan ponsel, meletakkannya sembarangan lalu membungkus tubuh dengan selimut.Aroma tubuh suami yang menempel di sprei serta sarung bantal membuat hati ini kian merindu, ingin segera bertemu dan menyerahkan segalanya kepada dia. Mungkin jika sudah melakukannya aku akan dianggap berarti dan tidak diabaikan seperti ini. "Rin, Sayang. Juna nelepon. Katanya mau bicara sama kamu." Aku terkesiap dan lekas membuka mata saat Ibu mengusap lembut bahuku yang tengah terlelap mengarungi samudera mimpi."Mas Juna nelepon? Ke nomer Ibu?" "Iya. Katanya nomer kamu nggak aktif. Ya sudah. Ibu keluar dulu." Perempuan berambut sebahu itu tersenyum dan segera berlalu dari hadapanku."Sayang, maaf ya. Suamimu lupa kalo udah punya istri. Seriusan. Makanya aku cuma ngabari Ibu dan nggak ngabari kamu!" Arjuna malah tertawa ngakak. Menyakitkan."Sudah biasa, Mas. Ya sudah kalau begitu aku mau tidur. Nggak usah ganggu!" "Jangan ngambek dong

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status