"Bapak maunya kita langsung menikah, Mas … supaya keluargaku nggak bolak-balik lamaran dan nikahan," jawab Yana ragu-ragu.
"Ya, bagus dong! Berarti kita secepatnya bisa Halal!" Arif menggenggam tangan Yana dengan senyum terkembang.
"Tapi, aku belum mengenal orang tuamu, Mas. Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?" Yana kembali menundukkan kepalanya.
"Sayang, aku tidak perduli bagaimana tanggapan orang tuaku, yang penting, kita bisa menikah!" Arif mengangkat dagu Yana dan meyakinkannya.
Hari yang ditunggu pun tiba, Arif membawa Ibunya ke rumah Si Mbah untuk melamar Yana.
Ibunya Arif, Bu Wongso, turun dari mobil, dan memandang rumah Mbah Yana yang sederhana.
"Rif, kamu gak salah, bawa ibu kesini?" Bu Wongso menyikut lengan Arif.
"Nggak salah, Bu. Ini rumah Mbah Marijan, mbahnya Yana. Calon istriku," ucap Arif tersenyum kepada ibunya.
"Kamu itu, ya, ibu pikir kamu bakalan nikah sama anak ningrat atau anak pejabat, eh … taunya sama orang susah, rumahnya aja jelek begini," Bu Wongso cemberut dan mencibir.
"Bu, Ibu sudah janji, akan merestui aku menikah dengan siapapun, asalkan setelah menikah, jatah untuk ibu tidak berkurang. Iya, kan?" Arif menatap wajah ibunya yang masih cemberut.
"Ayolah, Bu. Aku mencintai Yana, dan aku yakin, cuma Yana yang akan mengerti kemauan ibu nanti." Arif terus membujuk ibunya.
Akhirnya setelah dibujuk dengan berbagai rayuan, dan kesepakatan, Bu Wongso merestui pernikahan Arif dan Yana.
Pernikahan mereka tidak digelar dengan pesta, hanya akad nikah saja. Itu dikarenakan Bu Wongso tidak ingin teman-temannya tau kalau dirinya bermenantukan orang miskin dan tidak berwajah cantik seperti impiannya.
Yana langsung dibawa kerumah Bu Wongso setelah akad nikah. Dan itulah awal dari kesedihan dan ketidak adilan yang dirasakan oleh Yana.
Flashback off
"Yana! Yana!" Yana terbangun. Ternyata Yana tertidur ketika kembali menidurkan Dila dalam pelukannya.
"Iya, Bu …" Yana membuka pintu kamar dan menemui mertuanya di depan televisi.
"Ibu nyuruh kamu masak, kenapa sampai sekarang kamu belum ke dapur? Hahh!" Wo Wongso kembali berkacak pinggang dan melotot ke arah Yana.
"Maaf, Bu. Yana ketiduran!" Yana lalu langsung ke dapur dan meracik bumbu. Lalu memasak. Aroma masakan menguar hingga ke teras rumah. Arif yang baru saja pulang dari Pos Ronda langsung menuju dapur. Arif bermaksud untuk melihat siapa yang memasak.
"Heh, Yana! Nanti, kalau Arif tanya, siapa yang masak? Kamu bilang ibu yang masak! Paham!" Hardik Bu Wongso langsung duduk di kursi.
"Baik, Bu." Yana melanjutkan memasak dan menyiapkan makanan. Arif terkejut mendengar perkataan ibunya.
"Assalamualaikum" Arif mengucap salam.
"Waalaikumsalam" jawab Yana dan Bu Wongso bersamaan.
Bu Wongso langsung mengambil peralatan memasak, dan menyuruh Yana kembali ke kamar.
Yana kembali ke kamar, dan memeluk Dila. Yana sudah tau, kalau sebentar lagi, Arif akan marah-marah dan memakinya seperti biasa.
Yana mendengar langkah kaki mendekati kamarnya, dan pintu kamar dibuka.
"Dek …" Arif menyentuh pundak Yana.
Yana hanya terdiam, tidak berani menyahut. Takut akan kemarahan Arif.
"Dek, kamu tidur?" Arif mengusap punggung Yana dengan lembut.
Yana membalikkan badannya dan bangkit dari posisi berbaringnya.
"Ada apa, Mas?" tanya Yana pura-pura masih mengantuk.
"Kamu sudah makan?" Arif menatap Yana dengan tatapan sendu.
Yana hanya terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Mas minta maaf, mas tadi berbuat kasar sama kamu. Mas khilaf," ucap Arif sembari memeluk Yana dengan erat.
Yana tidak tau harus berbuat apa. Sikap Arif memang suka berubah-ubah. Tiba-tiba baik, tak luput pula, terkadang tiba-tiba kasar.
Baru beberapa jam yang lalu, Arif membentaknya, bahkan menarik rambutnya dengan kasar. Sekarang, Arif memeluk dan mengelus punggungnya dengan lembut.
Kadang yana berfikir, mungkinkah suatu saat Arif juga akan membunuhnya ketika dia lengah.
"Papa … papa …" Dila terbangun dan mengucek kedua matanya.
"Sayang papa udah bangun?" Arif meraih Dila dan mencium pipi gadis kecil itu dengan gemas.
"Tadi, Dila cali papa …" ujar Dila sambil memeluk leher Arif.
"Cari papa? Sama siapa?" Arif mencium tangan Dila berkali-kali.
"Cama mama …" jawab Dila polos.
"Sama mama? Kemana?" Arif mengernyitkan keningnya.
"Ke alah po yonda," jawab Dila tanpa melepas pelukannya.
Arif menatap Yana lekat. Yana membuang mukanya. Arif merasa ada yang tidak beres.
"Apa mungkin, Yana mendengar pembicaraanku dan Andi di Pos Ronda tadi?" Gumam Arif di dalam hati.
Arif masih berpikir, Apa mungkin Yana mendengar pembicaraannya dan teman-temannya di Pos Ronda.
"Dek, tadi kamu cari aku ke Pos Ronda? Kok nggak ketemu?" tanya Arif ketika mereka akan tidur.
"Gak jadi, Mas. Dila tertidur, jadi aku bawa pulang saja," jawab Yana.
"Dek, kamu masih marah sama Mas?" Arif bertanya sambil menatap wajah Yana.
"Marah untuk apa, Mas?" Yana menarik selimutnya.
"Marah karena perlakuan kasar mas tadi pagi." Jawab Arif menerka.
Yana hanya diam, lalu memeluk Dila dan memejamkan matanya. Yana merasa benar-benar tidak lagi mengenali Arif. Karena perubahan sikapnya yang selalu berubah-ubah sewaktu-waktu.
"Mas, apa aku boleh ngomong sesuatu?" tanya Yana tanpa memandang ke arah Arif.
"Apa? katakan saja,Dek." Arif memegang tangan Yana yang memeluk Dila.
"Aku pengen pulang kampung, aku kangen sama Bapak dan Ibu," ujar Yana menatap Arif.
"Tapi, balik ke Jambi kan banyak biaya, Dek? Mas nggak ada uang buat biayai ongkos ke Jambi!" Sahut Arif.
"Mas, gaji Mas itu besar lho, mas ngasih ke aku cuma untuk beli keperluan Dila aja, selebihnya ibu yang pegang," Yana berbicara dengan hati-hati.
"Kan kamu tau sendiri, Ibu yang minta begitu. Lagian, emang bagus ibu, kan, yang pegang keuangan. Dengan begitu kita bisa ngirit." jawab Arif lagi.
Yana tidak melanjutkan ucapannya. Yana malas berdebat kembali dengan Arif, ditambah Dila sedang tidur dengan nyenyaknya.
Flashback on
"Dek, kemarilah." Arif memanggil istrinya yang sedang memasak di dapur.
"Iya, Mas." Yana mendekati suaminya yang sedang berkutat dengan laptop.
"Kamu bisa bantu mas nggak? Mas masih agak bingung ngerjain data ini." Arif memperlihatkan laptopnya kepada Yana.
"Ini laporan perusahaan, Mas?" tanya Yana. Menatap aplikasi Excel di laptop suaminya.
"Iya, Sayang. Mas pusing kalau ngitung apa-apa pakai ini." jawab Arif menggarukkan kepalanya yang tidak gatal.
"Owh, malah gampang pakai ini, lho Mas! yang penting tau rumusnya aja." Yana mengambil alih laptop tersebut dan menyusun angka-angka yang tertera di sana. Yana tampak serius menatap layar laptop.
"Nah … selesai!" Yana menyodorkan laptop tersebut kepada Arif.
"Ini udah aku salin ke flashdisk, nanti kamu tinggal cetak dan kasih laporannya ke bos kamu," ujar Yana tersenyum sembari memberikan flashdisk kepada Arif.
"Beneran, Dek?" Arif mengerutkan keningnya.
"Iya, benar." jawab Yana.
"Makasih ya, Dek."Arif memeluk Yana dengan erat.
Keesokan harinya, Arif memberikan laporan pekerjaannya kepada atasannya di kantor. Arif menunggu si Bos meneliti laporannya dengan jantung berdebar-debar.
"Pak Arif, saya suka dengan laporan bapak ini. Rapi, dan tidak acak-acakan. Ternyata, menikah membuat pak Arif jadi pintar dan cerdas!" ucap atasannya seraya menepuk pundak Arif dengan lembut.
Bab 158*****Burhan segera menyalami Fikri dan menceritakan kepada Yana tentang keadaan Bu Wongso yang saat ini tengah sakit dan dirawat oleh warga."Mas mohon kepadamu untuk bersedia menemui Bu Wongso. Kasihan dia," ujar Burhan dengan penuh penekanan.Yana menoleh kearah Fikri untuk meminta persetujuan. Laki-laki Itu tampak berpikir sejenak lalu membuka percakapan."Abang izinkan kamu untuk berangkat ke Pati dengan syarat Abang, ibu, dan Dila ikut menemani kamu ke sana," sahut Fikri.Yana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Fikri. Mereka pun segera berkemas karena hari itu kebetulan Fikri sedang libur dinas selama dua hari.Sesampai di Pati Yana terkejut melihat keadaan Bu Wongso yang kurus kering tinggal tulang. Perempuan yang dulu bermata tajam dan selalu menyakiti hatinya saat ini menatapnya dengan sendu dan penuh dengan uraian air mata.Yana meraih tangan Bu Wongso lalu menciumnya dengan takzim. Tidak ada kebencian di hati Yana terhadap mantan mertuanya itu. Yana masih
Bab 157*****Bu Lidya pun menyodorkan video yang berada di dalam ponsel Yana ke hadapan Bu Linda. Mata Bu Linda membulat sempurna melihat video perbuatannya berada di dalam ponsel milik Yana."Maaf Bu Linda, saya tidak bisa membiarkan Anda menghancurkan reputasi saya. Jadi saya harus melakukan ini." Yana mengambil ponsel yang berada di hadapan Bu Linda dan segera memasukkannya ke dalam saku blazer nya.Akhirnya dengan penuh malu Bu Linda membereskan semua perangkat pengajarnya dan meninggalkan sekolah elit tersebut.Para majelis Guru yang melihat kejadian itu terheran-heran karena seharusnya Yana yang dipecat bukan Bu Indah.Bu Lidya selaku kepala sekolah segera menjelaskan kepada majelis Guru tentang kebenaran dari peristiwa pencurian tersebut."Wah Bu Yana hebat, ya, punya kamera tersembunyi," puji Bu Maya kepada Yana seluruh.Majelis Guru pun sependapat kalau Yana adalah perempuan yang cerdas.Yana mengulum senyum. Semua berkat bantuan Cinta karena Cinta yang telah meminjamkan kam
Bab 156Kebahagiaan yang sempurna*******Pagi itu sekolah dihebohkan dengan siswa yang kehilangan sebuah jam tangan mahal. Jam tangan pintar seharga lima juta itu lenyap di dalam tas siswa yang bernama Nico. Bocah berumur enam tahun tersebut meletakkan jam tangan pintarnya di dalam tas ketika dia hendak mencuci tangan di wastafel. Wali kelas yang mengajar saat itu adalah Yana dan Bu Linda."Saya yakin banget, Bu, pasti Yana yang telah mengambil jam tangan milik Nico. Secara, kan, Bu Yana baru kali ini melihat jam tangan pintar yang keren seperti milik Nico." Bu Linda menemui kepala Sekolah di ruangannyaBu Lidya selaku kepala sekolah terdiam sesaat. Perempuan berhijab lebar tersebut tidak yakin kalau Yana yang mengambil jam tangan pintar milik Nico. Yana memang berasal dari desa. Namun saat ini Yana berstatus istri seorang dokter terkenal. Tidak mungkin jika dia mengambil jam tangan pintar milik Nico.Linda pun menyarankan kepada kepala sekolah untuk menggeledah tas Yana agar mendapa
Bab 155*****Yana yang melihat Fikri tetap bergeming, memutuskan untuk keluar dari kamar"Loh, Kamu kemana, Yan?" tanya Fikri melihat Yana membawa sebuah bantal keluar kamar."Kalau abang mau Reka juga tidur di sini. Lebih baik Yana keluar dari kamar dan tidur di kamar Dila. Terserah Abang mau ngapain. Mau balikan sama Reka juga nggak apa-apa," sahut Yana dengan wajah sinis."Yan, Tunggu dulu." Fikri menahan pergerakan Yana lalu menoleh kearah Reka yang sedang menenangkan bayinya."Sekarang kamu lihat, kan. Farhan itu tidak merasa nyaman berada di dekatku. Lalu untuk apa kalian tinggal disini? Bukankah lebih baik kalian pergi dari rumah ini karena tidak ada untungnya keberadaan kalian di rumah ini," ujar Fikri menoleh mereka dengan tajam.Reka yang mendengar perkataan Fikri tercekat. Dia tidak menyangka kalau Fikri mengambil kesimpulan seperti itu."Farhan tidak nyaman tidur dengan abang di sini karena kehadiran Yana, Bang. Kalau abang tidurnya sama Aku, Farhan pasti merasa nyaman,"
Bab 154Reka diusir dari rumah Fikri*******Matahari bersinar dengan cerah, sisa-sisa embun masih terasa menyejukkan kulit. Yana membuka tirai jendela lalu menatap jalan raya di bawah sana. Beberapa kendaraan sudah berlalu lalang melintasi perumahan elit tersebut. Ada juga beberapa orang lansia yang sedang berjalan-jalan pagi untuk menjaga kesehatannya.Yana menarik nafas berat, dia belum bisa melupakan perlakuan Bu Wongso kepada dirinya. Perempuan yang dulu sangat dihormatinya itu tidak pernah melupakan Yana sebagai orang yang paling dibencinya. Yana pikir setelah kematian Arif, dan pernikahannya dengan Fikri, Bu Wongso tidak akan lagi mengganggu kehidupannya, tapi ternyata Yana salah. Bu Wongso masih terus meneror bahkan mendatangi kediaman Fikri untuk menuntut harta yang sudah diberikan Arif kepada Dila.Fikri berdiri di belakang Yana, menatap sosok yang sudah beberapa bulan menjadi istrinya. Laki-laki bertubuh tegap itu seakan menyadari kalau istrinya sedang dilema. Fikri membiar
Bab 153*******"Bu Wongso disiksa oleh Bik Yem dan Bik Yem mengambil semua barang Bu Wongso?" ujar Burhan ketika warga tersebut menjemputnya."Benar Mas Burhan, kondisi Bu Wongso saat ini sangat memprihatinkan. Dia kami bawa ke rumah sakit. Bu Wongso meminta kami untuk menjemput Mas Burhan. Kami tidak tahu tujuannya apa tapi sepertinya sangat penting." warga tersebut menyahut.Tanpa banyak bicara, Burhan segera bersiap untuk menemui Bu Wongso di rumah sakit.Mendiang Arif adalah sahabat terbaiknya. Burhan tidak ingin Bu Wongso menderita setelah kepergian Arif karena biar bagaimanapun, Bu Wongso pernah begitu baik kepada dirinya semasa Burhan dan Arif bersahabat dengan baik.Sesampai di rumah sakit, Burhan menangis melihat keadaan Bu Wongso.Perempuan yang dahulu berbadan gemuk itu saat ini kurus kering tinggal tulang. Kondisinya sangat memprihatinkan."Maafkan Burhan, Bu. Maaf karena Burhan telah salah dalam mempercayai orang untuk merawat ibu," ujar Burhan mencium tangan Bu Wongso.
Bab 152**********Malam itu tetangga Bu Wongso yang bernama Bu Nani melirik ke arah rumah Bu Wongso. Rumah itu dalam keadaan gelap dari luar bahkan sampai ke dalam. Bu Nani mengernyitkan keningnya karena setahu dia Bu Wongso tidak bisa kemana-mana."Pak, kenapa ya, rumah Bu Wongso gelap gulita?" tanya Bu Nani kepada suaminya.Suami Bu Nani meletakkan koran yang dibacanya, lalu melirik ke arah rumah Bu Wongso yang memang gelap gulita. Sepasang suami itu saling pandang."Ibu udah dua minggu nggak besuk Bu Wongso. Apa malam ini kita lihat ke sana, ya, pak? Mungkin listriknya mati," ujar Bu Nani kepada suaminya."Tapi, kan, Bu Wongso dirawat sama Bik Yem, dan keuangan Bu Wongso juga dipegang oleh Bik Yem? Masa bisa listrik enggak dibayar," sahut suami Bu Nani dengan heran.Akhirnya sepasang suami istri itu memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Wongso.Mereka terkejut ketika berada di depan pintu rumah Bu Wongso karena pintu tersebut dikunci dari luar dan kuncinya masih berada di pintu ter
Bab 151Karma untuk Bu Wongso***Bu Wongso membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa teramat sangat sakit, begitupun dengan seluruh anggota tubuhnya. Bibirnya kelu. Tatapan matanya kosong. Bu Wongso menoleh ke samping, istri Burhan tampak sedang terkantuk-kantuk duduk di samping brangkar Bu Wongso.Dia memanggil istri Burhan, tapi suaranya tidak tembus. Bu Wongso berkali-kali mencoba menggerakkan lidahnya. Namun tetap kelu. Begitupun dengan tangan dan kakinya, begitu kaku sehingga tidak bisa digerakkan.Bu Wongso terus memanggil istri Burhan sehingga menimbulkan suara gagu yang tidak menentu. Istri Burhan membuka matanya dan tersenyum kearah Bu Wongso. Perempuan berwajah sendu itu memegang tangan Bu Wongso dan menanyakan bagaimana keadaan Bu Wongso. Namun, perempuan tua itu hanya menjawab dengan suara gagu, dan tidak jelas apa yang dikatakannya.Burhan masuk ke dalam ruangan dan segera menghampiri Bu Wongso."Ibu sudah sadar?" tanya Burhan bahagia.Bu Wongso menjawab, tapi suaranya
Bab 150*****Bu Wongso melanjutkan perjalanannya pulang ke Pati. Sedangkan Reka kembali ke rumah Fikri dengan senyum seringainya. Reka merasa puas karena hari ini melihat Yana terluka.Sesampai di rumah Fikri, Reka melihat sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa panas. Di sofa ruang tamu, terlihat Fikri sedang membelai wajah Yana yang memerah karena tamparan Bu Wongso."Enggak nyangka, ya, ternyata perempuan kampung bisa juga berotak licik," ujar Reka seraya duduk di seberang sofa Yana dan Fikri."Apa maksud kamu?" tanya Fikri dengan wajah merah padam."Aku hanya nggak nyangka aja, ternyata Yana itu munafik. Diam-diam dia menyimpan harta warisan dari mantan suaminya seolah-olah bang Fikri tidak mampu membiayai hidupnya." Reka bersidekap di depan dada.Fikri menoleh ke arah Reka. "Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, tutup mulutmu dengan rapat, atau aku akan menendangmu dan memisahkanmu dari Farhan," sahut Fikri geram.Reka terkejut mendengar perkataan Fikri. Perempuan itu t