Share

Kelicikan ibu mertua

"Terima kasih, Pak! " Jawab Arif tersenyum bangga.

Di perjalanan pulang kerja, Arif membeli buah tangan untuk Istrinya.

Arif bersiul bahagia dikarenakan, di kantor sedang ada kenaikan jabatan bagi karyawan yang disiplin, rajin, dan bisa menyelesaikan laporan dengan baik.

"Assalamualaikum." Arif mengucap salam.

"Wassalamu'alaikum, Mas … sudah pulang?" Yana menyambut Arif di depan pintu. Lalu mengambil tas kerja Arif dan mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.

"Aku mau cerita sesuatu," ujar Arif menuntun Yana ke dalam kamar.

"Ada apa, Mas?" Yana tampak bingung dengan sikap Arif.

"Kamu tau, Sayang? Laporan yang kamu kerjakan, diterima bos. Dan katanya laporan mas sangat rapi. Besok adalah penetapan karyawan yang akan di naikkan jabatannya di kantor. Mas berharap, mas bisa naik jabatan." ujar Arif tersenyum dan memeluk istrinya.

"Benarkah, Mas? Aamiin … semoga mas naik jabatan," ujar Yana antusias 

"Mas belikan ini, buat kamu!" Arif memberikan sebuah paper bag kepada Yana.

"Apa ini, Mas?" tanya Yana bingung.

"Hadiah, untuk istri cerdas mas …" Arif mencium pipi istrinya.

Yana membuka Paper Bag tersebut. Sebuah gelang emas yang cantik

"Wah ... bagus banget gelangnya, Mas! Makasih, ya." Yana memeluk suaminya dengan bahagia.

"Sini, mas pakein," ujar Arif mengambil gelang tersebut dan memakaikannya di pergelangan tangan Yana.

"Mas janji, mas akan membahagiakanmu!" ujar Arif tersenyum, dan mencium kening istrinya.

Flashback off

Adzan subuh berkumandang, Yana membangunkan Arif dengan hati-hati. Arif segera bangun dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu berwudhu.

Yana masih bersyukur, karena, walaupun Arif cenderung temperamen, dan sikapnya sering berubah-ubah, namun Arif tidak pernah marah setiap Yana mengingatkannya untuk sholat.

Setelah selesai menunaikan ibadah, Yana meminta Arif untuk menjaga Dila. Karena Yana ingin memasak.

"Dek, ini uang untuk membeli ayam, ikan, dan dagung. Belilah yang banyak, supaya kamu gak repot belanja tiap hari," ujar Arif mengulurkan beberapa lembar uang merah.

Yana menerima uang tersebut. Lalu berangkat menemui penjual sayur keliling. Yana tidak membelikan apa yang Arif katakan. Yana hanya membeli daging ayam sebanyak sekilo saja. Cukup untuk makan hari ini. Karena nanti siang, Arif akan kembali ke mes, tempat Arif bekerja.

Setelah selesai belanja, Yana langsung menuju dapur, dan Yana melihat Bu Wongso memasak. Yah, begitulah kebiasaan Bu Wongso, jika Arif ada di rumah, dia akan membuat sarapan dan masak. Seolah-olah dia yang lelah bekerja. Namun, jika Arif sudah kembali ke mes, maka Yana akan menjadi babu untuk memasak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah.

"Bu …." Yana menyapa mertuanya. Namun tidak ada sahutan. Yana memutuskan untuk tidak peduli, yana memasak ayam kecap kesukaan Dila.

"Wah … aromanya wangi sekali." Arif muncul ke dapur sambil menggendong Dila

"Iya, Rif! Nih, ibu sudah membuat sarapan untukmu." Bu Wongso menyiapkan makanan untuk Arif, lalu mengambil Dila dari gendongannya.

"Makanlah! Biar ibu yang gendong Dila!" Bu Wongso mengulurkan tangan untuk mengambil Dila, namun, Dila menolak. Bu Wongso tetap memaksa, sehingga Dila menangis dengan kencang.

Yana mengecilkan api kompornya, lalu mengambil Dila dari paksaan mertuanya.

Bu Wongso pun membiarkan Yana mengambil Dila dari gendongannya.

Arif melihat kejadian itu dengan penuh tanda tanya.

"Istrimu itu kerjaannya cuma main hp aja, Dila aja ibu yang ngasuh dan jagain. Mentang-mentang orderannya banyak, dia sampe lupa masak, makan di warung terus." Adu Bu Wongso kemaren, ketika Arif menanyakan kebenaran dari perkataan Bu Nani. Tetangga mereka yang mengatakan kalau Yana lebih sering makan di warung karena malas memasak.

"Kalau setiap hari, ibu yang mengasuh dan menjaga Dila, kenapa Dila tidak mau digendong ibu, dan menangis kencang ketika sudah digendongan ibu. Seperti digendong orang asing," gumam Arif di dalam hati.

Yana melanjutkan memasaknya dengan tetap menggendong Dila. Melihat istrinya yang kerepotan, Arif menghentikan makannya, dan mengambil Dila dari gendongan Yana.

"Lho, Rif … kok udahan makannya?" Bu Wongso menegur Arif.

"Kasian Yana, Bu … repot gitu masaknya," ujar Arif sembari mencium pipi Dila dengan gemas.

"Lagian, ibu itu bukannya membujuk Dila supaya ikut ibu, malah dibiarin Yana repot gitu." Arif menatap ke arah ibunya.

"Lho, kamu liat sendiri, kan! Dila nggak mau ibu gendong," ujar Bu Wongso berdiri lalu meninggalkan Yana dan Arif di dapur.

Arif hanya menghela napas berat melihat kelakuan ibunya. Arif mengajak Dila bermain di halaman rumah agar Yana bisa memasak dengan tanpa gangguan.

Setelah masakannya matang, Yana memanggil Arif dan Dila. Arif menyuapi Dila dengan penuh kasih sayang. Yana menyaksikan moment tersebut dengan senyum bahagia. Rasanya, Yana ingin waktu berhenti di saat itu, di saat Arif sedang bersikap lembut dan penyayang. Bukan Arif yang tiba-tiba temperamen dan berlaku kasar padanya.

Yana membantu Arif mengemasi pakaiannya kedalam ransel. Yana termangu melihat kedekatan Arif dengan Dila. Wajar jika Dila sering rewel jika tak ada Arif, karena Arif sangat memanjakan Dila.

"Mas pamit dulu ya, Dek! Jaga Dila dengan baik. Dan ingat, jangan makan di warung lagi. Mas nggak mau, Ibu jadi salah paham padamu lagi!" Ujar Arif sembari menggendong tas ranselnya.

"Itut Papa … mau itut Papa …." Dila merengek mengulurkan tangan, Arif menyambut uluran tangan Dila dan menggendongnya keluar rumah.

"Bu, Arif pamit kembali ke Mes dulu, ya," ujar Arif sembari menyalami ibunya.

"Iya, hati-hati di jalan." Bu Wongso membelai kepala Arif dengan lembut.

Yana dan Dila mengantar Arif sampai ke depan gang, Dila tidak ingin turun dari gendongan Arif. Membuat hati Yana merasa teriris. Dila mungkin mengerti bahwa setelah kepergian Arif, ibunya akan menjadi bulan-bulanan neneknya.

"Dila sama mama dulu ya, Nak … biar papa pergi kerja dulu," Yana membujuk Dila dengan membelai kepala gadis kecil itu.

"Bulan depan, Papa pulang lagi kok, Sayang … kita jalan-jalan lagi, ya!" Arif membujuk Dila dengan mencium pipinya berkali-kali.

Setelah membujuk dengan berbagai cara, akhirnya Dila bersedia turun dari gendongan Arif. Dila melambaikan tangan ketika Arif menaiki ojek online yang dipesannya.

Yana kembali ke rumah mertuanya setelah Arif berlalu meninggalkan mereka. Dila masih sesegukan karena tidak ingin melepas sang Ayah.

"Ya ampun, Dila … mau sampai kapan kamu menagisi papamu, hah?" Bu Wongso menyambut kedatangan Yana dan Dila di depan pintu.

"Bu, Dila masih kecil. Mungkin masih rindu sama papanya." Ujar Yana berlalu masuk ke dalam rumah.

"Itu karena kamu tidak becus jadi mama! Kamu sengaja menjadikan Dila senjata, agar anakku berbuat baik padamu, kan?" Bu Wongso mengikuti Yana masuk ke dalam rumah.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Diajheng Widia
gw klw punya mertua kaya gini... gw suruh pilih lah laki gw..pilih tinggal ama gw apa emaknya.. klw.dia pilih emaknya yo wess...bye byee siap2 aku rela jadi janda kok...
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
kyskyduldludluxluxouxoy
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status