Share

Fitnah lagi

Author: Althafunnisa
last update Last Updated: 2022-07-20 18:46:29

Fitnah lagi

Yana kembali menekuni jualan Onlinenya, kali ini dengan cara yang berbeda. Yana meminta kurir untuk tidak lagi mengantar paket Yana Ke rumah mertuanya, karena Yana sendiri yang akan menjemput ke kantor Jasa pengiriman.

[Mas, mulai sekarang, jangan antar paket kerumah lagi, ya. Saya akan menjemput paketnya ke kantor sendiri,]

[Kenapa, Mbak? pelayanan kami kurang bagus, ya?]

[Bagus kok, saya cuma pengen jemput ke kantor aja]

[Oke deh, kalau ada paket Mbak Yana, akan saya chat,]

Yana bernapas lega. Ibu mertuanya tidak akan bisa lagi mengusik bisnisnya.

Disisi lain, Bu Wongso merasa heran karena tidak ada lagi tamu yang datang kerumah untuk mengambil paket.

"Sukurin tuh Yana, bangkrut juga akhirnya." gumam Bu Wongso di dalam hati.

Sore itu, Bu Wongso menghadiri acara arisan RT tempat tinggalnya. Bu Wongso melihat ibu-ibu tetangganya berwajah glowing.

"Wah, ibu-ibu wajahnya udah pada glowing aja, perawatan mahal, ya?" tanya Bu Wongso kepada ibu-ibu yang hadir di sana.

"Lah, iya. Kan ada Yana ... jual produk kecantikan yang bikin wajah kami glowing. Gak masalah sih, mahal. Yang penting hasilnya menjanjikan." ujar Bu Wita disertai anggukan ibu-ibu yang lain.

Bu Wongso hanya terdiam, tidak meyangka, jika selama ini Yana masih menjual produk kecantikan tersebut.

"Koq, ibu-ibu nggak pernah ambil paket kerumah saya?" tanya Bu Wongso kepada Bu Wita.

"Owh, udah 2 Minggu ini, Yana sendiri yang ngantar paketnya kerumah saya," ujar Bu Wita.

"Iya, saya juga, Yana sendiri yang ngantar kerumah. katanya supaya pelanggan puas." jawab Bu Dian tersenyum bahagia.

Bu Wongso mengepalkan tangannya. "Awas, ya. Aku akan bikin perhitungan sama kamu," ujar Bu Wongso didalam hati.

Sepanjang perjalanan, Bu Wongso menggerutu di dalam hati. "Pantesan saja, akhir-akhir ini, Yana sering banget pergi bawa motor, ternyata ... ngider jualannya, toh?" Bu Wongso menyunggingkan bibirnya.

Sesampai di rumah, Bu Wongso melihat ke kamar Yana. Sepi, tidak ada siapapun. "hmm, pasti lagi ngider ..." ujar Bu Wongso sembari mencebikkan bibirnya.

"Assalamualaikum ...."

Bu Wongso tersenyum, dia tau betul itu suara siapa.

"Waalaikumsalam, Arif ... kamu pulang, Nak?" ujar Bu Wongso menyambut Arif ke depan pintu.

"Iya, Bu ... " jawab Arif mencium tangan ibunya.

"Bukankah seharusnya kamu pulang beberapa hari lagi?" Bu Wongso mengambil tas dari tangan Arif dan meletakkannya di meja depan televisi.

"Iya sih, Bu ... tapi 3 hari kedepan kan, tanggal merah, Bu ... dari pada bengong di Mes, mending Arif pulang." jawab Arif.

Arif memandang sekeliling, lalu berjalan menuju kamar.

"Yana, Yana ... Mas pulang, nih!" Arif memanggil Yana dan membuka pintu kamar. namun sepi. tidak ada siapapun.

"Yana mana, Bu?" tanya Arif kepada ibunya.

Bu Wongso menundukkan kepalanya, dan meneteskan air mata.

"Bu ... ibu kenapa?" Arif mendekati ibunya. mengusap punggung ibunya yang terisak.

"Ibu itu rasanya serba salah, Rif. kalau cerita ke kamu, ibu di bilang tukang adu. kalau nggak di ceritain, kok rasanya nyesak banget," ujar Bu Wongso menghapus airmatanya.

"Cerita, Bu ... ada apa?" Arif memegang tangan ibunya.

"Tapi, kamu janji, ya ... jangan marahin Yana karena masalah ini," ujar Bu Wongso menatap Arif.

Arif menggangukkan kepalanya. "Ibu cerita aja, Ya!" ujar Arif sembari duduk di samping Ibunya.

"Yana itu setiap hari pergi ngider," Bu Wongso menatap Arif dengan air mata yang berlinang.

"Ngider? ngider apa, Bu?" tanya Arif bingung.

"Ngider produk kecantikan yang dijualnya itu," jawab Bu Wongso.

"Lho, bukannya Yana Nerima paket dan yang beli jemput kesini, Bu?" Arif mengernyitkan keningnya.

"Iya, itu dulu ... tapi semenjak ibu nerima paket Yana dan lupa naruh dimana, Yana marah besar sama ibu. Trus Yana menjemput paketnya ke kantor jasa pengiriman, lalu mengantarnya ke rumah pelanggannya." terang Bu Wongso kepada Arif.

"Astaghfirullah, kenapa ibu nggak jelasin kepada Yana, Bu? kalau ibu lupa naruh?" Arif nampak mulai terpancing emosinya 

"Udah, Rif. Tapi Yana marah-marah sma ibu, dan nuduh kalau ibu sengaja ngumpetin, supaya bisnis Yana bangkrut. Padahal, demi Allah, Rif. Ibu nggak punya niat begitu," Bu Wongso menundukkan kepalanya dan menangis terisak.

"Keterlaluan banget, Yana! berani dia nuduh ibu seperti itu?" Arif mengepalkan tangannya dengan geram.

"Ibu kasian lihat Dila, Rif. Dibawa Yana keliling ngider panas-panas kayak gini, kadang kehujanan juga. Ibu nawarin mau menjaga Dila, Yana juga nggak ngizinin. katanya Ibu nggak becus merawat Dila." Bu Wongso menutup kedua matanya, menangis tersedu-sedu.

"Assalamualaiku,"ujar Yana dari teras rumah.

"Waalaikumsalam," jawab Bu Wongso dan Arif bersamaan.

"Mas, kamu pulang?" Yana menyongsong Arif dan mencium tangannya.

Arif hanya diam, menatap Dila yang tertidur dalam gendongan Yana. Yana langsung masuk ke dalam kamar, dan membaringkan Dila di atas ranjang.

Yana kembali ke ruang tengah, karena Arif tak kunjung menyusul ke dalam kamar.

"Mas, mau Yana buatin kopi?" tanya Yana menghampiri Arif.

"Nggak perlu," jawab Arif ketus.

Yana merasa ada yang tidak beres. Terlebih, Yana melihat ekspresi Bu Wongso yang terlihat habis menangis.

Yana kembali masuk ke dalam kamar, Yana yakin, ibu mertuanya itu pasti bercerita yang tidak-tidak kepada Arif. Yana mendengar langkah kaki mendekati kamar, benar saja, Arif masuk ke dalam kamar.

"Mana kunci motor?" tanya Arif sembari menadahkan tangannya.

"Ada, Mas, sebentar," ujar Yana merogoh saku jaketnya.

"Cepat!" hardik Arif. Membuat Yana terkejut.

"Mulai sekarang, kunci motor akan mas bawa ke Mes," ujar Arif sembari memperlihatkan kunci tersebut.

"Lho, kenapa mas? kalau aku butuh apa-apa, gimana?" protes Yana, menatap Arid dengan wajah bingung.

"Butuh apa-apa? emang apa sih, yang kamu butuhkan?" tanya Arif seraya bersidekap tangan di dadanya.

"Untuk kepasar, untuk ngantar Dila ke Posyandu." jawab Yana dengan tegas.

"Juga untuk kamu ngider jualan kamu? bawa Dila kepanasan, kehujanan? Gitu?" Arif menatap Yana dengan tatapan tajam.

"Mas, itu ... Ak_" Yana belum menyelesaikan ucapannya.

"Cukup, Dek! kamu tega, ya ... menuduh ibu merusak bisnismu, sampe rela bawak anak ngider jualanmu itu," Arif menunjuk wajah Yana dengan wajah merah padam.

"Mas, apa maksudmu?" Yana berdiri menatap Arif yang terlihat tengah emosi.

"Aku udah tau semuanya. Kalau kamu marah sama ibu, kamu nggak perlu sampai bilang ibu nggak becus ngurus Dila, dong!" Arif mendekati Yana. Lalu mencengkram dagu Yana dengan kasar.

"Mulai sekarang, aku melarang kamu berbisnis, aku melarang kamu bawa motor. Kalau butuh apa-apa, kamu tunggu aku pulang." Arif melepas cengkraman tangannya di dagu Yana.

"Mas, aku nggak pernah melakukan apa yang ibu tuduhkan, itu fitnah ..."

plakkkk

Arif melayangkan tangannya di wajah Yana. 

"Mas, kamu memukul aku, Lagi?" Yana menangis, ini adalah untuk kesekilan kalinya Arif berbuat kasar padanya.

"Itu karena kamu, menuduh ibuku yang bukan-bukan. Berkali-kali Aku katakan, jangan pernah memfitnah ibuku. ibu bukan pembohong!" Arif menatap Yana dengan sorot mata penuh amarah.

Yana mengusap air matanya, lalu mengambil Dila dari ranjang, Yana meraih kain gendongan. Dan membawa Dila pergi dari kamar.

"Yana, mau kamu bawa kemana Dila?" Arif mengejar Yana, dan menahan langkah Yana tepat di hadapan ibunya.

"Arif, ada apa ini, Nak?" Bu Wongso menatap Arif dan Yana secara bergantian.

"Ibu tega, ya! apa yang ibu katakan kepada Mas Arif, sehingga aku mendapat tamparan seperti ini?" ujar Yana memperlihatkan bekas ganbar tangan Arif.

"Ya Allah, Rif ... ini yang ibu takutkan, jika ibu menceritakan kepadamu, Nak. Ibu nggak mau Yana jadi salah paham sama ibu," Bu Wongso menangis dan memegang tangan Arif yang terkepal.

"Tapi, Yana keterlaluan, Bu!" Arif menatap wajah ibunya dengan penuh kasih sayang.

Yana tidak memperdulikan drama ibu mertuanya, Yana terus melangkah, meninggalkan rumah. Di depan gang, Yana memanggil tukang ojek. Yana pergi dengan linangan air mata.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Cinta yang abadi

    Bab 158*****Burhan segera menyalami Fikri dan menceritakan kepada Yana tentang keadaan Bu Wongso yang saat ini tengah sakit dan dirawat oleh warga."Mas mohon kepadamu untuk bersedia menemui Bu Wongso. Kasihan dia," ujar Burhan dengan penuh penekanan.Yana menoleh kearah Fikri untuk meminta persetujuan. Laki-laki Itu tampak berpikir sejenak lalu membuka percakapan."Abang izinkan kamu untuk berangkat ke Pati dengan syarat Abang, ibu, dan Dila ikut menemani kamu ke sana," sahut Fikri.Yana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Fikri. Mereka pun segera berkemas karena hari itu kebetulan Fikri sedang libur dinas selama dua hari.Sesampai di Pati Yana terkejut melihat keadaan Bu Wongso yang kurus kering tinggal tulang. Perempuan yang dulu bermata tajam dan selalu menyakiti hatinya saat ini menatapnya dengan sendu dan penuh dengan uraian air mata.Yana meraih tangan Bu Wongso lalu menciumnya dengan takzim. Tidak ada kebencian di hati Yana terhadap mantan mertuanya itu. Yana masih

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Kebahagiaan yang sempurna

    Bab 157*****Bu Lidya pun menyodorkan video yang berada di dalam ponsel Yana ke hadapan Bu Linda. Mata Bu Linda membulat sempurna melihat video perbuatannya berada di dalam ponsel milik Yana."Maaf Bu Linda, saya tidak bisa membiarkan Anda menghancurkan reputasi saya. Jadi saya harus melakukan ini." Yana mengambil ponsel yang berada di hadapan Bu Linda dan segera memasukkannya ke dalam saku blazer nya.Akhirnya dengan penuh malu Bu Linda membereskan semua perangkat pengajarnya dan meninggalkan sekolah elit tersebut.Para majelis Guru yang melihat kejadian itu terheran-heran karena seharusnya Yana yang dipecat bukan Bu Indah.Bu Lidya selaku kepala sekolah segera menjelaskan kepada majelis Guru tentang kebenaran dari peristiwa pencurian tersebut."Wah Bu Yana hebat, ya, punya kamera tersembunyi," puji Bu Maya kepada Yana seluruh.Majelis Guru pun sependapat kalau Yana adalah perempuan yang cerdas.Yana mengulum senyum. Semua berkat bantuan Cinta karena Cinta yang telah meminjamkan kam

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Bahagia sesungguhnya

    Bab 156Kebahagiaan yang sempurna*******Pagi itu sekolah dihebohkan dengan siswa yang kehilangan sebuah jam tangan mahal. Jam tangan pintar seharga lima juta itu lenyap di dalam tas siswa yang bernama Nico. Bocah berumur enam tahun tersebut meletakkan jam tangan pintarnya di dalam tas ketika dia hendak mencuci tangan di wastafel. Wali kelas yang mengajar saat itu adalah Yana dan Bu Linda."Saya yakin banget, Bu, pasti Yana yang telah mengambil jam tangan milik Nico. Secara, kan, Bu Yana baru kali ini melihat jam tangan pintar yang keren seperti milik Nico." Bu Linda menemui kepala Sekolah di ruangannyaBu Lidya selaku kepala sekolah terdiam sesaat. Perempuan berhijab lebar tersebut tidak yakin kalau Yana yang mengambil jam tangan pintar milik Nico. Yana memang berasal dari desa. Namun saat ini Yana berstatus istri seorang dokter terkenal. Tidak mungkin jika dia mengambil jam tangan pintar milik Nico.Linda pun menyarankan kepada kepala sekolah untuk menggeledah tas Yana agar mendapa

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Reka diusir dari rumah Fikri

    Bab 155*****Yana yang melihat Fikri tetap bergeming, memutuskan untuk keluar dari kamar"Loh, Kamu kemana, Yan?" tanya Fikri melihat Yana membawa sebuah bantal keluar kamar."Kalau abang mau Reka juga tidur di sini. Lebih baik Yana keluar dari kamar dan tidur di kamar Dila. Terserah Abang mau ngapain. Mau balikan sama Reka juga nggak apa-apa," sahut Yana dengan wajah sinis."Yan, Tunggu dulu." Fikri menahan pergerakan Yana lalu menoleh kearah Reka yang sedang menenangkan bayinya."Sekarang kamu lihat, kan. Farhan itu tidak merasa nyaman berada di dekatku. Lalu untuk apa kalian tinggal disini? Bukankah lebih baik kalian pergi dari rumah ini karena tidak ada untungnya keberadaan kalian di rumah ini," ujar Fikri menoleh mereka dengan tajam.Reka yang mendengar perkataan Fikri tercekat. Dia tidak menyangka kalau Fikri mengambil kesimpulan seperti itu."Farhan tidak nyaman tidur dengan abang di sini karena kehadiran Yana, Bang. Kalau abang tidurnya sama Aku, Farhan pasti merasa nyaman,"

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Reka diusir

    Bab 154Reka diusir dari rumah Fikri*******Matahari bersinar dengan cerah, sisa-sisa embun masih terasa menyejukkan kulit. Yana membuka tirai jendela lalu menatap jalan raya di bawah sana. Beberapa kendaraan sudah berlalu lalang melintasi perumahan elit tersebut. Ada juga beberapa orang lansia yang sedang berjalan-jalan pagi untuk menjaga kesehatannya.Yana menarik nafas berat, dia belum bisa melupakan perlakuan Bu Wongso kepada dirinya. Perempuan yang dulu sangat dihormatinya itu tidak pernah melupakan Yana sebagai orang yang paling dibencinya. Yana pikir setelah kematian Arif, dan pernikahannya dengan Fikri, Bu Wongso tidak akan lagi mengganggu kehidupannya, tapi ternyata Yana salah. Bu Wongso masih terus meneror bahkan mendatangi kediaman Fikri untuk menuntut harta yang sudah diberikan Arif kepada Dila.Fikri berdiri di belakang Yana, menatap sosok yang sudah beberapa bulan menjadi istrinya. Laki-laki bertubuh tegap itu seakan menyadari kalau istrinya sedang dilema. Fikri membiar

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Menolong Bu Wongso

    Bab 153*******"Bu Wongso disiksa oleh Bik Yem dan Bik Yem mengambil semua barang Bu Wongso?" ujar Burhan ketika warga tersebut menjemputnya."Benar Mas Burhan, kondisi Bu Wongso saat ini sangat memprihatinkan. Dia kami bawa ke rumah sakit. Bu Wongso meminta kami untuk menjemput Mas Burhan. Kami tidak tahu tujuannya apa tapi sepertinya sangat penting." warga tersebut menyahut.Tanpa banyak bicara, Burhan segera bersiap untuk menemui Bu Wongso di rumah sakit.Mendiang Arif adalah sahabat terbaiknya. Burhan tidak ingin Bu Wongso menderita setelah kepergian Arif karena biar bagaimanapun, Bu Wongso pernah begitu baik kepada dirinya semasa Burhan dan Arif bersahabat dengan baik.Sesampai di rumah sakit, Burhan menangis melihat keadaan Bu Wongso.Perempuan yang dahulu berbadan gemuk itu saat ini kurus kering tinggal tulang. Kondisinya sangat memprihatinkan."Maafkan Burhan, Bu. Maaf karena Burhan telah salah dalam mempercayai orang untuk merawat ibu," ujar Burhan mencium tangan Bu Wongso.

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Karma Bu Wongso 2

    Bab 152**********Malam itu tetangga Bu Wongso yang bernama Bu Nani melirik ke arah rumah Bu Wongso. Rumah itu dalam keadaan gelap dari luar bahkan sampai ke dalam. Bu Nani mengernyitkan keningnya karena setahu dia Bu Wongso tidak bisa kemana-mana."Pak, kenapa ya, rumah Bu Wongso gelap gulita?" tanya Bu Nani kepada suaminya.Suami Bu Nani meletakkan koran yang dibacanya, lalu melirik ke arah rumah Bu Wongso yang memang gelap gulita. Sepasang suami itu saling pandang."Ibu udah dua minggu nggak besuk Bu Wongso. Apa malam ini kita lihat ke sana, ya, pak? Mungkin listriknya mati," ujar Bu Nani kepada suaminya."Tapi, kan, Bu Wongso dirawat sama Bik Yem, dan keuangan Bu Wongso juga dipegang oleh Bik Yem? Masa bisa listrik enggak dibayar," sahut suami Bu Nani dengan heran.Akhirnya sepasang suami istri itu memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Wongso.Mereka terkejut ketika berada di depan pintu rumah Bu Wongso karena pintu tersebut dikunci dari luar dan kuncinya masih berada di pintu ter

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Karma Bu Wongso

    Bab 151Karma untuk Bu Wongso***Bu Wongso membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa teramat sangat sakit, begitupun dengan seluruh anggota tubuhnya. Bibirnya kelu. Tatapan matanya kosong. Bu Wongso menoleh ke samping, istri Burhan tampak sedang terkantuk-kantuk duduk di samping brangkar Bu Wongso.Dia memanggil istri Burhan, tapi suaranya tidak tembus. Bu Wongso berkali-kali mencoba menggerakkan lidahnya. Namun tetap kelu. Begitupun dengan tangan dan kakinya, begitu kaku sehingga tidak bisa digerakkan.Bu Wongso terus memanggil istri Burhan sehingga menimbulkan suara gagu yang tidak menentu. Istri Burhan membuka matanya dan tersenyum kearah Bu Wongso. Perempuan berwajah sendu itu memegang tangan Bu Wongso dan menanyakan bagaimana keadaan Bu Wongso. Namun, perempuan tua itu hanya menjawab dengan suara gagu, dan tidak jelas apa yang dikatakannya.Burhan masuk ke dalam ruangan dan segera menghampiri Bu Wongso."Ibu sudah sadar?" tanya Burhan bahagia.Bu Wongso menjawab, tapi suaranya

  • Silakan Nikahi Saja Ibumu, Mas!   Hinaan Reka

    Bab 150*****Bu Wongso melanjutkan perjalanannya pulang ke Pati. Sedangkan Reka kembali ke rumah Fikri dengan senyum seringainya. Reka merasa puas karena hari ini melihat Yana terluka.Sesampai di rumah Fikri, Reka melihat sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa panas. Di sofa ruang tamu, terlihat Fikri sedang membelai wajah Yana yang memerah karena tamparan Bu Wongso."Enggak nyangka, ya, ternyata perempuan kampung bisa juga berotak licik," ujar Reka seraya duduk di seberang sofa Yana dan Fikri."Apa maksud kamu?" tanya Fikri dengan wajah merah padam."Aku hanya nggak nyangka aja, ternyata Yana itu munafik. Diam-diam dia menyimpan harta warisan dari mantan suaminya seolah-olah bang Fikri tidak mampu membiayai hidupnya." Reka bersidekap di depan dada.Fikri menoleh ke arah Reka. "Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, tutup mulutmu dengan rapat, atau aku akan menendangmu dan memisahkanmu dari Farhan," sahut Fikri geram.Reka terkejut mendengar perkataan Fikri. Perempuan itu t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status