"Bu, aku istrinya Mas Arif, lalu apa permasalahannya jika Arif berbuat baik padaku? Bukankah memang kewajiban suami berbuat baik pada Istrinya?" tanya Yana menatap mertuanya.
"Tapi, aku ini ibunya! Aku yang melahirkan dia, membesarkan dia, dan menyekolahkan dia sampai sukses seperti itu. Kamu hanya orang asing, yang datang dengan seenaknya merebut Arif dariku!" ujar Bu Wongso.
"Aku tidak pernah merebut Mas Arif dari Ibu! Kalau memang pemikiran ibu seperti itu, lalu mengapa ibu mengizinkan Mas Arif untuk menikahi ku?" Yana sudah tidak tahan, Yana mengurungkan niatnya untuk masuk kamar dan berdiri menatap mertuanya.
"Itu karena Arif memohon padaku. Tapi yang harus kamu tau, aku tidak pernah merestui pernikahan kalian!" Bu Wongso berlalu begitu saja meninggalkan Yana.
Yana masuk ke dalam kamar. Dila sepertinya mengantuk karena terlalu lama menangis.
"Kamu yang sabar ya, Sayang … semoga nenekmu cepat mendapat hidayah," gumam Yana di dalam hati. Yana membelai wajah mungil Dila. Hanya Dila yang membuat Yana mampu bertahan dari sikap buruk mertuanya.
Flashback on
Yana memasak untuk makan malam, Arif minta di masakin ayam kecap dan sambal tempe favoritnya. Ketika yana sedang memotong beberapa papan tempe. Bu Wongso muncul dan melihat pekerjaan Yana.
"Bu …" sapa Yana pada mertuanya. Sejak menikah, Yana tidak pernah ngobrol ataupun tegur sapa dengan mertuanya. Hanya Yana yang selalu menyapa.
Setelah masak dan menyajikan makanan di atas meja, Yana memanggil Arif dan mertuanya untuk makan malam. Mereka makan bersama, dalam diam. Ketika menyendokkan nasi untuk Arif kedalam piring, mata Bu Wongso menangkap gelang yang melingkar di pergelangan tangan Yana. Bu Wongso langsung menghentikan makannya dan meninggalkan Yana dan Arif.
"Ibu kenapa, Mas?" tanya Yana menatap heran ke arah Arif.
"Mas juga nggak tau, Sayang … nanti biar mas yang bicara sama ibu," ujar Arif terus melanjutkan makannya.
Setelah makan, Arif menemui ibunya. Arif mendekati ibunya yang berbaring menghadap dinding. "Bu, Ibu saki?" tanya Arif menyentuh pundak ibunya.
Hening, tidak ada sahutan. Arif pikir ibunya sedang tidur, lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
"Kamu membelikan Yana gelang emas?" Bu Wongso membalikkan badannya ketika mendengar pergerakan Arif yang akan meninggalkannya.
Arif menahan langkahnya, dan menatap ibunya yang kini sudah duduk di tepi ranjang.
"Iya, Bu … memangnya kenapa?" tanya Arif mengerutkan keningnya.
"Kenapa? Siapa dia? Sehingga seenaknya minta beli gelang emas padamu?" Bu Wongso menatap tajam kepada Arif.
"Bu, Yana istriku. Tentu saja dia berhak. Yana tidak meminta aku membelikannya gelang, aku sendiri yang berinisiatif, karena berkat Yana, laporanku di kantor menjadi lebih rapi dan bagus!" ujar Arif, duduk disamping ibunya.
"Pokoknya, ibu nggak mau Yana memakai gelang itu. Gelang itu harus menjadi milik ibu." Bu Wongso kembali berbaring dan menghadap dinding.
"Punya anak durhaka! Setelah menikah, Ibu kandung dilupakan!" Bu Wongso menangis tersedu-sedu.
"Bu … Arif tidak bermaksud begitu. Nanti Arif beliin ibu gelang yang lebih bagus, ya!" Arif mencoba membujuk ibunya.
"Pokonya, ibu mau gelang yang dipakai Yana!" Bu Wongso membenamkan wajahnya di bantal.
Arif menarik napas berat. "Baiklah, Bu … Arif ambil gelangnya dulu." Arif melangkah keluar dan menemui Yana di kamar.
"Dek, maaf, ya … gelangnya Mas pinjam dulu," ujar Arif mendekati Yana yang sedang fokus di depan laptop.
"Untuk apa, Mas?" tanya Yana dengan kening berkerut.
"Ehm, itu …" Arif terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Ada apa, Mas?" tanya Yana menangkup wajah Arif
"Ibu menginginkan gelang itu!" jawab Arif menatap lekat wajah Yana.
Yana tertegun, Yana tidak begitu mengenal ibunya, tapi Yana tau, saat ini Arif pasti sedang merasa bimbang.
"Ya udah, Mas … kasih aja ke Ibu," ujar Yana seraya melepas gelang tersebut dan memberikannya pada Arif.
"Dek, Mas minta maaf!" Arif terlihat sedih.
"Nggak apa-apa, Mas … jangan sampai ibu kecewa karena tidak bisa memiliki gelangnya." ujar Yana tersenyum kepada Arif.
Sejak saat itu, Yana tidak pernah lagi dibelikan apa-apa oleh Arif. Kalaupun Yana memiliki sesuatu yang berharga, hanya bertahan sehari saja. Setelahnya akan berpindah pada mertuanya.
Flashback off
Yana membuka Aplikasi berwarna biru. Ada banyak notifikasi di sana.
Beberapa tetangga memesan produk yang Yana jual. Yana lalu memberikan list tersebut kepada Sella. Yana tersenyum bahagia, akhirnya produk yang Yana jual, laris manis. Banyak peminatnya.
Pagi itu, Yana membawa Dila ke Posyandu. Yana bertemu dengan ibu-ibu disana dan menanyakan tentang produk yang Yana jual. Yana menjelaskan manfaat dari produk tersebut dan bisa memesan kapan saja.
Ponsel Yana berdering, chat dari kurir jasa pengiriman.
[Bu, paket sudah saya antar. Diterima oleh Bu Wongso]
[Baik, terima kasih, ya Mas.]
Yana lalu buru-buru pulang. Karena ingin mengantarkan pesanan pelanggannya
"Bu, mana paket Yana?" tanya Yana pada mertuanya sesampai di rumah.
"Udah ibu kasih ke pembelinya, kebetulan mereka pada ngumpul di sini tadi." jawab Bu Wongso santai.
"Owh, terus uangnya mana, Bu?" Yana menadahkan tangannya.
"Uang apa?" tanya Bu Wongso memalingkan wajahnya.
"Mereka kan, belum pada bayar, Bu! Bayarnya setelah barang sampai. Nah, mana uangnya, mau saya transfer ke Sella," ujar Yana menatap heran kepada mertuanya.
"Kan, ibu yang ngasih-ngasih ke mereka. Berarti ibu yang jualan dong. Lalu kenapa uangnya harus ibu kasih ke kamu?" Bu Wongso melipat kedua tangannya di dada.
"Bu, itu uang penjualan, Yana harus bayar ke agen. Kalau uangnya ibu ambil. Gimana Yana mau bayar ke agen?" Yana menatap mertuanya dengan wajah memelas.
"Ibu tidak peduli, ya! Ibu yang jual, ya ibu yang Nerima duitnya!" tegas Bu Wongso.
"Ibu yang jual? Emang ibu yang modalin? Ada modal ibu disitu?" Yana menatap tajam kepada mertuanya. Dadanya naik turun menahan amarah.
Bu Wongso mencebikkan mulutnya.
"Ibu pencuri!" Yana berlalu meninggalkan Bu Wongso.
Yana menangis sejadi-jadinya. Bagaimana Yana harus membayar semuanya ke Sella? semua produk pembayarannya via COD.
Yana menyesali keteledorannya, Yana tidak menyangka akan seperti ini kejadiannya.
Terima kasih untuk pembaca yang bersedia membaca cerita saya. Salam sayang Althafunnisa
Bab 158*****Burhan segera menyalami Fikri dan menceritakan kepada Yana tentang keadaan Bu Wongso yang saat ini tengah sakit dan dirawat oleh warga."Mas mohon kepadamu untuk bersedia menemui Bu Wongso. Kasihan dia," ujar Burhan dengan penuh penekanan.Yana menoleh kearah Fikri untuk meminta persetujuan. Laki-laki Itu tampak berpikir sejenak lalu membuka percakapan."Abang izinkan kamu untuk berangkat ke Pati dengan syarat Abang, ibu, dan Dila ikut menemani kamu ke sana," sahut Fikri.Yana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Fikri. Mereka pun segera berkemas karena hari itu kebetulan Fikri sedang libur dinas selama dua hari.Sesampai di Pati Yana terkejut melihat keadaan Bu Wongso yang kurus kering tinggal tulang. Perempuan yang dulu bermata tajam dan selalu menyakiti hatinya saat ini menatapnya dengan sendu dan penuh dengan uraian air mata.Yana meraih tangan Bu Wongso lalu menciumnya dengan takzim. Tidak ada kebencian di hati Yana terhadap mantan mertuanya itu. Yana masih
Bab 157*****Bu Lidya pun menyodorkan video yang berada di dalam ponsel Yana ke hadapan Bu Linda. Mata Bu Linda membulat sempurna melihat video perbuatannya berada di dalam ponsel milik Yana."Maaf Bu Linda, saya tidak bisa membiarkan Anda menghancurkan reputasi saya. Jadi saya harus melakukan ini." Yana mengambil ponsel yang berada di hadapan Bu Linda dan segera memasukkannya ke dalam saku blazer nya.Akhirnya dengan penuh malu Bu Linda membereskan semua perangkat pengajarnya dan meninggalkan sekolah elit tersebut.Para majelis Guru yang melihat kejadian itu terheran-heran karena seharusnya Yana yang dipecat bukan Bu Indah.Bu Lidya selaku kepala sekolah segera menjelaskan kepada majelis Guru tentang kebenaran dari peristiwa pencurian tersebut."Wah Bu Yana hebat, ya, punya kamera tersembunyi," puji Bu Maya kepada Yana seluruh.Majelis Guru pun sependapat kalau Yana adalah perempuan yang cerdas.Yana mengulum senyum. Semua berkat bantuan Cinta karena Cinta yang telah meminjamkan kam
Bab 156Kebahagiaan yang sempurna*******Pagi itu sekolah dihebohkan dengan siswa yang kehilangan sebuah jam tangan mahal. Jam tangan pintar seharga lima juta itu lenyap di dalam tas siswa yang bernama Nico. Bocah berumur enam tahun tersebut meletakkan jam tangan pintarnya di dalam tas ketika dia hendak mencuci tangan di wastafel. Wali kelas yang mengajar saat itu adalah Yana dan Bu Linda."Saya yakin banget, Bu, pasti Yana yang telah mengambil jam tangan milik Nico. Secara, kan, Bu Yana baru kali ini melihat jam tangan pintar yang keren seperti milik Nico." Bu Linda menemui kepala Sekolah di ruangannyaBu Lidya selaku kepala sekolah terdiam sesaat. Perempuan berhijab lebar tersebut tidak yakin kalau Yana yang mengambil jam tangan pintar milik Nico. Yana memang berasal dari desa. Namun saat ini Yana berstatus istri seorang dokter terkenal. Tidak mungkin jika dia mengambil jam tangan pintar milik Nico.Linda pun menyarankan kepada kepala sekolah untuk menggeledah tas Yana agar mendapa
Bab 155*****Yana yang melihat Fikri tetap bergeming, memutuskan untuk keluar dari kamar"Loh, Kamu kemana, Yan?" tanya Fikri melihat Yana membawa sebuah bantal keluar kamar."Kalau abang mau Reka juga tidur di sini. Lebih baik Yana keluar dari kamar dan tidur di kamar Dila. Terserah Abang mau ngapain. Mau balikan sama Reka juga nggak apa-apa," sahut Yana dengan wajah sinis."Yan, Tunggu dulu." Fikri menahan pergerakan Yana lalu menoleh kearah Reka yang sedang menenangkan bayinya."Sekarang kamu lihat, kan. Farhan itu tidak merasa nyaman berada di dekatku. Lalu untuk apa kalian tinggal disini? Bukankah lebih baik kalian pergi dari rumah ini karena tidak ada untungnya keberadaan kalian di rumah ini," ujar Fikri menoleh mereka dengan tajam.Reka yang mendengar perkataan Fikri tercekat. Dia tidak menyangka kalau Fikri mengambil kesimpulan seperti itu."Farhan tidak nyaman tidur dengan abang di sini karena kehadiran Yana, Bang. Kalau abang tidurnya sama Aku, Farhan pasti merasa nyaman,"
Bab 154Reka diusir dari rumah Fikri*******Matahari bersinar dengan cerah, sisa-sisa embun masih terasa menyejukkan kulit. Yana membuka tirai jendela lalu menatap jalan raya di bawah sana. Beberapa kendaraan sudah berlalu lalang melintasi perumahan elit tersebut. Ada juga beberapa orang lansia yang sedang berjalan-jalan pagi untuk menjaga kesehatannya.Yana menarik nafas berat, dia belum bisa melupakan perlakuan Bu Wongso kepada dirinya. Perempuan yang dulu sangat dihormatinya itu tidak pernah melupakan Yana sebagai orang yang paling dibencinya. Yana pikir setelah kematian Arif, dan pernikahannya dengan Fikri, Bu Wongso tidak akan lagi mengganggu kehidupannya, tapi ternyata Yana salah. Bu Wongso masih terus meneror bahkan mendatangi kediaman Fikri untuk menuntut harta yang sudah diberikan Arif kepada Dila.Fikri berdiri di belakang Yana, menatap sosok yang sudah beberapa bulan menjadi istrinya. Laki-laki bertubuh tegap itu seakan menyadari kalau istrinya sedang dilema. Fikri membiar
Bab 153*******"Bu Wongso disiksa oleh Bik Yem dan Bik Yem mengambil semua barang Bu Wongso?" ujar Burhan ketika warga tersebut menjemputnya."Benar Mas Burhan, kondisi Bu Wongso saat ini sangat memprihatinkan. Dia kami bawa ke rumah sakit. Bu Wongso meminta kami untuk menjemput Mas Burhan. Kami tidak tahu tujuannya apa tapi sepertinya sangat penting." warga tersebut menyahut.Tanpa banyak bicara, Burhan segera bersiap untuk menemui Bu Wongso di rumah sakit.Mendiang Arif adalah sahabat terbaiknya. Burhan tidak ingin Bu Wongso menderita setelah kepergian Arif karena biar bagaimanapun, Bu Wongso pernah begitu baik kepada dirinya semasa Burhan dan Arif bersahabat dengan baik.Sesampai di rumah sakit, Burhan menangis melihat keadaan Bu Wongso.Perempuan yang dahulu berbadan gemuk itu saat ini kurus kering tinggal tulang. Kondisinya sangat memprihatinkan."Maafkan Burhan, Bu. Maaf karena Burhan telah salah dalam mempercayai orang untuk merawat ibu," ujar Burhan mencium tangan Bu Wongso.
Bab 152**********Malam itu tetangga Bu Wongso yang bernama Bu Nani melirik ke arah rumah Bu Wongso. Rumah itu dalam keadaan gelap dari luar bahkan sampai ke dalam. Bu Nani mengernyitkan keningnya karena setahu dia Bu Wongso tidak bisa kemana-mana."Pak, kenapa ya, rumah Bu Wongso gelap gulita?" tanya Bu Nani kepada suaminya.Suami Bu Nani meletakkan koran yang dibacanya, lalu melirik ke arah rumah Bu Wongso yang memang gelap gulita. Sepasang suami itu saling pandang."Ibu udah dua minggu nggak besuk Bu Wongso. Apa malam ini kita lihat ke sana, ya, pak? Mungkin listriknya mati," ujar Bu Nani kepada suaminya."Tapi, kan, Bu Wongso dirawat sama Bik Yem, dan keuangan Bu Wongso juga dipegang oleh Bik Yem? Masa bisa listrik enggak dibayar," sahut suami Bu Nani dengan heran.Akhirnya sepasang suami istri itu memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Wongso.Mereka terkejut ketika berada di depan pintu rumah Bu Wongso karena pintu tersebut dikunci dari luar dan kuncinya masih berada di pintu ter
Bab 151Karma untuk Bu Wongso***Bu Wongso membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa teramat sangat sakit, begitupun dengan seluruh anggota tubuhnya. Bibirnya kelu. Tatapan matanya kosong. Bu Wongso menoleh ke samping, istri Burhan tampak sedang terkantuk-kantuk duduk di samping brangkar Bu Wongso.Dia memanggil istri Burhan, tapi suaranya tidak tembus. Bu Wongso berkali-kali mencoba menggerakkan lidahnya. Namun tetap kelu. Begitupun dengan tangan dan kakinya, begitu kaku sehingga tidak bisa digerakkan.Bu Wongso terus memanggil istri Burhan sehingga menimbulkan suara gagu yang tidak menentu. Istri Burhan membuka matanya dan tersenyum kearah Bu Wongso. Perempuan berwajah sendu itu memegang tangan Bu Wongso dan menanyakan bagaimana keadaan Bu Wongso. Namun, perempuan tua itu hanya menjawab dengan suara gagu, dan tidak jelas apa yang dikatakannya.Burhan masuk ke dalam ruangan dan segera menghampiri Bu Wongso."Ibu sudah sadar?" tanya Burhan bahagia.Bu Wongso menjawab, tapi suaranya
Bab 150*****Bu Wongso melanjutkan perjalanannya pulang ke Pati. Sedangkan Reka kembali ke rumah Fikri dengan senyum seringainya. Reka merasa puas karena hari ini melihat Yana terluka.Sesampai di rumah Fikri, Reka melihat sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa panas. Di sofa ruang tamu, terlihat Fikri sedang membelai wajah Yana yang memerah karena tamparan Bu Wongso."Enggak nyangka, ya, ternyata perempuan kampung bisa juga berotak licik," ujar Reka seraya duduk di seberang sofa Yana dan Fikri."Apa maksud kamu?" tanya Fikri dengan wajah merah padam."Aku hanya nggak nyangka aja, ternyata Yana itu munafik. Diam-diam dia menyimpan harta warisan dari mantan suaminya seolah-olah bang Fikri tidak mampu membiayai hidupnya." Reka bersidekap di depan dada.Fikri menoleh ke arah Reka. "Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, tutup mulutmu dengan rapat, atau aku akan menendangmu dan memisahkanmu dari Farhan," sahut Fikri geram.Reka terkejut mendengar perkataan Fikri. Perempuan itu t