Pulang kerumah Mbah
Yana meminta tukang ojek untuk mengantarkannya ke terminal kota, Yana Naik Bis menuju Kota Pati. Sepanjang perjalanan, Yana larut dalam lamunan. Tidak menyangka sama sekali, Arif kembali berbuat kasar, setelah kemaren meminta maaf padanya.
Yana sampai di halaman rumah yang sederhana dan asri, Yana tercenung sesaat. Sudah 2 tahun Yana tidak kemari, tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama. Yana melangkahkan mendekati rumah tersebut.
"Assalamualaikum," ucap Yana memberi salam.
"Walaaikumsalam," jawaban dari dalam rumah yang sudah bisa Yana tebak, siapa pemilik suara itu.
Terdengar langkah tertatih dari dalam, membuka daun pintu, dan terkejut melihat kehadiran Yana.
"Yana, Cucuku ...." Si Mbah menjatuhkan sayuran yang berada ditangannya.
"Mbah ...." Yana memeluk Si Mbah dengan deraian air mata.
"Ya Allah Gusti, bagaimana kabarmu, Nduk?" Si Mbah mencium pipi Yana berkali-kali.
"Alhamdulillah, Baik, Mbah." Yana mengusap air matanya yang jatuh.
Dila terbangun dari gendongannya, dan menggeliat kecil. Si Mbah menatap Dila dengan seksama.
"Ini, anakmu, Nduk?" tanya Si Mbah kepada Yana.
"Iya, Mbah. Namanya Dila." Yana tersenyum bahagia.
"Ayo, Ayo masuk, Nduk." Si Mbah menuntun Yana masuk.
"Nduk, Yana ...." Mbah Marijan menghampiri Yana dan Yana segera menyalami Mbahnya.
"Suamimu mana, Nduk?" tanya Mbah Marijan.
Yana hanya menundukkan kepalanya.
"Wes, wes, wes. Cucu baru sampe kok udah di tanya-tanya, toh Mbah?" Mbah wedok lalu mengajak Yana duduk di dipan dalam rumah.
"Kamu istirahat dulu ya, Nduk. Mbah mau masak dulu, nanti kalau udah Mateng, Mbah banguni kamu," ujar Si Mbah seraya menuju dapur.
"Yana bantu, Mbah." Yana ikut bangkit dari tempat duduknya. Namun,Si Mbah menahan.
"Wes, kamu istirahat aja di kamarmu," ujar Si Mbah seraya menunjuk kamar dengan dagunya.
Yana menurut. Yana memasuki kamar yang dulu ditempatinya. Kamar kecil yang hanya ada dipan, tapi Yana merasa sangat nyaman. berbeda dengan Rumah mertuanya. Kamar yang luas, lengkap dengan perabotan, tapi serasa di neraka.
Setelah beristirahat dan makan, Yana duduk bersama Dila di dipan depan rumah. Yana merasa hidupnya sangat nyaman berada di rumah itu.
"Mbah, boleh Yana tinggal di sini?" tanya Yana kepada Si Mbah.
"Tentu saja boleh, Nduk. Ajak suamimu tinggal di sini. Kalau memang di sana tidak membuatmu nyaman." ujar Si Mbah tersenyum.
"Yana mau tinggal di sini tanpa Mas Arif, Mbah," ujar Yana menundukkan kepalanya.
Si Mbah terdiam sesaat, lalu menatap wajah Yana yang masih di tekuk.
"Kamu ada masalah apa sama suamimu, Nduk?" tanya Si Mbah dengan nada yang sangat lembut.
"Yana mau cerai sama Mas Arif, Mbah!" ujar Yana mendongakkan kepalanya.
"Hus, Nduk! nyebut, kamu Ndak boleh bicara seperti itu, langit menggelegar mendengar ucapanmu itu, Nduk!" Si Mbah terkejut dengan ucapan Yana.
"Tapi, Yana sudah nggak tahan, Mbah. Mas Arif sekarang sudah berubah. Suka kasar sama Yana." Yana mulai terisak.
"Nduk, setiap rumah tangga, pasti ada cobaannya. Jadi kamu harus tetap sabar, bukannya malah minta cerai." Si Mbah mengusap punggung Yana.
"Tapi, Mbah. Mas Arif keterlaluan. Selama menikah. Yana Dikasih uang setelah Mas Arif memenuhi kemauan ibunya." Yana mengeluarkan uneg-uneg dalam dadanya.
"Loh, Nduk, itu sudah wajar, kan Arif anak semata wayang. Ibunya juga cuma tinggal sendiri. Wajar, jika Arif membiayai hidup ibunya." Si Mbah menatap lekat wajah Yana.
"Yana ngerti, Mbah. Tapi setidaknya Mas Arif bisa adil dalam memberi nafkah Yana dan ibunya." Yana menyandarkan punggungnya di dinding rumah.
"Yana capek, Mbah! Yana capek selalu seperti ini," Yana menatap Si Mbah.
"Ini adalah pilihan hidupmu, Nduk!" Mbah Marijan muncul dan duduk di dekat mereka.
"Dulu, Mbah udah ngingetin kamu, untuk berpikir seribu kali, menikah dengan Arif." ujar Mbah Marijan.
"Kamu bilang waktu itu, kamu akan berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupa Arif." ujar Mbah lagi.
" Wes, toh pak e ... jangan mengungkit apa yang telah terjadi," Si Mbah menatap tajam ke arah suaminya.
"Bukannya mengungkit, tapi untuk mengingatkan Yana, bahwa apapun keputusan yang sudah diambil, maka harus berani mempertanggungjawabkannya." wajah Mbah Marijan berubah sendu.
"Padahal, dulu Mbah berharap, kamu mau menikah dengan si Sapto, orangnya sopan. Ibunya juga Baik." Mbah Marijan menarik napas dengan berat.
"Wes, Pak e, omonganmu makin lama makin ngelantur," ujar Si Mbah kembali menatap tajam kepada Mbah Marijan.
"Kita masuk saja, Nduk. Bantu Mbah bikin wajik pesanan orang." Si Mbah mengambil Dila dan menggendongnya masuk ke rumah.
Flashback on
Arif dan Yana semakin dekat, Si Mbah sering melihat Arif mengantar Yana pulang dari pasar.
"Nduk, bagaimana hubunganmu dengan Nak Arif?" tanya Mbah.
"Baik, Mbah. Mas Arif bilang, secepatnya mau melamar." jawab Yana santai.
"Nduk, Mbah mau bicara. Boleh?" tanya Mbah Marijan duduk didekat Yana dan Istrinya yang sedang mengikat sayur kangkung.
"Boleh, Mbah," jawab Yana tersenyum sembari terus mengikat kangkung dan memasukkannya ke dalam keranjang.
"Sebaiknya, kamu pikirkan lagi niatmu untuk menikah dengan Arif," ujar Mbah Marijan.
"Lho, kenapa Mbah?" tanya Yana. senyumnya sedikit memudar.
"Mbah takut kamu tidak bahagia, kami tau sendiri, Arif berasal dari keluarga berada. Takutnya, nanti kamu ditindas." Mbah Marijan terlihat sangat khawatir.
"Yana yakin kok Mbah, dengan pilihan hati Yana. Yana dan Mas Arif saling mencintai." jawab Yana mencoba menahan kekesalannya pada Mbah Marijan.
"Mbah pinginnya kamu nikah sama Si Sapto, dia orangnya Soleh, ibunya juga baik banget." ujar Mbah Marijan.
Mata Yana terbelalak. Yana sama sekali tidak menyukai Sapto, walaupun Yana tau, Sapto menyimpan perasaan terhadapnya. Namun, Yana sudah terlanjur jatuh hati pada pesona Arif. Yang tampan, dan mapan, dan kaya.
"Pokoknya Yana tetap akan menikah dengan Mas Arif, Yana akan menanggung resikonya, Yana akan menyesuaikan diri dengan kehidupan Mas Arif," ujar Yana. Lalu meninggalkan sayuran yang akan di ikat dan masuk kedalam kamarnya.
Mbah Marijan hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap Yana.
"Wes, toh pak e. Biar Yana yang menentukan pilihan hidupnya sendiri." ujar Si Mbah kepada Mbah Marijan.
"Aku hanya takut, nanti Yana akan kecewa dengan pernikahannya," Mbah Marijan menatap istrinya dengan tatapan kekhawatiran.
flashback off
Yana membantu Si Mbah membuat wajik pesanan pelanggan. Wajik buatan Si Mbah memang terkenal enak. Tak heran jika selalu ada yang memesan untuk berbagai acara atau untuk oleh-oleh.
"Yana, apa kamu sudah pikirkan baik-baik, niatmu itu?" tanya Mbah sambil mengaduk ketan yang sudah dikukusnya.
"Iya, Mbah," jawab Yana tanpa menoleh pada Si Mbah.
"Kasian Dila, anak seusia Dila butuh kasih sayang seorang ayah, Nduk." Si Mbah memandangi Dila yang tertidur pulas di lantai yang beralaskan tikar rumbai.
"Bertahan pun, percuma, Mbah. Mas Arif nggak berubah. Dila juga Jarang bertemu Papanya," Yana menghentikan kegiatan membungkus wajik. lalu menatap Si Mbah dengan tatapan sendu
"Yana lelah, Mbah ...." gumam Yana di dalam hati.
Bersambung
Hai pembaca setia Yana. Terima kasih masih mengikuti cerita ini, ya. Salam sayang Althafunnisa
Bab 158*****Burhan segera menyalami Fikri dan menceritakan kepada Yana tentang keadaan Bu Wongso yang saat ini tengah sakit dan dirawat oleh warga."Mas mohon kepadamu untuk bersedia menemui Bu Wongso. Kasihan dia," ujar Burhan dengan penuh penekanan.Yana menoleh kearah Fikri untuk meminta persetujuan. Laki-laki Itu tampak berpikir sejenak lalu membuka percakapan."Abang izinkan kamu untuk berangkat ke Pati dengan syarat Abang, ibu, dan Dila ikut menemani kamu ke sana," sahut Fikri.Yana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Fikri. Mereka pun segera berkemas karena hari itu kebetulan Fikri sedang libur dinas selama dua hari.Sesampai di Pati Yana terkejut melihat keadaan Bu Wongso yang kurus kering tinggal tulang. Perempuan yang dulu bermata tajam dan selalu menyakiti hatinya saat ini menatapnya dengan sendu dan penuh dengan uraian air mata.Yana meraih tangan Bu Wongso lalu menciumnya dengan takzim. Tidak ada kebencian di hati Yana terhadap mantan mertuanya itu. Yana masih
Bab 157*****Bu Lidya pun menyodorkan video yang berada di dalam ponsel Yana ke hadapan Bu Linda. Mata Bu Linda membulat sempurna melihat video perbuatannya berada di dalam ponsel milik Yana."Maaf Bu Linda, saya tidak bisa membiarkan Anda menghancurkan reputasi saya. Jadi saya harus melakukan ini." Yana mengambil ponsel yang berada di hadapan Bu Linda dan segera memasukkannya ke dalam saku blazer nya.Akhirnya dengan penuh malu Bu Linda membereskan semua perangkat pengajarnya dan meninggalkan sekolah elit tersebut.Para majelis Guru yang melihat kejadian itu terheran-heran karena seharusnya Yana yang dipecat bukan Bu Indah.Bu Lidya selaku kepala sekolah segera menjelaskan kepada majelis Guru tentang kebenaran dari peristiwa pencurian tersebut."Wah Bu Yana hebat, ya, punya kamera tersembunyi," puji Bu Maya kepada Yana seluruh.Majelis Guru pun sependapat kalau Yana adalah perempuan yang cerdas.Yana mengulum senyum. Semua berkat bantuan Cinta karena Cinta yang telah meminjamkan kam
Bab 156Kebahagiaan yang sempurna*******Pagi itu sekolah dihebohkan dengan siswa yang kehilangan sebuah jam tangan mahal. Jam tangan pintar seharga lima juta itu lenyap di dalam tas siswa yang bernama Nico. Bocah berumur enam tahun tersebut meletakkan jam tangan pintarnya di dalam tas ketika dia hendak mencuci tangan di wastafel. Wali kelas yang mengajar saat itu adalah Yana dan Bu Linda."Saya yakin banget, Bu, pasti Yana yang telah mengambil jam tangan milik Nico. Secara, kan, Bu Yana baru kali ini melihat jam tangan pintar yang keren seperti milik Nico." Bu Linda menemui kepala Sekolah di ruangannyaBu Lidya selaku kepala sekolah terdiam sesaat. Perempuan berhijab lebar tersebut tidak yakin kalau Yana yang mengambil jam tangan pintar milik Nico. Yana memang berasal dari desa. Namun saat ini Yana berstatus istri seorang dokter terkenal. Tidak mungkin jika dia mengambil jam tangan pintar milik Nico.Linda pun menyarankan kepada kepala sekolah untuk menggeledah tas Yana agar mendapa
Bab 155*****Yana yang melihat Fikri tetap bergeming, memutuskan untuk keluar dari kamar"Loh, Kamu kemana, Yan?" tanya Fikri melihat Yana membawa sebuah bantal keluar kamar."Kalau abang mau Reka juga tidur di sini. Lebih baik Yana keluar dari kamar dan tidur di kamar Dila. Terserah Abang mau ngapain. Mau balikan sama Reka juga nggak apa-apa," sahut Yana dengan wajah sinis."Yan, Tunggu dulu." Fikri menahan pergerakan Yana lalu menoleh kearah Reka yang sedang menenangkan bayinya."Sekarang kamu lihat, kan. Farhan itu tidak merasa nyaman berada di dekatku. Lalu untuk apa kalian tinggal disini? Bukankah lebih baik kalian pergi dari rumah ini karena tidak ada untungnya keberadaan kalian di rumah ini," ujar Fikri menoleh mereka dengan tajam.Reka yang mendengar perkataan Fikri tercekat. Dia tidak menyangka kalau Fikri mengambil kesimpulan seperti itu."Farhan tidak nyaman tidur dengan abang di sini karena kehadiran Yana, Bang. Kalau abang tidurnya sama Aku, Farhan pasti merasa nyaman,"
Bab 154Reka diusir dari rumah Fikri*******Matahari bersinar dengan cerah, sisa-sisa embun masih terasa menyejukkan kulit. Yana membuka tirai jendela lalu menatap jalan raya di bawah sana. Beberapa kendaraan sudah berlalu lalang melintasi perumahan elit tersebut. Ada juga beberapa orang lansia yang sedang berjalan-jalan pagi untuk menjaga kesehatannya.Yana menarik nafas berat, dia belum bisa melupakan perlakuan Bu Wongso kepada dirinya. Perempuan yang dulu sangat dihormatinya itu tidak pernah melupakan Yana sebagai orang yang paling dibencinya. Yana pikir setelah kematian Arif, dan pernikahannya dengan Fikri, Bu Wongso tidak akan lagi mengganggu kehidupannya, tapi ternyata Yana salah. Bu Wongso masih terus meneror bahkan mendatangi kediaman Fikri untuk menuntut harta yang sudah diberikan Arif kepada Dila.Fikri berdiri di belakang Yana, menatap sosok yang sudah beberapa bulan menjadi istrinya. Laki-laki bertubuh tegap itu seakan menyadari kalau istrinya sedang dilema. Fikri membiar
Bab 153*******"Bu Wongso disiksa oleh Bik Yem dan Bik Yem mengambil semua barang Bu Wongso?" ujar Burhan ketika warga tersebut menjemputnya."Benar Mas Burhan, kondisi Bu Wongso saat ini sangat memprihatinkan. Dia kami bawa ke rumah sakit. Bu Wongso meminta kami untuk menjemput Mas Burhan. Kami tidak tahu tujuannya apa tapi sepertinya sangat penting." warga tersebut menyahut.Tanpa banyak bicara, Burhan segera bersiap untuk menemui Bu Wongso di rumah sakit.Mendiang Arif adalah sahabat terbaiknya. Burhan tidak ingin Bu Wongso menderita setelah kepergian Arif karena biar bagaimanapun, Bu Wongso pernah begitu baik kepada dirinya semasa Burhan dan Arif bersahabat dengan baik.Sesampai di rumah sakit, Burhan menangis melihat keadaan Bu Wongso.Perempuan yang dahulu berbadan gemuk itu saat ini kurus kering tinggal tulang. Kondisinya sangat memprihatinkan."Maafkan Burhan, Bu. Maaf karena Burhan telah salah dalam mempercayai orang untuk merawat ibu," ujar Burhan mencium tangan Bu Wongso.