Share

Bab 5

Aku menghela napas kasar lalu meletakkan ponsel Mbok Tuti kembali. Kemudian, aku beranjak ke kamar Mbak Giska. 

Kaki ini melangkah begitu cepat, aku ingin sekali memeluk raga Mbak Giska, seorang kakak madu yang sangat baik tapi dikhianati oleh suaminya. 

Kubuka pintu lebar-lebar lalu mengayunkan kaki ini dengan setengah berlari. 

"Mbak, kamu akan baik-baik saja, aku akan jamin itu semua, sebagaimana dulu kau telah menjamin orang tuaku akan kembali pulang ke rumah dengan sehat," pungkasku di hadapan wanita bisu dan tak berdaya itu. 

Aku menoleh ke arahnya, mata Mbak Giska berkaca-kaca seolah-olah ingin mengutarakan semua isi hatinya. Namun, ketidakberdayaan membuat Mbak Giska hanya mampu terdiam selama ini. 

"Kenapa baru terungkap sekarang, Mbak? Aku terlalu sibuk urus kantor sehingga melupakan kondisimu, maafkan aku yang tidak mengetahui bahwa dirimu telah dikelilingi orang-orang jahat, pengkhianat bermuka dua!" umpatku kesal. 

Mungkin karena Mas Firman berkhianat jadi sesakit ini yang kurasakan, terlebih dia ingin menguras semua harta Mbak Giska. 

Aku genggam tangan Mbak Giska, lalu memberikan bahasa isyarat kepadanya. "Aku berjanji, akan melindungi kamu sekuat tenaga, tapi berjanjilah padaku juga, bahwa kamu harus cepat sembuh. Kita balas pengkhianatan Mas Firman dengan kesengsaraan," ungkapku dengan bahasa isyarat. 

Mbak Giska tersenyum lekat, rona pipinya memerah ketika aku melontarkan kata-kata tersebut dengan bahasa isyarat. 

***

Pagi ini kicauan burung membuat suasana rumah semakin ramai, matahari yang sudah terbit mulai menyengat kulit. Tepat pukul sembilan pagi, mamaku sudah tiba di rumah. 

Kedatangan Mama Rosmala sangat aku tunggu, ini supaya Mbok Tuti tidak seenaknya memperlakukan Mbak Giska ketika aku ke kantor. 

Sengaja aku memperlambat berangkat ke kantor, ini semua supaya Mbok Tuti tidak mencelakai Mbak Giska. 

"Non, Non, apa sudah bilang ke Tuan Firman kalau mau bawa ibunya ke sini?" tanya Mbok Tuti saat mama menurunkan kopernya. 

"Loh saya kan juga ada hak untuk itu, kenapa harus bilang?" tanyaku balik. 

"Tapi semua keputusan harus atas persetujuan Tuan Firman," jelasnya. Ia berkata dengan penuh penekanan. 

"Dia sudah tahu, dan mamaku ini mertuanya, masa iya nggak boleh bermalam di sini?" Aku semakin semangat untuk mencecarnya. Entahlah Mbok Tuti dibayar berapa sehingga berani dan tega berbuat seperti ini. 

Mama menyunggingkan senyuman manisnya di hadapan Mbok Tuti, lalu menyerahkan koper padanya, kemudian pembantuku itu beranjak ke kamar tamu untuk meletakkan koper milik mamaku. 

Aku langsung mengarahkan mama ke kamar Mbak Giska. Sebab, siang ini ada meeting yang tak bisa aku tinggal. 

"Mah, lihatlah malaikat tak bersayap ini, aku berjanji akan membalaskan apa yang telah Mas Firman lakukan, tega sekali dia, Mah," ungkapku sambil memegang dada ini. 

Namun, mamaku mengangkat jari telunjuknya, lalu meletakkan ke depan bibir seraya menyuruhku diam. 

"Ini ruangan bukankah banyak penyadap?" Mama mengingatkan aku yang keceplosan. 

"Astaga, aku lupa, Mah."

Aku melirik ke arah Mbak Giska yang tersenyum padaku. 

Tangan ini aku angkat, lalu melihat ke arah jam yang melingkar. 

"Sudah jam sembilan lewat, aku berangkat ya, titip Mbak Giska, Mah," pesanku sambil beranjak dari kamar kakak maduku. 

Tidak ada yang membuatku bahagia selain membalas budi kebaikan yang pernah Mbak Giska lakukan. 

Aku langkahkan kaki ini ke arah luar ruangan, lalu berhenti tepat di hadapan Mbok Tuti yang tengah berdiri. Aku yakin dia pasti berusaha menguping. 

"Mbok Tuti, aku berangkat, pastikan semuanya baik-baik saja," pesanku padanya. Namun ia terdiam, hanya memandangku dari ujung kaki ke ujung kepala. 

"Non Nurma sudah tahu, ya?" tanya Mbok Tuti menyelidik. 

Aku menyorotnya dengan mata menyipit. Sedangkan Mbok Tuti, dia melipat kedua tangannya seraya dialah yang jadi bos. 

"Sudah tahu apa? Kenapa Mbok Tuti tanya aku seperti itu?" Aku mempersulit Mbok Tuti untuk berkutik. 

"Mbok Tuti menangkap bahwa Non Nurma sengaja membawa ibunya ke sini, ya kan?" Pertanyaan Mbok Tuti membuatku semakin terkekeh. 

"Pertanyaan Mbok justru malah membuatku semakin khawatir, ini ada apa sebenarnya, apa yang kamu rahasiakan?" Aku sengaja pura-pura bodoh. 

Mbok Tuti mengibaskan tangannya. "Lupakan, Non. Selamat pagi. Hati-hati di jalan," pesannya saat aku memutar kaki ini perlahan. 

Kini aku berangkat ke kantor dengan sedikit tenang, sebab ada mamaku yang menjaga Mbak Giska dengan baik. Setidaknya meeting hari ini bisa berjalan dengan lurus, setelah itu aku akan pikirkan lagi bagaimana caranya supaya Mbak Giska sembuh. 

Setibanya di kantor, aku bertemu dengan Adnan. Dia sudah mengatur semuanya, baik untuk meeting yang sebenarnya hanya meeting buatan di Bali. Juga meeting yang sesungguhnya di Jakarta ini. Adnan lah yang mengerahkan orang yang bertugas di Bali untuk mengadakan meeting meskipun hanya sandiwara. 

Sebelum meeting yang akan berlangsung dua jam kemudian. Adnan memberikan informasi seputar surat-surat yang telah diambil alih oleh Mas Firman. 

"Saya sudah pilih pengacara, notaris, dan yang lainnya untuk pembatalan pemindahan perusahaan, Bu," ucap Adnan. 

"Bagus, saya ingin  semua dilakukan dengan cepat, bayar dua atau tiga kali lipat dari biasanya, saya tidak peduli dengan harga," timpalku pada Adnan. 

"Siap, Bu. Pasti akan cepat, sesuai dengan permintaan Bu Nurma," cetus Adnan. "Sebenarnya saya sudah tahu dari dulu, Bu. Hanya saja saya pikir sudah ada Ibu yang sayang dengan Bu Giska, jadi rasa khawatir dan cemas berlebihan ini tidak pernah lagi muncul," ungkap Adnan. 

"Kenapa kamu tidak cerita pada saya?"

"Saya percaya pada Bu Nurma, tapi ternyata saya salah menduga, Ibu terlalu baik, jadi tidak pernah buruk sangka pada Pak Firman," jawab Adnan. 

"Sudahlah, mulai sekarang kamu harus kasih tahu informasi sekecil apa pun tentang Mas Firman dan gundiknya itu, kesal aku, Nan, kenapa kamu bisa tidak peka, ada pelakor di ruang bawah tanah," gerutuku lagi. 

Padahal sudah menutup obrolan. Namun, tetap saja ada ucapan tidak ikhlas yang terlontar di mulut ini. 

***

Beberapa jam kemudian, saat meeting telah usai. Aku mengusap layar ponsel dengan lembut. Ada panggilan tak terjawab dari Mama Rosmala sebanyak lima kali. 

"Adnan, kenapa dengan mamaku ini menghubungi hingga lima kali panggilan tak terjawab?" Aku membuka mata lebar-lebar supaya tidak salah baca. 

"Coba hubungi kembali, Bu. Itu saya lihat baru lima menit yang lalu terakhir menghubungi Bu Nurma." Adnan membuatku langsung menghubungi Mama Rosmala tanpa menunggu lagi. 

Baru lima menit yang lalu Mama menghubungi, tapi saat aku menghubungi kembali malah tidak aktif. 

"Nggak aktif, saya minta kamu bawa motor ya, tolong antar saya pulang naik motor!" suruhku membuat orang kepercayaan keluarga Mbak Giska itu sontak meminjam kunci motor salah satu office boy di kantor kami. 

Aku tak peduli meskipun sinar matahari menyengat kulit ini. Rasanya tak sebanding dengan yang dirasakan Mbak Giska dalam menjalani hidupnya. 

Sepanjang jalan, bahu Adnan aku tepuk. Rasa khawatir yang mendera lah membuat tangan ini refleks memintanya untuk ngebut. 

"Kita harus cepat sampai ke rumah, aku cemas pada Mbak Giska!" Suara angin dan hilir mudik kendaraan membuatku harus berkata keras. 

"Iya, Bu. Tenang aja, sebentar lagi kita tiba, sekitar sepuluh menit, ini juga lampu merah sudah saya bablas," jelas Adnan. 

Aku sangat khawatir dengan Mbak Giska, di otak ini menari-nari bayangan Mbok Tuti mencabik dan menyiksa Mbak Giska dan mamaku. 

Setibanya di rumah, aku sontak memanggil mamaku. Namun, tidak ada yang menjawabnya. 

"Tadi nggak tanya ke satpam, Bu?" tanya Adnan. 

"Nggak usah, satpam itu orang suruhan Mas Firman." 

Aku bicara sambil celingukan. 'Kalau memang mereka dianiaya atau dicelakai, aku tidak akan pernah memaafkan Mbok Tuti. Dia orang kedua yang akan kupastikan mendekam di penjara setelah Mas Firman dan gundiknya. Ini sudah perbuatan kriminal, tidak boleh dibiarkan!' batinku kesal. 

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
koq bisa ya orang lemot mengambil keputusan memimpin perusahaan? bukti apalagi tuh yg dibutuhkan?? isi pesan fi hp pembantu aja udah lebih dati cukup ditambah sama obat2 yg diberikan.
goodnovel comment avatar
Karya Komat
selamat ke dua wanita yg punya hati penyayang... dikianati suami sendiri kerana tamak kan harta...
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Semoga tidak terjadi apa-apa pada mamanya Nurma dan Giska
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status