Aku menghela napas kasar lalu meletakkan ponsel Mbok Tuti kembali. Kemudian, aku beranjak ke kamar Mbak Giska.
Kaki ini melangkah begitu cepat, aku ingin sekali memeluk raga Mbak Giska, seorang kakak madu yang sangat baik tapi dikhianati oleh suaminya.
Kubuka pintu lebar-lebar lalu mengayunkan kaki ini dengan setengah berlari.
"Mbak, kamu akan baik-baik saja, aku akan jamin itu semua, sebagaimana dulu kau telah menjamin orang tuaku akan kembali pulang ke rumah dengan sehat," pungkasku di hadapan wanita bisu dan tak berdaya itu.
Aku menoleh ke arahnya, mata Mbak Giska berkaca-kaca seolah-olah ingin mengutarakan semua isi hatinya. Namun, ketidakberdayaan membuat Mbak Giska hanya mampu terdiam selama ini.
"Kenapa baru terungkap sekarang, Mbak? Aku terlalu sibuk urus kantor sehingga melupakan kondisimu, maafkan aku yang tidak mengetahui bahwa dirimu telah dikelilingi orang-orang jahat, pengkhianat bermuka dua!" umpatku kesal.
Mungkin karena Mas Firman berkhianat jadi sesakit ini yang kurasakan, terlebih dia ingin menguras semua harta Mbak Giska.
Aku genggam tangan Mbak Giska, lalu memberikan bahasa isyarat kepadanya. "Aku berjanji, akan melindungi kamu sekuat tenaga, tapi berjanjilah padaku juga, bahwa kamu harus cepat sembuh. Kita balas pengkhianatan Mas Firman dengan kesengsaraan," ungkapku dengan bahasa isyarat.
Mbak Giska tersenyum lekat, rona pipinya memerah ketika aku melontarkan kata-kata tersebut dengan bahasa isyarat.
***
Pagi ini kicauan burung membuat suasana rumah semakin ramai, matahari yang sudah terbit mulai menyengat kulit. Tepat pukul sembilan pagi, mamaku sudah tiba di rumah.Kedatangan Mama Rosmala sangat aku tunggu, ini supaya Mbok Tuti tidak seenaknya memperlakukan Mbak Giska ketika aku ke kantor.
Sengaja aku memperlambat berangkat ke kantor, ini semua supaya Mbok Tuti tidak mencelakai Mbak Giska.
"Non, Non, apa sudah bilang ke Tuan Firman kalau mau bawa ibunya ke sini?" tanya Mbok Tuti saat mama menurunkan kopernya.
"Loh saya kan juga ada hak untuk itu, kenapa harus bilang?" tanyaku balik.
"Tapi semua keputusan harus atas persetujuan Tuan Firman," jelasnya. Ia berkata dengan penuh penekanan.
"Dia sudah tahu, dan mamaku ini mertuanya, masa iya nggak boleh bermalam di sini?" Aku semakin semangat untuk mencecarnya. Entahlah Mbok Tuti dibayar berapa sehingga berani dan tega berbuat seperti ini.
Mama menyunggingkan senyuman manisnya di hadapan Mbok Tuti, lalu menyerahkan koper padanya, kemudian pembantuku itu beranjak ke kamar tamu untuk meletakkan koper milik mamaku.
Aku langsung mengarahkan mama ke kamar Mbak Giska. Sebab, siang ini ada meeting yang tak bisa aku tinggal.
"Mah, lihatlah malaikat tak bersayap ini, aku berjanji akan membalaskan apa yang telah Mas Firman lakukan, tega sekali dia, Mah," ungkapku sambil memegang dada ini.
Namun, mamaku mengangkat jari telunjuknya, lalu meletakkan ke depan bibir seraya menyuruhku diam.
"Ini ruangan bukankah banyak penyadap?" Mama mengingatkan aku yang keceplosan.
"Astaga, aku lupa, Mah."
Aku melirik ke arah Mbak Giska yang tersenyum padaku.
Tangan ini aku angkat, lalu melihat ke arah jam yang melingkar.
"Sudah jam sembilan lewat, aku berangkat ya, titip Mbak Giska, Mah," pesanku sambil beranjak dari kamar kakak maduku.
Tidak ada yang membuatku bahagia selain membalas budi kebaikan yang pernah Mbak Giska lakukan.
Aku langkahkan kaki ini ke arah luar ruangan, lalu berhenti tepat di hadapan Mbok Tuti yang tengah berdiri. Aku yakin dia pasti berusaha menguping.
"Mbok Tuti, aku berangkat, pastikan semuanya baik-baik saja," pesanku padanya. Namun ia terdiam, hanya memandangku dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Non Nurma sudah tahu, ya?" tanya Mbok Tuti menyelidik.
Aku menyorotnya dengan mata menyipit. Sedangkan Mbok Tuti, dia melipat kedua tangannya seraya dialah yang jadi bos.
"Sudah tahu apa? Kenapa Mbok Tuti tanya aku seperti itu?" Aku mempersulit Mbok Tuti untuk berkutik.
"Mbok Tuti menangkap bahwa Non Nurma sengaja membawa ibunya ke sini, ya kan?" Pertanyaan Mbok Tuti membuatku semakin terkekeh.
"Pertanyaan Mbok justru malah membuatku semakin khawatir, ini ada apa sebenarnya, apa yang kamu rahasiakan?" Aku sengaja pura-pura bodoh.
Mbok Tuti mengibaskan tangannya. "Lupakan, Non. Selamat pagi. Hati-hati di jalan," pesannya saat aku memutar kaki ini perlahan.
Kini aku berangkat ke kantor dengan sedikit tenang, sebab ada mamaku yang menjaga Mbak Giska dengan baik. Setidaknya meeting hari ini bisa berjalan dengan lurus, setelah itu aku akan pikirkan lagi bagaimana caranya supaya Mbak Giska sembuh.
Setibanya di kantor, aku bertemu dengan Adnan. Dia sudah mengatur semuanya, baik untuk meeting yang sebenarnya hanya meeting buatan di Bali. Juga meeting yang sesungguhnya di Jakarta ini. Adnan lah yang mengerahkan orang yang bertugas di Bali untuk mengadakan meeting meskipun hanya sandiwara.
Sebelum meeting yang akan berlangsung dua jam kemudian. Adnan memberikan informasi seputar surat-surat yang telah diambil alih oleh Mas Firman.
"Saya sudah pilih pengacara, notaris, dan yang lainnya untuk pembatalan pemindahan perusahaan, Bu," ucap Adnan.
"Bagus, saya ingin semua dilakukan dengan cepat, bayar dua atau tiga kali lipat dari biasanya, saya tidak peduli dengan harga," timpalku pada Adnan.
"Siap, Bu. Pasti akan cepat, sesuai dengan permintaan Bu Nurma," cetus Adnan. "Sebenarnya saya sudah tahu dari dulu, Bu. Hanya saja saya pikir sudah ada Ibu yang sayang dengan Bu Giska, jadi rasa khawatir dan cemas berlebihan ini tidak pernah lagi muncul," ungkap Adnan.
"Kenapa kamu tidak cerita pada saya?"
"Saya percaya pada Bu Nurma, tapi ternyata saya salah menduga, Ibu terlalu baik, jadi tidak pernah buruk sangka pada Pak Firman," jawab Adnan.
"Sudahlah, mulai sekarang kamu harus kasih tahu informasi sekecil apa pun tentang Mas Firman dan gundiknya itu, kesal aku, Nan, kenapa kamu bisa tidak peka, ada pelakor di ruang bawah tanah," gerutuku lagi.
Padahal sudah menutup obrolan. Namun, tetap saja ada ucapan tidak ikhlas yang terlontar di mulut ini.
***
Beberapa jam kemudian, saat meeting telah usai. Aku mengusap layar ponsel dengan lembut. Ada panggilan tak terjawab dari Mama Rosmala sebanyak lima kali."Adnan, kenapa dengan mamaku ini menghubungi hingga lima kali panggilan tak terjawab?" Aku membuka mata lebar-lebar supaya tidak salah baca.
"Coba hubungi kembali, Bu. Itu saya lihat baru lima menit yang lalu terakhir menghubungi Bu Nurma." Adnan membuatku langsung menghubungi Mama Rosmala tanpa menunggu lagi.
Baru lima menit yang lalu Mama menghubungi, tapi saat aku menghubungi kembali malah tidak aktif.
"Nggak aktif, saya minta kamu bawa motor ya, tolong antar saya pulang naik motor!" suruhku membuat orang kepercayaan keluarga Mbak Giska itu sontak meminjam kunci motor salah satu office boy di kantor kami.
Aku tak peduli meskipun sinar matahari menyengat kulit ini. Rasanya tak sebanding dengan yang dirasakan Mbak Giska dalam menjalani hidupnya.
Sepanjang jalan, bahu Adnan aku tepuk. Rasa khawatir yang mendera lah membuat tangan ini refleks memintanya untuk ngebut.
"Kita harus cepat sampai ke rumah, aku cemas pada Mbak Giska!" Suara angin dan hilir mudik kendaraan membuatku harus berkata keras.
"Iya, Bu. Tenang aja, sebentar lagi kita tiba, sekitar sepuluh menit, ini juga lampu merah sudah saya bablas," jelas Adnan.
Aku sangat khawatir dengan Mbak Giska, di otak ini menari-nari bayangan Mbok Tuti mencabik dan menyiksa Mbak Giska dan mamaku.
Setibanya di rumah, aku sontak memanggil mamaku. Namun, tidak ada yang menjawabnya.
"Tadi nggak tanya ke satpam, Bu?" tanya Adnan.
"Nggak usah, satpam itu orang suruhan Mas Firman."
Aku bicara sambil celingukan. 'Kalau memang mereka dianiaya atau dicelakai, aku tidak akan pernah memaafkan Mbok Tuti. Dia orang kedua yang akan kupastikan mendekam di penjara setelah Mas Firman dan gundiknya. Ini sudah perbuatan kriminal, tidak boleh dibiarkan!' batinku kesal.
Bersambung
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint