Share

Bab 6

"Tenang, Bu, kalau menurut saya mereka takkan melukai Mbak Giska secara terang-terangan. Kalau memang iya, pasti sudah dilakukan sejak dulu. Tujuan Pak Firman kan harta, jadi tidak mungkin berbuat hal bodoh," sambung Adnan. 

Ucapannya membuatku sedikit tenang, tarikan napas pun aku hembuskan karena sekarang tidak lagi terlalu cemas. Hati kecilku mengatakan bahwa mamaku takkan membiarkan orang lain melukai orang yang telah menyelamatkan keluarga kami dulunya. 

Setibanya di rumah, aku langsung menerobos ke dalam. Teriakan yang aku lontarkan membuat Mbok Tuti menghampiriku dengan tergesa-gesa. 

"Kenapa pulang, Non? Teriak-teriak pula!" 

Aku menghentikan langkah lalu menggigit bibir sendiri seraya geram dengan tingkah seorang pembantu bak majikan. 

"Bisa sopan nggak bicara dengan majikan? Hah!" Mataku membulat dengan dagu sedikit terangkat. 

"Loh, majikan saya kan Pak Firman, bukankah Bu Nurma ini hanya pelakor?" Istri kedua itu belum tentu pelakor. Rasanya aku tidak terima dengan celotehan receh Mbok Tuti barusan. 

"Kamu, ya!" sentakku kesal. 'Astaga, aku naik pitam mendengar ucapan Mbok Tuti barusan,' batinku. Tangan ini mengepal dan ingin aku layangkan ke arah wajahnya. Bisa-bisanya dia berani mengumpat majikannya. Namun, jari jemari Adnan tiba-tiba memegang bahu ini. 

"Bu, nggak usah diladeni, kita harus segera cari tahu kondisi Bu Giska dan mamanya Bu Nurma," bisik Adnan membuatku menurunkan bahu ini sambil membanting tangan yang sempat ingin kulayangkan. 

"Mana Mbak Giska dan mamaku?" tanyaku galak. 

"Ada di kamarnya, kenapa emang?" 

Aku tak peduli lagi dengan ucapannya, kaki ini langsung beranjak ke kamar Mbak Giska bersama Adnan dengan langkah setengah berlari. 

Kubuka handle pintu lalu menyeruak ke dalam. Ternyata mamaku tengah mengelap badan Mbak Giska. Dengan malunya Adnan sontak berpaling, ia balik badan lalu keluar dari kamar. 

"Kenapa nggak dikunci sih lagi bersihin Mbak Giska, untungnya ketutup badan Mama," ucapku sambil melangkah, namun di dada ini masih ada getaran penasaran yang tersimpan. 

"Kamu pulang cepat, Nurma?" tanya Mama. Tangannya masih memegang lap dan membasahi tubuh mungil kakak maduku.

"Aku cemas, Mama sulit dihubungi," jawabku sambil meraih punggung tangan mamaku. 

"Ya, tadi Mama mau hubungi kamu, Mbok Tuti nyaris mencelakai Giska, dia bawa suntikan di tangannya," timpal mamaku membuat mata Mbak Giska terlihat berkedip ke arahku. 

"Serius, Mah? Lalu kenapa ponsel Mama tiba-tiba sulit dihubungi?" 

Mama meletakkan air bekas membersihkan tubuh Mbak Giska, sebab sudah selesai dan kini kakak maduku itu tengah dipakaikan baju. 

"Tadi itu si Mbok Tuti yang sepertinya sengaja jatuhin ponsel Mama sampai mati, rusak itu kayaknya kena LCD nya," jawab Mama dengan memasang wajah kesal. 

Aku menghela napas dalam-dalam sambil menganggukkan kepala. 

Memakaikan baju pun selesai, Mama membereskan baskom yang berisikan air bekas mandi singkat Mbak Giska. Ia menyingkirkan lalu duduk kembali di kursi. 

Kemudian, tangan Mbak Giska diayunkan, dia berbicara denganku menggunakan bahasa isyarat. "Aku sangat berterima kasih telah mengirim mamamu ke sini, dia malaikat penolong untukku," ucap Mbak Giska disertai senyuman, tangannya pun dijatuhkan kembali ke ranjang. 

"Malaikat tak bersayap itu kamu, Mbak. Aku bisa urus perusahaan besar juga karena kamu, terima kasih yang barusan terdengar, harusnya aku yang melontarkannya," timpalku sambil duduk di sebelahnya lalu meraih punggung tangan Mbak Giska. 

"Kita sama-sama manusia yang saling bergantungan, jadi saling menolong satu sama lainnya," sambung Mama. "Giska sudah selamat, lebih baik sekarang harus lebih hati-hati," tambahnya. 

Aku menyorot ke arah penyadap suara. Lalu berinisiatif untuk merusaknya. Kuambil kursi untuk menghancurkannya supaya Mas Firman tak lagi bisa mengintai Mbak Giska. 

Setelah selesai menghancurkan, aku memastikan lampu pada penyadap itu mati. Lalu melontarkan senyuman ke arah Mbak Giska. 

"Aman, sekarang sudah rusak, tapi pengintai bernyawa masih berkeliaran di sini, jadi kita harus waspada," ucapku pada Mama dan Mbak Giska. Mereka menganggukkan kepala seraya paham dengan apa yang kukatakan bahwa mata-mata hidup masih ada di rumah ini. 

Kemudian, ketukan pintu terdengar, pasti Adnan yang mengetuk. Setelah aku berteriak mempersilakan masuk, barulah dia membuka daun pintu lebar-lebar. Ternyata ia datang bersama Dokter Hans dan satu lagi dokter yang tidak kukenal. 

"Bu, ini Dokter Hans, katanya dia membawa Dokter ahli untuk terapi Bu Giska," bisik Adnan. 

Aku mendekati telinga Adnan, lalu berbisik padanya. "Tadi kamu nggak lihat tubuh Mbak Giska, kan?" Di kepalaku masih terlintas pertanyaan itu. 

Mata Adnan berputar, tangannya membelah rambutnya sendiri, lalu turun ke area hidung dan mencolek hidungnya sendiri. "Nggak, Bu, cuma sedikit," bisiknya membuat mataku membuka lebar. "Becanda, Bu. Serius, saya belum lihat, kan ketutup badan Bu Rosmala," tambah Adnan meyakinkan. 

Aku menyingkir dari telinganya sambil menghela napas, aku bertanya serius tapi Adnan malah becanda. Mungkin untuk mencairkan suasana di kamar Mbak Giska yang sedikit menegang akibat kedatangan seorang dokter. 

"Jadi ini siapa?" tanyaku pada Hans. "Jangan bilang dokter abal-abal," tambahku seakan tak percaya. 

"Ini Dokter Lucky, saya jamin beliau adalah dokter yang tepat untuk menyembuhkan Bu Giska," jawab Hans. Namun, aku hanya terdiam, sesekali mataku melirik ke arah Adnan juga Mbak Giska yang masih tergeletak di ranjang. 

"Bukti apa yang bisa membuatku percaya bahwa kamu tidak bohong?" tanyaku pada Hans. Tangan ini berada di atas dada dengan posisi dilipat. 

"Bisa hubungi pihak rumah sakit tempat saya praktek," sambar dokter yang katanya bernama Lucky. 

Namun, di saat ingin menghubungi pihak rumah sakit, ternyata Mbok Tuti masuk begitu saja tanpa mengetuk ataupun memberi salam. 

"Siapa yang suruh kamu masuk? Hah!" Aku mengangkat dagu dengan mata sedikit menyipit. Kesal melihat kelakuan asisten rumah tangga yang kurang etika. 

"Pak Firman yang suruh, Bu, ini beliau ingin video call dengan Bu Nurma, katanya dari tadi hubungi Ibu nggak diangkat-angkat," celetuk Mbok Tuti membuatku menoleh ke arah Adnan dan Mbak Giska secara bergantian. 

'Kalau video call itu artinya Mas Firman akan melihat dokter Hans bersama Dokter Lucky. Tenang, Nurma, kamu bisa berbohong pada suamimu dan bilang bukan siapa-siapa, toh Mas Firman tidak akan kenal dengan Dokter Lucky yang tampangnya blasteran itu,' batinku seraya menenangkan diri sendiri yang tengah menegang. 'Bagaimana kalau Mas Firman tahu lebih dulu rencanaku?' Sederet pertanyaan muncul setelah Mbok Tuti masuk, mata-mata suamiku. 

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah kebangetan tololnya si majikan yg bergelar istri kedua.
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
PRT songong nya kebangetan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status