Share

Bab 7

Bab 7

Aku menghela napas, lalu meraih ponsel Mbok Tuti. Sudah ada wajah Mas Firman di layar ponsel. 

"Nurma!" Mas Firman menyapa dengan nada tinggi. 

"Ya, ada apa, Mas?" 

"Aku dengar dari Mbok Tuti bahwa kamu dan Adnan membawa dokter baru, apa betul? Coba sorot handphone ini ke seluruh ruangan!" Dia mencurigai istri sendiri dan lebih percaya pada pembantu. Jelas itu terjadi, karena Mas Firman tengah bersandiwara. 

Akhirnya aku edarkan layar ponsel ke seluruh ruangan, lalu berhenti tepat di depan wajahnya Hans. Lalu aku memberikan isyarat suruh Hans bicara dengan cara menaikkan dagu. 

"Pak, ini saya Hans, maaf lupa bilang bawa teman ke sini, hanya mampir kok nggak ada keperluan lain," jawab Hans sebagai dokter yang dibayar Mas Firman untuk tetap melakukan segala perintahnya. 

"Jangan bohong ya, saya tunggu kamu hubungi ke nomor saya sore ini juga," suruh Mas Firman. Kemudian, dia kembali bicara denganku. 

Wajah ini masih tegang, tapi berusaha santai. 

"Ada lagi yang ingin kamu tanyakan, Mas? Barangkali tanya kenapa aku sudah pulang kantor jam segini?" Aku sengaja menantangnya. 

"Aku tahu, pasti kamu ingin jaga Giska, kan?" tebaknya. "Oh ya, kenapa juga kamu nggak bilang bahwa Mama Rosmala datang? Kenapa aku harus tahu dari mulut Mbok Tuti?"

Kalau orang berbuat salah, tentu akan khawatir dan cemas berlebihan terhadap orang lain. 

"Mas, banyak orang, tidak etis debat dalam video calling," jawabku. Lalu telepon diputuskan olehnya secara sepihak. Aku pun segera menyerahkan ponsel Mbok Tuti kembali. 

Dia balik badan, lalu keluar ruangan, aku yang antar ke depan pintu, bahunya terdorong dan sengaja aku desak karena sangat geregetan padanya. 

"Sakit, Non. Kenapa sih kayaknya Non Nurma tidak menyukai saya?" Wajah Mbok Tuti memperlihatkan protes yang tidak wajar, asisten rumah tangga yang paling kurang ajar sikapnya terhadap majikan. 

"Kamu itu ... ah sudahlah!" Aku membanting tangan sendiri, lalu menutup pintu dan masuk kembali ke dalam kamar. 

Kemudian aku bicara pada Hans dan dokter ahli yang dibawanya. Dengan suara pelan, aku memberikan sedikit pesan pada mereka. 

"Kalau kalian benar orang baik, saya minta bantuannya untuk membantu Mbak Giska terapi setiap hari, tapi tidak di rumah ini," bisikku. 

"Bisa, kita bawa Giska di jam Mbok Tuti ke pasar," jawab Hans. 

"Bagaimana dengan satpam rumah ini?" tanyaku. "Saya kasih kalian waktu seminggu untuk membuat Mbak Giska kembali seperti dulu," tambahku. 

"Mana bisa, Bu. Semua butuh waktu panjang," jawab Hans. 

Aku terdiam, kenapa satu minggu? Karena Mas Firman aku tugaskan ke luar kota hanya seminggu. 

"Gini aja, seminggu minimal sudah bisa duduk di kursi roda, saya pastikan itu bisa terjadi," usul Dokter Lucky. 

Dengan kesepakatan inilah akhirnya aku menyunggingkan senyuman pada mereka. 

Kemudian, aku minta dokternya memeriksa kondisi tubuh Mbak Giska sebagai tahapan awal. Dia benar-benar meneliti ke seluruh tubuh Mbak Giska. 

"Lumpuhnya ini tidak permanen, saya yakin itu, dia tergeletak karena tidak dibiasakan bangun dan beraktivitas. Kenapa kamu biarkan itu terjadi selama tiga tahun?" Aku tertegun saat Dokter Lucky bertanya seperti itu. Rasa bersalah pun muncul karena aku yang terlahir dari keluarga miskin tidak pernah berpikiran ke arah yang buruk, apalagi berprasangka terhadap suami sendiri. 

"Maaf, Dok. Jangan tanyakan pada Bu Nurma tentang hal ini, jujur saja masalah seperti ini sebenarnya intern," sambar Adnan membuatku menoleh ke arahnya, dia membelaku seakan tahu bahwa sebenarnya aku pun merasa bersalah atas kebodohan ini. 

"Intinya saya tidak tahu, yang saya tahu Mbak Giska ini lumpuh permanen, tanya saja pada Dokter Hans yang selama ini memberikan vitamin dan ada seseorang yang menukar vitamin itu dengan obat perusak saraf dan juga obat penenang supaya Mbak Giska lebih sering tidur," terangku membuat dokter itu mengangguk-ngangguk. 

"Intinya seminggu kita akan buat Bu Giska bisa duduk, InsyaAllah, atas kehendakNya kita bisa," jawab Dokter Lucky, kemudian ia memberikan satu resep yang harus aku tebus. 

Seminggu, aku berharap ucapan sang dokter benar adanya. Aku harap perlahan semua berangsur membaik, setelah itu kami para istri yang terdzolimi akan balas dendam. 

Setelah kedua dokter sudah pamit pulang, aku memastikan mama untuk tidak keluar dari kamar Mbak Giska. Lalu memerintahkan Adnan untuk ikut denganku menebus obat. Namun, tiba-tiba saja ia mendapatkan telepon dari kantor, sekitar sepuluh menit ia bicara dengan orang di seberang telepon. 

"Bu, saya harus kembali ke kantor, jaga diri baik-baik," pesan Adnan. 

"Ya terima kasih banyak," jawabku. 

"Kalau terjadi sesuatu, tolong segera telepon saya, Bu." Aku menganggukkan kepala. Lalu Adnan pergi dengan langkah tergesa-gesa. 

Akhirnya aku mencari obat itu sendirian. Mobil aku lajukan dengan cepat, pandangan fokus ke arah jalan. Namun, aku merasa ada yang tengah mengikutiku. Aku melirik ke arah spion tengah, memang ada seseorang memakai kendaraan roda dua yang tengah membuntutiku. 

Dada ini semakin bergetar ketika belok dan berhenti di depan sebuah apotek. Ada seseorang yang sengaja berhenti juga di parkiran. 

"Mbok Tuti kah itu?" Aku berceloteh sendirian. Seorang wanita yang memakai baju hitam dengan ditutup kacamata dan masker, rambutnya pun ditutup dengan hoodie. 

"Masa iya Mbok Tuti berani ngikutin aku ke sini?" Aku bergumam sambil membuka sabuk pengaman. Lalu turun untuk masuk ke apotek. Namun, rasa penasaran lah yang membuatku sangat ingin mendekatinya. 

Aku putar badan dan menghampiri orang yang telah mengikutiku sejak aku jalan.. 

Bersambung

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Fadilah Aman
bagus bikin greget
goodnovel comment avatar
Sekar Taufik
ceritanya bagus tapi kenapa bonus koinnya lama ya... jd g bs baca kelanjutannya...
goodnovel comment avatar
Azmi Hamid
asyik membacanya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status