"Sha, yuk berangkat, yuk!" Aku berteriak dari luar memanggil gadis kecilku. Tidak lama kemudian Shanum keluar dengan Ibu di belakangnya. Gadis cantikku siap pergi ke sekolah dengan wajah yang kembali ceria. Semalam aku sempat khawatir jika pembicaraan kami akan membekas dan membuat anak itu larut dalam kesedihan. Namun, ternyata tidak. Shanum si anak manis bangun dengan wajah ceria dan semangat sekolah seperti semula. Aku bahagia melihat itu. "Nenek, mau ikut ke sekolah Shanum?" ujar anakku ketika hendak masuk ke mobil. "Ah, tidak. Nenek harus ke pasar sama Kakek. Shanum sama Bunda saja, ya? Ingat, jangan nakal di sekolah, belajar yang baik, dan harus nurut sama Ibu Guru.""Harus nurut sama Ibu Guru!" ujar Shanum mengucapkan kata yang sama dengan yang diucapkan neneknya. Setelahnya, putriku tertawa. Dia melambaikan tangan pada Ibu yang juga sudah bersiap untuk pergi ke pasar. Rencana hari ini, aku akan pergi ke kantor pengadilan agama bersama Devano. Semalam aku dan dia sudah
"Kamu ngapain di sini?" tanyaku pada pria yang sedari tadi terus melihatku dan Devano. "Kamu kenal, dia?" Devano bertanya. Aku menganggukkan kepala. Sedangkan pria yang berdiri di antara aku dan Devano, mengulurkan tangan ke arah pengacaraku seraya menyebutkan namanya. "Soni. Adik ipar Mbak Ranum." Devano manggut-manggut, lalu menerima uluran tangan adik dari suamiku itu. Keberadaan Soni di sini bukanlah rencanaku. Dia yang berinisiatif mengikutiku ketika melihat kendaraanku di jalan tadi. Devano sempat mencurigai Soni. Dia menganggap, Soni berada di pihak Mas Sandi dengan memata-mataiku. Namun, segera kujelaskan jika adik iparku itu berada di pihakku. Soni juga bersedia menjadi saksi di persidangan perceraianku nanti. "Kita harus masuk, Num," ujar Devano setelah beberapa saat kami saling bicara. Aku mengangguk, mengikuti langkah kaki Devano. Namun, pria itu berhenti saat menyadari Soni ikut bersama kami."Kamu ngapain ikut?" "Memangnya ada larangan aku tidak boleh ikut mas
"Jadi, Ranum beneran sudah menggugat cerai Sandi?" tanya Mama. Pagi ini aku kedatangan ibu mertua yang sengaja menemuiku untuk menanyakan gugatan yang aku layangkan. Mas Sandi sudah mengetahuinya, dia memberi tahu Mama, dan sekarang di sinilah aku. Duduk di samping ibu mertua yang sudah kuanggap ibu kandungku sendiri. Kasih sayang dia sama seperti ibu, saat aku masih bersama anaknya. Bahkan, bisa dikatakan lebih menyayangiku dibandingkan menantunya sekarang. "Maafkan Ranum, Mah. Bukannya tidak mau berjuang, tapi rasanya percuma jika berjuang seorang diri. Bisa Mama lihat sendiri, kan bagaimana Mas Sandi. Tidak pernah sekalipun dia datang ke sini untuk minta maaf, atau menengok Shanum." Sudah dua minggu dari kepergianku, dan sudah satu minggu gugatan aku layangkan ke pengadilan. Namun, tidak ada itikad baik dari Mas Sandi untuk memperbaiki. Sepertinya dia memang sudah pasrah berpisah dariku. Kemarin, aku hanya mendapatkan pesan ancaman dari Mawar yang katanya akan menggugat hak a
"Ranum, kamu dengarkan aku baik-baik. Kamu tidak akan bisa memenjarakanku dengan tuduhan perzinahan. Kenapa? Karena aku sudah menikah dengan Mawar. Aku dan dia tidak zinah. Hubungan kami sah, secara agama." "Aku tahu itu," ujarku masih santai. Kedua kaki aku lipat, kemudian sebelah tangan mengeluarkan uang dari dalam amplop berwarna cokelat. Aku tersenyum, melihat jumlahnya yang lebih dari tiga puluh lembar berwarna merah. "Kalau tahu, kenapa harus melaporkanku dengan tuduhan itu?" ujar Mas Sandi lagi terdengar kesal. "Kamu menikah baru enam bulan, 'kan? Sedangkan dari pernyataan kamu, kalian sudah menjalin hubungan gelap selama satu tahun. Kamu pikir, enam bulan sebelum menikah kalian mondok bareng di pesantren, gitu? Pasti hotel tujuan kalian!" Aku berujar lantang. Rumah yang kosong, membuatku leluasa untuk berteriak bicara kerasa pada calon mantan suami itu. Mas Sandi mengerang. Mungkin dia tidak menyangka jika aku akan melangkah sejauh ini. Untuk beberapa saat kami saling di
Melihat wajah itu, membuatku semakin merasa bersalah. Namun, semuanya sudah terlanjur. Dan untuk mengobati rasa rindu dia pada ayahnya, kali ini aku akan membawa Shanum bertemu dengan Mas Sandi. Mudah-mudahan, itu bisa membuat hati Shanum merasa bahagia. "Bunda, kita akan ke mana?" tanya Shanum saat tahu jalan yang aki lewati bukan ke arah rumah. "Kita ke taman sebentar, ya? Tadi, Bunda beli makanan dari supermarket buat kita nikmati di sana.""Wah ... apa makanan itu ice cream, Bunda?" "He'em. Rasa strawberry!" ujarku semakin membuat mata Shanum berbinar bahagia. Beberapa menit berkendara, kini aku dan Shanum sudah sampai di taman. Suasana sangat sejuk dengan banyak pepohonan besar di sekelilingnya. Namun, belum kulihat sosok ayah dari putriku ada di sini. Aku masih memindai sekitar sampai akhirnya mataku jatuh pada pria yang duduk di bangku panjang seorang diri. Ke mana istrinya? Ah, bodoh amatlah ke mana pun wanita itu, bukan urusanku. "Yuk, kita turun, Sayang." Shanum be
Aku sedikit melebarkan mata, kemudian menggelengkan kepala seraya menyunggingkan senyum manis kepada suamiku itu. Iya, suami. Sampai detik ini, dia masih suamiku. Belum ada kata talak yang keluar dari bibirnya. Namun, tetap saja aku enggan berperan sebagai istri yang harus melayani suami. Rasanya sudah beda. Hambar. Tidak ada lagi cinta ketika menatap wajahnya. Yang aku lihat hanyalah pengkhianatan dia dengan Mawar. Mas Sandi manggut-manggut. Dia menegakkan tubuh seraya menarik napas dalam-dalam. "Yah, sudah aku duga kamu tidak akan menginginkannya. Aku cukup tahu diri akan kesalahanku. Tapi ... bolehkah aku mengucapkan sesal?" Aku sedikit tersentak dengan ucapannya. Namun, kembali aku tersenyum dengan mata menatap pada sepasang netra yang begitu mirip dengan Shanum itu. "Sesal? Apa yang kamu sesalkan, Mas?" tanyaku. "Entahlah. Ada sesuatu yang terasa hilang dariku." Aku tidak lagi bicara. Jujur, ada rasa pongah dalam diri ini ketika Mas Sandi berkata demikian. Secara tidak l
"Akhir-akhir ini kakak sering ngamuk, Sayang. Shanum, kan tahu sendiri kalau kakak sudah ngamuk, dia jadi hilang kendali. Makanya, Shanum tinggal di rumah nenek dulu. Nanti pun akan ada waktunya, kok Shanum main sama kakak. Sekarang, kita pulang dulu, yah? Biarkan ayah kerja," kataku membujuk Shanum yang malah memeluk Mas Sandi. Gadisku menempelkan kepalanya di dada pria itu.Lama, aku dan Mas Sandi membujuk Shanum hingga akhirnya anak itu mau pulang juga dengan syarat, Mas Sandi harus menggendong dia sampai kami masuk ke mobil. Dan Mas Sandi menurutinya. "Pake sabuk pengamannya, ya?" ujar Mas Sandi memakaikan seat belt. Shanum mengangguk, kemudian Mas Sandi menutup pintu mobil setelah mencium ubun-ubun putrinya itu. Aku mulai melajukan mobil meninggalkan Mas Sandi yang masih berdiri melihat kepergianku dengan Shanum. Sepanjang jalan pulang, putriku diam. Keceriaan yang tadi mampir, kini hilang. Dia bahkan enggan menoleh ketika aku memanggilnya. "Sha, lihat, deh ada Om Soni, tuh
"Bisa, gak kalau sudah menggambar, bekasnya beresin lagi?" ujar Mawar berteriak seraya memungut kertas dan pensil yang berserakan di lantai. Pemandangan ini sudah tidak asing lagi bagiku. Hal yang tidak pernah aku lihat sebelum Ranum pergi dari rumah ini. Teriakan Mawar, marahnya dia, sudah jadi makanan yang setiap hari aku dengar. Rumah menjadi sangat rame dan berisik. Namun, di sini. Di dalam hati ini ada yang hilang. "Mandi! Astaga Cahaya .... mandi! Dari tadi di suruh mandi, susahnya minta ampun. Apalagi disuruh mati!""Hey! Apaan, sih kamu ini kalau ngomong gak pernah dijaga. Bisa, kan bicara dengan pelan dan lembut? Kupingku, tuh sakit dengar kamu teriak terus," ujarku keluar dari ruang makan. Baru beberapa suap nasi yang masuk, rasanya laparku sudah hilang. Bagiamana mau makan tenang, kalau di rumah penuh dengan makian dan teriakan. Mawar. Wanita itu beda sekali dengan Ranum. Dia tidak bisa membujuk Cahaya, meskipun hanya untuk menyuruhnya pergi membersihkan diri. Sepulan