"Ranum, sekarang semuanya sudah jelas. Jelas siapa yang salah, jelas pelakunya, dan jelas-jelas kamu dijebak. Jadi, akhiri pernikahan kalian," ujar Ibu seraya melihatku dan Soni bergantian. Setelah dari kantor polisi, aku kembali ke ruko yang ternyata sudah beres dibersihkan. Sudah dicat dengan warna yang kuinginkan, meskipun hanya bagian bawahnya saja. Dan sekarang, lagi-lagi Ibu memintaku memutuskan pernikahan yang terjadi antara aku dan Soni. Aku diam. Tidak bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan. "Bu .... Astaghfirullahaladzim, Ibu!" ujar Bapak seraya menyimpan sendok dengan lumayan kasar pada kotak nasi yang berada di depannya. Saat ini, kami memang sedang makan siang. Namun, suasana menjadi tidak nyaman ketika Ibu berucap demikian. Apalagi wajah Soni yang berubah murung dengan tidak lagi melanjutkan suapannya. Rasa bersalah menyelusup ke dalam sanubari pada lelaki itu. Pasalnya, tadi dia terlihat begitu lahap makan setelah bekerja keras membantu Bapak mengecat ulang di
"Soni ... kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Aku yakin, di luaran sana banyak wanita yang mau dijadikan istri olehmu.""Tapi, aku maunya kamu, Mbak. Kalau aku mau sama yang lain, mungkin sudah aku lakukan sejak dulu. Ini bukan tentang mau atau tidak mau, tapi ini tentang perasaan. Hatiku memilihmu, Mbak. Kamu, yang aku inginkan," ujar Soni. Tidak ada keraguan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya. Dia yakin, tapi aku yang ragu. Bisakah Soni menjadi imamku? Bisakah dia menjadi pemimpin yang membawaku dalam kebahagian? Bukan hanya dunia, tapi juga akhirat?Aku memalingkan wajah saat sorot netranya tak lepas dariku. Keningnya berkerut menyimpan sejuta angan dalam benak. "Aku gak cinta sama kamu, Son.""Enggak apa-apa. Aku tidak keberatan tidak dicintai. Ya, emang terdengar bodoh, tapi aku nikmatin kebodohan ini. Aku mohon, Mbak ... kita jangan pisah. Aku janji, aku akan kerja keras untuk bisa menghidupi Mbak dan Shanum. Kerja apa pun aku mau, asal kamu tetap jadi istriku, M
Aku bergeming dengan pikiran yang bercabang. Pergi menenangkan Ibu, atau mengejar Bapak untuk meminta penjelasan? Setelah diam seperti patung, akhirnya aku memilih menenangkan Ibu terlebih dahulu. Kulangkahkan kaki masuk ke dapur dan langsung mengambil panci yang tadi dilemparkan Ibu. Sedangkan orang yang tadi ngamuk, kini duduk di kursi meja makan dengan dada yang kembang kempis. "Minum dulu, Bu." Aku memberikan satu gelas air putih pada wanitaku itu. "Sudah lama kamu di sini?" tanya Ibu kemudian. Aku mengangguk. Dan suasana hening saat aku dan Ibu tidak mengucapkan satu patah kata pun. Aku bingung untuk bicara apa, takut juga akan membuat perasaan Ibu semakin terluka jika membicarakan tentang pernikahanku. Kata-kata Bapak terngiang di telinga. Kata ancaman itu sungguh mengganggu, membuatku ingin tahu alasan Bapak dengan mengatakan itu padaku. "Ranum.""Iya, Bu?" "Kamu tahu, apa yang Ibu, dan Bapakmu perdebatkan?" "Pernikahan Ranum dengan Soni.""Semua keputusan ada padamu,
Aku mengangguk. "Bismillah," ucapku. "Yasudahlah, jika pilihanmu laki-laki seperti dia, Ibu bisa apa? Mudah-mudahan kali ini pilihanmu benar, Ranum."Aku mengaminkan dalam hati. Sebenarnya aku pun ragu, tapi sudah terlanjur. Apalagi ucapan Bapak masih begitu terdengar ambigu. Aku harus tahu kenapa Bapak kekeh untuk aku tidak boleh berpisah dari Soni. Dia benar-benar malu karena anaknya ini kawin cerai, atau ada hal lain? "Bapakmu pasti senang, karena menang dari Ibu."Aku sedikit melebarkan mata menatap Ibu. Wanita memang tidak mau kalah dari para lelaki.Setelah mendapatkan restu dari Ibu, kini aku mencari Bapak untuk mendapatkan jawaban darinya tentang ucapan yang mencengangkan. Ancaman yang tidak pernah kusangkakan akan terlontar dari bibir Bapak. Saat aku keluar, sudah tidak ada mobil Bapak di halaman. Itu artinya, Bapak sudah pergi. Ke mana? Toko? Mungkin. Tapi, rasanya hatiku belum tenang jika belum mendapat jawaban dari pertanyaan yang ada dalam benak. Aku pun pamit pad
Di balik punggung seorang pria, aku duduk dengan angan terbang melayang tinggi. Hatiku kembali perih oleh tajamnya belati yang menggores hati. Lidah Mas Sandi laksana pedang yang menikam sanubari. Sakit dan perihnya menjalar sampai ke ulu hati. Kenapa harus sekarang dia mengambil fasilitas yang dulu dia berikan dengan sesuka hati. Bukankah aku pernah menawarkannya sejak saat dia mengucapkan kata talak? Kenapa waktu itu mengatakan untuk Shanum, jika sekarang menariknya kembali? Aku mengusap dada seraya berucap istighfar di dalam hati. Mungkin sudah bukan rezeki. Memang seharusnya aku tidak lagi memakai apa pun yang berkaitan dengannya. Ah, tololnya aku masih saja merasa sakit hati dengan perlakuan pria itu. "Hujan, Mbak. Mau neduh dulu?" ujar Soni dengan sedikit berteriak. Air dari langit mulai berjatuhan menerpa kulit tangan. Jejaknya jelas terlihat di jaket milik Soni yang melekat pada tubuhku. "Lanjut saja, Son. Aku ingin segera sampai rumah.""Oke. Pegangan, ya?" ujar Soni
Tidak ingin terus mendengar mereka bertengkar seraya menikmati teh di bale-bale, aku menyuruh Soni untuk masuk ke rumah dan berganti pakaian. Sesuai perintah Bapak. Aku pun mengambil kaus serta celana training yang biasa Bapak pakai. Lalu memberikannya pada Soni yang hendak pergi ke kamar mandi. Selagi Soni mandi, aku berganti pakaian di kamar. Karena memang hanya ada satu kamar mandi di rumah ini. Setelah selesai, aku ke dapur untuk membuat minuman hangat. Satu gelas susu jahe sudah terhidang di atas meja. Dan ... satu kopi hitam pun tak luput dari perhatianku. Aku mengangkat sebelah bibir dengan pandangan lurus pada kopi hitam yang masih mengepul. Baik hati sekali aku yang ingat akan kopi kegemaran Soni? Ah, hanya bentuk rasa terima kasih. "Num, cucu Ibu gak ikut pulang?" tanya Ibu seraya menghenyakkan bokong pada kursi."Tidak, Bu. Katanya mau nginap di sana.""Tumben sekali? Kenapa kamu biarin? Kalau si Sandi mencuci otak Shanum, gimana? Nanti dia jadi gak pulang ke sini da
"Gimana untuk hari ini, Num?" tanya Bapak yang malam ini datang berkunjung. Setelah toko buka, aku memang memutuskan untuk pindah tinggal di ruko. Alasan pada Ibu, tidak ingin berabe karena tidak memiliki kendaran sendiri. Padahal, aku ingin tinggal di sini untuk menghindari perpecahan antara orang tua, juga aku dan Soni yang kini tinggal bersamaku. Jangan pernah berpikir aku dan pria itu tidur satu ranjang. Karena aku memberikan jarak yang lumayan jauh untuknya. Entah sampai kapan. Mungkin sampai tiga puluh tahun, seperti percobaan versi dia. Tapi ... tidak menutup kemungkinan hanya tiga puluh hari, jika nanti tangan Tuhan sudah membukakan pintu hatiku. "Alhamdulillah, Pak. Sampai pegal-pegal ini badan," ujarku seraya memijit pundak yang tadi pagi tertimpa dus mie instan. "Syukurlah kalau rame. Kalau sekiranya kamu dan Soni tidak mampu untuk melayani pelanggan, kamu cari orang buat kerja bantu-bantu kalian.""Enggak, ah Pak. Keuntungannya masih sedikit, tidak akan cukup untuk ba
Beberapa menit tidak aku lihat tanda-tanda kepulangan Soni, aku pun mengambil ponsel, lalu turun ke bawah untuk mengunci pintu ruko seraya menghubungi Soni. Panggilan pertama tidak diangkat. Aku mengulanginya lagi untuk yang kedua kali. Masih tidak diangkatnya juga. Aku duduk di kursi plastik, lalu mengetik pesan untuk Soni. [Pulang jam berapa? Pintu mau dikunci.]Satu menit, dua menit, sampai lima belas menit, tapi masih tidak ada jawaban. "Apa mungkin Soni pulang ke rumah Mama, ya?" ucapku berujar seorang diri. Kulirik jam yang ada pada layar ponsel. Sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tapi Soni masih belum pulang. Pesan yang kukirim pun masih tidak dibalasnya. Saat hendak menelpon Mama, terdengar deru motor yang berhenti di depan ruko. "Apa itu motor Soni?" tanyaku pada diri sendiri. Aku berdiri, kemudian menghampiri pintu, tapi tidak berani membukanya. "Son, Soni! Kamu di luar?" ujarku seraya mengetuk folding gate. "Iya, Mbak. Ini aku!" Aku bisa bernapas