"Aku, akan pulang ke rumah orang tuaku, Mas."
Hening. Tidak ada yang berani berkata setelah aku mengatakan keinginanku. Mas Sandi mengembuskan napas kasar, begitu pun denganku yang merasa lega setelah berkata jujur. Aku tidak bisa di sini dengan perasaan seperti ini.
Sakitku, kecewaku, akan aku bawa pergi dan menyembuhkannya di tempat lain. Sedalam apa pun rasa cintaku, sebesar apa pun baktiku, tapi jika sudah dikhianati sepertinya perasaan ini tidak akan lagi sama seperti dulu.
Pergi, adalah jalanku.
"Num, apa tidak ada kesempatan kedua untukku?" tanya Mas Sandi.
Saat ini, aku dan Mas Sandi tengah duduk berdua membahas pernikahanku dengannya.
Seperti janjiku, anak-anak aku biarkan bermain di kolam plastik di halaman samping rumah.
"Kesempatan kedua, itu artinya aku harus siap terluka untuk kedua kalinya. Aku tidak sanggup, Mas. Sakit ini pun belum tahu akan sembuh atau tidak."
"Aku janji, Num. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Percayalah, aku akan memutuskan hubunganku dengan Mawar, untuk memperbaiki pernikahan kita. Aku tidak ingin pisah darimu, Num. Aku sangat mencintaimu."
"Jika masih ada cinta darimu untukku, tidak akan mungkin kamu bisa membohongiku selama satu tahun lamanya. Tiga ratus enam puluh lima hari kamu mampu menyembunyikannya. Bersikap biasa saja, seolah-olah tidak ada apa-apa dalam pernikahan kita. Sakit, Mas. Sakit sekali di sini."
Aku menunjuk dada dengan pandangan lurus ke depan. Ke arah dua anak yang bermain saling mencipratkan air dengan tawa lepasnya.
"Aku minta maaf."
"Akan aku maafkan, tapi tidak sekarang. Butuh waktu untuk mengubur luka ini."
Hening kembali.
Kali ini tawa kedua anak di sana tidak mampu menjadi pelipur laraku. Justru semakin menambah luka karena berat sekali harus memisahkan keduanya.
"Aku tidak ingin berpisah, Num."
"Aku akan pergi besok setelah Shanum pulang sekolah," kataku tidak merespon ucapan dia sebelumnya.
"Cahaya? Tidak mungkin aku akan membawanya ke kantor."
"Kamu bisa menyuruh ibunya datang untuk menjemput, atau tinggal di sini pun sepertinya tidak masalah, bukan? Justru bagus, karena aku tidak akan mengganggu kalian."
"Ranum!"
"Tidak usah berteriak, Mas. Kita jadi pusat perhatian mereka," kataku dingin seraya melambaikan tangan dengan senyum kepalsuan pada Cahaya dan Shanum yang menoleh setelah Mas Sandi berteriak.
Pria di sampingku mengusap wajahnya dengan kasar. Dia bangkit dari duduknya seraya berkacak pinggang.
"Aku tidak akan menceraikanmu, Ranum. Sampai kapan pun, kamu akan tetap menjadi istriku," ujarnya lagi.
"Kita akan bertemu di pengadilan, Mas."
"Heh ...." Mas Sandi melihatku dengan senyum mengejek. "Kamu pikir, pengadilan akan mengabulkan permintaanmu tanpa ada bukti?"
Aku diam menyadari sesuatu.
Iya, aku tidak punya bukti. Bodohnya aku tidak merekam atau mengambil gambar saat Mas Sandi masih berada dalam tempat tidur bersama Mawar.
Emosi yang tiba-tiba meledak membuat otakku tidak bisa berpikir sampai sejauh itu. Aku hanya melampiaskan kekesalan dengan menyerang dan memaki mereka, tanpa menyimpan bukti untuk menggugat Mas Sandi ke pengadilan.
Menyadari kebisuanku, Mas Sandi yang sudah siap pergi pun tak kunjung melangkahkan kaki. Dia membungkukkan badan, berbisik di telingaku dari arah belakang.
"Tetaplah menjadi istri penurut, Ranum. Aku tahu, saat ini kamu sedang dalam keadaan marah. Tenangkan hatimu, dan yakinlah kita akan baik-baik saja."
Dadaku berdebar kencang. Ingin aku menampar wajahnya seperti dia menamparku. Namun, aku tahan. Aku harus tetap bersikap tenang untuk bisa keluar dari masalah ini.
Bukti. Aku harus bisa menemukan bukti perselingkuhan mereka. Tapi, dari mana?
'Berpikir, Ranum, ayo berpikir bagaimana untuk mendapatkan bukti tanpa diketahui mereka.'
Otakku terus bekerja hingga akhirnya aku tahu bagaimana mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku akan tetap pergi, namun setelah melakukan sesuatu di rumah ini.
Siang berganti malam. Shanum sudah tidur di kamarnya. Dan aku, tengah berada bersama Cahaya yang masih terjaga meskipun malam sudah semakin larut.
"Kak, besok Bunda sama adik mau pergi dulu, Kakak di sini sama nenek dan ayah dulu, ya?" ucapku sangat hati-hati.
Cahaya yang tengah menyusun fuzzle, langsung melihat ke arahku tanpa bicara. Lama dia menatap hingga membuatku khawatir suasana hatinya akan menjadi buruk.
"Nenek yang di sana sedang sakit, Kak. Bunda dan adik, harus menengoknya dulu. Jadi, gak apa-apa, ya Bunda tinggal sebentar?" ujarku lagi menjelaskan.
"Ikut."
Aku berhenti bernapas beberapa detik seraya mencari jawaban yang pas untuk menolak keinginan Cahaya.
"Besok, Kakak di rumah saja. Ada Om Soni, lho .... Katanya, dia mau ajak Kakak jalan-jalan ke taman, buat lihat kupu-kupu. Kakak mau?"
"Mauuuu ...!" Cahaya langsung berseru senang dengan senyum yang mengembang.
"Kalau gitu, ayo sekarang bobok. Kalau tidak bobok, nanti Kakak kesiangan, dan kupu-kupunya pergi karena kepanasan. Sudah dulu, ya gambarnya?"
Gadis itu mengangguk, lalu membereskan alat lukisnya. Dia naik ke tempat tidur, mengambil penutup mata dan memakainya.
"Selamat tidur, Kakak," ucapku mengecup keningnya.
Setelah memastikan dia benar-benar tidur, aku keluar dari kamar Cahaya seraya mematikan lampu.
Sekarang aku punya pekerjaan baru. Menghubungi Soni, adik iparku untuk datang ke sini esok hari.
Ah, mudah-mudahan anak petakilan itu mau membantuku kali ini. Setidaknya, sampai aku benar-benar keluar dari rumah ini.
"Jangan hubungi aku jika bukan aku yang menghubungimu. Aku tidak mau Ranum semakin marah padaku."
Aku yang ingin mengambil air minum, harus terpaksa diam di tempat saat mengetahui ada Mas Sandi di dapur. Sepertinya dia tengah berbincang lewat sambungan telepon dengan seseorang.
Siapa? Mawar kah?
Aku mengeluarkan ponsel, berniat untuk merekam percakapan mereka. Meskipun ucapan dari sebrang sana tidak akan terdengar, setidaknya kata-kata Mas Sandi bisa aku jadikan bukti jika benar mereka sedang saling bertukar kabar.
"Bukan bagitu, aku hanya tidak mau Ranum pergi dari sini. Ini bukan masalah cinta atau tidak, tapi ini masalah pengasuhan Cahaya. Tidak ada yang mampu mengendalikan anak itu selain dia."
Dadaku bergemuruh saat Mas Sandi membahas Cahaya. Apa di mata dia aku hanyalah pengasuh anaknya itu?
Benar-benar keterlaluan Mas Sandi. Dia memperalat diriku demi untuk keuntungannya saja.
"Pokoknya diam dulu sampai nanti Ranum bisa percaya lagi sama aku. Bersabar sedikit, 'kan bisa? Ini masalah waktu. Sudah, ya aku harus kembali ke kamar. Takutnya Ranum akan mencurigaiku," ujar Mas Sandi, lalu tidak aku dengar lagi dia berucap.
Aku mengurungkan niat untuk pergi ke dapur, lalu memilih kembali ke kamar Cahaya. Malam ini, aku akan tidur di sini bersama anak orang lain yang kuasuh dengan sepenuh hati.
Sebelum memejamkan mata, tidak lupa aku mengirimkan pesan pada seseorang yang bisa membantuku esok hari.
[Soni, Mbak butuh bantuanmu besok. Jika tidak sibuk dengan kuliahmu, tolong datang ke rumah.]
[Aku sudah mendengar cerita Mbak dari Mama. Oke, aku datang, tapi tidak ingin pulang dengan tangan kosong.]
Aku berdecak kesal membaca pesan dari anak itu. Selalu seperti itu. Pasti permintaan dia yang bukan-bukan. Dasar labil.
[Datang saja dulu, tapi tolong rahasiakan kerja sama kita dari Mama dan Mas Sandi. Pliiiiisss ....] Kembali aku mengirimkan pesan dengan emoticon menangkupkan kedua tangan.
[Siap! Tunggu besok.]
Aku tersenyum kecil, lalu menyimpan ponsel setelah menghapus semua isi chat-ku dengan adik ipar. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa mendapatkan bukti secepatnya.
Suara gemercik air terdengar saat aku masuk ke kamar utama. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Tujuan utamaku ke sini bukan untuk menanyakan sarapan apa yang diinginkan suamiku, atau minuman apa yang harus aku hidangkan sebagai penghangat perutnya. Melainkan untuk membereskan pakaianku yang akan aku bawa ke rumah Ibu. Aku mengambil koper, membuka lemari, lalu mengambil beberapa pakaian dari dalam sana. Seraya duduk di pinggir ranjang, aku melipat baju yang hendak aku bawa. Sejenak tanganku berhenti bergerak, melihat pada ranjang yang menjadi saksi indahnya malam-malamku bersama pria yang kusebut suami.Namun, kini tempat itu sudah tak indah lagi. Yang ada, hanya bayangan manusia-manusia bej-ad yang masih terekam dalam memori. "Kamu tetap pergi?" Aku mengangkat kepala melihat pada pria yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wangi shampo menguar menusuk indera penciumanku. Dia berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di depanku. "Dengan cara apa lagi aku membu
"Aku menyukaimu sejak lama, Mbak. Kamu pun tahu itu."Aku mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi Soni membahas perasaan dia yang tak terbalaskan. Ini yang membuatku tidak nyaman selalu berhubungan dengan adik iparku itu. Dia menyukaiku, bahkan sejak sebelum aku menikah dengan kakaknya. Bukan maksudku untuk mempermainkan perasaan dia dengan menikahi kakaknya. Namun, ada beberapa hal yang membuatku akhirnya menjatuhkan pilihan pada Mas Sandi kala itu. "Jangan mengada-ada, Soni. Hargai aku sebagai kakak iparmu." "Kurangku di mana, Mbak? Hingga kamu sama sekali tidak percaya dengan perasaan ini. Bahkan sampai sejauh ini, selama pernikahanmu dengan Mas Sandi, tidak pernah sedikit pun rasa cinta ini berkurang dariku." "Hentikan omong kosongmu, Son. Sebaiknya lakukan apa yang semalam aku bahas. Waktumu sampai Shanum pulang dari sekolah. Hanya dua jam dari sekarang," ujarku hendak berdiri untuk menyuruh Shanum bersiap. "Aku sudah memiliki bukti lain tentang perselingkuhan Mas Sandi dan Mb
"Tadi, Kakak disebut gila sama teman-teman, Bunda," adu Shanum sambil menangis. Aku mengambil alih Shanum dari Safira, lalu menenangkan anak itu. Aku memberikan pengertian pada dia untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan teman-temannya. Sebagai guru Shanum, Safira pun ikut membujuk putriku itu agar mau kembali masuk ke dalam kelas karena pelajaran akan segera dimulai. "Yuk, masuk bersama Ibu? Nanti, Ibu akan hukum anak-anak nakal yang sudah membuat Shanum sedih," ujar Safira membujuk. Awalnya Shanum menolak, dia sakit hati dengan olok-olokan teman sekelasnya pada Cahaya. Putriku malah meminta pulang dan tidak mau melanjutkan sekolah. Sebagai ibu, tentu saja aku sedih dengan ungkapan dan tanggapan mereka pada anak istimewa seperti Cahaya. Tidak hanya kali ini saja aku harus mengurut dada menahan rasa nelangsa mendengar kata-kata yang tidak enak tentang anak sambungku itu. Jika anak-anak yang bicara, aku masih maklum. Namun, jika orang dewasa atau orang tua yang bicara, aku ti
Aku terpaku, lidahku kelu tidak mampu berkata-kata setelah Mawar mengatakan keinginannya. Benarkah dia seorang ibu? Di mana letak hati dan pikirannya hingga dengan mudah mengungkapkan itu? "Coba kamu ulang?" kataku ingin mendengarnya lagi. "Iya, kita tukeran anak. Shanum aku yang urus, Cahaya kamu yang bawa.""Gila, kamu!" semprotku mulai emosi. Namun, dia sepertinya tidak terbebani dengan reaksiku. Justru sangat santai seolah-olah itu hal biasa. Anak, dia anggap sebuah barang murah, tidak berharga yang bisa ditukar semuanya. Aku tidak habis pikir dengan wanita itu. Bisa-bisanya mengatakan hal yang merendahkan derajat dia sebagai seorang ibu. Inikah wanita pilihan suamiku yang sudah membuatnya berani mengkhianati pernikahan kami? Wanita yang tidak punya hati, tidak punya perasaan dan tidak punya otak. Wanita miskin kasih sayang. "Ya ... ini memang kedengaran sedikit gila, Ranum. Tapi jika aku perhatikan, kamu lebih cocok jadi ibunya Cahaya, dibandingkan jadi bundanya Shanum."
Cahaya menyimpan kertas itu di pangkuanku, lalu memelukku dengan sayang. "Tapi, pelukan Bunda, hangat. Seperti burung yang memeluk anaknya dengan kedua sayap mereka. Hangat, hangaaat sekali," tutur Cahaya semakin mengeratkan pelukan."Oh, Sayang ...." Aku membalas pelukan Cahaya, mencium ubun-ubunnya beberapa kali. Tidak terasa, air mataku berlinang dan jatuh di kepala anak tiriku ini. Ah, bukan. Dia bukan anak tiri. Dia anak dari surga yang Tuhan kirim untukku. Aku menoleh ke arah bangku yang tadi aku duduki bersama Mawar. Rupanya perempuan itu sudah pergi. Lihatlah, dia bahkan tidak ingin menyapa putrinya yang jelas-jelas ada di sekitar dia. Hatinya beku, perasaannya tertutup kabut kebencian yang tidak bisa menerima kenyataan. Sungguh disayangkan sikap wanita itu. Waktu kepulangan Shanum dari sekolah masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah melihat Soni yang tidak memberikan kabar. Jangan-jangan dia tidur dan tidak menyelesaikan pekerjaannya? Awas s
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam sakit yang tidak tertahankan. "Mbak ....""Aku baik-baik saja, Son. Aku tidak apa-apa," ujarku dengan bibir bergetar dan akhirnya pertahananku runtuh seketika. Tangis yang kuredam, tak mampu kutahan. Seiring dengan air mata yang berlinang, suara isak pun keluar membuatku seperti anak kecil yang tersedu di depan makanan. Bagiamana aku bisa menahan gejolak di dalam hati, jika apa yang aku lihat sungguh menyakitkan. Ini lebih sakit dari saat melihat mereka tidur bersama. Foto itu menunjukkan dua sejoli yang sedang melangsungkan pernikahan. Suamiku menikah dengan mantan istrinya, dan aku tidak tahu. Aku dibodohi, aku dibohongi sejauh ini. Ya Tuhan ... di mana aku saat mereka menikah? Ke mana saja aku hingga tak menyadari perubahan sikap Mas Sandi? Allah ... sakit sekali luka ini. "Kapan itu, Son?" tanyaku mencoba tegar dengan melihat pada adik iparku. "Maaf, Mbak. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku memberitahumu tentan
Setelah memberikan jawaban yang memuaskan Shanum, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Saat dia meminta untuk berganti pakaian, aku tidak mengijinkannya. Pasalnya tidak ada baju dia yang aku tinggalkan di dalam rumah. Dan pasti Shanum akan mempertanyakan kenapa lemarinya kosong, jika aku biarkan dia masuk ke kamarnya.Biarlah, nanti akan aku jelaskan perlahan di rumah ibu dan bapak. Sekarang aku tidak bisa berpikir panjang. Hanya ingin segera pulang ke rumah orang tuaku untuk menenangkan hati dan pikiran. "Mbak, kamu yakin bisa bawa mobil sendiri?" Soni kembali bertanya. "Bisa lah, kamu tenang saja. Aku tidak mungkin menabrakkan mobilku pada tiang listrik. Aku masih waras, kok. Nanti saat sampai rumah ibu, kamu bawa pulang Cahaya, ya? Langsung bawa ke rumah Mama, jangan ke sini. Takutnya Mas Sandi tidak bisa menjaga dia," ujarku panjang lebar. Soni mengerti. Aku pun masuk ke dalam mobil, mulai melajukan kendaraan roda empatku keluar dari pekarangan rumah yang sudah memberikan bany
"Eh ... ada cucuku, rupanya. Kenapa tidak bilang dulu kalau mau datang, Num? Sudah lama di sini?" ujar ibu langsung menghampiri kami yang duduk lesehan di teras rumah. Setelah kepergian Cahaya, aku menelepon ibu karena tidak bisa masuk ke dalam rumah yang terkunci. Tidak berapa lama, ibu dan bapak pun pulang dengan wajah semringah. Bahagia karena dikunjungi cucu yang sudah lama tak datang. "Ranum tidak mau merepotkan ibu, makanya tidak bilang dulu. Baru beberapa menit saja, kok Bu," ujarku mengikuti langkah kaki ibu yang masuk terlebih dahulu. Sedangkan Shanum, dia langsung meminta bapak mengambil joran pancing untuk bisa mendapatkan ikan dari kolam. Dan bapakku tidak bisa menolak keinginan cucunya itu. Di sini, Shanum seperti putri raja yang akan mendapatkan apa pun sesuai permintaannya. "Hanya berdua, Num? Suamimu dan Cahaya tak ikut?" tanya ibu lagi seraya menyimpan gelas berisikan air di depanku. "Tidak, Bu. Mas Sandi kerja, dan Cahaya ... sebenarnya tadi dia ikut, tapi pula