"Di mana akal sehatmu, Sandi? Di mana kewarasanmu saat memutuskan untuk berselingkuh dengan mantan istrimu?"
Niat hati ingin masuk ke dalam kamar untuk mengemasi pakaian dan pergi dari rumah ini, harus aku hentikan. Suara Mama yang tengah memarahi Mas Sandi adalah penyebabnya.
Aku diam di ambang pintu, mendengarkan alasan apa yang akan diberikan Mas Sandi atas perbuatan busuknya itu.
Setelah berpikir berulang kali, menocoba berdamai dengan rasa sakit ini, tapi nyatanya aku tidak bisa. Keluar dari sini adalah pilihanku. Kewarasanku dipertaruhkan jika terus berada dalam satu atap dengan pengkhianat yang pandai bersandiwara.
"Ranum, sudah melakukan semua yang tidak dilakukan Mawar untukmu. Dia mengurus putrimu dengan sangat baik."
"Itulah alasannya, Mah. Ranum terlalu sibuk dengan anak-anak, sehingga dia tidak punya waktu untukku. Yang butuh perhatian bukan hanya Cahaya dan Shanum, tapi aku juga. Aku ingin bermanja dengan istriku, bercerita banyak hal membahas masa depan, bersenda gurau, bermesraan, dan—"
Plak!!
Aku menutup mulut ketika mendengar suara tamparan dari dalam sana.
Mama memukul putranya?
"Buka matamu lebar-lebar, Sandi! Kamu ingin diperhatikan, tapi di mana letak perhatianmu pada Ranum? Pernahkah kamu membantu dia dalam mengurus putrimu? Satu, saja. Cahaya. Pernah, kamu membantu menenangkan anak itu ketika sedang tantrum? Pernah, kamu bisa mengendalikan emosi dia ketika suasana hatinya tidak baik? Pernah, kamu membujuk dia makan saat bosan dengan makanannya? Pernah tidak, kamu menunda makanmu, demi untuk membersihkan kotoran dia yang berceceran?!"
Air mataku luruh ketika Mama menyebutkan semua yang menjadi pekerjaanku di sini. Sedangkan pria yang berada di sana, hanya diam menunduk tak berani menatap lawan bicaranya.
"Dengan mata kepala Mama sendiri, Mama menyaksikan semua itu ketika Cahaya belum bisa melakukan semuanya sendiri seperti sekarang. Hal yang tidak pernah dilakukan ibu kandungnya!" ujar Mama lagi menekankan kata terakhirnya.
Mas Sandi masih sama. Dia diam seribu bahasa dengan tidak berani menatap wajah wanita yang telah melahirkannya itu.
Aku tersenyum kecil mengingat kata-kata Mas Sandi yang menjadi alasan melakukan perselingkuhan dengan Mawar. Demi untuk mendapatkan kehangatan dan kemesraan, dia mengorbankan pernikahannya sendiri.
Aku bukan tidak punya waktu, hanya saja tidak seleluasa istri yang lainnya. Aku melakukan semua pekerjaan sendiri, dari rumah hingga isi perut semua orang di sini. Aku juga jadi guru bagi Cahaya, setelah guru lesnya berhenti dengan alasan yang tidak jelas.
"Aku khilaf, Mah." Akhirnya Mas Sandi berucap.
"Khilaf? Khilaf sampai satu tahun? Astaga Sandi ... apa yang harus Mama katakan pada orang tua Ranum, jika sampai mereka tahu? Malu, Mama, San. Malu dengan kebaikan mereka, dengan keikhlasan mereka yang mengijinkan putri semata wayangnya kamu pinang, sekaligus jadi ibu dari anak yang berkebutuhan khusus. Di luar sana belum tentu ada wanita lajang yang bersedia dinikahi duda dengan anak istimewa seperti Cahaya," ujar Mama terlihat frustrasi.
Wanita yang usianya sekitar lima puluh tahunan itu mengurut kening dengan sebelah tangan di pinggang.
Buru-buru aku pergi dari sana setelah kulihat Mama hendak berbalik badan ke arah pintu. Aku turun dari lantai dua, kemudian menghampiri dua anak yang sedang asik dengan dunianya masing-masing.
Mereka beda ibu, tapi seperti saudara satu kandungan. Teramat dekat, layaknya adik kakak normal pada umumnya.
"Nda ...."
Aku mengerjapkan mata saat si sulung memanggil.
"Kenapa, Kak?" tanyaku menghampiri keduanya yang ternyata sedang mewarnai gambar yang mereka buat masing-masing.
"Bunda kenapa? Dari tadi di kamar itu terus?" Kini Shanum yang bertanya.
"Bunda, tidak apa-apa, Sayang. Bunda hanya sedikit kurang anak badan," kataku dengan mengukir senyum.
Cahaya bangkit dari duduknya, lalu dia menghampiriku dan memelukku dengan erat. Tidak sampai di situ, dia juga menciumi kedua pipiku dengan bergantian.
"Dik, sini." Cahaya memanggil Shanum, menyuruh adiknya itu melakukan apa yang dia lakukan padaku.
Bibirku memaksakan tersenyum meskipun hatiku menjerit merasakan sakit.
Akankah selamanya seperti ini? Ataukah ini yang terakhir?
"Nda ... laper."
"Oh, ya ampun, kalian belum makan?" kataku memindai dua wajah itu.
Shanum menggelengkan kepala, sedangkan Cahaya merengut seraya mengusap-usap perutnya. Aku langsung berdiri mengajak kedua putriku untuk pergi ke meja makan.
Ibu macam apa aku ini yang melupakan jam makan siang mereka? Terlalu sibuk dengan perasaan sendiri sehingga membuatku melupakan tanggung jawab yang sesungguhnya.
"Num, Mama mau bicara," ujar Mama yang baru saja turun dari lantai dua. Di belakangnya, Mas Sandi mengekor dengan wajah merah akibat tamparan dari Mama.
"Jangan sekarang, Mah. Aku ingin memberi makan anak-anak dulu."
Mama mengangguk. Ia pun ikut serta bersama kami ke meja makan. Tak terkecuali dia yang kehadirannya sama sekali tidak aku inginkan.
Aku menyuruh kedua putriku duduk di tempatnya masing-masing. Memberikan satu piring nasi beserta lauknya.
Kami makan dalam diam. Ah, tepatnya hanya anak-anak yang makan seraya saling melempar pandang, lalu tersenyum bersamamaan.
'Apa kamu tidak memikirkan mereka saat memutuskan untuk berselingkuh, Mas?' ujarku bicara dalam hati.
Demi Tuhan, hatiku sakit melihat keakraban mereka. Tidak tega rasanya jika harus memisahkan keduanya jika nanti aku benar-benar mundur dari pernikahan ini.
Air mata yang hendak keluar, aku tahan. Sebisa mungkin aku tidak boleh menangis di depan mereka. Apalagi di depan Mas Sandi. Aku ingin dia melihatku tanpa air mata meskipun lara sedang melanda.
"Bunda, nangis? Matanya merah," celetuk Shanum menatapku.
"Tidak, Sayang. Sambalnya kepedesan, makanya mata Bunda berair." Aku berdusta.
Tanpa kata, Cahaya berdiri dari duduknya. Dia melewati Shanum yang duduk di sampingku, lalu mencomot sambal yang ada di atas piring makanku. Dia menyimpannya di piring kosong, lalu kembali ke kursinya dan melanjutkan makan.
Allahu Robbi ... meskipun tanpa berucap, tapi aku tahu maksud anak itu. Dia menyingkirkan sesuatu yang menjadi alasanku tidak nyaman.
Tidak sampai di situ, Cahaya juga mengambil daging di piring Shanum, lalu memisahkan daging dari tulangnya saat dia melihat adiknya kesulitan. Keduanya lalu tertawa cekikikan setelah Shanum mengucapkan terima kasih memperlihatkan giginya yang ompong di bagian depannya.
'Tuhan ... jahatkah aku jika memisahkan mereka?'
"Aku, akan pulang ke rumah orang tuaku, Mas."Hening. Tidak ada yang berani berkata setelah aku mengatakan keinginanku. Mas Sandi mengembuskan napas kasar, begitu pun denganku yang merasa lega setelah berkata jujur. Aku tidak bisa di sini dengan perasaan seperti ini. Sakitku, kecewaku, akan aku bawa pergi dan menyembuhkannya di tempat lain. Sedalam apa pun rasa cintaku, sebesar apa pun baktiku, tapi jika sudah dikhianati sepertinya perasaan ini tidak akan lagi sama seperti dulu. Pergi, adalah jalanku. "Num, apa tidak ada kesempatan kedua untukku?" tanya Mas Sandi. Saat ini, aku dan Mas Sandi tengah duduk berdua membahas pernikahanku dengannya. Seperti janjiku, anak-anak aku biarkan bermain di kolam plastik di halaman samping rumah. "Kesempatan kedua, itu artinya aku harus siap terluka untuk kedua kalinya. Aku tidak sanggup, Mas. Sakit ini pun belum tahu akan sembuh atau tidak.""Aku janji, Num. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Percayalah, aku akan memutuskan hubunganku dengan
Suara gemercik air terdengar saat aku masuk ke kamar utama. Kuhirup udara dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Tujuan utamaku ke sini bukan untuk menanyakan sarapan apa yang diinginkan suamiku, atau minuman apa yang harus aku hidangkan sebagai penghangat perutnya. Melainkan untuk membereskan pakaianku yang akan aku bawa ke rumah Ibu. Aku mengambil koper, membuka lemari, lalu mengambil beberapa pakaian dari dalam sana. Seraya duduk di pinggir ranjang, aku melipat baju yang hendak aku bawa. Sejenak tanganku berhenti bergerak, melihat pada ranjang yang menjadi saksi indahnya malam-malamku bersama pria yang kusebut suami.Namun, kini tempat itu sudah tak indah lagi. Yang ada, hanya bayangan manusia-manusia bej-ad yang masih terekam dalam memori. "Kamu tetap pergi?" Aku mengangkat kepala melihat pada pria yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wangi shampo menguar menusuk indera penciumanku. Dia berjalan mendekat, lalu berdiri tepat di depanku. "Dengan cara apa lagi aku membu
"Aku menyukaimu sejak lama, Mbak. Kamu pun tahu itu."Aku mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi Soni membahas perasaan dia yang tak terbalaskan. Ini yang membuatku tidak nyaman selalu berhubungan dengan adik iparku itu. Dia menyukaiku, bahkan sejak sebelum aku menikah dengan kakaknya. Bukan maksudku untuk mempermainkan perasaan dia dengan menikahi kakaknya. Namun, ada beberapa hal yang membuatku akhirnya menjatuhkan pilihan pada Mas Sandi kala itu. "Jangan mengada-ada, Soni. Hargai aku sebagai kakak iparmu." "Kurangku di mana, Mbak? Hingga kamu sama sekali tidak percaya dengan perasaan ini. Bahkan sampai sejauh ini, selama pernikahanmu dengan Mas Sandi, tidak pernah sedikit pun rasa cinta ini berkurang dariku." "Hentikan omong kosongmu, Son. Sebaiknya lakukan apa yang semalam aku bahas. Waktumu sampai Shanum pulang dari sekolah. Hanya dua jam dari sekarang," ujarku hendak berdiri untuk menyuruh Shanum bersiap. "Aku sudah memiliki bukti lain tentang perselingkuhan Mas Sandi dan Mb
"Tadi, Kakak disebut gila sama teman-teman, Bunda," adu Shanum sambil menangis. Aku mengambil alih Shanum dari Safira, lalu menenangkan anak itu. Aku memberikan pengertian pada dia untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan teman-temannya. Sebagai guru Shanum, Safira pun ikut membujuk putriku itu agar mau kembali masuk ke dalam kelas karena pelajaran akan segera dimulai. "Yuk, masuk bersama Ibu? Nanti, Ibu akan hukum anak-anak nakal yang sudah membuat Shanum sedih," ujar Safira membujuk. Awalnya Shanum menolak, dia sakit hati dengan olok-olokan teman sekelasnya pada Cahaya. Putriku malah meminta pulang dan tidak mau melanjutkan sekolah. Sebagai ibu, tentu saja aku sedih dengan ungkapan dan tanggapan mereka pada anak istimewa seperti Cahaya. Tidak hanya kali ini saja aku harus mengurut dada menahan rasa nelangsa mendengar kata-kata yang tidak enak tentang anak sambungku itu. Jika anak-anak yang bicara, aku masih maklum. Namun, jika orang dewasa atau orang tua yang bicara, aku ti
Aku terpaku, lidahku kelu tidak mampu berkata-kata setelah Mawar mengatakan keinginannya. Benarkah dia seorang ibu? Di mana letak hati dan pikirannya hingga dengan mudah mengungkapkan itu? "Coba kamu ulang?" kataku ingin mendengarnya lagi. "Iya, kita tukeran anak. Shanum aku yang urus, Cahaya kamu yang bawa.""Gila, kamu!" semprotku mulai emosi. Namun, dia sepertinya tidak terbebani dengan reaksiku. Justru sangat santai seolah-olah itu hal biasa. Anak, dia anggap sebuah barang murah, tidak berharga yang bisa ditukar semuanya. Aku tidak habis pikir dengan wanita itu. Bisa-bisanya mengatakan hal yang merendahkan derajat dia sebagai seorang ibu. Inikah wanita pilihan suamiku yang sudah membuatnya berani mengkhianati pernikahan kami? Wanita yang tidak punya hati, tidak punya perasaan dan tidak punya otak. Wanita miskin kasih sayang. "Ya ... ini memang kedengaran sedikit gila, Ranum. Tapi jika aku perhatikan, kamu lebih cocok jadi ibunya Cahaya, dibandingkan jadi bundanya Shanum."
Cahaya menyimpan kertas itu di pangkuanku, lalu memelukku dengan sayang. "Tapi, pelukan Bunda, hangat. Seperti burung yang memeluk anaknya dengan kedua sayap mereka. Hangat, hangaaat sekali," tutur Cahaya semakin mengeratkan pelukan."Oh, Sayang ...." Aku membalas pelukan Cahaya, mencium ubun-ubunnya beberapa kali. Tidak terasa, air mataku berlinang dan jatuh di kepala anak tiriku ini. Ah, bukan. Dia bukan anak tiri. Dia anak dari surga yang Tuhan kirim untukku. Aku menoleh ke arah bangku yang tadi aku duduki bersama Mawar. Rupanya perempuan itu sudah pergi. Lihatlah, dia bahkan tidak ingin menyapa putrinya yang jelas-jelas ada di sekitar dia. Hatinya beku, perasaannya tertutup kabut kebencian yang tidak bisa menerima kenyataan. Sungguh disayangkan sikap wanita itu. Waktu kepulangan Shanum dari sekolah masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah melihat Soni yang tidak memberikan kabar. Jangan-jangan dia tidur dan tidak menyelesaikan pekerjaannya? Awas s
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam sakit yang tidak tertahankan. "Mbak ....""Aku baik-baik saja, Son. Aku tidak apa-apa," ujarku dengan bibir bergetar dan akhirnya pertahananku runtuh seketika. Tangis yang kuredam, tak mampu kutahan. Seiring dengan air mata yang berlinang, suara isak pun keluar membuatku seperti anak kecil yang tersedu di depan makanan. Bagiamana aku bisa menahan gejolak di dalam hati, jika apa yang aku lihat sungguh menyakitkan. Ini lebih sakit dari saat melihat mereka tidur bersama. Foto itu menunjukkan dua sejoli yang sedang melangsungkan pernikahan. Suamiku menikah dengan mantan istrinya, dan aku tidak tahu. Aku dibodohi, aku dibohongi sejauh ini. Ya Tuhan ... di mana aku saat mereka menikah? Ke mana saja aku hingga tak menyadari perubahan sikap Mas Sandi? Allah ... sakit sekali luka ini. "Kapan itu, Son?" tanyaku mencoba tegar dengan melihat pada adik iparku. "Maaf, Mbak. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku memberitahumu tentan
Setelah memberikan jawaban yang memuaskan Shanum, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Saat dia meminta untuk berganti pakaian, aku tidak mengijinkannya. Pasalnya tidak ada baju dia yang aku tinggalkan di dalam rumah. Dan pasti Shanum akan mempertanyakan kenapa lemarinya kosong, jika aku biarkan dia masuk ke kamarnya.Biarlah, nanti akan aku jelaskan perlahan di rumah ibu dan bapak. Sekarang aku tidak bisa berpikir panjang. Hanya ingin segera pulang ke rumah orang tuaku untuk menenangkan hati dan pikiran. "Mbak, kamu yakin bisa bawa mobil sendiri?" Soni kembali bertanya. "Bisa lah, kamu tenang saja. Aku tidak mungkin menabrakkan mobilku pada tiang listrik. Aku masih waras, kok. Nanti saat sampai rumah ibu, kamu bawa pulang Cahaya, ya? Langsung bawa ke rumah Mama, jangan ke sini. Takutnya Mas Sandi tidak bisa menjaga dia," ujarku panjang lebar. Soni mengerti. Aku pun masuk ke dalam mobil, mulai melajukan kendaraan roda empatku keluar dari pekarangan rumah yang sudah memberikan bany