Dasar modus. Awas saja jika nanti sudah tidak ada Mas Sandi, akan aku balas perbuatan lancang Soni. Aku mengusap punggung tangan dia yang betumpu pada meja, lalu mencubitnya hingga matanya melotot dengan bibir yang tersenyum kaku. "Kenapa harus maen ciam-cium, hem ...?" ujarku pelan dengan mengeratkan gigi."Kelepasan, Mbak."Aku berdehem dan mencoba bersikap setenang mungkin saat Mas Sandi masuk. Di berjalan santai, lalu mengucapkan kata yang membuatku semakin naik darah. "Silahkan nikmati, Soni. Bekasku."Mas Sandi berlalu pergi ke lantai atas, dan aku menjauhkan tubuh dari Soni. Melihat perubahan rona wajahku, Soni menenangkan dengan menepuk-nepuk pundak seraya berbicara seolah tak peduli dengan ucapan yang dilontarkan kakaknya itu. "Biarin bekas, yang penting berkelas. Iya, kan Mbak?" ujarnya santai. Aku tidak menjawab. Memilih melayani pelanggan yang kembali datang. Soni pun demikian. Dia pergi ke belakang untuk mengambil beberapa kardus mie instan. Setelah beberapa saat
"Mbak, aku pergi dulu, ya? Pintu akan aku kunci dari luar, biar Mbak tidak harus membukakan pintu jika aku pulang malam lagi," ujar Soni seraya menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Sudah biasa. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan dia pun pergi hingga nanti pulang tengah malam. Aku tidak bicara. Hanya mengangguk karena percuma bertanya, dia pun tidak akan menjawab. Hal seperti ini terus terulang hingga tak terasa aku dan dia sudah tinggal satu bulan di tempat ini. Namun, aku belum juga tahu pekerjaan Soni. "Om Soni, mau ke mana? Kerja kelompok lagi?" tebak Shanum yang langsung dijawab Soni seraya mengacak rambut putriku. Dia pun turun dari lantai dua dengan membawa tasnya. Ke mana pun, di mana pun, Soni tidak pernah meninggalkan tas itu. Ransel hitam yang selalu menjadi teman dalam keadaan apa pun. Yang aku tahu, ransel itu berisikan laptop dan buku-buku kuliahnya. Namun, sekarang ini aku sedang mencurigai ada barang lain di sana. Dia sangat tidak mengizinkan
Jadi ini jawaban dari pertanyaanku tentang uang recehan itu? "Soni ...." Kembali aku mengucapkan nama itu. Mataku fokus tertuju pada pria yang mengucapkan alhamdulillah setelah diberikan upah. Tidak berhenti di satu mobil, Soni pun menghampiri mobil lainnya dan melakukan hal yang sama. Memang tidak hanya ada Soni di sana. Ada pria lainnya yang menjadi kuli panggul untuk mendapatkan upah bagi keluarganya. "Eh." Aku hampir berteriak ketika melihat Soni tersandung dengan beban berat di pundaknya. Namun, tidak dengan pria itu. Dia malah tertawa lebar bersama pria lain merutuki diri yang hampir jatuh tersungkur ke tanah. Tidak tahan menyaksikan dia yang bekerja keras untuk suatu pembuktian, aku kembali pulang dengan perasaan bersalah. Bersalah karena telah berpikiran buruk pada dia tentang uang yang didapatkannya. Rasa kasihan juga hadir ketika membayangkan beban yang begitu berat, dia pikul sendiri. Sesampainya di rumah, aku duduk merenung di kursi belakang meja. Menyangga dagu d
Soni langsung berdiri, lalu pergi tanpa ada niat untuk berkata jujur padaku. Aku gemas sendiri dibuatnya, ingin menarik bajunya dan memintanya berkata jujur. Namun, itu hanya ada dalam khayalan. Meskipun sudah tahu pekerjaan dia, rasanya belum puas jika tidak mendengarnya langsung. Dan aku belum berhasil membuatnya berkata jujur. Hari semakin siang, aku sudah kembali melakukan aktivitas rutin di setiap harinya. Shanum dan Soni sudah tidak ada di rumah, mereka pergi ke sekolahnya masing-masing. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam. Eh, Ibu? Sini, masuk, Bu." Wanita yang telah melahirkanku itu masuk. Aku menyuruhnya duduk di kursi plastik yang ada di sampingku. "Gimana dengan tokomu, Num?" tanya Ibu."Alhamdulillah, Bu. Semakin hari semakin rame.""Soni masih kuliah?" tanya Ibu lagi. Ada yang tidak biasa dari Ibu. Tidak kulihat wajah masam dan kata-kata pedas yang kudengar dari bibirnya saat mengatakan nama suamiku. Apa sekarang hati Ibu sudah luluh? "Kuliah, Bu. Setiap pagi dia
"Kenapa tidak kuliah?" "Maaf, Mbak.""Aku nanya, Son. Bukan menyuruhmu minta maaf."Terdengar helaan napas dari pria yang saat ini sedang duduk di depanku. Masih di tempat yang sama, aku meminta penjelasan dari dia yang rela meninggalkan kuliahnya demi untuk bekerja. Shanum aku titipkan terlebih dahulu pada Safira, yang kini tengah bermain di taman, tepat di seberang kedai kopi ini. "Soni."Pria itu melihatku, lalu menunduk kembali. "Kenapa harus bolos?" tanyaku untuk kesekian kalinya. "Maaf, jika aku sudah membuatmu kecewa, Mbak. Tapi, ini pilihanku. Aku ... aku, berhenti kuliah."Aku memundurkan tubuh ke belakang, menatap dia dengan perasaan kecewa. Berhenti dia bilang. Itu artinya, dia tidak menyelesaikan kuliahnya? Hanya untuk bekerja? "Apa, Son?" tanyaku lagi. Dia menganggukkan kepala, lalu kembali bicara seperti tadi. "Kenapa?" "Aku ingin bekerja, Mbak.""Bukannya dari kemarin pun kamu sudah bekerja? Apa kuli panggul di pasar, itu bukan pekerjaan?"Kini giliran Soni
"Sebenarnya, kedai ini sudah kami buat beberapa bulan ke belakang. Tapi, baru bisa buka satu bulan ini, karena ada berbagai hal yang menjadi faktor penghambatnya. Salah satunya dana. Aku, dan teman-teman yang lain, bekerja mengumpulkan uang, hingga akhirnya Mama memberikan modal. Tidak banyak memang, tapi jika digabung dengan modal dari teman-teman yang lain, sudah cukup, dan ... inilah hasilnya. Kedai kopi ini bisa buka dan disukai banyak orang," ujar Soni panjang lebar. Wajahnya terlihat senang ketika memperkenalkan tempat ini sebagai usaha dia yang dibuat bersama kawannya. Soni kembali bicara. Dia menjelaskan kenapa pergi pagi dan pulang larut malam. Tidak lain karena memang harus menjaga kedai ini yang semakin malam malah semakin ramai. Apalagi, tempat yang begitu estetik dan instagramable, membuat tempat ini sering dijadikan tempat membuat konten oleh para anak muda penggila sosial media. Hasilnya pun tidak sia-sia. Soni bilang, semakin hari, semakin malam, kedai semakin rama
"Dasar bocah." Aku tersenyum seorang diri mengingat kejadian tadi di kedai kopi. Bagaimana aku akan lupa, jika tadi Soni sangat kesenangan luar biasa. Bahkan dia sampai berjingkrak riang, lalu dengan refleks mengangkat tubuhku. Pemicunya tidak lain karena aku yang menyuruh dia melegalkan pernikahan kami agar tercatat di negara. Jangan tanyakan wajahku tadi, sudah sangat merah bak kepiting rebus, kata Safira. Sorak pengunjung kedai membuatku merasakan malu setengah mati. Apalagi, setelahnya aku harus menjelaskan kepada Shanum, atas pertanyaan yang dia lontarkan. "Kenapa Om Soni gendong-gendong, Bunda?" Dan aku berpikir keras untuk mencari jawaban yang pas dan pantas.Sekarang, aku sudah kembali ke rumah. Duduk di kursi plastik dengan pandangan lurus ke depan. Melihat jalanan yang ramai oleh kendaraan, juga beberapa orang yang keluar masuk toko elektronik Haji Darmin. "Bunda .... Ayah telepon, nih!"Aku mengalihkan pandangan pada putriku yang berjalan seraya membawa ponsel. Shanu
"Merajuk. Tali tasnya mau putus, tadi minta sama ayahnya, gak dikasih. Aku janji mau memperbaiki, tapi tadi keburu banyak pembeli. Akhirnya, begitulah. Nangis, ngunci diri di kamar," ujarku menjelaskan pada Soni. Soni mengetuk pintu kamar Shanum. Dia membujuk keponakannya itu agar mau keluar. Namun, tidak berhasil. Hingga akhirnya, Soni menjanjikan untuk membelikan tas baru pada Shanum, hingga pintu pun terbuka menampilkan wajah sembab penuh air mata. "Uh ... jelek banget ini muka. Apus air matanya, ah. Om, gak mau beliin kalau masih ada air mata kayak gitu. Malu, udah gede masih nangis. Anak sekolah mah gak boleh nangisan," ujar Soni seraya mengusap sisa air mata di wajah putriku. Setelah dipastikan Shanum tidak menangis lagi, Soni mengajak putriku untuk pergi. Katanya jalan-jalan sore sambil mencari tas baru. Aku mengikuti langkah kaki mereka dan berhenti di depan ruko. Aku menarik folding gate, untuk menyudahi mencari rezeki di hari ini."Sudah, Mbak? Ayo, kita berangkat!" "Ka