Rayyan dan Dita duduk di kamar dengan wajah tegang. Mata mereka terpaku satu sama lain. Emosi terpancar dari netra keduanya.
"Gimana bisa berkas perceraian kita sampai ke tangan Mama?" cecar Rayyan.
"Mana gue tahu! Berkas itu kemarin gue taruh di kamar. Gue juga nggak tahu gimana Mama bisa menemukan berkas itu," jawab Dita dengan ketus.
Ray menghembuskan napas dengan kasar. "Udah tahu itu berkas sensitif. Harusnya kamu simpan baik- baik, Dit!"
"Elu jangan nuduh sembarangan, Mas!"
"Aku nggak nuduh! Tapi lihat, apa hasil keteledoranmu! Semua orang menyalahkan aku!"
Telinga Dita memanas. "Ya, gue tahu! Maaf banget kalau gue membuat Mas repot. Dari dulu gue memang cuma bisa bikin Mas Ray susah. Gue nggak ada artinya buat Mas Ray!"
Kontan Rayyan mengerutkan kening, bingung dengan arah pembicaraan mereka.
"Kok jadi begitu ngomongnya? Kita ngomongin berkas perceraian, Dit. Lama-lama aku jadi mikir kalau kamu sebenarnya nggak mau berce
Reza sebenarnya tidak dapat tidur nyenyak. Baru terlelap sedikit, ia kembali terjaga karena desahan – desahan Cella. Wanita itu tidak tahu bahwa sebuah hati ikut memanas. Dalam keremangan kamar dan kesunyian malam, sayup – sayup suara cumbuan itu menembus pendengaran Reza. Tanpa melihat dengan mata kepala sendiri, otaknya dapat menggambarkan dengan gamblang seperti apa Cella di ranjang. Gesekan – gesekan tubuh di seprei meyakinkan Reza bahwa wanita itu merayap menuju puncak kenikmatan.Betapa berbahagianya Ken. Dari jarak jauh pun lelaki itu sanggup melambungkan wanitanya ke kenikmatan. Hanya dengan menguping saja Reza ikut horny. Sambil berpura-pura tidur, ia menangkap segenap momen itu dan membentuknya menjadi imajinasi. Saat Cella melenguh panjang, tubuh Reza ikut mengejang beberapa saat hingga akhirnya melemas kembali.Kamar menjadi lengang. Cella rupanya terlelap setelah aksi jarak jauh itu. Kini, hati Reza seperti ditusuk sembilu karena teringat
Tiga pasang suami istri mendatangi sebuah rumah makan di The Peak. Pemandangan dari tempat tertinggi di Bandung itu terkenal luar biasa. Hamparan kota dan pepohonan di bawah sana sungguh indah dan romantis.Sampai di tempat tujuan, mereka turun dari mobil. Sejenak, Tiur mengamati sang putra dan istrinya.“Haduh, kalian ini! Mama perhatikan dari tadi pagi malu -malu terus. Mana kemesraan pengantin barunya?”Paula ikut nimbrung. “Reza, nggak usah malu sama Mama dan mertuamu. Kami malah senang kalau kalian mesra.”“Mesum juga boleh. Kalian suami istri, kok.” Berto menimpali.“Za, cium istri kau sesekali!” Hardiman turut mengompori. “Apa gunanya istri cantik kalau cuma kau pandangi?”Reza dan Cella hanya saling lirik tanpa menjawab. Melihat itu, ibunda Reza menjadi sangat gemas.“Kayaknya perlu diajari, nih!” Tangan Tiur meraih tangan sang putra kemudian disatukan den
Syifa menggigil karena demam yang terlalu tinggi. Dokter jaga segera memberikan obat penurun panas tambahan untuk membantu meringankan penderitaan wanita malang itu. Melihat kondisi Syifa, Rayyan semakin nelangsa. Pasti demam Syifa menjadi – jadi karena beban pikiran. Sedihnya lagi, beban pikiran itu dirinya yang menyebabkan.“Fa, aku minta maaf. Aku bakalan cari cara buat cerai dari Dita. Sekarang ini kondisi di rumah baru panas. Papa kambuh karena tahu aku mau cerai. Mama menangis terus kalau ngomong sama aku. Tolong kamu bisa memahami, ya?” Rayyan berusaha membujuk kekasihnya, namun Syifa terus menggeleng dan meneteskan air mata.“Dia bisa mati kalau dicampur satu rumah sama Dita, Ray!” Ken ikut nimbrung. “Gue hampir yakin kalau ancaman-ancaman yang diterima Syifa itu dari cewek barbar itu.”“Oh, gitu?” Rayyan memikirkan pula kemungkinan itu. Mamanya memang keras, namun ia tak percaya wanita itu bisa berbu
Setelah banyak tidur sepanjang hari, Syifa terbangun sore itu dengan kondisi yang jauh lebih baik. Demamnya sudah turun. Siang tadi, ia mau makan walau tidak sampai habis. Kemudian ia mengunyah beberapa potong biskuit yang disodorkan Ken.Saat melihat ke sekitar, ia tidak menemukan lelaki itu, namun mendengar suara - suara dari kamar mandi. Karena merasa sudah lebih baik, Syifa bangkit dan duduk di tepi ranjang. Saat mendengar pintu kamar mandi dibuka, ia berniat turun karena ingin buang air kecil. Dengan hati – hati dijejakkannya kaki ke lantai.“Woy, woy! Mau ke mana?” Ken yang baru keluar dari kamar mandi, bergegas mendekat.Syifa menoleh dan terkesiap. Pasalnya, Ken bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Tubuh atletis yang putih bersih itu memperlihatkan otot – otot yang bergulung indah.“Mau ke mana?” Ken mengulang pertanyaan karena Syifa diam saja.“Aku kebelet pipis.”Tanp
Reza dan Cella berdiam diri selama perjalanan menuju workshop Ken. Sengaja mereka menjumpai Ken, selain untuk menjenguk Syifa yang baru pulang dari rumah sakit, juga untuk membicarakan hubungan mereka. Pasalnya, sepulang dari Bandung, mama dan papa Cella berkeras mengajak pasangan itu tinggal di rumah mereka selama sebulan.“Papa kalian baru seneng - senengnya punya menantu. Bolehlah kami ikut melihat kebahagiaan kalian. Masa habis nikahan, tidak pakai madu, langsung pindahan ke rumah baru. Tidak elok, dong! Rumah kami sepi banget nggak ada Cella.” Paula berargumentasi yang langsung diamini oleh suami dan besannya.“Habis sebulan di tempat Cella, sebulan lagi di tempat kita. Ya, kan, Ma?” Hardiman tidak mau kalah.“Bah! Malas aku kalau di rumah Papa. Ada Sinta. Ngeganggu aja ntar anak itu,” sanggah Reza yang langsung menyebabkan papanya memelotot. Mulutnya saja yang protes keras. Dalam hati, ia berharap sang ayah melakukan pem
Sepulang dari rumah Ken, Reza terus terpikir tentang sikap sang sahabat. Sambil berbaring dan mengelus dada Cella yang penuh, ia mengingat-ingat detail kejadian.“Kok Ken nggak marah, ya, Cel? Padahal waktu gue mau makan malam sama lu, dia sewot berat, loh.”“Za, kamu nggak mikir? Kita bisa begini gara-gara satu kamar. Kurasa Ken dan Syifa juga begitu. Apalagi Syifa sakit sebelumnya. Pasti Ken pernah nyentuh-nyentuh. Mungkin bantuin ke kamar mandi, nyuapin, atau malah menyeka badannya.”“Bener juga. Gue juga lihat Syifa nyaman sama Ken dan sebaliknya. Elu lihat mata Ken nggak?”“Lihat. Nyata banget, ya, ada sesuatu di antara mereka.”“Menurut lu Ken udah kumpul sama Syifa apa belum?” Reza sengaja bertanya begitu untuk meyakinkan diri bahwa Cella benar-benar telah melepaskan Ken.“Menurutmu gimana? Kalau aku lihat pas Ken pegang bahu Syifa tadi, aku yakin 90% udah, Za. Mereka p
Dita menatap nanar layar komputer. Percakapan pribadi melalui sebuah akun kepenulisan dengan pemilik bernama Dragonisme membuatnya berdebar tidak karuan.-------------------Dragonisme: Kok kasar gitu? Asal lo tahu, ya. Gue udah tahu identitas lo tuh siapa. Kenapa sih elo mesti memaksa kakak sendiri? Salah apa dia sama lo sampai elo bakar dia hidup-hidup?-------------------Dita mengusap kening yang mulai basah oleh keringat. Siapa sebenarnya Dragonisme? Apakah ia memang benar seorang penulis yang kebetulan mampir ke akunnya atau seorang mata-mata yang tengah mengintai aktivitasnya? Astaga, bila benar seperti itu, apa yang harus dilakukan? Siapa dalang dari tindakan itu?Otak Dita mulai panas saat memikirkan siapa yang berniat menjatuhkan dirinya. Tak perlu waktu lama, sederet nama terkumpul. Dengan tangan gemetar, Dita menuliskan nama- nama tersebut dalam buku kecil.Orang yang berada di urutan teratas tentu saja Syifa. Bagi Dita, Syifa ad
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,