Di hari Minggu, pagi – pagi Ken dan Cella telah muncul di rumah sang ayah. Tangan Ken menenteng tas plastik berisi berbagai belanjaan untuk bahan membuat ikan arsik. Setelah dibukakan pintu oleh asisten rumah tangga, keduanya langsung menuju dapur.
“Papa dan Mama udah bangun?” tanya Cella kepada si Bibi.
“Belum, Non. Mungkin agak siang nanti.”
“Oh, Papa dan Mama enggak ke gereja pagi?”
“Sepertinya tidak, Non. Sehabis marah -marah semalam, Bapak kurang sehat. Kata Ibu, Bapak agak lemas.”
Cella dan Ken kontan saling pandang.
“Papa sakit atau gimana, kok lemas?” tanya Cella kembali.
Si Bibi hanya menggeleng. “Bibi kurang paham, Non.”
“Ken, kayaknya aku ke atas dulu, nengok kondisi Papa,” ujar Cella.
Ken mengangguk. “Terus jadi enggak masak – masaknya?”
“Jadi aja. Buat sementara, kamu masak sama Bibi.”
Bibir Ken yang bulat penuh mendadak manyun. Sembari mendekatkan mulut ke telinga sang kekasih, ia berbisik, “Jomplang banget, dari sama elo diganti si Bibi.”
Cella segera memukul ringan dada kekasihnya. “Sempat – sempatnya mikir gitu. Isi otakmu itu apa, sih?”
“Mau tahu?” tanya Ken seraya mengangkat - angkat alis dengan genit.
“Enggak! Udah, ah. Aku ke atas.” Cella pun bergerak meninggalkan Ken.
“Titip salam buat Papa dan Mama!” seru Ken dari ambang pintu dapur.
“Iya, Cheyenk!”
“Isi otakku itu ….”
Cella menoleh dan terkikik. “Cukup, Ken! Aku udah tahu!”
Setelah meninggalkan Ken dengan asisten rumah tangga, Cella menaiki tangga dengan hati – hati. Ia berdebar. Siapa tahu sang ayah benar – benar syok karena kedatangan Ken semalam. Karena itu ia menghubungi ibunya terlebih dahulu melalui telepon.
Ia agak lega mendapati ibunya bangun dengan suara serak. Wanita itu kemudian keluar kamar dengan perlahan, berusaha tidak menimbulkan suara. Begitu melihat putrinya di depan kamar, ia segera menggandengnya untuk turun kembali.
“Kamu kenapa datang pagi - pagi?” tanya wanita itu setelah mereka berada di ruang tengah.
“Aku ajak Ken buat masak arsik, Ma.”
“Oh, Ken datang? Di mana dia?”
“Iya. Tuh, orangnya baru masak di dapur.”
Sang ibu menoleh sejenak ke arah pintu dapur. “Yah, kenapa dia harus datang?”
Mendengar nada yang suram itu, Cella menggigit bibir. “Papa masih marah, Ma?”
Mata wanita berdarah Inggris itu melebar. “Marah besaaar! Sepanjang malam dia ceramah soal agama, atheis, agnostik, dosa dan neraka! Mama tidak bisa tidur dibuatnya.”
“Aduh, padahal kemarin Papa sendiri yang nyuruh Ken masak arsik hari ini.”
“Itu kan sebelum tahu Ken agnostik, Cella.”
“Terus sekarang gimana baiknya, Ma?”
“Papa masih pulas karena begadang semalaman. Suruh Ken lebih cepat masaknya, habis itu pulang.”
“Cella enggak tega menyuruh Ken pulang. Dia baik banget.”
“Nanti kalau dia dimaki – maki Papa lagi bagaimana? Mama tidak tega.”
Cella berpikir sejenak. “Kayaknya Ken tahan banting, kok. Enggak papa aja kali.”
Mama Cella mengembuskan napas panjang. “Iya, mudah – mudahan Papa enggak ngamuk lagi. Udah Cel, Mama ke kamar lagi, temani Papa biar tidurnya pulas sampai siang nanti.”
Mama Cella berbalik hendak naik ke lantai dua. Malang bagi mereka, Berto sudah berjalan menuruni tangga menuju tempat mereka berdiri.
“Kamu, Cel! Kebetulan. Yuk temani Papa jalan – jalan pagi!” ajak sang mantan hakim dengan wajah semringah yang dihiasi seringai penuh arti.
Cella tahu, bila jalan – jalan seperti itu artinya sang ayah akan memberikan orasi yang berisi petuah bijak dari zaman dahulu, hingga isi kitab suci. Biasanya Cella berusaha menghindar. Namun saat ini ia dengan senang hati pergi bersama sang ayah demi menjauhkan lelaki itu dari Ken.
“Tunggu sebentar, Cella ganti baju dulu, Pa.”
Setelah anaknya berlalu, Berto duduk di ruang makan sembari menyeruput teh panas. Hening suasana rumah membuat suara dari dapur terdengar sayup – sayup. Berto meletakkan cangkir teh dan menegakkan tubuh. Matanya awas menatap ke arah dapur.
“Kok ada suara laki – laki? Itu bukan suara Pendi, ‘kan?” tanya Berto. “Lagipula hari Minggu Pendi libur.”
Mama Cella hanya diam saja. Berto, tanpa menunggu jawaban sang istri, mendatangi sumber suara. Ia berhenti di depan pintu dapur dengan berkacak pinggang. Wajahnya merona merah dan matanya membelalak.
“Kamu lagi!” hardiknya dengan suara menggelegar.
Si Bibi dan Ken sampai terjingkat karena kaget.
“Oh, iya Om. Ini saya lagi,” sahut Ken sambil sedikit menunduk untuk memberi hormat. Setelah itu ia bergerak cepat ke wastafel untuk membersihkan tangan dari darah ikan.
“Ngapain lagi kamu ke sini? Mau melawan saya? Berani -beraninya masuk ke rumah saya tanpa izin!”
Ken kembali mengangguk dan tersenyum dengan sopan. “Om kemarin mengajak saya memasak ikan arsik.”
Mata Berto berkilat mengerikan. Ia menoleh ke ruang tengah dan berseru memanggil istrinya. Cella pun telah selesai mengenakan pakaian olah raga. Mendengar ayahnya berteriak, ia berlari – lari ke dapur.
“Ma! Kenapa ada orang ini di sini?!” hardiknya.
“Oh, Cella yang ajak tadi,” sahut mama Cella. “Pa, jangan bentak – bentak anak orang, ya. Ken ini baik dan sopan.”
“Papa, Cella tadi yang ajakin Ken ke sini buat masakin Papa ikan arsik. Tuh, udah belanja pagi – pagi ke pasar.” Cella mengiba belas kasihan sang ayah.
“Kalian … kalian bersekongkol melawan saya? Kalian bikin konspirasi, hah?”
“Bukan begitu, Om. Saya tulus mencintai Cella. Karena itu saya ingin mengenal Om, Tante, dan keluarga Cella,” ujar Ken, masih belum menyerah.
“Terserah! Rupanya kalian lebih senang melihat Papa cepat mati!”
Wajah Berto memerah maksimal. Kemarahannya telah mencapai ubun – ubun. Dengan mendengkus kasar, ia meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kamar. Istrinya segera mengikuti dari belakang. Tersisa Ken dan Cella yang mematung, serta si Bibi yang gemetaran.
“Kalau kayak gini, baiknya gue pulang aja, Cel,” ujar Ken dengan lemas. Mau bagaimana lagi? Semangat Ken untuk memasak telah hancur berantakan. “Kalau dipaksain, masakannya bakal nggak karuan rasanya.”
Cella menggigit bibir dan hampir menangis. “Aduh, aku bingung, Ken. Kasihan kamu, udah susah – susah datang ke sini malah diusir. Maafin Papa, ya.”
Hati Ken menjadi iba. Bukan takut dibentak – bentak yang membuatnya memilih pulang. Ia justru khawatir kesehatan ayah Cella terganggu karena terlalu emosi. Takut bila lelaki tua itu terserang stroke, atau jantung koroner, atau darah tingginya kambuh.
Dibelainya rambut Cella lalu membenamkan kepala mungil itu ke dadanya. “Udah, gue nggak papa kok. Gue nggak marah sama Papa lo.”
***
Konsentrasi Ken sepanjang perjalanan sedikit buyar. Beruntung ia bisa sampai ke apartemen dengan selamat. Saat memasuki lobby, ia menemukan seseorang yang wajahnya familiar tengah menunggu.
“Hei, elo Jo! Ngapain pagi – pagi ke sini?” sapa Ken dengan seriang mungkin karena tidak ingin teman satu itu tahu masalahnya dengan Cella. Jonathan terkenal senang mengobrol. Memang benar, pemuda itu bisa menjadi teman menghabiskan sore yang menyenangkan. Akan tetapi sebagai efek samping, tidak ada rahasia yang bisa disimpan. Kemampuan ghibah Jo melebihi perempuan!
“Mau ketemu lo, Ken,” ujarnya lirih.
Ken baru menyadari bahwa wajah Jo lesu dan kusut. “Heh? Kenapa muka lo?” tanya Ken. “Yuk, naik.”
Mereka berjalan beriringan menuju lift. Ken terheran karena Jo tidak menjawab, malah memalingkan wajah ke arah lain. Saat mereka telah berdua di dalam lift, Ken menemukan bulir bening di pelupuk pemuda itu.
“Heh? Mewek, lo? Kenapa sih?”
“Ntar aja gue cerita. Gue butuh tidur tenang sekarang ini.”
“Yah? Kenapa datang ke tempat gue? Apartemen lo kenapa?”
“Disita Bokap.”
Ken tidak melanjutkan pertanyaan. Dari jawaban singkat itu saja ia tahu masalah Jonathan pasti sebesar Gunung Semeru.
--- Bersambung ---
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,
Dita menatap nanar layar komputer. Percakapan pribadi melalui sebuah akun kepenulisan dengan pemilik bernama Dragonisme membuatnya berdebar tidak karuan.-------------------Dragonisme: Kok kasar gitu? Asal lo tahu, ya. Gue udah tahu identitas lo tuh siapa. Kenapa sih elo mesti memaksa kakak sendiri? Salah apa dia sama lo sampai elo bakar dia hidup-hidup?-------------------Dita mengusap kening yang mulai basah oleh keringat. Siapa sebenarnya Dragonisme? Apakah ia memang benar seorang penulis yang kebetulan mampir ke akunnya atau seorang mata-mata yang tengah mengintai aktivitasnya? Astaga, bila benar seperti itu, apa yang harus dilakukan? Siapa dalang dari tindakan itu?Otak Dita mulai panas saat memikirkan siapa yang berniat menjatuhkan dirinya. Tak perlu waktu lama, sederet nama terkumpul. Dengan tangan gemetar, Dita menuliskan nama- nama tersebut dalam buku kecil.Orang yang berada di urutan teratas tentu saja Syifa. Bagi Dita, Syifa ad
Sepulang dari rumah Ken, Reza terus terpikir tentang sikap sang sahabat. Sambil berbaring dan mengelus dada Cella yang penuh, ia mengingat-ingat detail kejadian.“Kok Ken nggak marah, ya, Cel? Padahal waktu gue mau makan malam sama lu, dia sewot berat, loh.”“Za, kamu nggak mikir? Kita bisa begini gara-gara satu kamar. Kurasa Ken dan Syifa juga begitu. Apalagi Syifa sakit sebelumnya. Pasti Ken pernah nyentuh-nyentuh. Mungkin bantuin ke kamar mandi, nyuapin, atau malah menyeka badannya.”“Bener juga. Gue juga lihat Syifa nyaman sama Ken dan sebaliknya. Elu lihat mata Ken nggak?”“Lihat. Nyata banget, ya, ada sesuatu di antara mereka.”“Menurut lu Ken udah kumpul sama Syifa apa belum?” Reza sengaja bertanya begitu untuk meyakinkan diri bahwa Cella benar-benar telah melepaskan Ken.“Menurutmu gimana? Kalau aku lihat pas Ken pegang bahu Syifa tadi, aku yakin 90% udah, Za. Mereka p
Reza dan Cella berdiam diri selama perjalanan menuju workshop Ken. Sengaja mereka menjumpai Ken, selain untuk menjenguk Syifa yang baru pulang dari rumah sakit, juga untuk membicarakan hubungan mereka. Pasalnya, sepulang dari Bandung, mama dan papa Cella berkeras mengajak pasangan itu tinggal di rumah mereka selama sebulan.“Papa kalian baru seneng - senengnya punya menantu. Bolehlah kami ikut melihat kebahagiaan kalian. Masa habis nikahan, tidak pakai madu, langsung pindahan ke rumah baru. Tidak elok, dong! Rumah kami sepi banget nggak ada Cella.” Paula berargumentasi yang langsung diamini oleh suami dan besannya.“Habis sebulan di tempat Cella, sebulan lagi di tempat kita. Ya, kan, Ma?” Hardiman tidak mau kalah.“Bah! Malas aku kalau di rumah Papa. Ada Sinta. Ngeganggu aja ntar anak itu,” sanggah Reza yang langsung menyebabkan papanya memelotot. Mulutnya saja yang protes keras. Dalam hati, ia berharap sang ayah melakukan pem