Ken memasuki kamar tidur dengan malas – malasan. Setelah mengantarkan Cella ke apartemennya, cukup lama ia termenung di ruang tengah. Televisi dinyalakan, mata menatap lekat, namun gambar yang ditangkap tidak sampai ke otak karena kepalanya terlanjur penuh dengan permasalahan hubungannya dengan Cella.
Ken tidak membayangkan hidup tanpa kehadiran gadis itu. Sekarang pun dalam kesendirian yang hanya beberapa jam, ia telah merasakan ada yang kurang. Kamar itu lengang seperti tidak bernyawa tanpa keberadaan si Kucing Manja.
Ken merebahkan diri dengan enggan. Tangan menggapai ke sisi kasur di sebelahnya. Kosong. Baru berpisah tiga jam saja hatinya resah. Bagaimana nasibnya bila mereka harus putus?
Sambil berbaring,mata ken menjelajah seisi ruang. Kamar tidur yang luas itu masih menyimpan jejak kehidupan Cella. Dekorasi dan hiasan yang ditata di berbagai sudut semuanya pilihan Cella. Aroma udara pun harum karena parfum gadis itu. Lemari pakaian masih menyimpan baju dan underwear Cella yang memiliki aroma wangi yang khas. Entah parfum apa yang digunakan Cella untuk baju - bajunya. Yang jelas lemari itu berbau Cella sekali.
Ken menoleh ke arah meja rias. Dulu, sebelum kenal Cella benda itu tidak ada. sebenarnya ia lebih senang dengan ruang yang minim perabot karena terasa lebih lega serta praktis. Hanya karena kasihan kekasihnya tidak bisa berdandan dengan baik maka meja itu dibeli.
Sesuatu di meja itu membuat Ken bangkit. Sebuah dompet besar terbuat dari kulit berwarna hijau toska itu adalah tempat alat make up kekasihnya. Karena penasaran, dibukanya. Isinya segala hal menyangkut perawatan wajah, mulai dari lotion, alas bedak, maskara, bulu mata palsu, lipstik berbagai warna, dan bedak. Benda – benda itu sontak mengingatkan pada pemiliknya.
Ken baru ingat bahwa pemandangan yang ia sukai di pagi hari adalah menyaksikan kekasihnya berdandan. Mengherankan, bagaimana gadis itu dengan telaten memoleskan berbagai cairan ke kulit wajah. Kemudian dengan teliti menggambar wajahnya menggunakan pensil dan berbagai pewarna. Barangkali benar, perempuan adalah seniman sejak lahir.
Tangan ken menyentuh sebuah botol kaca. Ia kenal karena itu adalah parfum kesukaan Cella. Disemprotkannya ke pergelangan tangan, kemudian dihirup.
Hmmm, Cella ….
Rindunya memuncak. Tidak ada gunanya juga berlama - lama mengambek. Tanpa memikirkan rasa malu, Ken menyalakan ponsel dan menghubungi kekasihnya.
“Ken?” Terdengar suara enggan dan parau dari seberang. Agaknya Cella baru saja terlelap. “Kenapa malam – malam telepon? Kamu baik - baik aja?”
“Gue cuma penasaran, elo baik – baik aja atau enggak.”
“Aaaah! Kamu ini! Udah jelas aku enggak baik – baik aja. Kita disuruh putus sama Papa. Gimana menurutmu kondisi hatiku sekarang ini?”
“Gue minta maaf soal itu. Tapi sejak kapan elo puitis gitu, Cel?”
“Sejak kenal kamu!”
“Terus gimana selanjutnya?”
“Yah, mau gimana lagi. Kamu udah terlanjur ditolak Papa.”
Ken terdiam. Entah mengapa lidahnya kelu.
“Ken, kok diam? Kamu masih kesel karena Papa?”
“Iya, sih. Seumur – umur gue kagak pernah dibentak – bentak orang.”
“Ya ampun, aku jadi merasa bersalah banget. Maafin Papa, ya?”
“Nggak usah panik gitu. Gue udah maafin bokap lo. Sekarang bantuin gue cari ide gimana merayu bokap lo biar luluh.”
Terdengar desahan panjang. “Enggak tahu. Papa kalau udah bikin keputusan enggak bisa ditawar. Aku aja sampai harus batalin kontrak ke NY. Bayangin aja gimana keselnya.”
Mereka sama – sama terdiam.
“Cel, masa sih bokap lo enggak ada titik lemahnya. Apa kek? Kamu anaknya seharusnya tahu gimana menyentuh hati bokap sendiri.”
“Bentar, Papa tuh suka golf deh. Kamu ikutan aja di klubnya Papa.”
Kini ganti Ken yang mendesah panjang. “Gue kagak bisa golf.”
“Hmm, Papa juga suka bowling, panahan, sama menembak. Kamu bisa?”
“Kagak! Apalagi memanah dan menembak. Ngeri gue lihat senjata. Nggak ada lagi hobi bokap lo yang lebih mainstream gitu?”
“Apa hobi mainstream?”
“Ya, contohnya berenang, kek. Badminton, tennis.”
“Papa aja gampang ngos – ngosan. Enggak kuat renang, tennis, apalagi badminton. Bisa - bisa bengkak nanti jantungnya kalau dipaksain.”
“Yah, buntu masa?”
“Kamu sendiri, selain masak, hobi apalagi?”
“Cari duit.”
Cella kontan berdecak. “Itu sih kewajiban, Cheyenk!”
“Kewajiban itu selama dijalani dengan senang namanya hobi, Meyong!”
Cella terkikik. “Kamu seksi banget kalau ngomong ‘meyong’, Ken.”
“Oh, ya? Kalau Pooh?”
“Hmmm, geli ah! Jawab dulu, apa hobimu yang lain?”
“Enggak ada. Cuma masak.”
‘Yakin cuma itu?”
“Iya, Meyooooong!”
“Iiiiih! Jangan panggil – panggil seperti itu!” protes Cella, dengan nada manja tentu.
“Kenapa enggak boleh?”
“Bikin aku merinding, tahu!”
Ken kontan menelan ludah. Benaknya segera terisi khayalan tentang kulit putih Cella beserta bulu-bulu halusnya yang berdiri. Astaga! Otaknya mulai barbar!
“Kamu juga nggak boleh ngomong merinding, Meyong!”
“Kenapaaaa?”
Mendengar desahan panjang itu Ken ikut merinding. “Karena gue … gue jadi kepingin ambil kunci mobil terus datangi elo sekarang juga.”
“Mmmm? Kok gitu?”
“Kok malah balik tanya?”
“Mmmmh? Kok banyak ngomong? Cepetan ambil kunci!”
“Beneran, nih?”
“Uuuuh, bawel!”
“Tunggu gue, ya! Ingat, gue suka warna merah.”
Cella terkikik. “Udah nih Cheyenk. Bibir merah, lingeri merah, baju tidur merah ….”
Kata – kata Cella terputus karena telepon dimatikan oleh Ken. Lelaki itu menyambar kunci mobil dan dompet, kemudian turun ke basement tempat kendaraannya diparkir. Ia baru tahu bahwa ada pertikaian yang bisa diselesaikan dengan ‘pertikaian’ yang lain.
***
Pagi hari yang cerah menyambut sejoli itu. Cella sudah mandi sejak tadi. Kini gadis itu tengah berhias. Ken bangun dan menarik kursi mendekat ke tempat kekasihnya duduk.
“Ken, apa yang kamu lihat?”
Ken tidak menjawab. Ujung jari telunjuknya malah bergerak ke bulu mata yang terpasang rapi di pelupuk Cella.
“Ih, hati – hati. Kamu bikin mataku pedih.”
Ken meringis. “Gemes banget kalau lihat elo dandan kayak gini.”
Cella mengedip manja. “Cantik nggak?”
“Cantik, lebih cantik dari bulan.”
Cella terbahak. “Bulan kan bopeng? Perbandingannya enggak sesuai.” Tapi gadis itu menghadiahi kekasihnya kecupan panjang di bibir.
“Sekarang pakai lipstik dong?” pinta Ken dengan manja. Mata yang membulat itu membuat darah Cella memanas. Tangannya bergerak memoleskan lipstik dengan perlahan sambil beberapa kali mengerling menggoda.
Mata Ken semakin melebar saat mendapati benda lembut berlemak berwarna merah menyala menjalari bibir kekasihnya. Bibir setengah terbuka dan warna merah itu membuat dada Ken bergemuruh. Ia bisa merasakan sensasi olesan benda itu di bibirnya sendiri.
“God! Elu seksi banget kalau sedang gitu, Meyong!” desah Ken. Napasnya semakin cepat dan darah pun terpompa ke bawah.
“Astaga, Cheyenk!” Cella menyadari celana boxer kekasihnya mulai menggembung kembali. Namun maksud Cella dengan ‘astaga’ adalah ….
“Meyong! Aw!” Kursi Ken beserta orang yang duduk di atasnya roboh ke lantai. Si Kucing Meyong telah menindih badannya. “Wow, wow! Main tubruk aja lo!”
“Biarin! Kita harus cepat – cepat. Soalnya habis ini kamu harus masakin Papa ikan arsik!”
“Hah?”
“Aku baru ingat kalau kelemahan Papa tuh masakan daerah asalnya.”
“Beneran, nih?”
Cella mengangguk keras. Kepalanya segera diturunkan kembali untuk mencium lekuk leher kekasihnya.
“Tunggu, tunggu!” Ken mendorong dahi gadisnya menjauh sehingga Cella merengut.
“Kenapa? Kamu beneran bisa masak arsik, kan?”
“Bisa, dong! Tapi kita belum beli bahannya. Di mana cari andaliman segar?”
Cella meringis. “Kirain apa. Masalah kecil itu!”
Ken kembali mendorong badan Cella menjauh. Gadis itu mengerang kesal. “Kenapa lagi?!”
“Meyong, kita pindah ke tempat yang lebih empuk, yuk? Kaki gue kejepit kursi. Sakit banget!”
--- Bersambung ---
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,