Lift bergerak naik, membawa dua lelaki yang sibuk dengan pikiran masing – masing. Ken masih resah dengan sikap ayah Cella sehingga mendiamkan saja Jonathan. Sedangkan pemuda itu rupanya sibuk menenangkan diri karena tidak ingin terlihat cengeng di depan lelaki lain. Bukankah hanya perempuan yang mudah menangis di sembarang tempat? Setelah beberapa waktu bungkam, saat keluar lift, akhirnya Jonathan punya kekuatan untuk mengeluarkan suara.
Unit Ken terletak di ujung. Mereka berjalan beberapa waktu untuk mencapai tempat itu.
“Apartemen disita bokap, mobil disita nyokap.” Jonathan melanjutkan keluh kesah dengan suara bergetar. Ada isak lirih saat pemuda itu mengucapkannya walau sudah ditahan sekuat mungkin.
Ken meringis menahan geli. Jonathan sudah sedewasa itu, tapi orang tuanya tetap memperlakukan sang anak seperti remaja tanggung. Buat apa menyita apartemen dan mobil pria dewasa yang sudah bisa hidup mandiri?
“Santuy. Duit lo kan banyak. Beli lagi dong?” saran Ken. “Gue punya teman yang mau jual unitnya. Siapa tahu lo suka.”
Jonathan mendesah. “Gue males beli apartemen lagi. Kepingin punya rumah aja, biar bisa menapak di tanah.”
“Ya, udah. Kenapa resah?”
“Bukan perkara bisa beli atau enggak. Ini perkara harga diri, Ken! Harga diri!”
Ken sampai menoleh karena nada sengit itu. “Ya udah, berapa harga lo, sini gue beli!”
“Diem, lo!” Tahu – tahu Jonathan membekap mulut Ken sehingga pemuda itu gelagapan. Tubuh mereka berhimpitan sehingga Ken bisa merasakan otot – otot dada Jo yang kekar. “Lo pikir badan gue barang dagangan?”
Ken mundur dan menepis tangan Jo dari wajah. Risih sekali, sekaligus merinding. “Hey! Apaan sih, main bekap aja! Gue bukan Nara!” hardik Ken.
Jonathan segera melepas tangan dari wajah Ken dengan serba salah. Ia baru sadar telah membuat temannya tidak nyaman. “Maaf, gue kebiasaan gitu sama teman – teman yang lain.”
“Teman lo tuh perlu dipertanyakan kewarasnnya.”
Jonathan berdecak. Dari bahasa tubuhnya sangat jelas ia gelisah. Iba juga hati Ken.
“Ya udah. Ayo masuk!” Lelaki jangkung itu mendahului masuk ke apartemen sembari mengelus tengkuk. Bulu – bulu halus di daerah itu masih berdiri akibat sentuhan Jonathan tadi.
Sial! Gue kedatangan kuntilanak kali ini! rutuk Ken dalam hati.
Ken langsung menuju kamar untuk tamu dan membukakan pintu. “Tuh, elo bisa tidur di situ.”
Jonathan mengangguk kemudian berjalan cepat menuju kasur dan ambruk di sana. Tangannya meraih bantal kemudian menciuminya. Ken yang berdiri di samping ranjang sampai keheranan.
“Kok berdiri di situ? Mau ikutan tidur sama gue? Sini!” Jonathan menepuk – nepuk permukaan kasur di sebelahnya.
“Ciiih! Najis!” Ken seketika berkacak pinggang. “Lo kenapa jadi kayak gini?”
“Gue diputus Nara,” sahut Pemuda itu dengan sedih. Matanya menerawang ke langit - langit. Walau sudah pasti hanya gipsum putih saja yang terlihat, tapi Jo menikmati pemandangan kosong itu.
“Loh, bukannya bulan lalu kalian tunangan?”
“Iya, sih. Tapi Nara marah, katanya gue selingkuh.”
“Sadar banget kalau ganteng sih lo. Semua cewek dikasih harapan. Selingkuh sama siapa, lo?”
Jonathan menggeleng. “Enggak ada. Nara aja yang keterlaluan parno.”
“Enggak ada asap kalau nggak ada api. Jujur aja lo! Udah numpang masih berani bohong sama tuan rumah.”
“Gue mau jujur tapi lo jangan mikir yang macam -macam, ya!”
“Iya. Udah cepetan ngomong.” Ken berusaha sabar dan lembut.
“Gue kan endorse baju punya si Iyan Purwaka. Tahu kan lo, desainer terkenal itu?”
“Iya, gue tahu. Dia pernah pesan sepatu gue. Yang ‘miring’ itu, kan?”
“Nah, gue kebetulan datang sendiri ke sana. Nara nggak bisa ikut, katanya sibuk. Eh, pas fitting baju, tahu – tahu Nara di sana. Parahnya, dia nyerobot ke ruang ganti. Ya udah, kelihatanlah gue baru bugil pakai boxer doang dan berduaan sama Iyan. Langsung aja gue diputusin.”
Ken memicing. “Elo juga kasih harapan ke Iyan?”
Jonathan menggeleng keras. Tangan yang semula berada di belakang kepala kini terlipat di depan dada. Ia menarik diri agak ke atas sehingga posisinya sekarang duduk bersandar di kepala ranjang.
“Gue masih lurus, ya, Ken!”
“Hmmm, nggak yakin gue. Terus kenapa sampai elo diusir sama bokap lo?”
“Nara mengadu ke bokap. Dia fitnah gue seneng sama sesama jenis.”
Ken tertawa. “Nggak heran. Elo kayak ada kecenderungan ke sana. Tadi aja gue lo sergap.”
Jonathan seketika merengut. “Makasih udah nertawain gue yang malang ini. Gue ngantuk banget. Tolong lo keluar terus tutup pintunya.”
“Sial! Udah numpang malah nyuruh – nyuruh tuan rumah. Kebangetan, lo!”
Jonathan meringis. “Karena elo tuan rumah yang baik, Ken. Gue sayang sama lo! Muachhhhh.”
“Hah? Jijik gue dengarnya!” Ken cepat – cepat menutup pintu kamar lalu masuk ke kamarnya sendiri.
Cukup lama Jonathan tidur, dan cukup pulas karena Ken dapat mendengar suara dengkuran berirama dari dalam kamar. Menjelang siang, Ken mulai lapar. Isi kulkas dikeluarkan untuk diolah menjadi santapan. Jadilah dua porsi capcay goreng yang mengepul harum memenuhi ruang.
Ken mendekat ke pintu kamar Jonathan kemudian mengetuk. Tak terdengar apa pun.
“Jo? Udah bangun lo?”
Tak terdengar jawaban. Ken mulai berpikir yang tidak – tidak. Benarkah temannya itu masih tidur? Jangan – jangan … bukankah tadi ia datang membawa masalah?
“Jo …!” tangan Ken segera mendorong daun pintu dan memindai isi kamar. Matanya seketika memelotot.
“Jo?” desisnya.
Di hadapannya kini berdiri sesosok tubuh yang jangkung dan atletis. Dari ujung kepala sampai ujung kaki tiada cela. Wajah berhidung mancung dan bermata elang. Rambut basah kecokelatan yang meneteskan air ke bahu. Kulit kuning terang yang berbulu di dada, lengan, dan kedua kaki. Otot – otot yang bergulung indah karena rajin latihan. Dan … oh! Apa itu di sela selangkangan? Begitu besar dan macho!
Otak Ken seketika membeku. Bukan sekali ini saja ia melihat lelaki dewasa telanjang. Akan tetapi yang seindah ini? Oh! Entah bagaimana, jantung Ken berdegup kencang. Sialnya sang jantung semakin rajin memompa darah ke … bawah!
“Eh, tadi manggil gue? Sorry enggak bisa bukain. Gue baru mandi.”
Si teman melenggang santai menuju kasur di mana baju – bajunya diletakkan. Dengan santai pula membelakangi Ken untuk mengenakan celana dalam. Pantat yang bulat dan padat itu segera menyeruak ke mata Ken sehingga pemuda itu menelan ludah.
Jonathan seperti sadar diri. bukannya mengenakan celana dengan cepat, ia justru membuat gerakan slow motion. Saat celana denim dikenakan dan kaus oblong putih disusupkan ke badan, geliat otot yang terlihat dari belakang itu telah membuat Ken nyaris gila.
“Hei! Sembarangan lo bugil di depan gue!” sembur Ken saat darah telah mengalir kembali ke otak.
Jonathan meringis. “Sorry. Gue nggak biasa ganti baju di kamar mandi. Takut basah.”
“Sial lo! Mau pamer bodi? Lo kira gue seneng?” Ken mencerocos untuk menutupi kekagetan.
“I-iya. Maaf.” Jonathan segera menyadari kesalahannya. Kesenangan memamerkan tubuh tadi sirna karena tatapan tajam Ken. Sekilas diliriknya celana Ken. Ia tidak yakin dengan apa yang dilihat. Benarkan ada tonjolan lebih dari biasanya?
“Ayo, makan. Gue udah masakin lo capcay.”
“Lo bisa masak?”
“Lo pikir enggak bisa? Pelanggaran!”
Jonathan terkekeh. Sekali lagi ia melirik celana Ken saat berjalan menuju meja makan. Ternyata tidak ada apa – apa. Ia tahu ini tidak benar. Tapi entah mengapa, hatinya berharap ada sesuatu yang menggembung di sana.
--- Bersambung ---
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,