Anulika Chandara duduk di tepi ranjangnya, tangannya menggenggam erat cek yang diberikan Naka. Matanya sayu memandang ke luar jendela, memikirkan keputusan yang harus dia ambil.
"Aku tidak bisa menerima ini," gumamnya lirih, sambil memegang cek tersebut erat. Lika teringat akan semua yang telah terjadi, malam itu, tawaran itu, dan sekarang dilema yang menghantui pikirannya.
“Tapi sayang, 10 miliar kan gede juga.” Ah jadi dilema Lika ini.
Dia menghela napas berat, perasaan dilema menggelayuti setiap pikirannya. Lika tahu dia membutuhkan pekerjaan ini, tapi harga dirinya sebagai wanita juga penting baginya.
"Bagaimana kalau aku hamil karena kesalahan malam itu?" pikirnya dengan rasa takut. Bayangan masa depan yang suram mulai menghantui, takut tak ada pria yang mau menerimanya lagi.
Itu yang Anulika takutkan, hamil! Maka keadaan akan berubah semua. Hidupnya akan jungkir balik, apalagi jika tidak ada suami disisinya.
Dengan keputusan yang masih terombang-ambing, Lika berdiri dan berjalan ke meja kerjanya. Dia menarik sebuah kertas dan mulai menulis rencana. Setiap kata yang ditulisnya adalah upaya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa melewati ini. "Aku harus kuat, aku harus cerdas, aku harus bertahan," tulisnya berulang-ulang.
Lika kemudian menatap cek di tangan dan dengan tegas, tertawa sendiri akan kisahnya. "Kaya perempuan bayaran saja." katanya pada diri sendiri.
Sebuah keputusan telah diambil. Dengan rasa lega namun masih ada rasa takut, Lika memutuskan untuk menghadapi apapun yang akan datang dengan kepala tegak. Dia tahu, ini baru permulaan dari perjuangan yang sebenarnya.
*
*
Lika kembali masuk keruangan bosnya ini, sang boss memanggilnya entah ada apa. Tapi Lika tahu ini urusan pribadi bukan pekerjaan. Padahal Lika sedang banyak pekerjaan, mana dia belum paham lagi dengan kerjaan sebagai sekretaris.
“Ada apa pak Naka, ada yang bisa dibantu?” tanyanya sopan, bagaimana pun Naka bosnya dikantor, jadi ya harus sopan.
Naka menghela napas panjangnya sebelum kemudian berbicara dengan sekretarisnya ini, bikin pusing saja.
“Saya mau bicara serius sama kamu.” ucapnya datar. Lika mengangguk dan mendongak mendengarkan pembicaraan serius apa yang dimaksud bosnya ini.
Kana juga sudah membuat Keputusan setelah dia memikirkan hal ini semalaman. Entah keputusannya tepat atau tidak, dia tidak tahu. Jalani saja dulu mengalir akan dibawa kemana nantinya.
“Dengar..” Wajah Naka sudah sangat serius sekali. Lika mengangguk, dan mendengarkan. “Saya akan menikahi kamu secara agama.” Ujarnya, Lika sudah mau protes namun Naka menahannya.
“Kamu tahu status saya sudah menikah. Dan.. Jika dalam waktu satu bulan ini kamu tidak hamil, maka saya akan menceraikan kamu. Paham!” jelas Naka dalam mode serius.
Lika tentu terkejut akan Keputusan itu. Artinya Naka menikahinya hanya karena takut dia hamil, hei lagipula apa yang Lika harapkan. Naka akan mencintainya begitu, mana mungkin. Mereka ini bagai bumi dan langit, dia orang biasa sedangkan Naka seorang pengusaha besar yang sangat suskes.
Gadis cantik itu diam, terlihat sedang menimbang-nimbang tawaran bos besarnya.
“Kalau Lika nggak hamil?”
“Kan sudah saya jelaskan Lika. Dan kamu bisa membawa cek yang kemarin.”
“Lika boleh pikirin dulu nggak pak, saya masih bingung.” ujarnya lemas. Naka berdecak, membuang waktu saja.
“Tidak ada yang perlu dipikirkan, semua sudah jelas Lika. Kalaupun saya menceraikan kamu, status kamu mantan istri orang. Sesuai ingin kamu kan?”
Naka memang terkejut dengan pola pikir Lika, padahal bisa dibilang Lika bukan orang kampung kuliah dan bekerja di ibu kota seharusnya Lika terbiasa akan kehidupan bebas. Namun ia masih menjunjung norma agama dan sosial dalam hidupnya, tipe jarang dimiliki anak muda seusianya.
Muda, ya Lika masih muda tadi dirinya sampai memperjelas tahun kelahiran Lika, baru berusia dua puluhan itu. Pantas masih cantik dan sekal tubuhnya, daun muda ternyata.
“Lika jadi berasa kaya pelakor deh pak” keluhnya. Gemas ini Naka dibuatnya, kenapa jadi kearah sana pembahasannya.
“Terserah!” Malas sekali Naka meladeni asisten yang kini jadi sekretarisnya itu.
Lika meremas kedua tangannya, ya memang itu yang diinginkan status yang jelas. Tapi boleh kan ia memikirkan untung rugi dari perjanjian ini, ya Lika menganggapnya hanya sebuah perjanjian saja.
“Ya sudah deh iya. Daripada sudah nggak virgin nggak ada status.” lirihnya mengiyakan ajakan nikah bosnya.
Bukan ini yang ia harapkan, tapi juga tidak tahu apa yang ia inginkan. Semua kejadian berlalu begitu cepat, ia hanya ingin kerja yang benar, menabung dan membawa mamanya tinggal di kota ini. Memberi kehidupan yang layak, jauh dari kata kekurangan, apa salah cita-cita Lika.
“Baiklah, saya yang akan atur semuanya. Sekarang kembali bekerja.” Titah Naka tegas. Lika mengangguk, dengan lemas dia keluar ruangan bosnya.
Apa ini, apa dia baru saja dilamar diajak menikah. Kenapa tidak ada romantis-romantisnya ya.
*
*Pulang kerumah setelah seharian bekerja, Naka harus dibuat kerepotan dengan istrinya yang mendadak bersikap aneh.
“Apa lagi?” tanya Naka sudah mulai Lelah dan ingin beristirahat.
Ivanka menunduk, dia merasa tidak ada gunanya sebagai seorang istri. Dia sakit apa salahnya dia minta diperhatikan dan dimanja. Sayangnya dia menikah bukan dengan pria yang mencintainya, maka ini yang dia dapatkan.
“Babe, aku cuma mau sama kamu saja kok. Disini saja ya.” Pinta Ivanka lirih. Dia mau suaminya dikamarnya, sedangkan Naka ingin istirahat dikamarnya saja.
“Aku juga lelah Ivanka. Kamu tidur ya.”
“Aku bosan tidur terus, sedangkan kamu sibuk bekerja.”
“Memang tugas aku bekerja, Ivanka.” Seru Naka sedikit berteriak, hingga Ivanka menunduk dengan mata berkaca-kaca.Ahh, terjadi lagi. Naka mendesah kemudian duduk di tepi ranjang. Keadaan Ivanka memang memprihatinkan, dokter menyuruhnya bedrest bahkan tidak boleh turun dari ranjang. Kanker sudah mulai menggeorgoti tubuhnya dan membuatnya cepat kelelahan. Naka tidak mau istrinya drop, makanya dia membuat Ivanka nyaman di kamarnya sendiri.
“Maaf.. Aku hanya lelah saja.”
“Kamu marah ya sama aku?”
“No. Marah kenapa?” “Karena menikah denganku tidak seperti yang kamu harapkan.” “Ivanka bisa berhenti untuk membahas hal itu.” Pinta Naka, karena jika membahas hal itu akan panjang dan Naka sedang malas berdebat. “Aku istri nggak berguna, babe. Aku bahkan nggak bisa melayani kamu.” “Aku tidak meminta itu. Aku cuma minta kamu sembuh dan semngat, ap aitu sulit untukmu Ivanka?” “Gimana aku bisa sembuh, sedangkan kamu saja tidak memperhatikan aku?” jerit Ivanka terpancing emosinya.“Apa semua yang kamu dapatkan bukan bagian dari perhatian aku, Ivanka? Kamu mendapat perawatan dirumah, dirumah sakit. Lalu kamu pikir itu siapa, orangtuamu!” pekik Naka mulai tersulut.
“Iya iya aku tahu. Kamu menyediakan semua fasilitas untuk aku, aku hanya butuh perhatian kecil dari kamu Naka. Libur sehari hanya untuk menemani aku dikamar saja, apa kamu tidak bisa?” jeritnya.
Bisa.. Hanya Naka saja yang tidak mau.
Tidak ingin berlarut dalam perdebatan dan berujung pada drop-nya fisik Ivanka. Kana pun mengalah.
“Baiklah, weekend aku akan menemanimu.” Ucapnya membuat Ivanka lega mendengarnya.
Setidaknya satu hari dalam seminggu, Naka punya waktu untuknya. Sehari saja, Ivanka tidak meminta lebih.
“Terima kasih, terima kasih babe.” **
Galen berdiri terpaku di depan ranjang rumah sakit, matanya membelalak melihat Iren yang terbaring lemah dengan wajah pucat dan mata sembab. Istrinya sudah dapat ia temukan, betapa senang hati Galen melihat Iren.Dengan jantung berdetak kencang Galen masuk semakin dalam, Iren sedang memejamkan matanya. Vera yang melihat pria asing yang ia Yakini itu suami Iren lalu mempersilakan masuk.“Aku tunggu diluar,” kata Vera pelan. Galen mengangguk, seraya mengucapkan terima kasihnya.Diluar sendiri Vera bertemu dengan Naka dan Lika, orang tua Galen.Di dalam, Galen mendekat ke ranjang sang istri. "Sayang," suaranya bergetar, penuh campur aduk antara cemas dan penyesalan.Iren yang sudah bangun merasa mendengar suara suaminya. Dia pun menoleh, matanya yang basah menatap tajam, terkejut sekaligus bingung saat melihat suaminya di sana."Ngapain kamu kesini?" suara Iren lirih, namun penuh penolakan yang keras. Tubuhnya mencoba menarik diri, tapi Galen melangkah lebih dekat, menundukkan kepala seo
Iren duduk di sudut kamar yang remang, tubuhnya menggigil meski udara tak terlalu dingin. Perutnya mulai terasa bergejolak, namun wajahnya pucat pasi, dahi berkerut karena mual yang tak kunjung reda.Setiap kali berdiri, kepala berputar begitu hebat hingga ia harus cepat-cepat duduk lagi. Nafasnya tersengal-sengal, dan tangan yang gemetar tak mampu meraih segelas air di meja. Vera menatapnya dengan penuh kekhawatiran.“Ke dokter ya, Iren. Jangan dibiarkan terus-terusan seperti ini,” ucap Vera lembut, namun tegas.Iren menggeleng pelan, mata berkaca-kaca. “Nggak usah, Ver.”“Kamu kan lagi hamil,” ujar Vera khawatir.“Iya katanya orang hamil memang begini. Mual dan pusing.”“Tapi mereka konsul ke dokter kandungan. Kamu kan nggak Ren.” Vera makin khawatir karena wajah Iren yang pucat.“Ren, aku khawatir banget nih,” kata Vera yang tidak bisa menutupi kekhawatirannya. “Kita telepon suami kamu ya, Ren-““Ver, please,” desis Iren memohon untuk jangan membahasnya lagi.Vera berdecak, dia jug
Iren mengusap pelipisnya yang mulai berdenyut, perutnya mulai terasa tidak enak. Belum lagi mual dan ia coba tahan karena sedang bekerja. Sumpah demi apapun yang Iren ingin lakukan adalah merebahkan diri, bersantai saja dirumah.Kehamilannya membuat langkah Iren semakin berat di antara meja-meja yang penuh pelanggan. Aroma bumbu dan asap gorengan menusuk hidungnya, membuat rasa mual semakin menghantui. Vera yang melihat wajah Iren yang pucat langsung merangkul bahunya, "Istirahat sana, aku yang gantikan kamu dulu." Suara Vera penuh perhatian, tapi Iren hanya bisa mengangguk lemah sambil melangkah ke sudut restoran. Karena tidak tahan ia menurut saja, lagipula Iren takut mengacaukan pekerjaan yang lain.Namun, di sana Iren tak menemukan ketenangan. Ayu, rekan kerja yang lebih senior berdiri tak jauh, melontarkan suara pedas tanpa ampun, "Enak banget, anak baru kerja kok istirahat terus! Makan gaji buta, ya?" Tatapannya tajam, seolah ingin menekan Iren lebih dalam.Iren menunduk, mencob
Galen berjalan gontai menuju apartemennya, dia membawa banyak cemilan, termasuk cokelat, es krim, bahkan sampai bunga. Galen berharap Iren bisa memaafkannya. Mungkin tak akan mudah, tetapi setidaknya ini bisa mengurangi kemarahan Iren padanya.Saat pintu apartemen dibuka, semua tampak normal saja. Apartemennya memang selalu rapi, walaupun sibuk dengan urusan kampus, tetapi Iren cukup pandai membersihkan rumah. "Baby!" panggil Galen."Iren Sayang!" panggil Galen lagi saat tak mendapatkan jawaban dari istrinya.Perasaan Galen mulai merasa aneh, saat apartemennya ternyata hening tanpa aktivitas Iren seperti biasanya. Setidaknya selalu terdengar musik atau suara film yang diputar Iren, tetapi kali ini apartemen itu benar-benar sepi.Galen langsung berlari ke kamar dan benar saja Iren tidak ada di sana. Galen mencari Iren ke balkon, ke taman belakang, dan ke semua penjuru apartemen, tetapi sialnya dia tak menemukan istrinya di sana."Astaga, Iren kamu di mana?" tanya Galen dengan panik.Ga
Rasanya begitu sesak saat mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan rapat, Lika melirik Naka, menunjukkan bagaimana kekecewaannya pada kedua anak mereka yang ternyata selama ini membohonginya.Lika mengusap wajahnya, dia berjalan mondar-mandir dengan pikiran yang kacau. "Maksud kamu apa Galen, Belinda, kalian sengaja membohongi Mami sama Papi?" ujar Lika."Bukan gitu Mami, a-aku hanya ingin melindungi Belinda. Aku tahu dia salah, tapi—""Tapi apa? Kamu pikir dengan menjadikan kamu sebagai pelaku semua masalah menjadi selesai? Kamu bahkan harus menikahi Iren yang bahkan seharusnya bukan tanggungjawab kamu!" tegas Lika yang mulai marah dengan kenyataan ini.Galen tengah bicara dengan Belinda dan tidak sengaja Lika mendengar itu. Naka juga kebetulan berjalan di belakang istrinya, membuatnya juga tahu kebenaran yang sebenarnya.Mau tak mau Galen pun membuka semuanya, bukan untuk meminta pembelaan tapi dukungan dari keluarganya.Naka hanya menutup mata saat Lika marah besar pada a
Lika semakin tidak habis pikir dengan jalan pikiran Galen. Bisa-bisanya Galen menikah tanpa izin dan restu tarinya. Galen seperti tidak menganggap keberadaan Lika dan Naka sebagai orangtuanya."Kamu bukan anak yang kayak gini, Galen. Kenapa kamu menikah tanpa bilang sama Mami sama Papi? Dia siapa? Mami harus tahu dong dia dari mana, gimana keluarganya dan ...." Lika tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, dia hanya melirik Iren, kemudian menangis karena merasa kecewa.“Mami tolong maafkan aku. Aku bisa menjelaskan semuanya,” ucap Galen, Mami Lika menggeleng sudah terlalu sakit hatinya.“Jelaskan pada papi sekarang juga, Galen!” bentak Naka marah. Namun tetap saja, Lika mengelus tangan suaminya. Untuk tidak emosi dulu, bagaimana pun ada orang baru bersama mereka saat ini.Galen mendekati Lika, dia bertekuk lutut di hadapan Lika. "Mami, Galen tahu ini salah tapi keadaannya memang rumit pada saat itu. Aku menabrak ayahnya Iren, aku bertanggungjawab dan membawanya ke rumah sakit, tapi ternya