Naka duduk di ruang kerjanya, tatapan matanya menatap layar komputer tanpa fokus. Rasa bersalah melingkupi hatinya seperti kabut tebal yang sulit dihindari. Ia merenung pada tindakan-tindakan yang telah dilakukannya, khususnya terhadap asistennya, Lika.
Ia sudah menyiapkan solusi, namun sayangnya gadis itu sudah dua hari tidak masuk kerja, dengan alasan sakit. Hal itu membuat Naka harus sabar menunggu, padahal ia sudah tidak tahan untuk menyelesaikannya dengan cepat.
Keputusan sudah diambilnya, ia menyadari bahwa tindakannya tidak hanya merugikan hubungan profesional mereka, tetapi juga menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman.
Meski sedikit khawatir dengan kondisi Lika, namun Naka mencoba mengabaikannya. Lika gadis sehat dan kuat berbeda dengan Indira yang sangat membutuhkannya.
Hingga hari ini, asistennya masuk kerja kembali. Posisi Lika kini kembali menjadi sekretaris Naka, baru masa percobaan. Tugasnya mudah hanya membantu Bara saja mengurus administrasi yang dibutuhkan Naka.
"Masuk." kata Naka dengan suara berat. Ia memang menyuruh Lika untuk menemuinya, dua hari tidak bertemu wajah Lika memang nampak pucat, ia menutupinya dengan make up yang sedikit tebal.
‘Apa-apaan gadis ini, kenapa jadi seperti ondel-ondel dengan make up tebal itu,’ batin Naka.
“Ada yang bisa dibantu pak Naka?” tanya Lika professional.
Naka mengambil nafas dalam-dalam sebelum berbicara. "Duduk! saya ingin bicara denganmu." ucap Naka dengan suara rendah.
Lika menatap Naka dengan sedikit kecurigaan namun mengangguk. Ia duduk dengan tenang di kursi seberang Naka, matanya berani menatap bosnya itu, berbeda dengan yang lain, hanya Lika yang berani menatapnya Ketika sedang berbicara.
"Saya menyadari bahwa saya telah berperilaku tidak baik kepadamu dalam beberapa waktu terakhir. Saya minta maaf." kata Naka dengan tulus.
Lika menatap Naka dengan tatapan yang campur aduk antara kejutan dan keraguan. Namun, ia memilih untuk memberi kesempatan pada Naka untuk menjelaskan diri.
"Saya benar-benar menyesal atas tindakan saya. Saya sadar bahwa itu tidak hanya merugikan hubungan kita di tempat kerja, tetapi juga merusak semangat kerja kita. Saya ingin memperbaiki kesalahan itu dan menghilangkannya agar tidak ada perasaan tidak nyaman." jelas Naka.
Lika merenung sejenak, lalu tersenyum tipis. "Saya menghargai kejujuran pak Naka. Mari kita mulai lagi dari awal. Seperti yang bapak bilang, ini kesalahan kita berdua jadi kita yang tanggung berdua.” tutur Lika.
Naka mengangguk, dan menyodorkan secarik kertas. Lika meragu, kemudian Naka mengangguk, “Ambilah.” ucap Naka.
Lika mengambil dan membacanya, ia tidak bodoh itu cek dengan nominal besar sekali ditulisnya. “Itu untuk kamu Lika. Saya harap kamu menerimanya, dan melupakan kejadian malam itu.” tegas Naka.
Lika mendongak, masih belum mengerti maksud Naka. “Maksudnya?.”
“Itu cek senilai 10 miliar, bisa kamu gunakan untuk kehidupan kamu ke depannya. Dengan syarat, lupakan malam itu jangan beritahu siapa-siapa soal itu. Dan,” Naka menjeda pernyataannya.
“Saya minta kamu meninggalkan kantor saya hari ini juga, kamu diberhentikan Lika Chandara!” ucap Naka dalam dengan sorotan mata menatap Lika dingin. Ia harus mengambil Keputusan ini, sepihak memang. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan, selain melakukan ini. Ya sama saja, dia membayar tubuh Lika semalam dengan harga fantastis.
“Apa!” pekik Lika, dia paham maksudnya. Tapi kenapa tega sekali bos nya ini. “Maksud pak Naka apa? Memberikan saya cek, seolah saya adalah Wanita bayaran yang menghangatkan ranjang Pak Naka semalam, begitu!” serunya, Naka mulai memijat keningnya, sakit kepala mendengarnya.
Lika mengamuk, dia kembali melanjutkan umpatannya. “Terus bapak mecat saya gitu! Enak saja, sudah mengambil keperawanan saya, bapak seenaknya membuang saya. Saya nggak mau!” jerit Lika berdiri dengan lantangnya.
“Tenang Lika.” Bentak Naka. Meski ruangan ini kedap suara, tetap saja dia khawatir ada yang mendengarnya.
“Pak Naka bikin saya emosi.”
“Kita bicarakan baik-baik.” Kata Naka.
“Baik-baik bagaimana? Ini Keputusan sepihak pak, bapak untung saya rugi. Sama saja Pak Naka membayar keperawanan saya.” Ujarnya dan bersuara lirih di kalimat terakhirnya.Hal itu membuat Naka berdesir mendengar, dia memang bos dingin, ketus dan galak. Tapi Naka masih punya hati Nurani, tidak tega juga mendengar Lika dengan nada lirih seolah gadis itu sangat kecewa dan sakit hati.
“Hanya ini yang bisa saya lakukan.” Terang Naka, berharap Lika akan mengerti maksud dan tujuannya. “Bukan saya merendakan kamu. Tapi kamu paham status saya. Saya tidak bisa lebih dengan kamu.” Tutur Naka.
“Saya terima cek-nya. Tapi nggak mau berhenti, masa sudah tidak perawan, nganggur lagi pak! Tega banget, pak.” Polosnya berteriak lagi, padahal baru saja ditenangkan Naka.
Spontan Naka ikut berdiri dan menenangkan gadis itu, “Lika jangan berteriak, nanti ada yang mendengar.” ketusnya.
“Biarin, biar semua tahu Tindakan bapak, yang melecehkan saya,” ancamnya.
“Kamu ngancam saya Lika?” desis Naka.
“Tidak, tapi bapak yang maksa saya.” desahnya, ia luruh dikursi duduk kembali. Namun cek senilai 10 miliar itu masih ia pegang dengan erat. Jangan sampai lecek nanti tidak laku di bank.
“Ini yang terbaik Lika.” geram Naka.
“Terbaik untuk bapak, bukan untuk Lika. Bapak nggak mikir mana ada yang mau sama Lika yang udah nggak gadis lagi.” Lirihnya. Kata mamanya, anak gadis dijaga baik-baik, lalu serahkan ke suami. Ini malah ke bos, mau dibilang anak apa Lika ini.
“Bapak mau Lika jomblo seumur hidup, nggak punya suami karena sudah tidak suci lagi. Lika nggak suci gara-gara siapa, gara-gara bapak tahu nggak.. Hiks hiks huaaaaaa.” jerit Lika.
Naka memijit pelipisnya yang terasa sakit kembali, usai mendengar gadis itu menangis.
“Lika hentikan, saya pusing dengar tangisan kamu!” bentaknya.
“Bapak pikir saya nggak pusing, tiap hari dengar bentakan bapak.” balasnya polos.
“Lika!” desis Naka.
“Pak saya serius, gimana dengan nasib saya. Belum menikah tapi sudah tidak virgin!”
Naka tersentak dengan ucapan Lika. Terasa jika gadis itu tengah menyindirnya sebagai seorang pria. Hei dia mungkin pria yang tidak mempermasalahkan soal virginitas seorang gadis. Bahkan Ivanka, istrinya sudah tidak suci lagi ketika ia menidurinya, bagi Naka itu bukan hal utama dalam hal mencintai. Cinta akan mengalahkan logika soal suci atau tidak.
“Saya doain kamu dapat pria yang bisa menerima kamu Lika.” hanya itu saja yang Naka ucapkan. Pasti ada, buktinya Naka bisa menerima Ivanka istrinya dalam keadaan tidak suci lagi. Naka tidak munafik, dulu ia pernah melakukan itu dengan beberapa wanita sebelum menikah.
“Hah, masa itu saja. Pak, bagaimana kalau saya hamil, apa bapak nggak mikir kesana?” pekik Lika, seketika membuat Naka berdetak jantungnya dengan kencang.
Dia melupakan hal itu, kemarin karena pusing dengan tangisan Lika juga meeting yang harus ia hadiri, Naka lupa memberikan gadis itu pil darurat pencegah kehamilan.
Jika dengan Ivanka, dia sadar melakukannya. Karena itu dia selalu mengeluarkannya di luar. Naka tidak mau istrinya hamil, di saat belum ada cinta dihatinya. Tidak mau anak itu menjadi dilemma baginya, jika dia tidak cocok dengan Ivanka. Kini setelah Ivanka sakit, dokter juga memvonisnya akan sulit punya momongan.
“Double shit!” umpat Naka.
“Double shit kan.. Sama!” balas Lika, “Pokoknya pak Naka harus nikahin saya. Atau saya hmmm, apa ya?” Lika berpikir kalau dia akan mengadukan Naka ke siapa, masa ke istrinya nanti malah ia yang dikira pelakor.
“Saya aduin ke polisi.” akhirnya dia bersuara lagi.
Naka berdecak, polisi. Tentunya dengan cepat dia akan membereskan masalah itu jika berhubungan dengan hukum.
“Kamu tahu siapa saya tidak sih Lika. Kamu berani melawan saya?” Naka sengaja mengintimidasi Lika.
“Saya nggak takut sama pak Naka. Kalau bapak nggak mau tanggung jawa, saya.. Ah saya viralkan di toktok.” serunya merasa menang.
“Kamu yang malu Lika.” balas Naka, kini sudah duduk kembali dikursinya.
“Tidak apa, kan wajah saya bisa disamarkan. Kalau sebut nama bapak kan mudah, gugel saja kenal bapak.” serunya kembali.
Naka menatap tajam gadis itu, apa jawaban ini sudah disiapkan Lika sebelumnya.
“Lika, saya jadi curiga sama kamu. Apa jangan-jangan kamu sengaja merayu saya malam itu, agar mau meniduri kamu dan kamu akan memanfaatkan saya?” tudingnya dengan tenang.
Lika terperanjat dengan ucapan Naka, “Enak saja. Pak, saya memang pengen punya pacar kaya raya. tapi tidak dengan menggadaikan harga diri seperti ini. Saya hanya menegakkan norma untuk harga diri saya. Mana ada pria yang mau jika gadis yang dinikahkan sudah tidak suci.” seru Lika tidak mau kalah.
“Kalau saya mengaku saya janda, mungkin akan jauh lebih terhormat. Artinya saya gadis baik-baik, bukan murahan.” ketusnya. Kesal Lika sama Naka masa dia mengatakan Lika sengaja menjebaknya.
“Ah dan satu lagi pak. Saya kalau mau jebak juga mikir-mikir, masa sama tua bangka yang bedanya sama saya belasan tahun sih!”
“Kamu menghina saya Lika!” desis Naka.
“Siapa yang menghina, yang saya katakan kenyataan kok. Justru pak Naka yang menghina saya.” serunya galak, dan memilih keluar dari ruangan mewah bosnya.
“Sialan Pak Naka!” gumamnya.
“Sialan Pak Naka..” beo Bara, asisten Naka yang asli baru tiba dari meeting diluar.
“Eh hmmm nggak pak Bara. Bukan Naka yang didalam, Naka yang lagi viral di toktok.” elaknya, langsung kabur. Bara menggeleng, usia Lika ia rasa sudah cukup, tapi Bara melihatnya seperti anak kecil saja.**
Jangan tinggalin Iren, Yah.Hiks..Tidak sanggup menahan air matanya, Iren menangis sesenggukan di depan tubuh lemah sang ayah.Di ruang perawatan rumah sakit, dengan bau antiseptik menyengat, ayah Iren berbicara dengan suara serak, "Iren, dia akan bertanggung jawab padamu. Ayah tidak minta apa-apa, hanya dia jaga kamu,” ucap Prakoso lirih, Iren terus menggeleng. Kenapa ayahnya menitipkan dia pada pria yang tidak dikenal.“Saya akan menjaga putri bapak, saya janji.” Galen pun memberikan penegasan dalam ucapannya.Prakoso mengangguk, tersenyum tipis sekali. “Ren, menikahlah dengannya..”“Galen Pak,” potong Galen, karena Prakoso lupa Namanya.“Ya, Galen.” Prakoso menarik napas, lemah.“Yah, jangan titipkan aku sama orang yang tidak dikenal,” iba Iren.“Maka menikahlah dengannya. Itu amanat terakhirku." Irena yang selama ini hidup mandiri dan bebas memilih, merasa terpojok dengan permintaan terakhir ayahnya yang tidak masuk akal ini.Hatinya berontak, namun melihat ayahnya yang terbaring
Mata Irena Ingga memerah, napasnya tersengal-sengal saat ia menerobos masuk ke ruang gawat darurat rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Dengan nada suara yang terguncang, ia bertanya pada perawat yang lewat, "Dimana ayahku?" tanyanya kemudian menjelaskan jika sang ayah adalah korban kecelakaan mobil.Dengan cepat, ia diantar ke sebuah ruangan di mana sosok ayahnya, Prakoso, terbaring lemah dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya.“Ayah..” Panggil Iren sapaan akrabnya.Saat mendekati tempat tidur ayahnya, Iren melihat seorang pria muda berdiri di sisi lain. Matanya memancarkan amarah saat ia bertanya dengan suara yang keras, “Kamu siapa?” tanyanya heran.Galena yang berada di sana, langsung paham jika ini adalah putri dari pria yang ditabrak sang adik, Belinda.“Saya Galen,” jawab Galen pelan.Iren belum sempat bertanya lagi, karena sang ayah bergumam tidak jelas. “Yah..”Hiks,Iren menangis, sedih sekali melihat cinta pertamanya terbujur lemah seperti ini. Apa yang terjadi sam
Hahaha..“Windi hentikan hahaha..”Di tengah keceriaan yang menggebu di dalam mobil baru berwarna silver yang mengkilap, terdengar suara tawa Belinda dan Windi yang terhenti tiba-tiba saat sebuah dentuman keras mengguncang. Belinda, yang sedang mengemudi, membeku dengan tangan masih tergenggam erat pada kemudi. Wajahnya yang semula berseri-seri kini pucat pasi.Brak..Cittttt..Arkhhhhh..“Argh, itu apa?’ teriak Belinda saat mobilnya menghantam sesuatu hingga menimbulkan suara yang keras, dan rem dia tekan dengan kuat.“Oh my god, apa itu Bel?” pekik Windi teman Belinda yang duduk di bangku penumpang depan.“Oh Tuhan..” pekiknya, jantungnya berdetak sangat hebat. Belinda sungguh syok dengan kejadian tiba-tiba yang baru saja ia alami.“Shit Bel, kita menabrak seseorang,” teriak Windi menunjuk ke arah depan. Di luar, jalanan yang biasanya lengang kini dipenuhi dengan suara klakson dan teriakan.Kepanikan tergambar jelas di wajah Belinda saat dia melihat pria tua yang tergeletak tak berg
Anulika hanya bisa geleng kepala, saat sang suami memenuhi keinginan absurd sang putri, Belinda. Bagaimana tidak, putrinya minta pindah sekolah hanya karena tidak suka makanan di kantin, yang katanya semua tidak ada rasa.“Sudah sayang, tidak apa. Mungkin Belinda ada yang tidak nyaman di sana, dan tidak mau bercerita pada kita,” ucap Naka mengelus punggung sang istri.Naka memandangi wajah Belinda yang cemberut, matanya memelas meminta restu untuk pindah sekolah. "Papi, aku betul-betul tidak suka makanannya di sana," keluh Belinda dengan nada yang hampir menangis.Lika yang sejak tadi memperhatikan, merapatkan bibirnya, tanda ketidaksetujuannya semakin mendalam. "Mas, kita harus ajarkan dia untuk bertahan dan beradaptasi, bukan malah memanjakannya," ucap Lika, suaranya mencoba keras untuk tetap tenang meski jelas terlihat frustrasi.Namun, Naka hanya mengelus kepala Belinda, matanya penuh dengan kasih sayang. "Baiklah, kita cari sekolah yang cocok untukmu," janjinya lembut, membuat Be
5 tahun kemudian ..Srekkkk..Prang..Dukk..Segala bunyi aneh mulai terdengar silih berganti di kediaman Anulika dan Bayanaka Rasyid Gasendra. Siapa lagi biang keladinya kalau bukan si bontot Belinda Charlene Gasendra.Si bungsu sudah berusia lima tahun, kerjanya hanya memporak porandakan rumah saja. Nanti ketika sang mami berteriak kencang, baru dia mau berhenti.Bunyi sayatan dari sofa kulit terdengar, Belinda asik menusukkan gunting yang bekas digunakan sang kakak, Galen. Hingga pecahan gelas karena dia tidak kencang memegang gelas atau ia yang terjedot tembok. Anehnya, dia tidak akan menangis. Tapi kalau maminya sudah marah, Belinda akan menangis sesenggukan. “Sayangggg,” pekik Naka saat pulang dari kantor melihat kelakuan sang anak.Belinda yang melihat papinya pulang langsung melompat kesenangan, “Papi papi,” panggilnya, menodongkan tangan minta digendong.Naka menghela napas melihat anaknya bermain dengan gunting. “Tidka boleh main ini berbahaya.” Naka mengatakan dengan lembu
Naka langsung mengambar sebuah tas besar yang berisi perlengkapan bayi mereka dan Lika. Sepekan setelah dokter mengatakan Lika akan melahirkan, mereka memang mempersipakan semuanya.Lika memegang perutnya, merasa nyeri akan kontraksi yang datang silih berganti. “Mas,” rintih Lika mengejan.“Tahan Yang, jangan di sini.” Naka panik dengan Lika yang kelihatan mengejan.Si kembar yang kebingungan menangis, pelayan pun menenangkan mereka.“Jaga anak-anak,” perintahnya pada pelayan, namun Gala dan Galen menangis histeris melihat mami mereka kesakitan.“Papi itutttt,” teriak mereka.Ah bala bantuan dari kakek nenek tidak datang, saat dibutuhkan. Naka yang tidak tega pun akhirnya menyuruh pelayan membawa mereka di mobil yang berbeda. Lika sudah tidak bisa mengurusi, rasa sakit mengalahkan segalanya.“Kamu nggak nyetir sendiri, mas?” tanya Lika keheranan, karena ada supir di dalam.“Aku nggak kuat, Yang. Supir saja sudah,” lirih Naka, Lika mau tertawa tapi tertahan karena rasa sakitnya.**Me
Anulika terus memandang takjub akan kamar bayi perempuan yang sedang dikandungnya. Bagaimana tidak, kamar bayi dulu bekas kamar si kembar disulap sang suami sangat girly sekali.Kamar yang telah Naka siapkan untuk sang bayi perempuan memancarkan kesan lembut dan hangat. Dinding-dindingnya dicat dengan warna krim yang terang, memberikan kesan lapang dan bersih. Di sudut ruangan, terdapat tempat tidur bayi yang dilengkapi dengan kelambu tipis berwarna putih, menambah nuansa mimpian dan perlindungan.Di sekeliling kamar, terpajang beberapa pernak-pernik berwarna pink yang menambah keceriaan. Sebuah mobile dengan boneka kecil berbentuk bintang dan bulan menggantung di atas tempat tidur, siap menemani tidur sang bayi dengan lembutnya irama yang ditiupkan angin. Lantai kayu berwarna terang dipilih untuk kesan hangat dan alami, dan di atasnya terhampar karpet lembut dengan pola geometris sederhana yang nyaman untuk kaki kecil yang mungkin akan belajar merangkak di sana.“Bagus banget, mas.”
Lika berjalan dengan penuh semangat menuju kantor suaminya, hatinya berbunga-bunga membayangkan kejutan yang akan dia berikan kepada Naka. Bawaannya rindu terus sama sang suami tercinta.Lika ini jarang ke kantor Naka, padahal masih banyak teman-teman lama. Sudah jadi Nyonya besar dia, jadi menunggu suami pulang saja ke rumah.Ceklek,Dengan penuh keyakinan, dia membuka pintu ruangan suaminya sambil berseru lembut, "Papi sayang." Lika menyapa dengan mendayu lembut. Bara tidak ada di mejanya, pasti sedang mewakili suami di luar kantor.Deg,“Sayang,” sahut Naka membalas dengan raut terkehutnya.Namun, kegembiraannya seketika memudar saat melihat Naka sedang serius memimpin rapat dengan beberapa karyawan. Ruangan yang tadinya penuh dengan suara diskusi mendadak hening, semua mata memandangnya dengan tatapan terkejut.“Ehh, lagi rapat ya.” Lika meringis, malu sekali. Dia sudah menanyakan suaminya ada di kantor tidak, Naka menjawab ada. Memang ada, tapi sedang memimpin rapat.Lika merasa
Lika dan Naka merasa senang, masalah Martha dapat diselesaikan dengan baik. Eza dan Rendi Surya juga sudah meminta maaf pada Naka, karena memang keduanya tidak terlibat dalam rencana Martha.Kini, Lika dan Naka sedang mengadakan acara gender reveal bagi anak ketiga mereka. Awalnya Lika tidak mau, karena si kembar dulu juga tidak ada acara. Namun, Mama Nyra mengatakan tidak apa-apa, karena keadaan sudah berubah menjadi membaik. Akhirnya Lika pun mau mengadakan acara itu.Di tengah taman hotel yang luas, berbagai dekorasi alam telah disiapkan dengan cermat untuk pesta gender reveal Lika dan Naka. Lika sendiri yang turun tangan, meski suaminya sudah melarang. “Sayang percuma pakai EO, kalau kamu juga yang atur,” pekik Naka, menarik pinggang suaminya,Lika tertawa, melihat suaminya merengut karena ditinggal istrinya keluar. Mereka sudah berada di hotel, tempat acara akan berlangsung besok. “Gemes mas, ini terlalu indah. Jadi aku mau ikut terlibat,” jelas Lika.“Nggak usah,” tegas Naka,