Share

4

last update Last Updated: 2025-11-26 11:50:19

“Tutup pintunya,” titah Marvin begitu keduanya sampai di ruangan yang cukup luas itu. 

Felly baru tahu pagi ini setelah mencari tau di internet tentang siapa itu Marvin Lee dan apa hubungannya dengan kampusnya.

Marvin Lee adalah pimpinan yayasan dari kampusnya, sebab itulah ia memiliki ruangan khusus yang berbeda dari dosen-dosen lain.

Dengan tangan bergetar, Felly menutup pintu kayu itu dengan pelan, ia berbalik takut-takut dan menunduk dalam-dalam.

Hal ini tak luput dari pandangan Marvin. Pria itu tersenyum tipis dan kemudian menekan pipinya menggunakan lidah dari dalam.

"Duduk," ujar Marvin yang kini sudah duduk terlebih dahulu di single sofa yang berada di depan meja kerjanya.

Felly meneguk ludahnya dengan kasar, lalu duduk di ujung sofa panjang sehingga jarak mereka cukup jauh.

"Kamu ke mana selama dua minggu ini tidak masuk?" tanya Marvin sembari menatap Felly dengan intens.

Yang ditatap begitu tentu saja salah tingkah bukan main. Felly gelisah sambil memilin jemari di atas pangkuan.

"S-saya ... ayah saya meninggal dua minggu lalu, Pak. Lalu, saya juga harus menunggu uang gaji saya turun untuk membayar biaya kuliah," jawab Felly yang memilih menunduk karena tak berdaya ditatap sedemikian intensnya.

Marvin mengernyitkan alisnya.

"Lalu?"

Pertanyaan Marvin yang menggantung itu membuat Felly akhirnya mendongakkan kepala dan memandang Marvin dengan bingung pula.

"L-lalu apa, Pak?" tanya Felly.

Marvin berdiri, mendekat pada Felly yang kian memepetkan duduknya pada sandaran sofa, tak berdaya kala dosennya itu berdiri tepat di hadapannya.

"Lalu kenapa kamu sudah berada di ranjang saya di masa berkabung kematian ayah kamu?"

Felly tertegun, diam menyerap makna kata yang dilontarkan Marvin. Rasa takut di dalam batinnya kini berubah menjadi sesak.

"Karena saya diculik oleh para debt collector itu untuk diserahkan ke bapak. Ya, terima kasih juga, berkat bapak malam itu, saya punya tenggat waktu lama sebelum melunasi seluruh hutangnya."

Akhirnya Felly memilih untuk jujur saja. Toh, Marvin mengenalinya sebagai orang yang tidur satu malam dengannya, tak bisa ia mangkir begitu saja.

"Berapa?" tanya Marvin lagi.

Felly mengerutkan alisnya sebal.

Dosennya satu ini, kalau mengajar di kelas cukup cerewet menjelaskan tentang sumber daya internasional, tapi ketika berdua dengannya kenapa selalu irit bicara?

"Apanya yang berapa, Pak?" tanya Felly. Ketakutan dan sesak di dadanya mulai pudar perlahan.

"Uang yang kamu butuhkan."

Alis Felly naik satu, menatap tak paham pada Marvin. "Maksud bapak apa, sih?"

"Hutang ayah kamu, berapa?"

"Kenapa  bapak tiba-tiba menanyakan itu?"

Marvin menyilangkan tangannya di depan dada, tampak mengintimidasi dan memandang Felly dengan remeh. "Hanya ingin tau saja. Saya ingin menawarkan sebuah perjanjian dengan kamu."

"Perjanjian apa?"

"Saya lunasi hutang ayah kamu, tapi kamu jadi simpanan saya."

Uhuk!

Felly tersedak ludahnya sendiri.

Gila.

Dosen di depannya ini benar-benar gila!

"Bapak mau saya jadi selingkuhan bapak?"

Marvin menggeleng, "Simpanan bukan berarti selingkuhan. Saya belum punya istri atau pacar."

Aneh.

"Maksud bapak, saya akan dijadikan sebagai pelacur pribadi tanpa ikatan hubungan apapun, begitu?"

Marvin menatap Felly dengan tajam, seolah sebuah tatapan saja mampu merobek kepala Felly dengan brutalnya.

"Saya sudah menyederhanakan kata supaya terdengar lebih sopan, kamu sendiri yang membuatnya terlihat begitu buruk. Tapi, ya, anggap saja memang begitu."

Simpanan.

Sopan dari mana kata itu?

Felly kini berdiri, tingginya tak sampai sebahu Marvin, membuatnya begitu kerdil.

"Bapak gila." Adalah kata yang Felly ucapkan sebelum kemudian beranjak pergi dari ruangan yang luas itu.

Marvin tak mengejar, hanya menatap kepergian Felly dengan tatapan yang tak bisa diartikan begitu saja.

— 

"Wahhh, benar-benar gila. Wahhh!!!" Felly menggerutu sepanjang jalan menuju kelas. 

Sungguh, ia tak menyangka akan ditawari untuk menjadi simpanan seorang dosen sekaligus pemimpin yayasan dari kampusnya sekarang hanya karena pernah tidur sekali dengannya.

"Bejat sekali. Memang tidak ada pria yang bisa kita percaya di dunia ini. Wah, rasanya hidupku benar-benar gila."

Dalam kepala Felly, seseorang dengan jabatan sebagai pemimpin yayasan perguruan tinggi harusnya terdidik dan tidak melakukan perbuatan tercela.

Ya, memang benar bahwa laki-laki itu belum menikah ataupun memiliki kekasih, tapi tetap saja, menyewa dirinya untuk menjadi pelacur pribadi itu ... sangat amoral!

"Hei, kenapa kamu berbicara sendiri?" Gista datang dan merangkul bahu Felly yang tampak tak lemas itu.

"Gis, kalau aku menjadi simpanan orang, apa kamu masih mau berteman denganku?"

Gista melotot, "Felly, apa kamu kekurangan uang? Kamu boleh meminjamnya dariku. Kamu butuh berapa? Aku akan pinjamkan!"

Felly tersenyum, menatap Gista dan menggenggam tangannya. "Tidak banyak, hanya seratus juta saja."

Gista terdiam, wajahnya kosong.

Bibirnya terbuka dan menutup berkali-kali. Tampak tak tau harus bertindak seperti apa mendengar ucapan Felly.

Hal itu tampak begitu lucu di mata Felly yang membuatnya tertawa kecil. 

Sesaat kemudian, Gista akhirnya bersuara dengan wajah yang sangat serius. "Felly, kalau begitu, aku akan bantu kamu cari om-om kaya supaya bisa memberimu seratus juta itu."

Akhirnya pecahlah tawa Felly hingga membuat keduanya menjadi pusat perhatian di kelas itu.

"Sudah, sudah. Sehabis ini sudah tidak ada mata kuliah lain, kan?" tanya Felly setelah berhasil menghentikan tawanya.

Gista mengangguk sambil merapikan mejanya. "Yup, dan aku akan keliling mall untuk mencarikanmu om-om kaya. Siapa tau aku bisa kecipratan uangnya, kan?"

Felly menggeplak lengan Gista lalu keduanya tertawa bersama.

Ya, hanya tertawa bersama, nyatanya apa yang mereka tertawakan sangat jauh berbeda.

Gista menertawakan tingkah Felly yang dianggap konyol, sementara Felly menertawakan hidupnya yang begitu lucu dan menyebalkan.

"Kamu mau ikut?" tanya Gista.

Felly menggeleng, "Aku mau kerja, lumayan dari pagi sampai malam, aku bisa dapat uang lemburan."

Gista yang memang tau Felly bekerja sambilan, hanya menghela nafas panjang. Kasihan sekali masa muda Felly tidak bisa dinikmati dengan bebas.

"Ya sudah, aku pulang duluan, ya?" Felly akhirnya berpamitan dengan Gista dan berlalu keluar. 

Di jalan setapak taman kampus, ia berpapasan kembali dengan Marvin yang sepertinya hendak kembali mengajar di kelas lain, namun Felly abaikan itu. Ia bergegas pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

— 

Felly turun dari angkot dan menyusuri gang sempit menuju rumahnya. Rumah peninggalan kedua orang tuanya, satu-satunya yang tersisa.

Seperti biasa, langkahnya disertai was-was. Ia benci bagaimana firasat buruk sering kali benar.

Dari kejauhan, terlihat kerumunan kecil di depan pagar hitam yang sudah ia kenal sejak kecil. Orang-orang berseragam rapi tampak memasang sesuatu. Jantung Felly mencelos. Ia mempercepat langkah.

Begitu tulisan besar di papan putih itu terbaca jelas, lututnya hampir goyah.

“RUMAH INI DISITA.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simpanan Dosen Tampan   6

    Perkuliahan selesai lebih cepat dari biasanya, Felly dengan cepat merapikan mejanya dan bergegas pergi setelah berpamitan pada Gista. Sahabatnya itu tidak curiga apapun, mengira dirinya akan bekerja di minimarket seperti biasanya.Padahal di sinilah Felly berada. Di depan sebuah gedung apartemen mewah yang sesuai dengan alamat yang Marvin kirimkan semalam.Dengan menarik napas panjang, Felly melangkah menuju meja resepsionis, bertanya pada perempuan yang tengah berjaga di sana.“Uhm, maaf. Saya sudah ada janji dengan Pak Marvin dari lantai sembilan belas unit nomor tujuh.”Perempuan itu tersenyum, “Pak Marvin sudah menitipkan pesan tentang anda. Ini passcard, silakan menggunakan lift nomor tiga dari kiri.”Felly mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lantas kemudian bergegas menaiki lift dan menuju lantai sembilan belas.“Ini langsung masuk atau bagaimana, ya?” gumam Felly.Sebab sudah tiga kali ia menekan bel, tapi tidak ada yang keluar membukakan pintu untuknya. Lama menimbang, ak

  • Simpanan Dosen Tampan   5

    Seakan seluruh udara di dadanya tersedot habis.Felly merangsek maju, suara gemetar keluar dari mulutnya. “Pak, ini maksudnya apa? Kenapa rumah saya ditempeli ini?”Salah satu pria menoleh. Formal, rapi, ekspresinya datar, bahkan terlalu datar untuk berita yang bisa meruntuhkan hidup seseorang.“Selamat siang, Nona. Kami dari pihak bank. Apakah Anda keluarga dari almarhum Pak Herman?”Felly mengangguk cepat, tak sempat menata napas. “Iya, saya anaknya. Tapi ... tapi baru dua minggu Ayah meninggal. Kenapa kalian langsung menyita?”Pria itu membuka map coklat, menunjukkan berkas-berkas yang tertata rapi namun terasa seperti vonis.“Kami turut berduka, Nona. Namun cicilan kredit rumah ini sudah menunggak hampir sepuluh bulan sebelum almarhum wafat. Bank sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali, termasuk menawarkan restrukturisasi. Karena tidak ada pembayaran hingga batas waktu terakhir, proses penyitaan sudah dijadwalkan sebelum beliau meninggal.”Felly terpaku. Suaranya patah.“S

  • Simpanan Dosen Tampan   4

    “Tutup pintunya,” titah Marvin begitu keduanya sampai di ruangan yang cukup luas itu. Felly baru tahu pagi ini setelah mencari tau di internet tentang siapa itu Marvin Lee dan apa hubungannya dengan kampusnya.Marvin Lee adalah pimpinan yayasan dari kampusnya, sebab itulah ia memiliki ruangan khusus yang berbeda dari dosen-dosen lain.Dengan tangan bergetar, Felly menutup pintu kayu itu dengan pelan, ia berbalik takut-takut dan menunduk dalam-dalam.Hal ini tak luput dari pandangan Marvin. Pria itu tersenyum tipis dan kemudian menekan pipinya menggunakan lidah dari dalam."Duduk," ujar Marvin yang kini sudah duduk terlebih dahulu di single sofa yang berada di depan meja kerjanya.Felly meneguk ludahnya dengan kasar, lalu duduk di ujung sofa panjang sehingga jarak mereka cukup jauh."Kamu ke mana selama dua minggu ini tidak masuk?" tanya Marvin sembari menatap Felly dengan intens.Yang ditatap begitu tentu saja salah tingkah bukan main. Felly gelisah sambil memilin jemari di atas pang

  • Simpanan Dosen Tampan   3

    Di ruang kelas yang ramai.Felly sudah mengetap kursi di sampingnya, berada di pojok ruangan sementara Gista belum juga datang."Katanya dosennya killer, tapi masih saja terlambat." Gumam Felly sembari menatap nanar pada kursi di sampingnya.Dap dap dap.Bunyi pantofel mengetuk lorong kampus yang sedikit sepi di pagi itu. Seluruh mahasiswa di dalam kelas menghentikan obrolan mereka, membuat suasana kian hening.Felly jadi penasaran, se-killer apa dosen satu ini sampai-sampai kelasnya yang dikenal begitu berisik memilih untuk diam tanpa kata sedikitpun.Pintu terbuka, pandangan Felly tertuju pada pintu itu, membuatnya harus bertatapan dengan mata tajam yang mengerikan. "D-dia, bukannya laki-laki malam itu?"Wajah Felly memucat, matanya melotot dan menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya.Dosen bernama Marvin Lee itu, adalah pria yang sama yang harusnya Felly puaskan malam itu!Wajah tampan itu begitu sulit lepas dari kepalanya, sampai-sampai dengan mudahnya ia bisa mengenali waja

  • Simpanan Dosen Tampan   2

    Tangan besar laki-laki itu mulai melucuti kancing baju Felly perlahan, melemparkan pakaian gadis itu ke sembarang arah. Sentuhan yang entah sengaja atau tak sengaja dari jemari kasar itu membuat bulu kuduk Felly meremang hebat. Tanpa sadar, tubuh atas Felly sudah terekspos dengan jelasnya. Kemejanya entah sudah terbang ke mana, menyisakan bra putih yang polos.Asetnya tidak sebesar milik selebriti terkenal di negaranya, pun tak sekecil itu. Pas untuk ukuran tubuhnya tanpa perlu menyiksa ataupun insecure dibuatnya."Cantik," bisik lelaki itu yang kini bibirnya sudah menjelajahi leher Felly dengan lihainya."A-nghh, j-jangan digigit," balas Felly dengan pelan.Ada gelenyar aneh yang tak bisa ia jelaskan. Bagian bawahnya sudah berkedut hebat. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya."AAHHH, j-jangan di situ!" tangan Felly menahan tangan laki-laki itu yang bergerak di atas kemaluannya yang masih terbungkus dengan celana jeans ketat."Sssttt, nanti juga enak," bisik laki-laki itu yang ke

  • Simpanan Dosen Tampan   1

    "Kalau mau mati, setidaknya jangan tinggalkan beban padaku, Ayah."Gadis itu bersuara lirih, penuh dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.Felly Armany, seorang gadis cantik yang malang. Sejak usia empat belas sudah ditinggal mati ibunya, kini di usianya yang menginjak dua puluh satu, ayahnya menyusul sang ibu dan meninggalkan hutang sebesar dua ratus juta pada seorang lintah darat.Dua ratus juta! Bayangkan!Mau dapat pundi-pundi dari mana jika dirinya hanyalah mahasiswi semester lima yang hanya bekerja sambilan di minimarket depan gang rumah?Felly menghela napas panjang, menatap kakinya yang terdapat luka-luka sebab pelariannya dari para penagih hutang. Dengan meringis ngilu, Felly menuju saung yang ada di sekitar makam."Malam ini tidur di makam dulu. Aku bisa mati jika pulang ke rumah dan ditemukan oleh para debt collector sialan itu."Memasuki musim hujan, udara jadi panas, namun di malam hari akan sangat dingin. Felly menepuk-nepuk bangku panjang itu dan mulai mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status