Share

3

last update Last Updated: 2025-11-25 22:43:41

Di ruang kelas yang ramai.

Felly sudah mengetap kursi di sampingnya, berada di pojok ruangan sementara Gista belum juga datang.

"Katanya dosennya killer, tapi masih saja terlambat." Gumam Felly sembari menatap nanar pada kursi di sampingnya.

Dap dap dap.

Bunyi pantofel mengetuk lorong kampus yang sedikit sepi di pagi itu. Seluruh mahasiswa di dalam kelas menghentikan obrolan mereka, membuat suasana kian hening.

Felly jadi penasaran, se-killer apa dosen satu ini sampai-sampai kelasnya yang dikenal begitu berisik memilih untuk diam tanpa kata sedikitpun.

Pintu terbuka, pandangan Felly tertuju pada pintu itu, membuatnya harus bertatapan dengan mata tajam yang mengerikan. 

"D-dia, bukannya laki-laki malam itu?"

Wajah Felly memucat, matanya melotot dan menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya.

Dosen bernama Marvin Lee itu, adalah pria yang sama yang harusnya Felly puaskan malam itu!

Wajah tampan itu begitu sulit lepas dari kepalanya, sampai-sampai dengan mudahnya ia bisa mengenali wajah itu hanya dalam sekali lihat meski kejadian malam itu sudah seminggu berlalu.

Samar, ia bisa melihat senyum miring tercetak tipis di bibir pria itu.

"Awww!" Suara cempreng Gista membuyarkan segala pikiran yang ada di kepala Felly.

Felly menatap Gista yang tersungkur karena menabrak dosen itu tanpa tedeng aling-aling.

"P-pak Marvin, maaf, Pak," ucap Gista sembari menunduk, ia buru-buru berdiri.

Gista si pecinta laki-laki tampan yang tak pernah membiarkan matanya meninggalkan pahatan sempurna dari ketampanan itu, kini menunduk?

Sepertinya dosen muda ini benar-benar killer.

"Sudah terlambat, menabrak dosen pula. Matamu itu benar-benar harus diperiksakan ke dokter mata, Sinta!" tegur Marvin.

Gista akhirnya mendongak dan memberengut menatap Marvin, "Nama saya Gistaaa, Pak. Sudah dua minggu masih saja salah." Gista menggerutu.

Marvin mengusap wajahnya dan mendengus keras. "Sudah sana, duduk di kursimu."

Marvin membiarkan Gista berjalan dengan menunduk, menuju bangku yang sudah disiapkan oleh Felly di ujung belakang. Ia sendiri berjalan menuju bangku dosen, membuka laptopnya dan menyambungkannya pada proyektor.

Felly merasa gelisah selama kelas berlangsung. Dari senyum tipisnya tadi, dosen itu pasti mengenali Felly. Dan Felly, ah, ia akan berpura-pura tidak mengenalnya.

Dua jam pelajaran pun berakhir, Marvin mengakhiri kelas sembari menata laptopnya.

"Yang duduk di pojok ruangan, dua minggu saya mengajar, tapi baru melihat kamu di sana. Ikut saya ke ruangan dosen, saya perlu data kamu."

Alasan!

Felly bisa melihat itu di dalam tatapan yang Marvin layangkan. Namun statusnya sebagai mahasiswa, bisa apa selain mengangguk mengiyakan?

"B-baik, Pak."

Gista menoleh pada Felly dengan tatapan penuh rasa kasihan, “Kamu hanya perlu dengarkan dia, jangan sekalipun membantah kalau tidak mau dibantai,” bisik Gista.

Felly tersenyum kaku, lantas kemudian ia mengikuti langkah lebar Marvin di depannya. Membiarkan langkahnya terseok-seok karena panjang kaki keduanya yang cukup signifikan.

"Selamat pagi," sapa Marvin basa-basi pada para dosen yang kebetulan ada di dalam ruangan. Sapaan itu mendapatkan respon hangat dari semua yang ada di ruangan itu.

"Lho, Pak Marvin kenapa bawa Felly?" tanya Bu Intan.

Felly memang cukup terkenal di kalangan dosen karena kepintarannya, bahkan di beberapa semester lalu, pernah menjadi asisten dosen di beberapa mata kuliah.

Marvin menoleh pada Felly di belakangnya, "Ada urusan. Dia kemarin belum masuk selama dua minggu, saya butuh datanya."

"Bisa minta di bagian akademik, Pak," balas Bu Intan lagi dengan lembut.

Felly mengangguk setuju, ia menoleh pada Marvin yang masih menatapnya. Felly meneguk ludahnya. Seolah dari tatapan matanya, Marvin mengancamnya.

"Ehm, Bu Intan. Sebenarnya saya ada perlu dengan Pak Marvin, ada beberapa materi yang belum saya pahami karena dua minggu kemarin saya belum masuk,” ujar Felly karena risih terus-terusan dilirik tajam oleh Marvin.

Bu Intan lalu mengangguk dan tersenyum.

"Oh, seperti itu. Ya sudah, silahkan dilanjutkan. Felly ini anak yang pintar, Pak Marvin jangan terlalu keras padanya, ya?"

Marvin mengangguk saja tanpa berkata apapun.

Felly membalas senyum Bu Intan dengan manis, lalu mendengus sebal kala menyadari harus ikut bersama Marvin ke dalam ruangan dosen itu.

'Aku harus bagaimana nanti di dalam sana?' batin Felly yang berisik penuh dengan segala kemungkinan buruk.

‘Apakah dia akan menagih jatah yang malam itu tidak jadi ia renggut? Huhuhu, aku pikir sudah bebas dari laki-laki ini,’ batin Felly lagi.

Marvin membuka pintu ruangannya dan masuk terlebih dahulu. Felly hanya bisa terbengong di depan pintu kayu itu tanpa bergerak sedikitpun.

Marvin mendengus, ia mengetukkan buku yang ia bawa ke meja hingga menyadarkan Felly dari lamunannya.

"Tutup pintunya,” titah Marvin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simpanan Dosen Tampan   6

    Perkuliahan selesai lebih cepat dari biasanya, Felly dengan cepat merapikan mejanya dan bergegas pergi setelah berpamitan pada Gista. Sahabatnya itu tidak curiga apapun, mengira dirinya akan bekerja di minimarket seperti biasanya.Padahal di sinilah Felly berada. Di depan sebuah gedung apartemen mewah yang sesuai dengan alamat yang Marvin kirimkan semalam.Dengan menarik napas panjang, Felly melangkah menuju meja resepsionis, bertanya pada perempuan yang tengah berjaga di sana.“Uhm, maaf. Saya sudah ada janji dengan Pak Marvin dari lantai sembilan belas unit nomor tujuh.”Perempuan itu tersenyum, “Pak Marvin sudah menitipkan pesan tentang anda. Ini passcard, silakan menggunakan lift nomor tiga dari kiri.”Felly mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lantas kemudian bergegas menaiki lift dan menuju lantai sembilan belas.“Ini langsung masuk atau bagaimana, ya?” gumam Felly.Sebab sudah tiga kali ia menekan bel, tapi tidak ada yang keluar membukakan pintu untuknya. Lama menimbang, ak

  • Simpanan Dosen Tampan   5

    Seakan seluruh udara di dadanya tersedot habis.Felly merangsek maju, suara gemetar keluar dari mulutnya. “Pak, ini maksudnya apa? Kenapa rumah saya ditempeli ini?”Salah satu pria menoleh. Formal, rapi, ekspresinya datar, bahkan terlalu datar untuk berita yang bisa meruntuhkan hidup seseorang.“Selamat siang, Nona. Kami dari pihak bank. Apakah Anda keluarga dari almarhum Pak Herman?”Felly mengangguk cepat, tak sempat menata napas. “Iya, saya anaknya. Tapi ... tapi baru dua minggu Ayah meninggal. Kenapa kalian langsung menyita?”Pria itu membuka map coklat, menunjukkan berkas-berkas yang tertata rapi namun terasa seperti vonis.“Kami turut berduka, Nona. Namun cicilan kredit rumah ini sudah menunggak hampir sepuluh bulan sebelum almarhum wafat. Bank sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali, termasuk menawarkan restrukturisasi. Karena tidak ada pembayaran hingga batas waktu terakhir, proses penyitaan sudah dijadwalkan sebelum beliau meninggal.”Felly terpaku. Suaranya patah.“S

  • Simpanan Dosen Tampan   4

    “Tutup pintunya,” titah Marvin begitu keduanya sampai di ruangan yang cukup luas itu. Felly baru tahu pagi ini setelah mencari tau di internet tentang siapa itu Marvin Lee dan apa hubungannya dengan kampusnya.Marvin Lee adalah pimpinan yayasan dari kampusnya, sebab itulah ia memiliki ruangan khusus yang berbeda dari dosen-dosen lain.Dengan tangan bergetar, Felly menutup pintu kayu itu dengan pelan, ia berbalik takut-takut dan menunduk dalam-dalam.Hal ini tak luput dari pandangan Marvin. Pria itu tersenyum tipis dan kemudian menekan pipinya menggunakan lidah dari dalam."Duduk," ujar Marvin yang kini sudah duduk terlebih dahulu di single sofa yang berada di depan meja kerjanya.Felly meneguk ludahnya dengan kasar, lalu duduk di ujung sofa panjang sehingga jarak mereka cukup jauh."Kamu ke mana selama dua minggu ini tidak masuk?" tanya Marvin sembari menatap Felly dengan intens.Yang ditatap begitu tentu saja salah tingkah bukan main. Felly gelisah sambil memilin jemari di atas pang

  • Simpanan Dosen Tampan   3

    Di ruang kelas yang ramai.Felly sudah mengetap kursi di sampingnya, berada di pojok ruangan sementara Gista belum juga datang."Katanya dosennya killer, tapi masih saja terlambat." Gumam Felly sembari menatap nanar pada kursi di sampingnya.Dap dap dap.Bunyi pantofel mengetuk lorong kampus yang sedikit sepi di pagi itu. Seluruh mahasiswa di dalam kelas menghentikan obrolan mereka, membuat suasana kian hening.Felly jadi penasaran, se-killer apa dosen satu ini sampai-sampai kelasnya yang dikenal begitu berisik memilih untuk diam tanpa kata sedikitpun.Pintu terbuka, pandangan Felly tertuju pada pintu itu, membuatnya harus bertatapan dengan mata tajam yang mengerikan. "D-dia, bukannya laki-laki malam itu?"Wajah Felly memucat, matanya melotot dan menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya.Dosen bernama Marvin Lee itu, adalah pria yang sama yang harusnya Felly puaskan malam itu!Wajah tampan itu begitu sulit lepas dari kepalanya, sampai-sampai dengan mudahnya ia bisa mengenali waja

  • Simpanan Dosen Tampan   2

    Tangan besar laki-laki itu mulai melucuti kancing baju Felly perlahan, melemparkan pakaian gadis itu ke sembarang arah. Sentuhan yang entah sengaja atau tak sengaja dari jemari kasar itu membuat bulu kuduk Felly meremang hebat. Tanpa sadar, tubuh atas Felly sudah terekspos dengan jelasnya. Kemejanya entah sudah terbang ke mana, menyisakan bra putih yang polos.Asetnya tidak sebesar milik selebriti terkenal di negaranya, pun tak sekecil itu. Pas untuk ukuran tubuhnya tanpa perlu menyiksa ataupun insecure dibuatnya."Cantik," bisik lelaki itu yang kini bibirnya sudah menjelajahi leher Felly dengan lihainya."A-nghh, j-jangan digigit," balas Felly dengan pelan.Ada gelenyar aneh yang tak bisa ia jelaskan. Bagian bawahnya sudah berkedut hebat. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya."AAHHH, j-jangan di situ!" tangan Felly menahan tangan laki-laki itu yang bergerak di atas kemaluannya yang masih terbungkus dengan celana jeans ketat."Sssttt, nanti juga enak," bisik laki-laki itu yang ke

  • Simpanan Dosen Tampan   1

    "Kalau mau mati, setidaknya jangan tinggalkan beban padaku, Ayah."Gadis itu bersuara lirih, penuh dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.Felly Armany, seorang gadis cantik yang malang. Sejak usia empat belas sudah ditinggal mati ibunya, kini di usianya yang menginjak dua puluh satu, ayahnya menyusul sang ibu dan meninggalkan hutang sebesar dua ratus juta pada seorang lintah darat.Dua ratus juta! Bayangkan!Mau dapat pundi-pundi dari mana jika dirinya hanyalah mahasiswi semester lima yang hanya bekerja sambilan di minimarket depan gang rumah?Felly menghela napas panjang, menatap kakinya yang terdapat luka-luka sebab pelariannya dari para penagih hutang. Dengan meringis ngilu, Felly menuju saung yang ada di sekitar makam."Malam ini tidur di makam dulu. Aku bisa mati jika pulang ke rumah dan ditemukan oleh para debt collector sialan itu."Memasuki musim hujan, udara jadi panas, namun di malam hari akan sangat dingin. Felly menepuk-nepuk bangku panjang itu dan mulai mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status