Share

5

last update Last Updated: 2025-11-26 13:41:58

Seakan seluruh udara di dadanya tersedot habis.

Felly merangsek maju, suara gemetar keluar dari mulutnya. “Pak, ini maksudnya apa? Kenapa rumah saya ditempeli ini?”

Salah satu pria menoleh. Formal, rapi, ekspresinya datar, bahkan terlalu datar untuk berita yang bisa meruntuhkan hidup seseorang.

“Selamat siang, Nona. Kami dari pihak bank. Apakah Anda keluarga dari almarhum Pak Herman?”

Felly mengangguk cepat, tak sempat menata napas. “Iya, saya anaknya. Tapi ... tapi baru dua minggu Ayah meninggal. Kenapa kalian langsung menyita?”

Pria itu membuka map coklat, menunjukkan berkas-berkas yang tertata rapi namun terasa seperti vonis.

“Kami turut berduka, Nona. Namun cicilan kredit rumah ini sudah menunggak hampir sepuluh bulan sebelum almarhum wafat. Bank sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali, termasuk menawarkan restrukturisasi. Karena tidak ada pembayaran hingga batas waktu terakhir, proses penyitaan sudah dijadwalkan sebelum beliau meninggal.”

Felly terpaku. Suaranya patah.

“Sepuluh bulan? Ayah tidak pernah bilang apa pun.”

Petugas lain maju, suaranya lebih pelan, sopan namun berita yang disampaikannya tetap terasa keras menghantam Felly.

“Mungkin almarhum tidak ingin membebani Anda. Namun secara hukum, kami harus mengeksekusi penyitaan hari ini. Jika pihak keluarga bersedia mengajukan pelunasan atau negosiasi cicilan, kami bisa menunda sementara.”

Felly tertawa hambar, bukan karena lucu, tapi karena punggungnya seperti ditarik realitas pahit.

“Negosiasi? Pelunasan? Dengan apa?” suaranya pecah. “Saya kerja sambilan untuk hidup. Ayah baru pergi dua minggu lalu. Kalian pikir saya mampu bayar utang sebesar ini?”

Keheningan jatuh. Tidak ada jawaban. Hanya papan putih di pagar rumahnya yang berdiri seperti kuburan kedua.

Mata Felly memindai sekitar, pagar yang hanya sepinggang itu masih bisa memperlihatkan halaman luas yang dulu menjadi tempatnya bermain bersama kedua orang tuanya.

Sebenarnya, sejak kapan semua ini bermula? Sejak kapan hidupnya yang sempurna itu kini jadi malapetaka?

Lalu tiba-tiba sekelebat bayangan datang di kepala Felly.

"Saya lunasi hutang ayah kamu, tapi kamu jadi simpanan saya."

Kalimat itu terngiang di kepalanya berulang kali.

Felly kemudian kembali menghampiri orang bank itu, "Pak, bagaimana supaya rumah saya tidak jadi disita?"

Pihak bank itu saling pandang, mereka tersenyum dan salah satunya berkata, "Sebenarnya ini situasi yang sulit, apalagi Pak Herman tidak meng-klaim asuransi jiwa. Tapi, nona punya waktu 1 bulan untuk tunjukkan komitmen pembayaran, kalau tidak, penyitaan tetap berjalan.”

Felly menggigit bibirnya.

"K-kalau begitu, dalam kurun waktu satu bulan itu, apa saya masih boleh menempati rumah ini? Misal nanti saya tidak bisa membayar, mungkin saya bisa mencari tempat tinggal baru dulu."

"Ya, tidak apa-apa, tapi tidak apakah anda baik-baik saja tinggal di sini tapi ada plang sita ini?"

Felly menatap papan itu, meneguk ludahnya, lalu mengangguk. "Ya, tidak apa-apa."

Lagipula, masih mending menahan malu dengan plang itu dari pada harus menjadi gelandangan dan tidur di luar.

"Ya sudah. Kalau begitu kami permisi, ini kartu nama saya, kalau nona sudah siap untuk bernegosiasi, silahkan hubungi saya. Kalau sampai satu bulan dari hari ini tidak ada kabar, maka anda harus siap untuk mengosongkan rumah ini."

Felly mengambil kartu nama itu dan kemudian membiarkan dua orang bank itu pergi meninggalkannya.

Gang yang tadi terdengar ramai kini seperti kehilangan suara, hanya angin dan dadanya yang bergemuruh.

— 

Felly tak jadi bekerja. Tak akan mampu hadapi para pelanggan yang tingkahnya ada-ada saja.

Untung saja dirinya tak sering cuti, sehingga izin mudah saja didapatkannya. Kini ia terduduk di depan nakas kamar ayah dan ibunya, memeluk foto keluarga dengan senyum lebar.

Bau kamper dari lemari tua, debu yang tak tersentuh sejak pemakaman, dan sunyi yang menyesakkan. Seolah rumah itu sendiri ikut menangis. Ia menoleh ke samping, ada sebilah pisau tajam yang entah kenapa ia taruh di sisinya.

Perlahan, tangan Felly terangkat, mendekat pada bilah tajam itu dan mengambilnya.

Namun, sebelum ada hal buruk terjadi, Felly segera melempar pisau itu hingga berbunyi nyaring di rumah yang sunyi itu.

Trangg...

"Aku pasti sudah gila," gumam Felly. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar, ia menangis, tapi tak bersuara.

Tidak. Ia tidak akan mati.

Banyak hal yang ingin ia lakukan.

Seberat apapun hidupnya, mengakhiri hidup tidak pernah menjadi pilihan yang akan ia ambil.

Felly berdiri, lalu duduk di ranjang dan mengambil ponselnya. Entah pikiran dari mana, ia mencari kontak dan menemukan nama "Pak Marvin" di sana. 

Tanpa pikir panjang, Felly menekan tombol hijau untuk menghubungi nomor itu.

Hanya dalam dua dering, panggilan itu diangkat.

"Saya pikir kamu setidaknya butuh waktu satu minggu, ternyata kamu lebih cepat untuk menghubungi saya."

Suara dengan nada penuh ejekan itu membuat darah Felly berdesir, ada kebencian dan kesedihan yang bertumpuk.

"Bapak bisa kasih saya berapa?"

Senyum di seberang terdengar melalui nada bicaranya.

"Seberapapun yang kamu minta," suara Marvin halus namun mengerikan. “Asal kamu ikut semua aturan saya.”

Gila. 

Itu seperti tangan iblis yang menawarkan pelukan.

Seberapapun manisnya, tetap saja iblis yang akan membawanya ke neraka terdalam.

Hening beberapa detik. Jantung Felly berdegup bukan karena takut, tapi karena putus asa yang tak tersisa ruang untuk pilihan lain.

"Kapan kita tandatangani perjanjiannya?"

Kalimat itu keluar. Entah dari mulut perempuan yang masih bernyawa, atau dari jiwa yang sudah mati.

Dan Felly pun sama gilanya.

Atau mungkin, dunia yang membuatnya begini.

 “Besok, setelah kelas usai, temui saya di alamat yang akan saya kirimkan nanti.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Simpanan Dosen Tampan   6

    Perkuliahan selesai lebih cepat dari biasanya, Felly dengan cepat merapikan mejanya dan bergegas pergi setelah berpamitan pada Gista. Sahabatnya itu tidak curiga apapun, mengira dirinya akan bekerja di minimarket seperti biasanya.Padahal di sinilah Felly berada. Di depan sebuah gedung apartemen mewah yang sesuai dengan alamat yang Marvin kirimkan semalam.Dengan menarik napas panjang, Felly melangkah menuju meja resepsionis, bertanya pada perempuan yang tengah berjaga di sana.“Uhm, maaf. Saya sudah ada janji dengan Pak Marvin dari lantai sembilan belas unit nomor tujuh.”Perempuan itu tersenyum, “Pak Marvin sudah menitipkan pesan tentang anda. Ini passcard, silakan menggunakan lift nomor tiga dari kiri.”Felly mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Lantas kemudian bergegas menaiki lift dan menuju lantai sembilan belas.“Ini langsung masuk atau bagaimana, ya?” gumam Felly.Sebab sudah tiga kali ia menekan bel, tapi tidak ada yang keluar membukakan pintu untuknya. Lama menimbang, ak

  • Simpanan Dosen Tampan   5

    Seakan seluruh udara di dadanya tersedot habis.Felly merangsek maju, suara gemetar keluar dari mulutnya. “Pak, ini maksudnya apa? Kenapa rumah saya ditempeli ini?”Salah satu pria menoleh. Formal, rapi, ekspresinya datar, bahkan terlalu datar untuk berita yang bisa meruntuhkan hidup seseorang.“Selamat siang, Nona. Kami dari pihak bank. Apakah Anda keluarga dari almarhum Pak Herman?”Felly mengangguk cepat, tak sempat menata napas. “Iya, saya anaknya. Tapi ... tapi baru dua minggu Ayah meninggal. Kenapa kalian langsung menyita?”Pria itu membuka map coklat, menunjukkan berkas-berkas yang tertata rapi namun terasa seperti vonis.“Kami turut berduka, Nona. Namun cicilan kredit rumah ini sudah menunggak hampir sepuluh bulan sebelum almarhum wafat. Bank sudah mengirimkan surat peringatan berkali-kali, termasuk menawarkan restrukturisasi. Karena tidak ada pembayaran hingga batas waktu terakhir, proses penyitaan sudah dijadwalkan sebelum beliau meninggal.”Felly terpaku. Suaranya patah.“S

  • Simpanan Dosen Tampan   4

    “Tutup pintunya,” titah Marvin begitu keduanya sampai di ruangan yang cukup luas itu. Felly baru tahu pagi ini setelah mencari tau di internet tentang siapa itu Marvin Lee dan apa hubungannya dengan kampusnya.Marvin Lee adalah pimpinan yayasan dari kampusnya, sebab itulah ia memiliki ruangan khusus yang berbeda dari dosen-dosen lain.Dengan tangan bergetar, Felly menutup pintu kayu itu dengan pelan, ia berbalik takut-takut dan menunduk dalam-dalam.Hal ini tak luput dari pandangan Marvin. Pria itu tersenyum tipis dan kemudian menekan pipinya menggunakan lidah dari dalam."Duduk," ujar Marvin yang kini sudah duduk terlebih dahulu di single sofa yang berada di depan meja kerjanya.Felly meneguk ludahnya dengan kasar, lalu duduk di ujung sofa panjang sehingga jarak mereka cukup jauh."Kamu ke mana selama dua minggu ini tidak masuk?" tanya Marvin sembari menatap Felly dengan intens.Yang ditatap begitu tentu saja salah tingkah bukan main. Felly gelisah sambil memilin jemari di atas pang

  • Simpanan Dosen Tampan   3

    Di ruang kelas yang ramai.Felly sudah mengetap kursi di sampingnya, berada di pojok ruangan sementara Gista belum juga datang."Katanya dosennya killer, tapi masih saja terlambat." Gumam Felly sembari menatap nanar pada kursi di sampingnya.Dap dap dap.Bunyi pantofel mengetuk lorong kampus yang sedikit sepi di pagi itu. Seluruh mahasiswa di dalam kelas menghentikan obrolan mereka, membuat suasana kian hening.Felly jadi penasaran, se-killer apa dosen satu ini sampai-sampai kelasnya yang dikenal begitu berisik memilih untuk diam tanpa kata sedikitpun.Pintu terbuka, pandangan Felly tertuju pada pintu itu, membuatnya harus bertatapan dengan mata tajam yang mengerikan. "D-dia, bukannya laki-laki malam itu?"Wajah Felly memucat, matanya melotot dan menatap tak percaya pada apa yang dilihatnya.Dosen bernama Marvin Lee itu, adalah pria yang sama yang harusnya Felly puaskan malam itu!Wajah tampan itu begitu sulit lepas dari kepalanya, sampai-sampai dengan mudahnya ia bisa mengenali waja

  • Simpanan Dosen Tampan   2

    Tangan besar laki-laki itu mulai melucuti kancing baju Felly perlahan, melemparkan pakaian gadis itu ke sembarang arah. Sentuhan yang entah sengaja atau tak sengaja dari jemari kasar itu membuat bulu kuduk Felly meremang hebat. Tanpa sadar, tubuh atas Felly sudah terekspos dengan jelasnya. Kemejanya entah sudah terbang ke mana, menyisakan bra putih yang polos.Asetnya tidak sebesar milik selebriti terkenal di negaranya, pun tak sekecil itu. Pas untuk ukuran tubuhnya tanpa perlu menyiksa ataupun insecure dibuatnya."Cantik," bisik lelaki itu yang kini bibirnya sudah menjelajahi leher Felly dengan lihainya."A-nghh, j-jangan digigit," balas Felly dengan pelan.Ada gelenyar aneh yang tak bisa ia jelaskan. Bagian bawahnya sudah berkedut hebat. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya."AAHHH, j-jangan di situ!" tangan Felly menahan tangan laki-laki itu yang bergerak di atas kemaluannya yang masih terbungkus dengan celana jeans ketat."Sssttt, nanti juga enak," bisik laki-laki itu yang ke

  • Simpanan Dosen Tampan   1

    "Kalau mau mati, setidaknya jangan tinggalkan beban padaku, Ayah."Gadis itu bersuara lirih, penuh dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.Felly Armany, seorang gadis cantik yang malang. Sejak usia empat belas sudah ditinggal mati ibunya, kini di usianya yang menginjak dua puluh satu, ayahnya menyusul sang ibu dan meninggalkan hutang sebesar dua ratus juta pada seorang lintah darat.Dua ratus juta! Bayangkan!Mau dapat pundi-pundi dari mana jika dirinya hanyalah mahasiswi semester lima yang hanya bekerja sambilan di minimarket depan gang rumah?Felly menghela napas panjang, menatap kakinya yang terdapat luka-luka sebab pelariannya dari para penagih hutang. Dengan meringis ngilu, Felly menuju saung yang ada di sekitar makam."Malam ini tidur di makam dulu. Aku bisa mati jika pulang ke rumah dan ditemukan oleh para debt collector sialan itu."Memasuki musim hujan, udara jadi panas, namun di malam hari akan sangat dingin. Felly menepuk-nepuk bangku panjang itu dan mulai mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status