LOGINSetelah rapat usai, Diego, staf, termasuk Julia kembali ke ruangan masing-masing. Di ruangan Diego, Pablo sudah menunggu untuk memberikan informasi. Sejujurnya, Diego sudah tahu sedikit latar belakang keluarga Julia yang sederhana, tetapi ia berharap dapat menemukan fakta lain.
"Apa yang kau dapat?" "Mengejutkan, Tuan." "Maksudmu? Apa ia berbohong soal ibunya yang sakit? "Bukan itu." Pablo meletakkan map berisi data-data keluarga Julia Rivas di atas meja. Diego membaca dengan saksama. Ia mengetahui bahwa orang tua Julia hanya tersisa ibunya yang tengah terbaring sakit dengan komplikasi berat. "Carmen Elga Rivas, 55 tahun. Ayahnya, Carlos Rivas, sudah meninggal entah atau pergi tak diketahui rimbanya, Julia anak kedua dari tiga bersaudara: Armand Gonzalo Rivas, 27 tahun, pekerjaan tidak jelas, pemabuk, dan penjudi. Julia Federicka Rivas, 25 tahun, lulusan terbaik manajemen bisnis dan perkantoran dengan jalur beasiswa. Laura Benedicta Rivas, 22 tahun, menghilang dari Spanyol 3 tahun yang lalu, kini di L.A. sebagai bintang porno dengan nama panggung Karen Monroe." Diego membaca ulang informasi itu sambil mengerutkan dahinya. "Apa ini valid?" "Tentu. Di sana ada foto kakak dan adik Julia 3.5 tahun lalu saat perayaan natal, sebelum Laura pergi dari Spanyol. Saya selipkan juga foto Laura yang sekarang dengan penampilan terbarunya di beberapa rumah produksi film dewasa itu, Tuan. Bagaimana, Tuan? Adiknya juga tidak kalah cantik, usianya baru 22 tahun." Diego terdiam, sorot matanya yang sebiru es kini diselimuti lapisan ketertarikan yang gelap. Ia tidak peduli soal kepergian ayah Julia, atau bahkan pekerjaan Armand. Yang menarik perhatiannya adalah kontras ekstrem dalam keluarga itu: keluguan seorang sekretaris yang berjuang yaitu Julia Rivas yang penuh dedikasi dan keberanian adik perempuannya yang memilih jalan gelap Laura Rivas-Karen Monroe. "Dua puluh dua tahun," ulang Diego, nyaris berbisik, memandang foto Laura yang sekarang. "Kecantikan Duo Rivas ini memang memukau, hanya saja di jalur yang berbeda." Ia menutup map itu dengan bunyi keras, mengalihkan pandangan tajamnya pada Pablo. "Kekasihnya. Miguel Sanchez." "Miguel Sanchez, Tuan. Akuntan di lantai tiga. Mereka berpacaran sekitar setahun. Miguel berasal dari keluarga menengah atas, ambisius, tapi enggan bertanggung jawab. Saat Julia datang padanya dengan masalah biaya rumah sakit, ia menolaknya mentah-mentah. Sebuah penolakan yang sempurna, Tuan, dan sangat membantu rencana Anda." Diego menyeringai, senyum predatornya kembali. "Sempurna. Jadi dia seorang pengecut yang hanya mau menerima keuntungan tanpa mau menanggung kerugian." Ia menyandarkan punggungnya ke kursi mahal, jari-jarinya mengetuk meja. "Pablo, persiapkan kontraknya. Pastikan klausulnya mengikat, jelas, dan tidak bisa dibatalkan. Dana untuk Carmen Elga Rivas ditransfer hari ini juga. Sisanya... aku akan urus sendiri." "Segera, Tuan. Bagaimana Nona Lucia?" "Lucia Ortega adalah tunanganku. Ratu di mata publik, kekuasaan di tanganku. Julia adalah… Simpanan Tuan Torres. Dua entitas yang tidak boleh bertemu, dan kau menjamin itu." "Akan saya jamin, Tuan." Pablo membungkuk sedikit dan berbalik meninggalkan ruangan, meninggalkan Diego sendirian dengan map di tangannya. Diego menatap foto Julia dan foto Laura secara bergantian, kemudian menyentuh bibirnya, tempat ia mencium Julia beberapa jam lalu. Ia tahu malam ini ia harus makan malam dengan tunangannya yang elegan. Tetapi yang kini memenuhi pikirannya hanyalah janji panas yang akan dimulai besok malam di apartemennya. "Keangkuhanmu dan keluguanmu, Nona Rivas... Aku akan menghancurkannya bersamaan." Smirk devil dan 1 alis terangkat penuh kesinisan "Keesokan malamnya, setelah jam kantor berakhir aku ingin bersenang-senang denganmu, Julia. . . . ***** . . . ****** . . . Diego segera kembali ke mode "hangat" di depan Lucia Ortega, yang sudah menunggu untuk dijemput makan malam. "Sayang, kamu terlambat sepuluh menit," tegur Lucia. "Maaf, ada sedikit kendala pekerjaan. Ayo, kita berangkat." Lucia segera mengaitkan lengan ke lengan kokoh kekasihnya. Di mata publik, mereka tampak sempurna dan serasi. Lucia berasal dari keluarga kelas atas, anak tunggal dengan ayah yang memiliki kerajaan bisnis setara dengan milik keluarga Torres. Hubungan asmara Diego dan Lucia bukanlah murni cinta, melainkan aliansi bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak. Keduanya sudah beberapa kali berlibur bersama selama hampir tiga tahun. Tentu, Lucia berharap semua itu akan membulatkan keyakinan Diego untuk segera menikahinya. Namun, Diego belum mengambil keputusan, meski usianya kian merambat naik ke angka 35. Baginya, perkawinan yang dipaksakan hanya akan membawa masalah dan kehambaran. Di restoran mewah itu, Lucia mengenakan gaun mahal dan seksi, sengaja untuk menarik perhatian Diego. Ia yakin, setelah kencan ini, Diego akan mampir untuk bercinta dengan gairah panas seperti biasanya. Lucia merasa bahwa dengan menyerahkan seluruh tubuhnya, Diego akan memberikan apa pun yang ia minta. Memang, Diego memberikan banyak hal, tetapi tidak dengan komitmen pernikahan dalam waktu dekat. "Sayang, aku ada proyek besar di Kanada untuk peluncuran lini pakaian dalamku. Apa kamu mau ikut, atau... menyusulku seperti biasa setelahnya?" tawar Lucia, penuh harap. Lucia tahu Diego jarang menolaknya, kecuali jika benar-benar sibuk. Diego menyesap anggurnya, pandangan esnya sedikit mengeruh. "Itu tawaran yang menarik, Lucia. Tapi sayang sekali, akhir bulan ini Torres International sedang memasuki fase negosiasi krusial untuk proyek properti di Mallorca. Aku tidak bisa meninggalkan kantor atau zona waktu ini. Kau tahu, proyek itu tidak bisa diwakilkan." Lucia sedikit kecewa, namun ia berusaha tersenyum. "Aku mengerti. Urusan kerajaanmu selalu yang utama. Ya sudah, aku akan mengirimkan jet pribadi untukmu saat semua urusanmu selesai. Kau janji akan menyusulku, kan?" "Tentu saja," jawab Diego, memberikan senyum meyakinkan yang tidak mencapai matanya. "Hanya saja... jangan menungguku di awal. Fokus pada peluncuranmu." Diego merasakan perutnya sedikit bergolak. Biasanya, tawaran Lucia akan disambutnya dengan antusiasme yang sama dinginnya. Tetapi malam ini, sangat berbeda. Ada rasa enggan yang hanya dia tahu. "Malam ini tidak, Lucia," jawab Diego, suaranya terdengar datar dan final. Ia meletakkan garpu peraknya dengan bunyi pelan. "Aku benar-benar lelah. Aku perlu kembali ke rumah untuk memeriksa beberapa dokumen yang ditinggalkan Pablo. Aku yakin kau juga perlu istirahat untuk penerbanganmu besok." "Lelah? Ini baru pukul delapan, Sayang. Tidak biasanya..." "Bisnis kali ini lebih menuntut, Lucia," potong Diego, senyum formalnya kembali. "Aku akan menghubungimu besok sebelum kau terbang. Nikmati sisa makan malam kita." Diego telah menolak sentuhan yang sudah ia kenal, demi bayangan tentang sentuhan terlarang yang baru saja ia rasakan. Kontrasnya tidak mungkin lebih jelas: ia menolak 'Ratu' untuk memikirkan 'Simpanannya'. "Baiklah, kalau begitu. Besok jangan lupa hubungi aku ya..." "Tentu, apa apa pun untukmu." Ucap Diego sambil menggenggam tangan Lucia yang lembut, ada cincin berlian dengan emas putih terselip di jari manis pemberiannya 2 bulan lalu. "Aku mencintaimu, Diego." "Aku, juga." "Sayang," Lucia bertanya dengan hati-hati, suaranya sedikit tegang. "Kapan kamu akan membawa hubungan kita ke tahap yang lebih serius? Tiga tahun, kurasa sudah lebih dari cukup untuk saling mengenal. Kita juga sudah melewati malam-malam yang indah bersama." Ia menambahkan dengan sedikit desakan. "Secara finansial, kita sama-sama stabil, kan?" Diego menatapnya, pandangannya dingin. Ia melepaskan genggamannya dari tangan Lucia. "Lucia, komitmen bukanlah keputusan yang diambil berdasarkan hitungan tahun atau stabilitas finansial. Kau tahu bagaimana aku, aku tidak suka didesak. Urusan ini adalah masalah waktu dan strategiku sendiri." "Tapi Diego..." "Tidak ada 'tapi'," potong Diego tegas. "Fokuslah pada peluncuran di Kanada. Kita akan membahas ini ketika kau kembali, dan hanya jika aku yang memulainya." Peringatnya. Kata-kata Diego yang dingin dan penuh otoritas segera meredam harapan Lucia. Ia tahu, dalam hubungan ini, Diego adalah penguasa, dan ia hanya bisa menunggu. Lucia mengangguk untuk setuju, lebih tepatnya terpaksa setuju dengan keputusan Diego yang dominan, tapi tekadnya bulat setelah urusan pekerjaannya selesai dia akan menggiring Diego untuk berada di bawah kendalinya. Menjadi istri Diego Torres adalah ambisinya, siapa wanita di Spanyol yang tak menginginkan posisi itu?Julia mengirim pesan pada Armand agar tetap tinggal menunggu Ibunya dan akan memberikan makanan untuknya. "Kamu mau apa lagi?" "Aku rasa cukup ini saja. Biar punya Armand aku yang bayar." "Tak perlu. Aku membayar milik Armand atas namamu, bukan untuk dia," ucapnya sengit, membuat Julia tak bisa berkata-kata. Terkadang di depan Miguel, Julia merasa begitu kecil dan rendah diri. Apalagi Ibu Miguel yang terang-terangan tak suka padanya. "Setelah ini aku kembali ke kantor, Julia. Kamu sudah izin dengan Pak Diego? Bukankah dia kadang keberatan?" "Ya, sama saja. Dia tadi juga keberatan ketika aku minta izin, tapi aku berkata, setelah Ibu sembuh, tentu hanya tinggal pengobatan rawat jalan dan pemulihan di rumah. "Julia, ketika nanti kita menikah, aku ingin kamu di rumah dan mengurusku," pinta Miguel. "Itu tidak bisa, Miguel." Julia menatap Miguel dengan serius, menimbulkan rasa heran di benak Miguel. "Kenapa, Sayang?" "Aku harus membayar utang, dan bagaimana aku bisa member
Di rumah sakit, Julia sedang menata selimut Carmen, ibunya. Operasi akan dimulai pukul 10 nanti. "Julia, kamu meminta izin lagi? Nanti Tuan Diego marah?."Aku sudah meminta izin padanya, Bu. Ibu tak perlu khawatir.""Kamu tampak lelah, Nak? Apa kamu masih lembur seperti biasa?."Julia tersenyum simpul. "Ya, bu." Jeda menghela nafas. "Tuntutan pekerjaan." Ya, seperti biasa lembur. Tapi kali ini, lemburan mengurus gairah bos-nya. Begitu, batinnya."Kamu terlalu lelah mencari uang untuk ibu, ibu merasa bersalah."Julia menggeleng. "Jangan berkata demikian, bu. Siapa yang mau sakit? Sudah jangan dipikirkan, dokter Fabio bilang ibu tak boleh banyak pikiran, bukan?." Hibur Julia."Apa Laura menghubungimu ketika Ibu sakit?""Dia mengganti nomornya lagi, Bu. Aku tak tahu nomor barunya sejak dia pindah ke L.A bu, dia tak memberitahuku.Tapi aku sudah mengirim pesan langsung melalui akun media sosialnya, entah dia mau membacanya atau tidak.""Ibu tak habis pikir, mengapa Laura memilih jalan pint
Paginya, sebuah panggilan masuk dari Julia di ponsel Diego. "Pagi, Tuan... maaf mengganggu sepagi ini," sapa Julia, suaranya terdengar ragu."Hmm... ada apa, Julia? Apa uangnya kurang?" jawab Diego, menggeliat di balik selimut. Suaranya terdengar serak, masih diselimuti kantuk."Bukan itu, Tuan. Saya ingin meminta izin untuk menemani Ibu operasi. Seharusnya operasi dijadwalkan besok, tapi dokter memajukannya menjadi hari ini pukul sepuluh pagi. Apakah Tuan mengizinkan saya?""Bukankah ada kakakmu yang tidak bekerja itu? Siapa namanya? Armand?""Armand... dia tidak bisa dihubungi, Tuan. Saya yakin dia sedang di luar kota atau mabuk di suatu tempat. Hanya ada saya sekarang," jelas Julia cepat, berusaha keras agar suaranya terdengar meyakinkan dan tidak memicu kemarahan Diego. "Saya janji akan segera kembali setelah operasi Ibu selesai.""Kamu punya adik, 'kan? Kamu ini terlalu sering meminta izin, Julia." Diego sengaja berkata seolah adik Julia, Laura, masih di Madrid, padahal Laura sud
Julia segera keluar dari penthouse megah namun begitu keluar separti ada kelegaan yang tak terperi, tanpa membuang waktu dia segera memesan taksi dari lobi. Begitu taksi yang dipesannya datang, Julia cepat-cepat masuk, meraih botol air mineral di tas kecilnya, dan tanpa ragu menelan satu butir pil kontrasepsi pemberian Diego. tak ada rasa apa pun, seperti tablet salut gula tapi pahit di hatinya, sepahit kenyataan yang harus dia telan mentah-mentah. Taksi yang ditumpanginya akhirnya tiba di Moratalaz, suatu tempat distrik kelas menengah ke bawah, di kota Madrid tepat pukul 20.30. Lingkungan rumah Julia terasa sepi. Ia yakin sekali Armand, saudaranya, pasti sedang menghabiskan waktu di meja judi atau mabuk-mabukan entah di mana. Saat Julia baru saja turun dari taksi, sebuah mobil dikenalinya berhenti di depannya. Itu adalah mobil Miguel, sang kekasih. "Kamu dari mana saja, Julia?" tanya Miguel, nadanya menuntut, sambil menarik lengan Julia sedikit kasar dan menghentak. "Jawab, Julia!
Inti tubuh Julia terasa sangat ngilu dan perih akibat tekanan benda tumpul Diego. Tentu malam ini keadaanya tidak akan sama lagi seperti sebelumnya. Mahkotanya telah dilepaskan demi ratusan juta Euro yang selama ini, ia susah payah menjaga keutuhan mahkotanya demi Miguel, calon suaminya kelak. Jawaban apa yang akan ia berikan pada Miguel nanti? Entahlah, Julia bingung. Ia merasa bersalah, rendah diri, dan jijik.Kini, Julia tidak ada bedanya dengan Laura, adiknya, yang menjual diri demi uang. Apa bedanya? Mereka sama-sama wanita yang ternoda, meski jalan yang ditempuh berbeda.Laura meniti jalannya sebagai bintang film dewasa di Los Angeles (L.A.) sejak usia belum genap 20 tahun, tiga tahun silam tepatnya.Sementara dia, menyerahkan dirinya pada sang atasan untuk menjadi simpanan di usia 25 tahun, mati-matian dia pertahankan ketika Miguel membujuknya untuk menyerahkan dengan sukarela tapi dia tolak. Kini dia berikan ke Diego dengan imbalan uang untuk jaminan kesehatan ibunya.Siapa sa
Keesokan malamnya, setelah jam kantor berakhir.Julia berdiri di depan pintu apartemen penthouse Diego Torres di salah satu menara tertinggi Madrid. Jantungnya berdebar kencang, memukul dadanya bertalu-talu. Ia mengenakan gaun yang paling sopan yang ia miliki, tetapi ia tahu, di tempat ini, semua formalitas kantor telah dibakar habis.Ia menekan bel dengan satu tarikan nafas, seolah akan mengumpankan diri ke sarang predator yang paling berbahaya malam ini, seolah ini akhir hidupnya. ini demi operasi ring jantung sang ibu, ibunya sudah terlalu lama menderita dan manahan sakit. Julia sementara ini hanya mengupayakan berobat jalan, meski dokter sudah menyarankan tindakan medis yang lebih efektif.Pintu terbuka. Diego sudah menunggunya, hanya mengenakan celana bahan hitam, kemeja kasual yang mahal kini terbuka di bagian atas, memperlihatkan dada bidangnya. Kilatan matanya membara, tidak lagi sebiru es, melainkan sebiru api."Selamat datang, Nona Rivas," sambut Diego, suaranya dalam dan be







