Beranda / Romansa / Simpanan Tuan Torres / 1. Kebutuhan mendesak

Share

Simpanan Tuan Torres
Simpanan Tuan Torres
Penulis: Vanilla Ice Creamm

1. Kebutuhan mendesak

last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 20:17:28

Julia Rivas, 25 tahun adalah anomali di antara kubikel kaca kantor Torres International, sebuah perusahaan real estate mewah di jantung kota Madrid. Ia sekretaris pribadi Diego Torres , 35 tahun, sang CEO.

Kecantikannya tak terbantahkan, rambut coklat pekatnya tergerai rapi, mata cokelatnya besar dan beninh, dan lekuk tubuhnya yang padat selalu tertutup blus formal dan rok pensil, namun selalu sukses membuat mata-mata di lorong terpaku. Ia lugu, atau setidaknya, naif dalam menghadapi badai dunia orang dewasa. Jarang bergaul, hidupnya hanya untuk bekerja ketika ibunya mulai jatuh sakit dan membutuhkan biaya yang banyak.

Diego Torres, pria dengan aura hyper, tampan, dan menggairahkan adalah kebalikan total. Ia adalah definisi dari keangkuhan, dinginnya kesempurnaan seorang pria yang terbiasa mendapatkan segalanya. Matanya sebiru es, tatapannya tajam mematikan, dan setiap gerakannya memancarkan otoritas. Di balik jas bespoke Italia yang mahal, tersimpan gairah yang tak terucap, gairah yang seringkali Julia rasakan menyentuhnya tanpa disentuh saat ia hanya menyerahkan dokumen.

Pagi itu, kantor Diego terasa mencekik. Julia memegang amplop cokelat tebal, berisi tagihan rumah sakit yang menggunung. Ibunya, Carmen, sakit keras dan membutuhkan operasi segera. Situasi keuangan Julia sudah di ambang pailit.

"Nona Rivas, kopi saya tidak kunjung datang. Apa Anda juga ingin tagihan ini menumpuk seperti dokumen di tangan Anda?" Suara Diego dingin, menusuk. Ia duduk di kursi kulit mahalnya, menyilangkan kaki, memandangnya dengan tatapan datar yang menantang.

"Maafkan saya, Tuan Torres. Saya akan segera membawanya," Julia tergagap. Amplop di tangannya bergetar.

"Apa itu, Julia?" Diego menunjuk amplop itu dengan ujung pena emas.

"Hanya… masalah pribadi, Tuan. Bukan urusan kantor."

Diego menghela napas, gestur yang menunjukkan kebosanan serta ingin tahu mendalam. "Segala hal yang memengaruhi kinerja Anda adalah urusan kantor, Nona Rivas. Letakkan di meja saya.."

Julia, yang terlalu lelah untuk melawan, meletakkannya. Diego mengambilnya, merobek ujungnya tanpa ragu. Matanya menyapu nominal di sana, lalu beralih pada wajah Julia yang memucat.

"Jumlah yang fantastis," komentarnya, suaranya kini lebih rendah dan berbahaya.

Di rumah, situasinya lebih parah. Kakak lelakinya, Armand Rivas, 27 tahun, tidak pernah peduli. Tak pernah bekerja dengan benar. Uang hasil judi dan minuman keras selalu lebih penting dari biaya pengobatan ibu mereka.

"Kau punya wajah yang cantik, Julia! Pakai itu! Jangan jual air matamu padaku! Kenapa kau tak meniru cara kerja, Laura" Armand membentak semalam, meninggalkannya menangis di ujung dapur yang kotor.

Lalu ada Laura Rivas, 22 tahun, adik perempuannya. Laura yang lelah dengan kemiskinan dan jalan terjal, memilih jalur gelap. Ia meninggalkan Spanyol 3 tahun lalu menuju Amerika, menaklukkan Los Angeles sebagai bintang film porno. Jalan pintas Laura adalah sebuah luka menganga bagi keluarga mereka, sebuah affair yang memalukan yang Julia coba sembunyikan.

Di kantor, ia juga punya Miguel Sanchez, kekasihnya, seorang akuntan di lantai tiga. Julia menceritakan semua kesulitan itu pada Miguel.

"Aku minta maaf, Sayang. Kau tahu aku juga sedang membangun karir. Meminjam uang sebanyak itu… itu di luar kemampuanku. Mungkin kau bisa minta cuti dan memikirkan alternatif lain?" Miguel menolak dengan alasan klise, tak pernah menawarkan solusi nyata, hanya jalan buntu.

Kembali ke kantor Diego. Bosnya itu menyandarkan punggung ke kursinya, menatap Julia lekat-lekat, menilai.

"Masalah keuangan. Kekasih tidak membantu. Keluarga yang tidak kompeten dan hanya membebani saja," Diego menyimpulkan dengan kejam, seolah membaca naskah drama. "Kamu butuh dana. Segera."

"Ya, Tuan Torres. Saya akan mencari pinjaman bank."

Diego tersenyum tipis, senyum yang tak mencapai mata, namun mampu membuat perut Julia bergetar aneh. Itu bukan senyum keramahan, melainkan senyum predator.

"Saya benci birokrasi, Nona Rivas. Ada cara yang lebih cepat. Dan lebih… personal."

Julia meneguk ludah. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini, namun pikirannya menolak percaya. Pria yang angkuh dan dingin ini, dengan gairah tersembunyi yang ia rasakan selama ini, kini menawarkannya sebuah kontrak yang jauh lebih berbahaya daripada pinjaman bank. "Tuan Torres, saya tidak mengerti..."

Diego bangkit sebuah ide licik tercipta dalam sekejap. Ia melangkah perlahan mengelilingi meja mahoni itu. Aroma maskulin parfum mahalnya, dicampur dengan aroma kekuasaan, langsung menusuk indra Julia. Ia berdiri tepat di depan Julia. Jarak mereka nyaris tak ada. Julia harus mendongak, menatap mata es Diego. Tinggi badan Julia yang hanya 170 cm dan Diego 190 cm, terlihat bagaimana Diego mengintimidasi.

"Saya menawarkan Anda sebuah kesepakatan," bisik Diego, suaranya serak dan dalam, langsung ke telinga Julia. Nafasnya hangat, kontras dengan auranya yang dingin. "Saya akan menutupi semua biaya rumah sakit ibumu. Hari ini juga. Sebagai gantinya..."

Jari telunjuk Diego yang panjang dan dingin mengangkat dagu Julia, memaksanya menatap api yang mulai menyala di mata es itu.

"...kau akan menjadi milikku. Hanya milikku. Setelah jam kerja, di luar kantor. Kau akan melayani setiap keinginanku. Kau akan belajar bahwa keangkuhan yang kau lihat, hanyalah penutup dari gairah yang akan membakarmu habis."

Julia merasakan panas dingin menyerang tubuhnya. Harga dirinya berteriak "TOLAK!", tetapi wajah ibunya yang pucat melintas di benaknya, diikuti oleh penolakan Miguel yang dingin. Ia lugu, tapi ia tidak bodoh. Ia tahu ini adalah satu-satunya jalan. Jalan yang gelap, panas, dan berbahaya.

"Bagaimana, Nona Rivas? Apakah Anda siap membakar garis batas itu demi ibumu?" Julia menutup mata dan akhirnya menyerah pada keputusasaan. Ia mengangguk.

"Ya, Tuan Torres," bisiknya, suaranya nyaris hilang sambil menelana ludahnya. "Saya menerimanya."

Diego tersenyum lagi, kali ini senyum yang nyata, penuh kemenangan, dan menakutkan. Ia mencondongkan tubuhnya, dan untuk pertama kalinya, bibir mereka bertemu. Ciuman itu bukan lembut, tapi sebuah pernyataan kepemilikan. Ciuman itu panas, mendesak, menghancurkan sisa-sisa keluguan Julia. Julia terpaku oleh kelihaian permainan bibir boss-nya.

"Baiklah, kita kembali bekerja lagi karena aku ingin waktu cepat berlalu dan aku punya janji dengan Lucia nanti malam. Besok, setelah jam kantor, datanglah ke apartemenku, Nona Rivas." Sebelum beranjak, Diego mengecup lembut sekali lagi bibir merah muda sekretarisnya.

"Baik, Tuan. Saya akan datang."

"Bagus, Julia" Diego menyeringai tipis.

Setelah Julia menghilang di balik pintu, Diego menekan panggilan ke asistennya. "Pablo, cari tahu latar belakang Julia Rivas, sekretarisku. Keluarganya, dan kekasihnya."

Di seberang sana, Pablo mengernyitkan dahi. "Julia? Bukankah dia kekasih Miguel Sanchez, Tuan?"

"Ya, memang dia. Dan satu lagi, rahasiakan misi ini dari siapa pun, terutama Lucia."

"Baik, Tuan. Ada lagi?"

"Ada. Buatkan surat kontrak untuk Julia. Dia akan menjadi simpananku." Ucap Diego blak-blakan dan tersenyum tipis, seolah senyum itu bisa dilihat oleh Pablo. Tak banyak kata, Pablo langsung mengiyakan.

Panggilan dari interkom berbunyi. "Tuan Torres," suara Julia terdengar profesional. "Tuan Santiago dan yang lainnya sudah menunggu. Berkas rapat juga sudah siap. Mohon segera hadir."

"Ya, Julia. Terima kasih." Diego beranjak dan merapikan jas mahalnya untuk memulai pekerjaannya.. di ruangan itu, Julia membagikan berkas untuk semua peserta rapat, Diego mengangguk samar tanpa ekspresi seperti biasa kepada Julia, sekretarisnya.

Meskipun Julia sedang berada dalam situasi pribadi yang mendesak dan baru saja menyetujui "kontrak" gelap dengan Diego, ia tetap mempertahankan profesionalisme dan efisiensi kerjanya di kantor.

Di mata kolega dan klien, Julia adalah sekretaris yang sempurna dan cekatan; namun di balik pintu, ia baru saja menyerahkan hidupnya kepada bosnya, sebuah rahasia yang ia bawa sambil tetap melaksanakan tugasnya dengan sempurna.

Rapat berjalan dengan lacar, Julia sibuk dengan notulennya. Merangkum semua proses hasil rapat, seperti biasa. Tak hanya cantik dan molek, Julia sangat cekatan. Kemampuannya bekerja sudah tertempa sekitar 3 tahun ini. Sesekali Diego mencuri pandang sekilas pada Julia, namun sesekali Julia menemukan pandangan mata biru itu padanya. Ini bukan pertama kalinya, Diego begitu. Hanya saja.. jika sebelumnya mereka dalam mode profesional tentu Julia tak secanggung sekarang

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Simpanan Tuan Torres   8. Armand si Benalu

    Julia mengirim pesan pada Armand agar tetap tinggal menunggu Ibunya dan akan memberikan makanan untuknya. "Kamu mau apa lagi?" "Aku rasa cukup ini saja. Biar punya Armand aku yang bayar." "Tak perlu. Aku membayar milik Armand atas namamu, bukan untuk dia," ucapnya sengit, membuat Julia tak bisa berkata-kata. Terkadang di depan Miguel, Julia merasa begitu kecil dan rendah diri. Apalagi Ibu Miguel yang terang-terangan tak suka padanya. "Setelah ini aku kembali ke kantor, Julia. Kamu sudah izin dengan Pak Diego? Bukankah dia kadang keberatan?" "Ya, sama saja. Dia tadi juga keberatan ketika aku minta izin, tapi aku berkata, setelah Ibu sembuh, tentu hanya tinggal pengobatan rawat jalan dan pemulihan di rumah. "Julia, ketika nanti kita menikah, aku ingin kamu di rumah dan mengurusku," pinta Miguel. "Itu tidak bisa, Miguel." Julia menatap Miguel dengan serius, menimbulkan rasa heran di benak Miguel. "Kenapa, Sayang?" "Aku harus membayar utang, dan bagaimana aku bisa member

  • Simpanan Tuan Torres   7. Rumit

    Di rumah sakit, Julia sedang menata selimut Carmen, ibunya. Operasi akan dimulai pukul 10 nanti. "Julia, kamu meminta izin lagi? Nanti Tuan Diego marah?."Aku sudah meminta izin padanya, Bu. Ibu tak perlu khawatir.""Kamu tampak lelah, Nak? Apa kamu masih lembur seperti biasa?."Julia tersenyum simpul. "Ya, bu." Jeda menghela nafas. "Tuntutan pekerjaan." Ya, seperti biasa lembur. Tapi kali ini, lemburan mengurus gairah bos-nya. Begitu, batinnya."Kamu terlalu lelah mencari uang untuk ibu, ibu merasa bersalah."Julia menggeleng. "Jangan berkata demikian, bu. Siapa yang mau sakit? Sudah jangan dipikirkan, dokter Fabio bilang ibu tak boleh banyak pikiran, bukan?." Hibur Julia."Apa Laura menghubungimu ketika Ibu sakit?""Dia mengganti nomornya lagi, Bu. Aku tak tahu nomor barunya sejak dia pindah ke L.A bu, dia tak memberitahuku.Tapi aku sudah mengirim pesan langsung melalui akun media sosialnya, entah dia mau membacanya atau tidak.""Ibu tak habis pikir, mengapa Laura memilih jalan pint

  • Simpanan Tuan Torres   6. Ijin Tidak Masuk

    Paginya, sebuah panggilan masuk dari Julia di ponsel Diego. "Pagi, Tuan... maaf mengganggu sepagi ini," sapa Julia, suaranya terdengar ragu."Hmm... ada apa, Julia? Apa uangnya kurang?" jawab Diego, menggeliat di balik selimut. Suaranya terdengar serak, masih diselimuti kantuk."Bukan itu, Tuan. Saya ingin meminta izin untuk menemani Ibu operasi. Seharusnya operasi dijadwalkan besok, tapi dokter memajukannya menjadi hari ini pukul sepuluh pagi. Apakah Tuan mengizinkan saya?""Bukankah ada kakakmu yang tidak bekerja itu? Siapa namanya? Armand?""Armand... dia tidak bisa dihubungi, Tuan. Saya yakin dia sedang di luar kota atau mabuk di suatu tempat. Hanya ada saya sekarang," jelas Julia cepat, berusaha keras agar suaranya terdengar meyakinkan dan tidak memicu kemarahan Diego. "Saya janji akan segera kembali setelah operasi Ibu selesai.""Kamu punya adik, 'kan? Kamu ini terlalu sering meminta izin, Julia." Diego sengaja berkata seolah adik Julia, Laura, masih di Madrid, padahal Laura sud

  • Simpanan Tuan Torres   5. Miguel Curiga

    Julia segera keluar dari penthouse megah namun begitu keluar separti ada kelegaan yang tak terperi, tanpa membuang waktu dia segera memesan taksi dari lobi. Begitu taksi yang dipesannya datang, Julia cepat-cepat masuk, meraih botol air mineral di tas kecilnya, dan tanpa ragu menelan satu butir pil kontrasepsi pemberian Diego. tak ada rasa apa pun, seperti tablet salut gula tapi pahit di hatinya, sepahit kenyataan yang harus dia telan mentah-mentah. Taksi yang ditumpanginya akhirnya tiba di Moratalaz, suatu tempat distrik kelas menengah ke bawah, di kota Madrid tepat pukul 20.30. Lingkungan rumah Julia terasa sepi. Ia yakin sekali Armand, saudaranya, pasti sedang menghabiskan waktu di meja judi atau mabuk-mabukan entah di mana. Saat Julia baru saja turun dari taksi, sebuah mobil dikenalinya berhenti di depannya. Itu adalah mobil Miguel, sang kekasih. "Kamu dari mana saja, Julia?" tanya Miguel, nadanya menuntut, sambil menarik lengan Julia sedikit kasar dan menghentak. "Jawab, Julia!

  • Simpanan Tuan Torres   4. Menetapkan Batasan

    Inti tubuh Julia terasa sangat ngilu dan perih akibat tekanan benda tumpul Diego. Tentu malam ini keadaanya tidak akan sama lagi seperti sebelumnya. Mahkotanya telah dilepaskan demi ratusan juta Euro yang selama ini, ia susah payah menjaga keutuhan mahkotanya demi Miguel, calon suaminya kelak. Jawaban apa yang akan ia berikan pada Miguel nanti? Entahlah, Julia bingung. Ia merasa bersalah, rendah diri, dan jijik.Kini, Julia tidak ada bedanya dengan Laura, adiknya, yang menjual diri demi uang. Apa bedanya? Mereka sama-sama wanita yang ternoda, meski jalan yang ditempuh berbeda.Laura meniti jalannya sebagai bintang film dewasa di Los Angeles (L.A.) sejak usia belum genap 20 tahun, tiga tahun silam tepatnya.Sementara dia, menyerahkan dirinya pada sang atasan untuk menjadi simpanan di usia 25 tahun, mati-matian dia pertahankan ketika Miguel membujuknya untuk menyerahkan dengan sukarela tapi dia tolak. Kini dia berikan ke Diego dengan imbalan uang untuk jaminan kesehatan ibunya.Siapa sa

  • Simpanan Tuan Torres   3. Menyerahan diri

    Keesokan malamnya, setelah jam kantor berakhir.Julia berdiri di depan pintu apartemen penthouse Diego Torres di salah satu menara tertinggi Madrid. Jantungnya berdebar kencang, memukul dadanya bertalu-talu. Ia mengenakan gaun yang paling sopan yang ia miliki, tetapi ia tahu, di tempat ini, semua formalitas kantor telah dibakar habis.Ia menekan bel dengan satu tarikan nafas, seolah akan mengumpankan diri ke sarang predator yang paling berbahaya malam ini, seolah ini akhir hidupnya. ini demi operasi ring jantung sang ibu, ibunya sudah terlalu lama menderita dan manahan sakit. Julia sementara ini hanya mengupayakan berobat jalan, meski dokter sudah menyarankan tindakan medis yang lebih efektif.Pintu terbuka. Diego sudah menunggunya, hanya mengenakan celana bahan hitam, kemeja kasual yang mahal kini terbuka di bagian atas, memperlihatkan dada bidangnya. Kilatan matanya membara, tidak lagi sebiru es, melainkan sebiru api."Selamat datang, Nona Rivas," sambut Diego, suaranya dalam dan be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status