LOGINKeesokan malamnya, setelah jam kantor berakhir.
Julia berdiri di depan pintu apartemen penthouse Diego Torres di salah satu menara tertinggi Madrid. Jantungnya berdebar kencang, memukul dadanya bertalu-talu. Ia mengenakan gaun yang paling sopan yang ia miliki, tetapi ia tahu, di tempat ini, semua formalitas kantor telah dibakar habis. Ia menekan bel dengan satu tarikan nafas, seolah akan mengumpankan diri ke sarang predator yang paling berbahaya malam ini, seolah ini akhir hidupnya. ini demi operasi ring jantung sang ibu, ibunya sudah terlalu lama menderita dan manahan sakit. Julia sementara ini hanya mengupayakan berobat jalan, meski dokter sudah menyarankan tindakan medis yang lebih efektif. Pintu terbuka. Diego sudah menunggunya, hanya mengenakan celana bahan hitam, kemeja kasual yang mahal kini terbuka di bagian atas, memperlihatkan dada bidangnya. Kilatan matanya membara, tidak lagi sebiru es, melainkan sebiru api. "Selamat datang, Nona Rivas," sambut Diego, suaranya dalam dan berat seperti biasa. Ia tidak menunggu jawaban Julia. Ia meraih lengan Julia dan menariknya masuk. Pintu tertutup dengan bunyi "klik" yang mematikan, menyegel nasib Julia. "Saya sudah menandatangani berkas transfer rumah sakit ibu saya baru saja, Tuan Diego. Terima kasih." "Simpan ucapan terima kasihmu," potong Diego dingin, melangkah mendekat. "Malam ini, bukan Tuan Torres yang kau hadapi. Malam ini, kau menghadapi pemilikmu. Pertama, kita selesaikan formalitasnya." Ia mendorong Julia ke sofa kulit mewah. Di atas meja, sudah tergeletak amplop tebal dan sebuah kontrak. "Tandatangani. Baca klausulnya. Kau milikku. Semua yang kau lakukan, semua yang kau rasakan, semua yang kau pikirkan... adalah milikku." Julia membaca kontrak itu perasaan campur aduk. Semua tertulis jelas, brutal, transaksional. Ia akan mendapat tunjangan finansial yang besar di luar biaya pengobatan ibunya dan 7 kali lipat upahnya sebagai sekretaris senior di International Torres, sebagai imbalan atas ketersediaan totalnya. Tak ada ruang untuk hati, tak ada ruang untuk cinta. Sambil menahan air mata dan menelan rasa harga diri, Julia meraih pena ada rasa ragu, tapi uang Diego telah mengalir ke pihak rumah sakit. Lalu membubuhkan namanya tertulis di atas kertas putih itu. "Sudah, Tuan." Julia menutup map perjanjian laknat itu. "Bagus," kata Diego, mengambil kontrak itu dan melemparkannya ke samping. Kini ia berdiri di hadapan Julia, menatapnya dengan hasrat yang nyaris menyakitkan. "Sekarang, mari kita mulai pelajaran pertamamu, Nona Rivas. Pelajaran tentang gairah yang akan membuatmu lupa mengapa kau datang ke sini." Diego membungkuk, menangkup wajah mungil Julia, dan menciumnya. Kali ini bukan ciuman kepemilikan. Ini adalah ciuman penghancuran harga diri. Ciuman itu kasar, menuntut, dan penuh dengan akumulasi hasrat yang telah lama ia pendam terhadap Julia. Diego menurunkan resleting dress Julia hingga kain itu meluncur ke bawah dengan lancar, kemudian mencium di bahu terbuka Julia dan meraih pengait bra itu dengan 1 tangannya... "ctak" lalu menyingkirkanya, pemandangan topless Julia di hadapan Diego untuk pertama kalinya, malam ini.. malam pertama bagi mereka, sebagai penjual dan pembelinya. Sesuatu yang selalu terbungkus oleh blouse Julia yang sopan tanpa Julia tonjolkan, yang terkadang Diego tatap dengan rasa penasaran dengan sekilas kini terbuka. "Tubuhmu indah sekali, sayang." Tatapan lapar sang predator dengan seringaian tipis dan kilatan mata ambigu. Satu tangan besar Diego menangkup kulit dada Julia yang lembut dan meremasnya pelan memberikan stimulasi syarat, membuat Julia menahan desahan sambil menggigit bibir lembut bibirnya. Kedua tangannya mengepal di samping kanan kirinya, mati-matian menahan dan mengakui jika Julia menikmatinya. "Jangan ditahan, Julia. Jadilah dirimu sendiri." Diego mengecup singkat, bibir merah jambu Julia, meyakinkan. Kegiatan panas mereka mengalir tanpa jeda, Julia yang pasif karena tak tahu harus bagaimana, ini pertama kali baginya, tapi bagi Diego, mungkin Julia merasa canggung karena mereka bukan sepasang kekasih, hubungan mereka sama-sama profesional. Julia tak pernah menggoda Diego dengan memanfaatkan kecantikannya, tapi justru itu yang membuat Diego penasaran dan kini saat ada kesempatan Julia di tengah kesulitannya, seolah sang boss memancing di air keruh. Dan Diego membawa Julia ke kamar utama yang besar, kamar dengan jendela besar menghadap pandangan kota Madrid, percumbuan terus berlanjut. Diego membuat Julia terbang ke awang-awang dengan cumbuan panasnya. ketika di sesi inti, Julia memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit itu. Sesuatu yang besar masuk salah satu bagian tubuhnya. Ketika Diego akhirnya menarik diri, matanya menatap Julia dengan terkejut. Ada rasa ngeri dan kebingungan yang memenuhi pandangan es itu. "Apa... ini?" desah Diego, suaranya pecah, tidak lagi terdengar dingin. Julia hanya bisa menatapnya. Ia tahu keperawanannya telah ia serahkan, bukan untuk cinta, melainkan untuk biaya rumah sakit. Ini adalah kejutan yang akan membalikkan seluruh permainan Diego. Si 'Raja Es' terkejut. Obsesi baru saja lahir. Keheningan di penthouse itu lebih mematikan daripada ledakan. Diego menarik tubuhnya, menatap Julia—wajah yang basah oleh air mata, tubuh yang kini gemetar, dan kebenaran yang baru saja ia ketahui. Kebingungan di matanya segera berubah menjadi amarah, amarah yang ditujukan pada dirinya sendiri. "Kau..." Diego terhuyung, suaranya kembali menjadi serak, tetapi kali ini diselimuti rasa bersalah yang tidak ia kenali. "Kau masih perawan? Kenapa kau tidak bilang?" Julia menunduk, menarik napas gemetar. "Apa... itu mengubah kesepakatan, Tuan?" Pertanyaan lugu itu menusuknya. Mengubah kesepakatan? Itu menghancurkan kesepakatan. Diego, yang terkenal karena perencanaan matangnya, baru saja merusak sesuatu yang utuh dan tak ternilai. Ini bukan lagi transaksi bisnis; ini adalah dosa. "Miguel Sanchez," geram Diego, menyebut nama itu dengan jijik. "Dia si pengecut itu. Dan kau menjaganya milikmu yang berharga untuk dirinya yang tak membantumu?." "Itu tidak penting, Tuan" bisik Julia, akhirnya mengangkat mata dan menatap Diego dengan mata basah penuh keberanian. "Yang penting ibu saya akan dioperasi. Saya sudah memenuhi bagian saya. Tuan harus memenuhi janji Tuan." Kata-kata itu, diucapkan dengan harga diri yang baru ditemukan di tengah kehancuran, membakar obsesi Diego. Keberaniannya di tengah keputusasaan membuatnya jauh lebih menarik, lebih berbahaya, daripada yang ia duga. Gairah iseng yang ia rencanakan berubah menjadi kecanduan yang mematikan. Diego melangkah maju lagi, kali ini bukan dengan nafsu, tetapi dengan kebutuhan. Ia bukan lagi sang predator yang dingin; ia adalah korban dari kepolosan yang baru saja ia renggut. "Kau benar," suaranya kini tenang, namun jauh lebih mengancam. "Kesepakatan tidak berubah. Tapi aturannya... aturannya yang berubah." Ia mengangkat dagu Julia, memaksa mata mereka bertemu. Api di mata biru itu kini lebih dalam, lebih gelap. "Mulai sekarang, kau adalah kelemahan terbesarku. Kau adalah rahasia yang akan menjebakku. Dan aku akan membalas dendam atas kejutan ini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai aku menghancurkan setiap jejak keluguan di dalam dirimu, sampai kau memohon padaku untuk tetap menjadi simpananku." Ciuman yang ia berikan kali ini begitu lembut, tetapi lebih mengikat daripada kontrak yang baru saja mereka tandatangani. Itu adalah cap kepemilikan yang lahir dari obsesi, bukan dari nafsu sesaat. Di luar jendela penthouse, lampu-lampu Madrid bersinar, tetapi di dalam, kegelapan telah menelan dua jiwa. Diego Torres telah menemukan apa yang ia anggap sebagai mainan, tetapi mainan itu kini telah merenggut hati dan kendali dirinya. Pertarungan antara Simpanan Tuan Torres dan Lucia Ortega, antara gairah terlarang dan status kekuasaan baru saja dimulai. Diego merasa bersalah dan terobsesi ingin menguasai Julia di malam-malam berikutnya. Malam itu setelah pertempuran panas yang meninggalkan jejak, Diego masih bergulat dengan pikirannya sendiri. Tubuhnya menghadap ke jendela besar penthouse-nya, menatap pemandangan kota Madrid. Tubuh bagian atasnya telanjang, memperlihatkan bahu yang lebar dan kokoh, pemandangan yang entah mengapa kini terasa begitu nyata bagi Julia, yang tergolek lemas. Bahu kokoh itu tadi sempat menjadi tempatnya bertumpu ketika Diego menuntutnya dengan hasrat membara untuk pertama kalinya.Julia mengirim pesan pada Armand agar tetap tinggal menunggu Ibunya dan akan memberikan makanan untuknya. "Kamu mau apa lagi?" "Aku rasa cukup ini saja. Biar punya Armand aku yang bayar." "Tak perlu. Aku membayar milik Armand atas namamu, bukan untuk dia," ucapnya sengit, membuat Julia tak bisa berkata-kata. Terkadang di depan Miguel, Julia merasa begitu kecil dan rendah diri. Apalagi Ibu Miguel yang terang-terangan tak suka padanya. "Setelah ini aku kembali ke kantor, Julia. Kamu sudah izin dengan Pak Diego? Bukankah dia kadang keberatan?" "Ya, sama saja. Dia tadi juga keberatan ketika aku minta izin, tapi aku berkata, setelah Ibu sembuh, tentu hanya tinggal pengobatan rawat jalan dan pemulihan di rumah. "Julia, ketika nanti kita menikah, aku ingin kamu di rumah dan mengurusku," pinta Miguel. "Itu tidak bisa, Miguel." Julia menatap Miguel dengan serius, menimbulkan rasa heran di benak Miguel. "Kenapa, Sayang?" "Aku harus membayar utang, dan bagaimana aku bisa member
Di rumah sakit, Julia sedang menata selimut Carmen, ibunya. Operasi akan dimulai pukul 10 nanti. "Julia, kamu meminta izin lagi? Nanti Tuan Diego marah?."Aku sudah meminta izin padanya, Bu. Ibu tak perlu khawatir.""Kamu tampak lelah, Nak? Apa kamu masih lembur seperti biasa?."Julia tersenyum simpul. "Ya, bu." Jeda menghela nafas. "Tuntutan pekerjaan." Ya, seperti biasa lembur. Tapi kali ini, lemburan mengurus gairah bos-nya. Begitu, batinnya."Kamu terlalu lelah mencari uang untuk ibu, ibu merasa bersalah."Julia menggeleng. "Jangan berkata demikian, bu. Siapa yang mau sakit? Sudah jangan dipikirkan, dokter Fabio bilang ibu tak boleh banyak pikiran, bukan?." Hibur Julia."Apa Laura menghubungimu ketika Ibu sakit?""Dia mengganti nomornya lagi, Bu. Aku tak tahu nomor barunya sejak dia pindah ke L.A bu, dia tak memberitahuku.Tapi aku sudah mengirim pesan langsung melalui akun media sosialnya, entah dia mau membacanya atau tidak.""Ibu tak habis pikir, mengapa Laura memilih jalan pint
Paginya, sebuah panggilan masuk dari Julia di ponsel Diego. "Pagi, Tuan... maaf mengganggu sepagi ini," sapa Julia, suaranya terdengar ragu."Hmm... ada apa, Julia? Apa uangnya kurang?" jawab Diego, menggeliat di balik selimut. Suaranya terdengar serak, masih diselimuti kantuk."Bukan itu, Tuan. Saya ingin meminta izin untuk menemani Ibu operasi. Seharusnya operasi dijadwalkan besok, tapi dokter memajukannya menjadi hari ini pukul sepuluh pagi. Apakah Tuan mengizinkan saya?""Bukankah ada kakakmu yang tidak bekerja itu? Siapa namanya? Armand?""Armand... dia tidak bisa dihubungi, Tuan. Saya yakin dia sedang di luar kota atau mabuk di suatu tempat. Hanya ada saya sekarang," jelas Julia cepat, berusaha keras agar suaranya terdengar meyakinkan dan tidak memicu kemarahan Diego. "Saya janji akan segera kembali setelah operasi Ibu selesai.""Kamu punya adik, 'kan? Kamu ini terlalu sering meminta izin, Julia." Diego sengaja berkata seolah adik Julia, Laura, masih di Madrid, padahal Laura sud
Julia segera keluar dari penthouse megah namun begitu keluar separti ada kelegaan yang tak terperi, tanpa membuang waktu dia segera memesan taksi dari lobi. Begitu taksi yang dipesannya datang, Julia cepat-cepat masuk, meraih botol air mineral di tas kecilnya, dan tanpa ragu menelan satu butir pil kontrasepsi pemberian Diego. tak ada rasa apa pun, seperti tablet salut gula tapi pahit di hatinya, sepahit kenyataan yang harus dia telan mentah-mentah. Taksi yang ditumpanginya akhirnya tiba di Moratalaz, suatu tempat distrik kelas menengah ke bawah, di kota Madrid tepat pukul 20.30. Lingkungan rumah Julia terasa sepi. Ia yakin sekali Armand, saudaranya, pasti sedang menghabiskan waktu di meja judi atau mabuk-mabukan entah di mana. Saat Julia baru saja turun dari taksi, sebuah mobil dikenalinya berhenti di depannya. Itu adalah mobil Miguel, sang kekasih. "Kamu dari mana saja, Julia?" tanya Miguel, nadanya menuntut, sambil menarik lengan Julia sedikit kasar dan menghentak. "Jawab, Julia!
Inti tubuh Julia terasa sangat ngilu dan perih akibat tekanan benda tumpul Diego. Tentu malam ini keadaanya tidak akan sama lagi seperti sebelumnya. Mahkotanya telah dilepaskan demi ratusan juta Euro yang selama ini, ia susah payah menjaga keutuhan mahkotanya demi Miguel, calon suaminya kelak. Jawaban apa yang akan ia berikan pada Miguel nanti? Entahlah, Julia bingung. Ia merasa bersalah, rendah diri, dan jijik.Kini, Julia tidak ada bedanya dengan Laura, adiknya, yang menjual diri demi uang. Apa bedanya? Mereka sama-sama wanita yang ternoda, meski jalan yang ditempuh berbeda.Laura meniti jalannya sebagai bintang film dewasa di Los Angeles (L.A.) sejak usia belum genap 20 tahun, tiga tahun silam tepatnya.Sementara dia, menyerahkan dirinya pada sang atasan untuk menjadi simpanan di usia 25 tahun, mati-matian dia pertahankan ketika Miguel membujuknya untuk menyerahkan dengan sukarela tapi dia tolak. Kini dia berikan ke Diego dengan imbalan uang untuk jaminan kesehatan ibunya.Siapa sa
Keesokan malamnya, setelah jam kantor berakhir.Julia berdiri di depan pintu apartemen penthouse Diego Torres di salah satu menara tertinggi Madrid. Jantungnya berdebar kencang, memukul dadanya bertalu-talu. Ia mengenakan gaun yang paling sopan yang ia miliki, tetapi ia tahu, di tempat ini, semua formalitas kantor telah dibakar habis.Ia menekan bel dengan satu tarikan nafas, seolah akan mengumpankan diri ke sarang predator yang paling berbahaya malam ini, seolah ini akhir hidupnya. ini demi operasi ring jantung sang ibu, ibunya sudah terlalu lama menderita dan manahan sakit. Julia sementara ini hanya mengupayakan berobat jalan, meski dokter sudah menyarankan tindakan medis yang lebih efektif.Pintu terbuka. Diego sudah menunggunya, hanya mengenakan celana bahan hitam, kemeja kasual yang mahal kini terbuka di bagian atas, memperlihatkan dada bidangnya. Kilatan matanya membara, tidak lagi sebiru es, melainkan sebiru api."Selamat datang, Nona Rivas," sambut Diego, suaranya dalam dan be







