Alea membuka matanya perlahan. Dia merasa seolah telah melakukan aktivitas yang sangat berat dan melelahkan semalam. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Bahkan untuk bangun saja, dia merasa cukup kesulitan.
Alea memegang kepalanya yang masih sedikit pusing. Dia mengerjapkan matanya perlahan dan menyadari bahwa dia tidak bisa bangun bukan hanya karena tubuhnya terasa remuk, tetapi juga karena sebuah tangan kekar berada di atas perutnya. Alea menelan salivanya dengan susah payah. Dia menoleh ke samping, dan bola matanya nyaris melompat keluar. "Siapa dia?" batinnya terkejut. Di saat kesadarannya mulai pulih, Alea merasakan sensasi perih di bawah sana. Ingatannya mulai kembali satu per satu, mengingat apa yang terjadi semalam. Alea memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Semua kenangan itu muncul kembali, bagaimana dia merayu pria itu, bagaimana dia mengatakan akan membayarnya. Semua itu terjadi karena emosi dan kemarahannya pada Adrian. "Bodoh! Sekarang apa bedanya aku dengan Adrian kalau begini?" batinnya menyalahkan dirinya sendiri. Perlahan, Alea mengangkat tangan pria tampan itu dengan hati-hati. "Mau kabur lagi?" Suara berat dan serak khas orang baru bangun tidur itu membuat Alea mematung. Tubuhnya langsung membeku di tempat. Alea segera menoleh. "Siapa yang mau kabur? Aku mau ke toilet!" katanya cepat. "Benarkah? Bukankah kamu pembohong? Aku mana bisa percaya begitu saja padamu? Bagaimanapun juga, kamu sudah membuatku bekerja keras semalam." Wajah pria itu tampak seperti seseorang yang telah diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh Alea. Ekspresinya benar-benar menunjukkan hal itu. "Kamu jangan lupa janjimu!" lanjutnya dengan nada yang lebih serius. Alea membelalakkan matanya. Dia memang mengingat semua yang terjadi, tetapi dia sama sekali tidak ingat telah mengatakan janji apa pun pada pria itu. "Me... memangnya apa yang aku janjikan? Aku tidak ingat mengatakan janji padamu." Pria itu menghela napas. Ekspresinya semakin tampak seperti seseorang yang teraniaya. "Kamu sungguh kejam, Nona! Habis manis, sepah dibuang. Malangnya nasibku ini. Ini malam pertamaku. Sudah kena tipu!" Pria itu mengeluh, seolah Alea telah berlaku sangat kejam padanya. Alea semakin panik. "Hei, kenapa cara bicaramu seperti itu? Mana mungkin ini malam pertamamu..." "Aku tidak suka berbohong seperti kamu! Ini sungguh malam pertamaku. Bagaimana kalau kita visum saja biar kamu percaya?" Mata Alea melotot. Apa-apaan pria ini? Kenapa juga harus visum segala? "Heh, kenapa kamu serius sekali? Ya sudah, katakan berapa yang harus aku bayar?" tanya Alea. Alea menatap pria itu dengan curiga. Namun, dia tidak terlalu memandangnya tinggi, karena menurutnya tidak mungkin pria itu akan meminta banyak. Bagaimanapun, pria yang sampai bekerja di klub malam pasti bukan orang yang punya kedudukan penting. Alea berpikir, pria ini pasti hanya sangat membutuhkan uang. Namun, pemikiran Alea ternyata salah. Pria itu tersenyum licik, tampak akan mengatakan sesuatu yang mengejutkan. "Karena kamu sudah mengambil keperjakaanku, satu miliar cukup lah!" "Apa?!" Alea memekik, bahkan bola matanya nyaris keluar dari kelopak matanya. Bukan karena dia tidak punya uang sebanyak itu, tentu saja dia punya. Alea bekerja di perusahaan ayahnya dan memiliki gaji besar. Namun, bagaimana bisa dia membayar satu miliar hanya untuk tidur satu malam dengan seorang pria penghibur? "Kamu tidak waras, ya? Satu miliar hanya untuk satu malam?" tanya Alea tidak percaya. Wajah pria itu yang tadinya tampak berseri-seri, mendadak berubah muram. "Kamu terlihat seperti wanita baik-baik dan terhormat. Apa menurutmu sebuah kehormatan tidak pantas dinilai setara satu miliar? Aku sungguh masih perjaka sebelum kamu merenggutnya..." "Aku?" Alea menunjuk hidungnya sendiri. "Kamu tidak salah? Aku yang merenggut kehormatanmu? Aku semalam mabuk! Bukannya kamu yang merenggut..." Alea menghentikan ucapannya. Bagaimanapun, semalam dia memang sangat sombong dengan mengatakan kalau itu bukan pertama kalinya baginya. "Merenggut apa?" Pria itu sengaja memancing Alea. Alea mendengus kesal. "Baiklah, berikan nomor rekeningmu!" katanya sambil meraih tas di lantai. Alea mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya pada pria itu. "Aku lupa nomor rekeningku. Aku juga tidak membawa ponsel. Jadi, aku akan beri nomor pribadiku. Chat saja kalau uangnya sudah siap. Ingat, jangan kabur!" Alea merampas ponselnya sendiri dari pria itu dengan kasar, lalu dengan bersungut-sungut pergi ke kamar mandi hotel. Pria itu tersenyum, bukan seperti seseorang yang berhasil menjebak orang lain demi keuntungan, melainkan seperti seseorang yang benar-benar menikmati momen itu. Di dalam kamar mandi, Alea menatap cermin di depannya. "Hal bodoh apa yang sudah kamu lakukan, Alea? Bisa-bisanya aku mengeluarkan satu miliar untuk seorang pria. Cih! Apa aku terlihat sangat butuh sentuhan?" gumamnya sendiri. Namun, saat mengguyur kepalanya dengan air dingin, bayangan pengkhianatan Adrian kembali melintas di kepalanya, membuatnya kesal. Karena terlalu larut dalam pikirannya, tanpa sadar Alea sudah berada cukup lama di dalam kamar mandi. Pria itu khawatir. Dia mengetuk pintu dengan kasar. Tok! Tok! Tok! "Hei, Nona! Apa kamu pingsan?" tanyanya lantang. Namun, setelah mengetuk dan bertanya, tetap tidak ada suara dari dalam. Pria itu berpikir mungkin Alea kenapa-napa, atau jangan-jangan benar-benar pingsan. Tanpa berpikir panjang, dia membuka paksa pintu kamar mandi. Alea yang tengah berdiri di bawah shower deras dengan mata terpejam tentu saja tidak mendengar teriakannya. "Nona!" Pria itu menyentuh lengannya. Mata Alea terbuka lebar. "Aaghhh!" Alea berteriak. Matanya melotot, dan tangannya sigap menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. "Apa yang kamu lakukan? Mesum sekali!" "Untuk apa ditutup? Memangnya bagian mana yang belum aku lihat dan sentuh?" "Kamu...!" Alea geram, menunjuk pria itu dengan kesal, tetapi tidak bisa melanjutkan kata-katanya. "Aku pikir kamu pingsan. Lama sekali!" "Memangnya kamu tidak pernah dengar kalau perempuan butuh waktu lama untuk mandi? Keluar!" Alea mendorong pria itu agar keluar, tetapi pria itu justru menahan tangannya. "Masih sakit tidak?" tanyanya sambil menatap Alea. Alea merasa sangat risih karena mereka berada di bawah guyuran shower bersama. Ketika mata pria itu perlahan melirik ke bawah, Alea langsung membentaknya. "Eh, kemana arah matamu?!" Pria itu tersenyum penuh arti. "Nona, aku akan memberikan bonus untukmu. Aku sangat baik hati, jadi aku akan memuaskanmu lagi!" "Siapa yang minta dipuaskan olehmu?! Aghhh!" Alea hanya bisa bicara, tapi pria itu lebih kuat darinya. Dengan cepat pria itu bahkan sudah berhasil mendorong tubuh Alea ke arah tembok. Pria itu mengunci pergerakan kedua tangan Alea di atas kepala wanita itu. Dan membuka jubah tidurnya sendiri dengan sangat cepat. Dengan setiap gerakannya, Alea yang awalnya protes bahkan tidak bisa berkata-kata lagi selain hanya bisa mendesah dan sesekali mengerang nikmat. "Tubuhmu lebih jujur dari mulutmu, Alea" ucap pria itu. Alea seharusnya curiga, kenapa tanpa memberitahu siapa namanya pada pria itu. Pria itu biasa tahu namanya. Tapi, itu hanya akan terjadi kalau dia dalam keadaan sadar. Sementara dirinya saat ini masih dalam kondisi yang tidak bisa menentukan benar atau salah. Alea terbuai, terhanyut dalam permainan lembut tapi membuat Alea tak berdaya dari pria itu. "Kamu... Kamu hentikan! sudah, agkhhh!" Alea merasa sudah tidak sanggup lagi, sangat sudah berapa kali dia mengeluarkan hasil produksi percintaan itu. "Panggil namaku sayang, panggil aku Kael!" "Kael, hentikan. Aku tidak sanggup lagi!" Dan pada akhirnya, tubuh Alea terhuyung di pelukan pria bernama Kael itu. "Alea, aku tidak akan pernah lagi melepaskan mu!" To be continued...Alea tertawa miring. Dia menatap Adrian dengan tidak senang."Pikirkan dulu kekasihmu dan calon masa depanmu yang ada di perutnya. Jika dia mendengar hal ini keluar dari mulutmu, aku yakin dia akan marah dan muntah darah!"Suasana pagi itu dingin dan mencekam, seolah udara pun enggan bersentuhan dengan ketegangan yang menggantung di antara mereka. Sorot mata Alea tajam, menusuk seperti pisau yang diasah dengan kemarahan dan kejengkelan yang lama dipendam.Alea mencoba menggertak Adrian. Tapi memang itu benar. Jika Larissa tahu, Adrian sedang merayu Alea, sudah pasti wanita itu akan kebakaran jenggot. Larissa bukan tipe perempuan yang bisa menelan pengkhianatan dengan senyuman.Yang calon istri Adrian, dan yang telah bertunangan dengan Adrian itu memang Alea. Tapi wanita yang merasa memiliki Adrian adalah Larissa. Sebuah ironi menyakitkan yang selama ini Alea coba telan dalam diam.Adrian, dengan segala pesona dan kebanggaannya, tidak pernah berubah. Mendengar ucapan Alea, dia hanya me
Kael sama sekali tidak membiarkan Alea jauh darinya. Pria itu terus memeluknya erat, seolah takut kehilangan. Lengannya yang kekar menyelimuti tubuh Alea seperti perisai yang melindungi dari dunia luar. Helaan napasnya stabil dan hangat, menyapu lembut kulit Alea yang sudah berkeringat. Mereka telah melewati malam yang panas, penuh gairah, dan sentuhan yang tak terbendung. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali mereka larut dalam hasrat yang tak tertahan. Hingga akhirnya, tubuh mungil Alea menyerah pada kelelahan. Dia tertidur dalam pelukan Kael, dengan rambut acak-acakan menempel di pipinya yang masih merah karena sisa-sisa hasrat tadi malam.Kael menatap wajah Alea yang tertidur dengan damai. Dalam diam, ia menyentuh pipi Alea, mengusap perlahan dengan ibu jarinya. Wajahnya menyiratkan pergolakan batin yang dalam. Ada hal besar yang belum ia ungkapkan, sesuatu yang selama ini ia pendam sendiri. Dan malam itu, keyakinannya bulat untuk mengakhiri misteri itu."Aku sudah caritahu semua
Pada akhirnya, Alea harus kembali ke hotel. Kael menahannya cukup lama, sebelum dia bisa menghindar dari pria itu.Masalah yang sedang dia hadapi, bukan masalah ringan yang bisa dia selesaikan sendiri atau bahkan dengan bantuan Kael. Bukan Alea meremehkan Kael, tapi pria itu juga bukan seseorang yang bisa membantunya untuk keluar dari masalah keluarganya dan perusahaan ayahnya.Terlebih lagi, Alea tidak ingin Kael terlibat. Pikir Alea, Kael itu bekerja di klub malam, sebagai seorang pria penghibur. Pasti karena dia benar-benar sangat butuh uang. Mungkin ada masalah besar yang dia alami dalam hidupnya. Alea juga tidak mau menambah beban Kael. Alea pikir, dia hanya ingin bersenang-senang, sebelum kehidupannya akan berakhir di tangan Adrian. Menjadi istri yang hanya sebatas status, bahkan harus menerima anak haram Adrian itu sebagai anaknya.Langkah Alea terasa berat menyusuri lorong hotel yang tampak sepi. Cahaya lampu-lampu gantung berwarna kuning temaram menambah kesan sunyi dan dingi
"Kondisinya tidak parah, lebih ke lelah sebenarnya daripada alergi atau semacamnya!" jelas dokter yang memeriksa Larissa.Larissa yang memang tidak bisa bahasa Prancis tampak terdiam dan memperhatikan ekspresi wajah Adrian. Ia mencoba membaca raut wajah kekasihnya itu, berharap bisa menangkap sedikit saja makna dari setiap kata yang diucapkan dokter. Namun semakin ia mencoba, semakin kabur semuanya.'Sial, aku tidak mengerti lagi apa yang dokter ini katakan!' batin Larissa, sambil menelan ludah. Ketidaktahuannya terhadap bahasa itu membuat kepalanya semakin pusing, entah karena kecemasan atau karena sugesti semata.Alea yang sejak tadi memperhatikan wajah Larissa yang tampak bingung, langsung menghampiri wanita itu. Tanpa perasaan bersalah, bahkan dengan nada ringan dan nada yang nyaris seperti bercanda, ia mendekatkan wajahnya ke telinga Larissa lalu berbisik, "Ck, tidak disangka. Ternyata umurmu tinggal sebentar lagi."Suara lirih Alea itu terdengar seperti dentuman petir di telinga
Mata Alea mencoba untuk tidak menoleh ke arah dua sejoli yang sedang dimabuk asmara di depannya itu. Atau mungkin lebih tepatnya, Adrian yang menjadi bucin pada wanita yang sudah jelas-jelas hanya terpikat padanya karena uangnya itu. Tapi yang namanya bucin, Adrian sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas apa yang Alea dan Wulan, ibunya Adrian sendiri, lihat pada Larissa. Restoran mewah itu dipenuhi Kilauan cahaya yang terpantul dari lampu gantung kristal yang terkena sinar matahari dari luar, yang berkilau indah di atas kepala mereka. Aroma masakan kelas atas menguar samar dari dapur terbuka di sudut ruangan, diselingi suara piano lembut yang dimainkan live oleh seorang pria tua berjas putih. Tapi semua suasana itu tak mampu membuat hati Alea nyaman. Bahkan alunan musik romantis yang harusnya menenangkan, malah terasa seperti siksaan tambahan. Kedua orang itu sedang makan dengan begitu romantis. Adrian memotongkan daging untuk Larissa, dan Larissa memandang Adrian dengan sangat
Dan setelah semua kekesalan Alea, dia kembali harus dibuat darah tinggi dengan permintaan tidak masuk akal Adrian. "Aku tidak mau ikut!" ujar Alea kesal. Nada suaranya meninggi, penuh penolakan yang sudah tidak bisa ditawar. Matanya memancarkan amarah yang sudah berusaha ia tahan sejak tadi pagi. Sudah cukup hari ini dipenuhi kejengkelan dan kini Adrian datang dengan ide gila yang benar-benar membuat darahnya mendidih. Lagian ada-ada saja, masa iya Adrian jalan-jalan dengan Larissa, dia harus ikut. Yang ada dia jadi obat nyamuk. Mending jadi obat nyamuk saja? Larissa si genit itu pasti akan melakukan hal-hal yang membuatnya hipertensi nanti. Alea memeluk tubuhnya sendiri, menahan emosi. Pikirannya dipenuhi skenario menyebalkan. Dia bisa membayangkan Larissa akan merangkul Adrian setiap lima menit, tertawa genit, lalu memamerkan barang-barang yang dibelikan Adrian seperti sedang pamer trofi. Dan dia? Alea akan jadi saksi mata dari hubungan yang menurutnya menjijikkan. Namun, A