Share

Sindiran Pedas Istri Kedua
Sindiran Pedas Istri Kedua
Penulis: Hanina Zhafira

Part 1

"Bodo amat sama komentar anda ya, yang suka nyelonong aja kerjaannya di wall orang. Yang jelas sekarang, saya sangat bahagia sama kehidupan saya. Yang jelas, di sini antara saya dan pasangan saya saat ini, nggak ada istilah dipaksa atau pemaksaan ya. Jodoh, maut, rezeki Tuhan yang ngatur bukan anda! soal hati nggak bisa dipaksakan dan nggak ada yang bisa ikut campur ya! Jadi, buat anda jadi manusia nggak usah sok suci ... jatuhnya kamu MUNAFIK!!! Paham...?"

Begitulah sebuah status yang terpampang di beranda ketika pagi  ini aku membuka salah satu aplikasi yang populer di negeri ini. Diposting semalam dengan menandai sepuluh orang. Salah satunya adalah suamiku. Postingan itu sudah disukai oleh hampir lima puluh orang dan komentar juga mendekati angka seratus. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat semua itu. 

Aku memang tidak berteman dengan pemilik akun tersebut karena dia menandai orang-orang yang berteman denganku otomatis mampir juga ke berandaku.

Namun, jariku tak bisa berhenti sampai di situ. Jiwa kepoku melonjak-lonjak dan harus segera diikuti maunya. Aku pun berkelana di kolom komentar.

"Kata-kata mutiaranya indah banget, say."

"Hajar Bund."

"Jangan kasih kendor, Sist!"

"Orang kayak gitu mah jangan dibaik-baikin, nanti ngelunjak."

"Ada ya manusia model begitu?"

"Ih, julid banget tuh orang."

"Orang kayak gitu kudu dikasih pelajaran. Biar kapok!"

"Moga orang itu dapat hidayah, ya, jeng."

"Sabar, say. Pertahankan orang yang kamu cintai. Jangan dengerin orang-orang syirik."

"Berasa baca novel deh pagi-pagi."

"Bunda cantik ternyata bisa ngomel juga. Jangan diambil hati bun, orang syirik abaikan aja."

Begitulah rata-rata komentar yang bertebaran di sana. Memojokkan sosok 'anda' yang dimaksud pada postingan itu. Aku merasa miris, entah kenapa orang-orang cepat sekali menghujat padahal sebagian dari mereka tidak tahu apa yang mereka komentari.

Hampir semua komentar dibalas atau pun ditanggapi dengan stiker oleh pemilik postingan. Bahkan pada beberapa komentar terjadi saling balas yang cukup banyak sehingga sedikit banyak terkuaklah beberapa hal yang seharusnya tidak dikonsumsi publik.

Aku sangat tahu bahwa postingan itu ditujukan padaku. Dan ini sudah untuk kesekian kalinya. Sepertinya memang sudah hobinya begitu, bikin status tandai beberapa orang kerabatnya kemudian mereka akan berkomentar beramai-ramai. Habis-habisan menyudutkan pihak yang berseberangan itu. Seolah-olah merekalah yang paling benar dan paling segalanya. 

"Dasar keluarga norak, bar-bar, malu-maluin." Aku bergumam lalu menyimpan ponsel ke tempat yang aman karena sebentar lagi Hendi, suamiku yang juga sudah menjadi suami wanita itu akan datang ke sini. Pasti postingan itulah yang akan dibahasnya. Jika nanti berujung pertengkaran, jangan sampai ponselku menjadi korban lagi seperti beberapa waktu lalu. Secepat mungkin harus kuamankan.

Perkiraanku tepat, terdengar suara mesin kendaraan di luar. Tak lama seseorang mengucapkan salam. Aku segera keluar kamar dan kami berpapasan di ruang tengah.

"Kamu bikin gara-gara apalagi sama Nadia sampai-sampai dia buat postingan begitu?" Tanpa basa-basi, Hendi langsung menodongku dengan pertanyaan itu.

"Ya kamu tanya aja sama istri barumu itu! Ngapain nanya aku?" jawabku sesantai mungkin. Padahal dalam hati aku sangat geram.

"Nadia tidak akan mungkin begitu kalau bukan kamu yang mancing-mancing!" Hendi sedikit meninggikan suaranya. 

Aku tercengang, beberapa saat setelah itu aku pun berucap pelan. "Aku?" 

"Tolonglah Tiara, bersikaplah lebih dewasa. Jangan apa-apa dibawa ke sosmed. Apa perlunya tentang kehidupan kita harus diketahui banyak orang?"

"Kamu datang ke sini terus ngomongnya seperti itu padaku, salah tempat! Kamu buta huruf apa buta hati? Datang-datang nyalahin aku."

"Nyatanya, semua ini memang berawal dari kesalahan kamu, kan? Kamu berkomentar sana-sini di postingan orang yang ujung-ujungnya menyudutkan keberadaan Nadia?" Suara Hendi semakin meninggi.

Aku ingat sekarang, dua hari yang lalu aku memang berkomentar di status teman lama kami. Dia menyiratkan kegundahan hatinya atas konflik yang tak berujung dengan keluarga suaminya. 

"Semangat! Semua akan indah pada waktunya."

Kutulis di kolom komentarnya. Kami pun saling berbalas komentar beberapa kali hingga dia menarik kesimpulan dari pembicaraan kami itu bahwa apa yang kita lakukan kelak akan kembali pada kita. 

Di berandaku sendiri aku membagikan sebuah quote tentang kesabaran. Quote dari halaman seorang penulis terkenal. Sepertinya dia atau pun keluarganya memang sengaja memantau aktivitasku di sosial media. Kurang kerjaan!

"Tanpa aku harus ngejelek-jelekin dia juga udah jelek imejnya di mata orang-orang," celetukku. Kulihat perubahan di muka Hendi. Dia pasti tidak terima ucapanku tadi.

"Ulah kamu yang membuat Nadia dipandang jelek sama orang-orang. Stop status-status lebay kamu itu. Kalau tidak, aku tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah ini!"

"Papa ...."

Rara, putri kami telah berdiri di ambang pintu. Dia berlari kecil ke arah kami dan langsung memeluk papanya. Sepertinya dia sangat rindu. Tak lama berselang Khalif --kakaknya-- juga masuk. Mereka tadi pergi ke rumah neneknya untuk sarapan. 

"Papa semalam kok tidak tidur di sini lagi? Rara susah tidur semalam." Putri kecilku itu memang sangat dekat dengan papanya. Dialah yang membuatku harus bertahan dengan kondisi seperti ini. 

Khalif pun menghampiri papanya. Setelah mencium tangan dia pun menuju kamar mengambil tas dan sepatu. 

"Rara ikut ngantarin Kak Khalif, ya," pinta gadis kecil yang baru genap lima tahun itu. Dia pun memeluk papanya lebih erat lagi.

"Iya, sana ambil jaket sama kaca mata biar nggak kelilipan," ujar Hendi sambil menurunkan Rara dari pangkuannya. Rara segera berlari  ke kamar.

"Ingat Tiara, jangan bikin gara-gara lagi!" Hendi berbicara dengan suara penuh penekanan disertai tatapan tajam. Kemudian dia keluar. 

Khalif yang baru saja keluar dari kamarnya berjalan ke arahku. Ia mengulurkan tangan untuk berpamitan. 

"Mama baik-baik aja?" tanya Khalif dengan lembut. Kalimat sederhana itu hampir saja membuat mataku mengembun. Buru-buru aku tersenyum padanya. Walaupun baru berusia sepuluh tahun, anak sulungku itu sudah mulai peka terhadap apa yang terjadi di rumah ini.

"Mama baik-baik aja. Cuma agak ngantuk. Semalam Syira sering kebangun."

"Kakak sekolah dulu ya, Ma."

"Hati-hati, ya, Nak. Nanti dari sekolah langsung pulang, ya!"

Khalif mengangguk kemudian menggandeng Rara menyusul papanya keluar.

Aku mengantar mereka sampai ke pintu. Melepas kepergian mereka hingga punggungnya tak terlihat lagi.

Hari masih pagi tetapi perasaanku sudah tak menentu. Tidak cukupkah wanita itu mengusik kehidupanku di dunia nyata?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status